Mangai binu
Mangai binu atau mangani binu adalah tradisi berburu kepala oleh orang Nias di Pulau Nias, Sumatera Utara. Tradisi ini awalnya merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur namun di kemudian hari berubah fungsi sebagai penanda status sosial.[1] Istilah lain seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, atau möi emali juga digunakan selain mangai binu. Orang yang menjalankan tradisi ini disebut emali.
Dekskripsi
Mangai (atau mangani dalam dialek selatan) binu/högö dalam bahasa Nias berarti 'mengambil kepala'. Istilah kiasan seperti möi ba danö 'pergi ke ladang', mofanö ba danö 'berangkat ke ladang' digunakan untuk memperhalus. Istilah möi emali 'pergi melakukan emali' juga digunakan.[2]
Persiapan
Sebelum melakukan ekspedisi perburuan kepala manusia, para emali akan meminta perlindungan dari dewa perang melalui perantaraan Adu Siraha Horö agar mendapatkan kepala yang banyak.[3] Pedang yang digunakan untuk berburu adalah tolögu milik bangsawan dari Nias Selatan. Pada sarung pedang tersebut dilengketkan ragö, yaitu sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis. Benda-benda itu dipercaya dapat megalirkan kekuatan dan memberikan kekebalan kepada pemiliknya dan menembus ilmu kebal yang dimiliki oleh lawan. Kemudian, setelah berburu, para emali akan kembali berdoa agar mereka bersih dari dosa akibat perburuan tersebut.[4] Para budak, terlebih jika berbuat salah, juga dapat dikorbankan untuk mendapat binu.[5][6]
Pelaksanaan
Para emali bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Periode saat mereka berburu disebut bawa nemali. Jika mangai binu didasarkan balas dendam, maka emali melakukan tebasan ke tubuh lawan menggunakan tolögu, mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke bagian bawah ketiak sebelah kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Setelah berhasil, mereka akan pulang dengan membawa hasil tangkapan dengan menenteng potongan kepala di pundak. ‘Hasil tangkapan’ diletakkan di bahu para emali, sambil memegang tangan kanan korban dan dan mendekapkannya ke dada.[7] Terkadang, 'pemesan' binu menyuruh emali untuk menangkap lawannya hidup-hidup untuk kemudian dipenggal di atas batu awina. Para emali diberi upah sebesar enam ekor babi berukuran lima alisi.[a][8]
Pantangan
Para emali dilarang berburu kepala sesama mado mereka.[9] Mereka hanya boleh memburu kepala niha bö'ö, orang yang tidak memiliki pertalian saudara dengan mereka dan warga kampungnya.[10]
Sejarah
Latar Belakang
Menurut hoho, tradisi beburu kepala di Nias pertama kali dilakukan oleh seorang pemuda dari Börönadu sekitar seratus lima puluh tahun lalu.[11]
Dituturkan bahwa pemuda ini tinggal di Börönadu bersama ibu dan tujuh orang saudaranya. Pada suatu hari, seorang pemuda dari kampung Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta owasa di kampung mereka. Saat melewati rumah Awuwukha, ibu Awuwukha meneriaki pemuda tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah. Ia lalu kembali ke Börönadu dengan keadaan masih marah. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.[2]
Di depan ibunya,pemuda tersebut bersumpah akan menuntut balas dengan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia pulang membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya hidup-hidup karena takut jika kejadian tersebut akan memicu pertumpahan darah lanjutan. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap dirinya, namun gagal. Kehebatan pemuda tersebut kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya itu kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias dan dia diberi gelar Awuwukha yang berarti 'jurang yang terjal'.[12] Jika seseorang telah menunaikan owasa, setiap perkataannya dengan sendirinya menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.[2]
Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat sirih pinang, memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya segera mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha dan tradisi mangai binu dimulai.[13][2] Menhir Awuwukha hingga sekarang berdiri di Börönadu[14][15]
Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.[16] Hal ini juga terlihat seperti pada tradisi ngayau Suku Dayak.[17]
Kebiasaan orang Nias membangun kampung di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari buruan para emali.[18]
Di Luar Nias
Seribu tahun yang lalu, pedagang Arab sempat mendarat di Pulau Nias namun segera berlayar setelah mendengar tradisi ini.[19]
Fungsi
Pelayan roh
Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk disertakan ke dalam kubur, tradisi yang dimulai oleh Awuwukha.[20][21][22]
Status sosial
Jumlah binu yang diperoleh oleh seseorang akan menentukan status sosialnya. Terlebih jika dia ingin meminang seorang wanita, dia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelaku saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap berhasil melahirkan keturunan hebat. Kaitan antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.[21]
Fondasi bangunan
Binu juga digunakan untuk mendirikan batu hombo. Dipercaya bahwa fondasi dengan binu dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh. Binu juga digunakan dalam pembangunan omo sebua.[21]
Pada Masa Kini
Kedatangan para misionaris Nias memberi kesadaran kepada masyarakat untuk tidak lagi melanjutkan tradisi ini. Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan harga diri.[23] Sonjaya dalam bukunya Melacak batu menguak mitos[butuh rujukan] menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan kepala korban dibelah di Gomo hingga tahun 2008.[21]
Ketakutan akan emali juga masih dirasakan beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah pada malam hari dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah di malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.[24]
Adu Mbinu
Orang Nias memahat patung berbentuk binu guna menghormati arwah para korban buruan. Patung ini disebut adu mbinu. Adu berarti patung dan mbinu adalah bentuk mutasi dari kata binu.[25]
Catatan
Catatan kaki
- ^ Alisi adalah satuan tradisional ukuran babi dengan mengukur lingkar dadanya. Alat ukurnya adalah daun kelapa.
