Rāhula (Pāli dan Sanskerta) adalah putra tunggal dari pasangan Siddhārtha Gautama (umum dikenal sebagai sang Buddha) (ca 563 atau 480 – 483 atau 400 SM), dan istrinya dan putri Yaśodharā. Ia disebutkan dalam sejumlah teks Buddha, dari periode awal dan seterusnya. Catatan-catatan tentang Rāhula mengindikasikan dampak menguntungkan antara kehidupan Pangeran Siddhārtha dan kehidupan para anggota keluarganya. Menurut tradisi Pāli, Rāhula lahir pada hari penarikan Pangeran Siddhārta, dan sehingga dinamai Rāhula, yang artinya lapisan pada wadah menuju pencerahan. Namun, menurut tradisi Mūlasarvāstivāda, dan sejumlah sumber-sumber berikutnya lainnya, Rāhula baru dikandung pada hari penarikan Pangeran Siddhartha, dan lahir enam tahun kemudian, saat Pangeran Siddhārtha menjadi tercerahkan sebagai sang Buddha. Masa kandungan yang lama diakibatkan oleh karma buruk dari kehidupan sebelumnya dari Yaśodharā dan Rāhula sendiri, meskipun alasan yang lebih naturalistik juga diberikan. Akibat kelahiran yang lama tersebut, Yaśodharā perlu memastikan bahwa Rāhula benar-benar merupakan putra Pangeran Siddhārtha, yang kemudian diteruskan dengan tindakan bajik. Sejarawan H.W. Schumann berpendapat bahwa Pangeran Siddhārtha melirik Rāhula dan menunggu kelahirannya, agar dapat meninggalkan istana dengan ijin raja dan ratu, namun Orientalis Noël Péri menganggapnya lebih nampak bahwa Rāhula lahir setelah Pangeran Siddhārtha meninggalkan istana.

Sang Tetua

Rāhula
Berkas:Prince Rahula and Buddha.jpg
Rāhula meminta warisan kepada ayahnya, Buddha Gautama
GelarPatriark Dharma (Buddhisme Asia Timur)
Nama lain1. Pali: Rāhula-bhadda, har. 'Rāhula si Beruntung', Sanskerta: Rāhula-bhadra;
2. Romaji: chōshi; arti harfiah: "Anak Sulung"
Informasi pribadi
Lahir
Meninggal
Sumber-sumber berbeda
AgamaBuddhisme
Orang tuaPangeran Siddhārtha (ayah), Princess Yaśodharā (ibu)
Dikenal sebagai1. Pali: sikkhākāmanaṃ, har. 'Hasrat untuk belajar';
2. Pinyin: mixing diyi; harfiah: 'Praktek dengan tekun'
Kiprah keagamaan
GuruGautama Buddha, Śariputra Tua
PendahuluĀryadeva
PenerusSanghānandi
Inisiasi7–15 tahun dalam pelayanan Buddha
Taman Nigrodha
oleh Śāriputra

Antara tujuh dan lima belas tahun usai Rāhula lahir, sang Buddha kembali ke kampung halamannya, dimana Yaśodharā meminta Rāhula untuk membujuk sang Buddha agar menduduki takhta klan Śākya. Sang Buddha menanggapinya dengan menobatkan Rāhula menjadi samanera Buddha pertama. Ia mengajarkan samanera tersebut soal kebajikan, refleksi diri, dan ketidakegoisan, kemudian berujung pada pencerahan Rāhula. Meskipun catatan awal menyatakan bahwa Rāhula wafat mendahului sang Buddha, tradisi berikutnya menyatakan bahwa Rāhula adalah salah satu murid yang masih hidup usai sang Buddha wafat, memandu Dispensasi Buddha sampai kebangkitan Buddha berikutnya. Rāhula dikenal dalam teks-teks Buddha karena ketekunannya untuk belajar, dan dihormati oleh para biksu dan biksuni sepanjang sejarah Buddha. Catatannya berujung pada sudut pandang dalam Buddhisme dalam memandang anak-anak sebagai pewaris kehidupan spiritual di satu sisi, dan sebagai orang dengan potensi tercerahkan pada sisi lain.

