Mangai binu
Mangai binu atau mangani binu tradisi berburu kepala oleh orang Nias di Pulau Nias, Sumatera Utara. Tradisi ini merupakan penghormatan terhadap leluhur.[1] Istilah lain seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, atau möi emali' juga digunakan selain mangai binu. Orang yang menjalankan tradisi ini disebut emali.
Sejarah
Latar Belakang
Menurut hoho, tradisi beburu kepala di Nias pertama kali dilakukan oleh seorang pemuda bernama Awuwukha sekitar seratus lima puluh tahun lalu.[2]
Awuwukha tinggal di Börönadu bersama ibu dan tujuh orang saudaranya. Diceritakan bahwa pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Boronadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta owasa di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pemuda tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha. Ia lalu kembali ke Börönadu dengan keadaan masih marah. Beberapa hari kemudian, pemuda tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya dengan membakar rumah Awuwukha dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Boronadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung, terbelalak melihat kejadian tersebut.[3]
Di depan ibunya, Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian dengan langkah tenang Awuwukha pulang membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup. Laimba sadar betul. Kejadian tersebut akan memicu pertumpahan darah lanjutan. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya gagal. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya itu kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, setiap perkataannya dengan sendirinya menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.[3]
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat sirih pinang, memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha dan tradisi mangai binu dimulai.[4][3]
Lama kelamaan, tradisi ini dipraktikkan untuk kepentingan lain seperti pembangunan omo sebua.[5]
Di Luar Nias
Seribu tahun yang lalu, pedagang Arab sempat mendarat di Pulau Nias namun segera berlayar setelah mendengar tradisi ini.[6]
Pelaksanaan
Para emali bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Pedang yang digunakan untuk berburu adalah tolögu milik bangsawan dari Nias Selatan. Pada sarung pedang tersebut dilengketkan ragö, yaitu sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis. Benda-benda itu dipercaya dapat megalirkan kekuatan dan memberikan kekebalan kepada pemiliknya dan menembus ilmu kebal yang dimiliki oleh lawan. Cara memperoleh binu adalah dengan melakukan tebasan (bacokan) ke tubuh lawan yang masih hidup atau sudah mati menggunakan tolögu, mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke bagian bawah ketiak sebelah kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Setelah berhasil, mereka akan pulang dengan membawa hasil tangkapan dengan menenteng potongan kepala di pundak. ‘Hasil tangkapan’ diletakkan di bahu para emali, sambil memegang tangan kanan korban dan dan mendekapkannya ke dada.[7]
Fungsi
Jumlah binu yang diperoleh oleh seseorang akan menentukan status sosialnya. Terlebih jika dia ingin meminang seorang wanita, dia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelaku saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap berhasil melahirkan keturunan hebat. Kaitan antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.[5] Binu juga digunakan untuk mendirikan batu hombo. Dipercaya bahwa fondasi dengan binu dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh.[7]
Pada Masa Kini
Kedatangan para misionaris Nias memberi kesadaran kepada masyarakat untuk tidak lagi melanjutkan tradisi ini. Namun, masih ada saja kasus pemenggalan kepala dengan motif perebutan harga diri. Sonjaya dalam bukunya Melacak batu menguak mitos menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan kepala korban dibelah di Gomo hingga tahun 2008.[5]
Referensi
- ^ Afif 2018, hlm. 175"(...), di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala."
- ^ Afif 2018, hlm. 176"Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."
- ^ a b c Raditya, Iswara N. "Cerita Memburu Kepala di Nias". tirto.id. Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ Afif 2018, hlm. 179"Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."
- ^ a b c Liputan6.com (2016-05-27). "Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ Anitei, Stefan. "The Island of the Head Hunters". softpedia (dalam bahasa english). Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ a b "Emali". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 17 Februari 2020.
Daftar Pustaka
Afif, Afthonul (Maret 2018). Afif, Afthonul; Marsanto, Khidir; Solihin, Lukman, ed. Dari Melayu menjadi Indonesia (edisi ke-1). Bantul, Yogyakarta: BASABASI. ISBN 978-602-6651-90-7. OCLC 1052585661.
Wiradnyana, Ketut (2010). Legitimasi kekuasaan pada budaya Nias : paduan penelitian arkeologi dan antropologi (edisi ke-1). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-763-2. OCLC 682905651.
Suzuki, Peter (1959). The Religious System and Culture of Nias, Indonesia (dalam bahasa Inggris). Gravenhage: Excelsior.
Sonjaya, Jajang A (2008). Melacak batu, menguak mitos : petualangan antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 9789792118155.