Kompleks Candi Dieng
Kompleks Candi Dieng adalah kelompok kompleks candi Hindu abad ke-7 terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia.[1] Bangunan-bangunan ini berasal dari Kerajaan Kalingga.[2] Dataran tinggi ini adalah tempat berdirinya delapan candi Hindu kecil yang merupakan salah satu bangunan keagamaan tertua yang masih bertahan yang pernah dibangun di Jawa.
Nama sebenarnya dari candi tersebut, sejarah, dan raja yang bertanggung jawab atas pembangunan candi-candi ini tidak diketahui. Hal ini karena kelangkaan data dan prasasti yang terkait dengan pembangunan candi-candi ini. Penduduk Jawa lokal menamakan setiap candi sesuai dengan tokoh wayang Jawa, kebanyakan diambil dari epos Mahabharata.
Sejarah
Tidak jelas kapan candi-candi tersebut dibangun, dan diperkirakan berkisar dari pertengahan abad ke-7 sampai akhir abad ke-8 Masehi; mereka merupakan bangunan menhir tertua yang diketahui di Jawa Tengah.[3][4] Mereka semula diperkirakan berjumlah 400 namun hanya delapan yang tersisa.
Setelah mempelajari gaya arsitektur candi Jawa, arkeolog mengelompokkan candi-candi Dieng dalam gaya Jawa Tengah bagian Utara, bersama dengan candi-candi Gedong Songo, dan sampai batas tertentu juga mencakup Candi Badut Jawa Timur, dan Candi Cangkuang dan Bojongmenje Jawa Barat, dan mengemukakan bahwa semua candi ini dibangun dalam periode yang sama, berkisar antara abad ke-7 sampai abad ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di dekat Candi Arjuna di Dieng bertarikh sekitar tahun 808-809 M, yang merupakan contoh aksara Jawa kuno tertua yang masih bertahan, yang mengungkapkan bahwa candi Dieng terus dihuni dari pertengahan abad ke-7 sampai awal abad ke-9.[5]
Candi-candi Dieng ditemukan kembali pada 1814 oleh seorang tentara Britania yang berkunjung yang melihat reruntuhan candi berada di tengah danau. Saat itu dataran sekitar kelompok Arjuna kebanjiran dan membentuk danau kecil. Pada 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya mengeringkan danau untuk mengungkap candi-candi tersebut. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi pada 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen. Candi-candi tersebut saat ini diyakini telah dinamai sesuai dengan para pahlawan dari epos Hindu Mahabharata.[6]
Arsitektur
Arsitektur candi Jawa Tengah bagian Utara terkenal karena ukurannya yang lebih kecil, kesederhanaan, dan relatif kurangnya ornamen dibandingkan dengan candi-candi kaya dekorasi dan besar di Jawa Tengah bagian Selatan, seperti Candi Kalasan, Sewu, dan Prambanan.[7] Candi-candi di Jawa Tengah bagian Utara dikelompokkan dalam kelompok yang tidak beraturan, dengan variasi gaya candi masing-masing. Hal ini berbeda dengan rancangan mandala konsentris candi-candi Jawa Tengah bagian Selatan dengan desain perwara (candi kecil pelengkap) yang seragam.
Penggunaan arsitektur topeng kala Jawa paling awal dan monster laut Makara ditampilkan di sepanjang relung dan pintu keluar masuk dari bangunan-bangunan yang tersisa.[8]
Bangunan-bangunan Dieng kecil dan relatif sederhana, namun arsitektur batu berkembang secara substansial hanya dalam hitungan dekade menghasilkan mahakarya seperti kompleks Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
Galeri
-
Candi Arjuna
-
Candi Semar
-
Candi Srikandi
-
Candi Puntadewa
-
Candi Sembadra
-
Candi Dwarawati
-
Candi Bima
-
Candi Gatotkaca
Lihat juga
Referensi
- ^ Suherdjoko (28 April 2006). "Dieng tidies itself up to regain past glory". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 December 2013. Diakses tanggal 4 April 2013.
- ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- ^ Romain, J. (2011). Indian Architecture in the ‘Sanskrit Cosmopolis’: The Temples of the Dieng Plateau. Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, pages 299-305
- ^ Jordaan, R. E. (1999). The Śailendras, the Status of the Kṣatriya Theory, and the Development of Hindu-Javanese Temple Architecture. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 155(2), pages 210-243
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 87.
- ^ Wright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.
- ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 85.
- ^ Michell, George, (1977) The Hindu Temple: An Introduction to its Meaning and Forms". pp. 160-161. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-53230-1
Bibliografi
- Backshall, Stephan et al. (1999) Indonesia The Rough Guide London Penguin ISBN 1-85828-429-5 pp. 190–195
- Dalton, Bill Indonesia Handbook fourth edition pp. 280–283
- Dumarcay, J and Miksic J. Temples of the Dieng Plateau in Miksic, John 1996 (editor) 1996 Ancient History Volume 1 of Indonesian Heritage Series Archipleago Press, Singapore. ISBN 981-3018-26-7
- Witton, Patrick (2003). Indonesia (7th edition). Melbourne: Lonely Planet. hlm. 209–211. ISBN 1-74059-154-2.