Muhammad Al-Maghfur

Revisi sejak 16 Maret 2020 05.18 oleh Rhmannss (bicara | kontrib) (Menikah: anak-anaknya, murid-muridnya)

Al-'Alim Al-'Allamah Al-Syaikh Al-Faqih Al-Nahwi K.H. Muhammad Al-Maghfur bin H. Sukandi Al-Syijambawiy Al-Syibarigbigiy Al-Syibabariy Al-Syanjuriy Al-Jawiy Al-Indunisiy (bahasa Arab : العالم العلامة الشيخ الفقيه النحوي الناظم كياهي الحاجي محمد المغفور بن الحاج سوكندي الشجمبوي الشبارقبقي الشببري الشنجوري الجاوي الإندونيسي) lahir di kampung Nyalempet, Cilaku, Cianjur, Jawa Barat, Hindia Belanda tahun 1928 Masehi dan wafat di Cijambe, Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, Indonesia pada Sabtu 2 Dzul Qa'dah 1413 H, atau bertepatan dengan tanggal  25 April tahun 1993.

Nama dan Julukan

Pada mulanya K.H. Muhammad Al-Maghfur bernama Ahmad Syahim dan terus menyandang nama tersebut selama lebih kurang 46 tahun. Para santrinya di periode awal dan pertengahan memanggilnya dengan sebutan Kang Ahim dan masyarakat menyebutnya dengan nama Ajengan Ahim. Ajengan adalah sebutan untuk Kyai atau ulama di tatar Pasundan. Mulai menyandang nama Muhammad Al-Maghfur setelah pulang dari menunaikan ibadah Haji tahun 1974. Setelah itu masyarakat menyebutnya dengan sebutan Ajengan Cijambe, Ajengan Maghfur dan Bapak Cijambe oleh para keturunan dan santri-santrinya pada generasi akhir. Nama Muhammad Al-Maghfur ditahqiq dan ditetapkan langsung olehnya dalam dua buah buku terakhir karangannya, yaitu Thariq al-Sa'adah fi al-Hayat wa Ba'da al-Mamat dan Raja al-Najah fi Hifzh al-Shalah. Sedang dalam salah satu buku periode awal namanya ditulis dengan nama Muhammad Maghfur tanpa Al.

Nasab dan Kelahiran

K.H. Muhammad Al-Maghfur lahir tahun 1928. Tidak diketahui tanggal dan bulannya. Berdasarkan perhitungan salah seorang anaknya, Muhammad Nawawi, bahwa K.H. Muhammad Al-Maghfur wafat tahun 1993 pada usia 64 tahun. Jika 1993 dikurangi 64 maka akan muncul angka 1928. Ayahnya bernama H. Sukandi bin H. Mansur. Tidak diketahui silsilah nasabnya setelah H. Mansur. Hanya saja diketahui H. Sukandi berasal dari Cilaku. Bahkan, H. Mansur dikenal sebagai tokoh masyarakat yang ahli bertani padi. Dan, yang disebut beras Cianjur pada mulanya berasal dari Cilaku dan Jamudipa. H. Sukandi wafat  tahun 1958 berdasarkan titimangsa K.H. Muhammad Maghfur, bahwa pada saat itu dia tidak dapat menemani ayahnya yang sedang sakit di Cilaku karena terdesak pulang ke Cijambe menemani istrinya yang sedang hamil besar mengandung anak pertama. Dia hanya menitipkan ayahnya kepada santrinya yang bernama Jahid. Lalu, sebelum istrinya melahirkan terdengar kabar sang ayah meninggal dunia di pangkuan Mang Jahid. Kemudian, tidak berselang lama, sang istri melahirkan anak pertamanya tahun 1958. Ibunya bernama Hj. Umi Kulsum binti H. Nawawi. Dipanggil Nek Ucum. Juga, tidak diketahui silsilahnya setelah H. Nawawi. Tapi, keluarga hafal betul bahwa H. Nawawi adalah Tubagus keturunan Sultan Banten. Berdasarkan riwayat keluarga, H. Nawawi mengembara dari Garut ke Cianjur, lalu menikah dengan wanita asli Nyalempet. Hal ini sesuai dengan cerita dalam babad Banten bahwa keturunan Kesultanan Banten banyak yang pindah ke Garut, Jawa Barat dengan menyembuyikan identitasnya untuk menghindari intervensi Pemerintah Kolonial Belanda. Makam H. Nawawi terdapat di bukit kecil antara kampung Geger dan kampung Nyalempet. Penduduk menyebutnya Pasir Pogor. Semasa hidupnya H. Nawawi dikenal sebagai orang yang pertama kali naik Haji di daerah itu. Bahkan, banyak membantu ulama berangkat Haji. Di antaranya, adalah Ajengan Noled. Tercatat H. Nawawi sendiri menunaikan Haji sebanyak 17 kali karena selain merupakan seorang ulama dia pun menjabat sebagai Syaikh yang mengurus Haji. Hj. Umi Kulsum wafat tahun 1932 pada saat K.H. Muhammad Al-Maghfur berusia empat tahun. Lalu, sang ayah menikah lagi dengan perempuan asli Cilaku yang menyebabkan dia pindah dari Nyalempet ke Cilaku. K.H. Muhammad Al-Maghfur mempunyai adik kandung perempuan bernama Olih. Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dia ikut ayahnya bersama ibu barunya di Cilaku. Pada saat itu, umur adiknya kurang dari dua tahun. Sementara, K.H. Muhammad Al-Maghfur bertahan di Geger bersama kakak dari ibunya yaitu H. Putoni. K.H. Muhammad Al-Maghfur sering bercerita kepada anak-anaknya tentang sang adik yang sama-sama hidup sebagai piatu yang terpisah jarak antara Geger dan Cilaku. Adakalanya, K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil datang ke Cilaku   untuk menemui sang adik. Hubungan mereka, seiring menginjak remaja, semakin intens. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mesantren, yang selalu menyediakan perbekalan dan kiriman ke pesantren adalah sang adik mengingat kasih sayang dari ibu baru tak kunjung datang menyapanya. Ketika K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok di Rajamandala hubungan itu akhirnya terputus karena, tanpa disangka, sang adik begitu cepat dipanggil Yang Mahakuasa di usia 14 tahun. Dan, yang paling memilukan, tidak ada yang mengabarkan kepergiannnya kepada K.H. Muhammad Al-Maghfur. Dia baru tahu sang adik telah tiada saat pulang ke Cilaku untuk bertemu melepas rindu dengan sang adik. Tapi, dia hanya menemukan pusaranya.

