Negeri mesiu
Negeri-negeri Mesiu mengacu pada periode zaman Utsmani, Safawi dan Mughal dari abad ke-16 hingga abad ke-18. Ketiga kerajaan ini masing-masing adalah negara Islam dan memiliki keberhasilan militer dan ekonomi yang besar. Monarki-monarki ini membentang dari Eropa Timur dan Afrika Utara di barat hingga antara Bangladesh dan Myanmar di timur.
Negeri-negeri Mesiu Islam | |
---|---|
1500–1736 | |
Ibu kota | Istanbul, Isfahan, Agra |
Agama | Islam |
Pemerintahan | Monarki |
Sultan Utsmaniyah, Shah Persia, Kaisar Mughal | |
Era Sejarah | Abad Modern Awal |
• Pembentukan | 1500 |
• Kemunduran | 1736 |
Tiga kekaisaran Islam sebagai ekonomi terkuat dan stabil pada periode modern awal, yang kemudian mengarah ke ekspansi komersial dan perlindungan budaya yang lebih besar, sementara lembaga-lembaga politik dan hukum mereka dikonsolidasikan dengan tingkat sentralisasi yang semakin meningkat. Mereka mengalami peningkatan yang signifikan dalam pendapatan dan populasi per kapita dan laju inovasi teknologi yang berkelanjutan.[1]
Sejumlah besar wilayah ditaklukkan oleh kerajaan mesiu Islam dengan penggunaan dan pengembangan senjata api yang baru ditemukan, terutama meriam dan senjata kecil, dalam rangka pembangunan kekaisaran. Tidak seperti di Eropa, pengenalan senjata mesiu memicu perubahan di luar organisasi militer. Kesultanan Mughal, yang berbasis di anak benua India, diakui karena arsitekturnya yang mewah dan promosi era proto industrialisasi, sementara Dinasti Safawi menciptakan pemerintahan negara yang efisien dan modern untuk Iran dan mensponsori perkembangan besar sastra dan seni rupa di Iran. Utsmaniyah sebagai pemegang kekhalifahan dan Penjaga Dua Masjid Suci. Kekuatan militer dan ekonomi, kekayaan sastra dan arsitektur, dan berbagai kontribusi mereka secara signifikan memengaruhi perjalanan sejarah Asia maupun kepala dunia Islam.[2]
Penggunaan mesiu oleh tiga negeri Islam
Kesultanan Utsmaniyah
Kesultanan Utsmaniyah lebih dahulu mengadopsi artileri mesiu daripada negeri Eropa maupun Timur Tengah. Utsmaniyah memiliki artileri setidaknya pada masa pemerintahan Bayezid I dan menggunakannya pada pengepungan Konstantinopel pada tahun 1399 dan 1402. Dan terbukti efektif dalam pengepungan Thessalonika pada tahun 1430. Penggunaan relatif besar dalam pengepungan Konstantinopel pada tahun 1453, dengan meriam yang cukup besar untuk menembus dinding kota, sehingga mengejutkan musuh-musuhnya.
Selama pemerintahan Sultan Mehmed II, tentara Yanisari dikembangkan teknologi senjatanya dengan senapan kopak menjadikan mereka pasukan infanteri pertama yang dilengkapi dengan senjata api di dunia. Dengan demikian Yanisari dianggap sebagai pasukan infanteri modern pertama di dunia. Kombinasi artileri dan senjata api Yanisari terbukti sangat menentukan pada pertempuran Varna pada 1444 melawan pasukan Tentara Salib, pertempuran Başkent pada 1473 melawan Aq Qoyunlu, dan pertempuran Mohac pada 1526 melawan Hongaria. Pada akhirnya Safawi dan Mughal mengadopsi senjata mesiu setelah perang Kaldiran.[3]
Dinasti Safawi Iran
Meskipun kalah dalam pertempuran Kaldiran, Syah Ismail segera mengambil langkah untuk melindungi Iran dari ancaman kesultanan Utsmaniyah dengan mempersenjatai pasukannya dengan senjata mesiu. Dalam waktu dua tahun, Ismail memiliki korps musketir (tofangchi) berjumlah 8.000 dan pada 1521 sekitar 20.000. Setelah Abbas Agung mereformasi tentara (sekitar 1598), pasukan Safawi memiliki pasukan artileri 500 meriam serta 12.000 ksatria bersenjata.
Safawi pertama-tama menggunakan senjata serbuk mesiu mereka untuk melawan orang-orang Uzbek, yang telah menginvasi Persia timur selama perang saudara setelah kematian Ismail I. Syah Tahmasp I memimpin pasukan untuk membantu di Herat dan bertemu pasukan Uzbek pada 24 September 1528, Safawi mengalahkan Uzbek dengan telak.[4]
Kesultanan Mughal
Kaisar Babur telah menyewa ahli Utsmaniyah Ustad Ali Quli, yang mengajari kepada Babur formasi standar pasukan Utsmaniyah yang mana infanteri yang dilengkapi artileri dan senjata api yang dilindungi oleh kereta di bagian tengah formasi dan memasang pemanah di kedua sayap. Babur menggunakan formasi ini pada Pertempuran Panipat Pertama pada tahun 1526, di mana pasukan Afghanistan dan Rajput yang setia kepada kesultanan Delhi, meskipun unggul dalam jumlah tetapi tanpa senjata mesiu dapat dengan mudah dikalahkan. Kemenangan yang menentukan dari pasukan Timurid terus diperoleh pada Pemerintahan Akbar Agung , Shah Jahan dan Aurangzeb, yang mewakili puncak sejarah Islam di India.[5]
Referensi
- ^ Streusand, Douglas E. (2011). Islamic gunpowder empires : Ottomans, Safavids, and Mughals. Boulder, Colo.: Westview Press. ISBN 978-0-8133-9194-6. OCLC 731208874.
- ^ Islamic & European expansion : the forging of a global order. Adas, Michael, 1943-, American Historical Association. Philadelphia: Temple University Press. 1993. ISBN 1-56639-067-2. OCLC 27108156.
- ^ Ágoston, Gábor (2001-08-12). "Merces Prohibitae: The Anglo-Ottoman Trade in war Materials and the Dependence Theory". Oriente Moderno. 81 (1): 177–192. doi:10.1163/22138617-08101009. ISSN 0030-5472.
- ^ Ágoston, Gábor. (2005). Guns for the sultan : military power and the weapons industry in the Ottoman Empire. New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-84313-8. OCLC 55981574.
- ^ Burke, Edmund (1979-05). "Islamic History as World History: Marshall Hodgson, 'The Venture of Islam'". International Journal of Middle East Studies (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 241–264. doi:10.1017/S0020743800034796. ISSN 0020-7438.