Referensi
- ^ Afif 2018, hlm. 175"(...), di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala."
- ^ a b c d Raditya, Iswara N. "Cerita Memburu Kepala di Nias". tirto.id. Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ "Adu Siraha Horo". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 18 Februari 2020.
- ^ Halawa, Hendrik Yanto (29 April 2017). "Patung Pembersih Dosa, Dahulu Dipakai Pemburu Kepala Manusia di Nias Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 18 Februari 2020.
- ^ Beatty 1992, hlm. 286"The ritual category of binu, the victim of human sacrifice or head-hunting, has sometimes been mistakenly translated as 'slave'. As a rule, only slaves captured or purchased outside the village could be sacrified."
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 132"Sawuyu yang berbuat kesalahan bisa dipenggal untuk bekal kubur tuannya jika meninggal."
- ^ "Emali". Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 17 Februari 2020.
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 67b"Bahkan ada binu yang ditangkap hidup-hidup dan baru dipenggal di atas awina dengan disaksikan orang banyak. (...) Harganya sangat mahal, yakni 6 x 5 alisi babi."
- ^ Beatty 1992, hlm. 31"(...) in the days of head-hunting, in the ban on taking the head of fellow-clansman."
- ^ Beatty 1992, hlm. 75"A niha bö'ö is someone with whom there are no ascribed relations, no rights or obligations, and no prescribed form of behaviour. Niha bö'ö are quintesentially strangers, outsiders who are therefore potential enemies from whom (formerly) heads may be taken, and also potential spouses."
- ^ Afif 2018, hlm. 176"Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 65"Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"
- ^ Afif 2018, hlm. 179"Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 63"Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.
- ^ Horor 2011, hlm. 80"Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."
- ^ Beatty 1992, hlm. 247"-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 41"Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."
- ^ Sonjaya 2008, hlm. 53"Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).
- ^ Anitei, Stefan. "The Island of the Head Hunters". softpedia (dalam bahasa english). Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ Beatty 1992, hlm. 43"(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."
- ^ a b c d Liputan6.com (2016-05-27). "Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-02-17.
- ^ Beatty 1992, hlm. 230"(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."
- ^ Afif 2018, hlm. 183c"(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."
- ^ Afif 2018, hlm. 183b"Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."
- ^ Brown 2005, hlm. 567
Daftar Pustaka
Afif, Afthonul (Maret 2018). Afif, Afthonul; Marsanto, Khidir; Solihin, Lukman, ed. Dari Melayu menjadi Indonesia (edisi ke-1). Bantul, Yogyakarta: BASABASI. ISBN 978-602-6651-90-7. OCLC 1052585661.
Wiradnyana, Ketut (2010). Legitimasi kekuasaan pada budaya Nias : paduan penelitian arkeologi dan antropologi (edisi ke-1). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-763-2. OCLC 682905651.
Suzuki, Peter (1959). The Religious System and Culture of Nias, Indonesia (dalam bahasa Inggris). Gravenhage: Excelsior.
Sonjaya, Jajang A (2008). Melacak batu, menguak mitos : petualangan antarbudaya di Nias. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 9789792118155.
Beatty, Andrew (1992). Society and exchange in Nias (dalam bahasa Inggris). Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-827865-9. OCLC 24373886.
Brown, Lea (2005). "Nias". Dalam Adelaar, Alexander; Himmelmann, Nikolaus P. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London: Routledge. ISBN 0-7007-1286-0.
Horor, Tim Pustaka (2011). Irsa, M., ed. 666 misteri paling heboh Indonesia & dunia. CMedia (Publisher) (edisi ke-1). Jagakarsa, Jakarta: Cmedia. ISBN 978-602-8596-29-9. OCLC 726621747.