Tumbuh Kembang

K.H. Muhammad Al-Maghfur diasuh kedua orangtuanya H. Sukandi dan Hj. Umi Kulsum sampai usia empat tahun saat sang ibu meninggal dunia. Pengasuhan pindah ke kakak dari ibunya, atau dalam bahasa Sunda disebut Uwa. Yaitu, H. Putoni bin H. Nawawi di Geger. Di bawah asuhannya K.H. Muhammad Al-Maghfur tak hanya diasuh tapi juga dididik mental dan agamanya bersama anak-anak kandung dari sang Uwa.[6] Diceritakan istri dari H. Putoni, yaitu yang dikenal sebagai Umi Geger, betapa sangat penyayang kepada anak-anak dan sholihah. Di antara salah satu wujud keshalihahannya tidak pernah seumur hidupnya mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Yang keluar dari mulutnya hanya ucapan syukur dan pujian kepada seluruh makhluk Allah. Jika ada orang mengirimkan makanan, meski tidak seberapa, atau sebut saja tidak enak, maka dia tidak pernah mencelanya, melainkan selalu menampakan rasa senang. Dan, dia mengatakan, "Makanan ini sangat enak."

Perjalanan Menuntut Ilmu

Di Geger

Di bawah asuhan sang Uwa, H. Putoni bin H. Nawawi, K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar membaca Al-Qur'an sampai baik dan lancar dalam waktu yang singkat. Hal ini bukan hanya ketelatenan dan tempaan H. Putoni dan Umi Geger yang hebat tapi juga karena potensi dan bakat keulamaan yang dimiliki K.H. Muhammad Al-Maghfur. Di antara tempaan H. Putoni pada suatu hari K.H. Muhammad Al-Maghfur pulang dari Pesantren Gentur ke Geger karena kondisi Gentur sedang tidak aman mengingat penjajah mulai bergerak menguasai pesantren dengan menampilkan tindakan-tindakan pengrusakan, mengancam, menindas, bahkan tak segan membunuh. Lalu, K.H. Muhammad Al-Maghfur sampai di Geger dan mengutarakan alasan kepulangannya dari pesantren, H. Putoni bukannya malah menyambutnya dengan senyuman dan belas kasihan melainkan memerintahkan untuk pulang ke Gentur seraya menyerahkan sebilah golok untuk melawan penjajah.

Di Nyalempet

Setelah fasih membaca Al-Qur'an K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar nyantri ke K.H. Muhammad Musoffa Yahya di Nyalempet. Yaitu, ayah dari Aa Nyalempet K.H. Ahmad Shofiullah. Di sana K.H. Muhammad Al-Maghfur mengkhatamkan Kitab Safinah al-Naja karya Syaikh Salim bin Sumair al-Hadromi yang makamnya di belakang Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dan kitab Tijan al-Darori karya Syaikh Nawawi Al-Bantani yang makamnya di Al-Ma'la, Makah Al-Karamah. Bukan sekedar khatam membaca tapi paham memahami berikut tahqiq i'rab dan balagahnya. Bersamaan dengan nyantri di Nyalempet K.H. Muhammad Al-Maghfur juga masuk Sekolah Rakyat (SR). Masuk di usia delapan tahun. Periode belajar di tempuh dalam lima tahun. Sehingga, lulus dalam usia 13 tahun. K.H. Muhammad Al-Maghfur pernah bercerita pada anak-anaknya tentang pelajaran menggambar di Sekolah Rakyat. Guru meletakan sebuah gelas dari kaca berisi air putih. Lalu, mencelupkan setangkai daun genjer ke dalamnya. Lalu, murid-murid harus menggambar daun genjer di dalam gelas bening itu semirip mungkin. Dan, hasilnya, K.H. Muhammad Al-Maghfur yang selalu menonjol dalam setiap mata pelajaran harus mengakui kelemahannya bahwa dirinya tidak bisa menggambar.