Catatan

Beberapa teks-teks awal seperti tradisi Pāli tak menyebutkan Rāhula secara keseluruhan;[1][2] namun ia disebutkan dalam teks-teks Pāli berikutnya seperti Apadāna dan komentar-komentarnya, serta dalam teks-teks pada disiplin monastik tradisi-tradisi Mūlasarvāstivāda dan Mahāsaṇghika.[3] Teks-teks terawal tak mendeskripsikan Rāhula secara lebih mendetil, namun ia masuk menjadi figur ideal tanpa kedalaman lebih dalam karakter.[4] Karena kurangnya detil, khususnya setelah penahbisan Rāhula, beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Rāhula tak memiliki peran penting dalam agama Buddha.[5] Selain teks-teks awal, terdapat beberapa teks-teks Buddha pasca-kanonik yang berisi catatan tentang Rāhula.[1] Catatan soal Rāhula menyatakan bahwa saat Pangeran Siddhārtha meninggalkan istananya untuk menjadi biksu; keputusannya dan pertanyaan spiritual berikutnya tak sekadar materi pribadi, namun juga berdampak pada setiap kekerabatan keluarga pada masa itu, karena mereka menanggapi dan memberi dampak pada pangeran tersebut pada wadahnya menuju pencerahan. Sehingga, kehidupan pangeran tersebut sebelum pencerahan terdapat pada sekitar dua kehidupan spiritual paralel, baik Buddha maupun keluarganya.[6]

Kelahiran

TRadisi Pāli

 
Tepat sebelum pangeran meninggalkan istana untuk kehidupan spiritual, ia sempat melirik istrinya Yaśodharā dan anaknya yang baru lahir.

Rāhula lahir pada hari yang sama saat Pangeran Siddhārtha Gautama menarik takhtanya dengan meninggalkan istana,[7] saat pangeran berusia 29 tahun,[8][9][note 1] pada bulan pertama dari delapan bulan candra dari kalender India kuno.[13] Pada hari itu, Pangeran Siddhārtha mempersiapkan diri untuk meninggalkan istana. Catatan Pāli mengklaim bahwa saat ia mendapatkan kabar kelahiran putranya, ia menjawab "rāhulajāto bandhanaṃ jātaṃ", artinya "Seorang rāhu lahir, sebuah hambatan telah muncul",[14][13] sehingga ini merupakan penghalang pencarian untuk pencerahan. Dikisahkan, Śuddhodana, ayah Pangeran Siddhārtha dan raja klan Śākya, menamai anak tersebut dengan nama Rāhula,[13] karena ia tak ingin putranya menjalani kehidupan spiritual sebagai seorang pertapa.[9] Dalam beberap versi, Pangeran Siddhārtha adalah orang yang menamai putranya demikian, karena menghalangi keinginan spiritualnya.[5] Tepat sebelum pangeran meninggalkan istana untuk kehidupan spiritual, ia melirik istrinya Yaśodharā dan anaknya yang baru lahir. Khawatir menimbulkan halangan lainnya, Pangeran Siddhārtha enggan memegang putranya dan meninggalkan istana seperti yang ia rencanakan.[7] Sehingga, Rāhula menjadi putra sulung dan tunggal dari Pangeran Siddhārtha.[15][14]

Riwayat Hidup

Anak yang dilahirkan oleh Putri Yasodhara diberi nama Rahula oleh Pangeran Siddhartha. Rahula berarti "belenggu" atau "ikatan", sedangkan beberapa ahli mengatakan rāhu bukan berarti belenggu. Menurut sumber lain, yang ditemukan dalam Mūlasarvāstivāda vinaya, putranya dinamakan Rahula karena sesuai dengan gerhana bulan yang terjadi, yang dipercayai disebabkan oleh ular Rahu.[16]

Rahula dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Raja Suddhodana. Ketika dia berusia tujuh tahun, Rahula meminta warisan dari ayahnya ketika Buddha kembali mengunjungi Kerajaan Kapilavastu. Pada hari ketujuh dari kepulangan Buddha Gautama, Yasodhara membawa Rahula untuk melihat ayahnya, yang kini telah menjadi seorang Buddha. Dia mengatakan pada Rahula karena ayahnya telah melepaskan kehidupan istana dan bahwa dialah penerus kerajaan itu nantinya, dia harus meminta warisan mahkota dari ayahnya demi masa depannya.

Setelah makan siang, Rahula mengikuti Buddha dan berkata "Berikan padaku warisanku." Tidak seorang pun mencoba untuk menghentikannya. Buddha pun tidak mencegahnya untuk mengikuti dirinya. Rahula kemudian melihat ayahnya dan berkata, "Yang Mulia, bahkan bayang-bayangmu menyenangkan bagiku."

Setelah tiba di Taman Nigrodha, tempat Buddha tinggal untuk sementara waktu, Buddha berpikir: "Dia menginginkan warisan ayahnya, tetapi warisan itu penuh masalah. Aku akan berikan manfaat dari pencerahan spiritualku dan membuatnya sebagai pemilik warisan agung."

Buddha memanggil Yang Mulia Sariputta dan memintanya menahbiskan Rahula kecil yang kemudian dikenal sebagai Samanera pertama di dunia. Samanera berarti calon biksu.

Raja Suddhodana yang mengetahui perihal cucunya telah ditahbiskan menjadi seorang samanera kemudian meminta kepada Buddha agar hanya menahbiskan mereka yang masih di bawah umur dengan persetujuan orang tua atau walinya. Buddha menyetujui hal ini. Peraturan ini pun kemudian ditetapkan termasuk perihal meminta izin dari pasangan sebelum seorang pria maupun wanita ditahbiskan menjadi seorang biksu dan biksuni.[17]

Segera setelah penahbisannya, Buddha mengajarkan Rahula tentang arti pentingnya mengatakan kebenaran. Khotbah ini dikenal dengan nama Rahulavada Sutta.[18] Buddha menempatkan kebenaran sebagai yang tertinggi di antara nilai-nilai kebajikan lainnya. Para pencari kebenaran, tidak seharusnya melanggar aturan moral (sila) Kebenaran.

Rahula kemudian menjadi salah satu arahat berkat petunjuk-petunjuk Buddha. Rahula meninggal sebelum Buddha, Sariputta dan Moggallana.

Referensi

  1. ^ a b Meeks 2016, hlm. 139.
  2. ^ Strong 1997, hlm. 113.
  3. ^ Untuk Apadāna, lihat (Crosby 2013, hlm. 105). Informasi lainnya disebutkan dalam (Meeks 2016, hlm. 139).
  4. ^ Crosby 2013, hlm. 109.
  5. ^ a b Rahula 1978, hlm. 136.
  6. ^ Strong 1997, hlm. 122–4.
  7. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Rāhula.
  8. ^ Keown 2004, hlm. 233.
  9. ^ a b Irons 2007, hlm. 400.
  10. ^ Keown 2004, hlm. 267.
  11. ^ Malalasekera 1960, Rāhulamātā.
  12. ^ Sarao 2017, Biography of the Buddha and Early Buddhism.
  13. ^ a b c Saddhasena 2003, hlm. 481.
  14. ^ a b Powers 2013, Rāhula.
  15. ^ Violatti, Cristian (9 December 2013). "Siddhartha Gautama". Ancient History Encyclopedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 August 2014. Diakses tanggal 29 October 2018. 
  16. ^ Raniero Gnoli (ed.) The Gilgit Manuscript of the Samghabhedavastu. Rome: Instituto Italiano per il Medio ed Estremo Oriente, 1977. 1:119.
  17. ^ "Wall paintings ·· coming home, see section Buddha's son". buddhamind.info. Diakses tanggal 10 December 2010. 
  18. ^ Ambalatthika-rahulovada Sutta

Bacaan lanjutan

  • The Buddha and His Teaching, Nārada, Buddhist Missionary Society, Kuala Lumpur, Malaysia, 1988, ISBN 967-9920-44-5

Pranala luar

Instruksi Buddha kepada Rahula

Riwayat hidup

Theragatha


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/> yang berkaitan