Di Gelar

Setelah lulus Sekolah Rakyat (SR) pada usia kira-kira 13 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur berangkat mondok di Gelar, Peuteuycondong, Cibeber, Cianjur. Belajar kepada K.H. Sopandi bin Husen, ayah dari K.H. Zein Abdul Somad yang dikenal dengan nama Mama Gelar. Di sana dia menetap selama enam bulan. Memang tergolong singkat tetapi dia dapat menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan dengan baik dalam bidang bahasa Arab, ilmu 'Arudh (العروض) dan ilmu Qawafi (القوافي) tentang mengarang dan menilai karya nazham (syair) dalam bahasa Arab.[12] Dia pun mahir mengarang dengan bahasa Sunda dalam bentuk syair sesuai aturan syair Arab. Dia sebenarnya masih betah di Gelar tetapi entah mengapa Kiyai memerintahkan semua santrinya untuk pulang dan berhenti mengajar. Tentu sebenarnya tidak semata-mata membubarkan santri kecuali Kiyai sudah lebih dahulu mengetahui di alam kasyafnya akan maslahat yang ditimbulkan. Salah seorang putri K.H. Muhammad Al-Maghfur, Hj. Maisurah mengatakan, "Saya pernah membaca nazham karangan bapak tentang kisah mesantren di Gelar." Tapi, sayang naskahnya tidak ditemukan lagi. Namun, sekurang-kurangnya naskah itu masih ada di tahun tujuh puluhan.

Di Gentur

Kemudian pindah ke Gentur dan Mengaji ke Mama Gentur yang dikenal kealiman, kezuhudan dan kewara'annya. K.H. Ahmad Syathibi al-Qonturi. Di Gentur mondok selama satu tahun penuh sampai mengusai dengan hafalan dan pemahaman terhadap matan-matan disiplin ilmu keislaman seperti Nahwu, Sharaf, Balagah (Ma'ani, Bayan, Badi'), Mantiq (ilmu logika), Fiqih, Tafsir dan lain-lain. Di antaranya Alfiyah ibn Malik, Jauhar al-Maknun dan Sulam al-Munauraq. Dia menguasainya dengan penguasaan yang dilengkapi dalil-dalil dan mampu menampilkannya dengan cepat dan terampil. Padahal, selama di Gentur dia termasuk yang jarang ikut mengaji langsung ke Mama Gentur karena sibuk berkhidmat kepada santri-santri senior dalam menyediakan makanan (masak dan liwet). Pengabdian ini selain sebuah pengabdian yang tulus kepada ilmu tapi sekaligus meringankan biaya hidup di pondok yang selalu kekurangan bekal. Bahkan, adakalanya dia mencari rumput untuk bisa makan. Dia tidak mempunyai kitab kecuali matan Alfiyah yang sudah lecek.

Di Rajamandala

Di antara santri senior yang dilayani selama di Gentur adalah K.H. Hasbullah Rajamandala, Cipatat, Bandung Barat. Ketika seniornya itu hendak pulang ke Rajamandala untuk menikah maka K.H. Muhammad Al-Maghfur ikut ke Rajamandala untuk membantu menyebarkan ilmu sekaligus mengejar ilmu-ilmu Gentur ke senior tersebut yang terlewatkan selama di Gentur. Di sana dia mondok selama delapan bulan. Lalu, K.H. Hasbullah memanggilnya seraya menguji kemampuan sang juniornya itu. Setelah diuji pengetahuan dan kemampuannya dalam memahami Kitab Kuning lalu berhasil menjawabnya dengan sempurna tanpa ada yang salah sedikit pun. Bahkan, jawaban tersebut diucapkan dalam bentuk hafalan bukan melihat kitab, maka K.H. Hasbullah berkata: "Tak tersisa lagi sedikit pun ilmu dariku kecuali kamu telah mengambilnya lebih baik dari apa yang aku ambil dan kamu telah memahaminya lebih banyak dari apa yang aku fahami, Silahkan kamu pulang sekarang." Hj.Maisurah mengatakan, "Saya pernah membaca syair yang indah gubahan Bapak tentang kisah mesantren di Gentur dan Rajamandala tapi hilang."

Di Jamudipa

Sepulang dari Rajamandala K.H. Muhammad Al-Maghfur belajar ijazah wirid-wirid, dzikir-dzikir, doa-doa, hizb-hizb kepada K.H. Fakhruddin yang merupakan ayah dari K.H. Aang Endang Jamudipa, Warungkondang, Cianjur. Diceritakan K.H. Muhammad Al-Maghfur pun berguru kepada Aang Endang atau kemudian disebut dengan Ajengan Jamudipa. Di sana dia mondok selama satu tahun. Maka, jadilah dia ulama muda yang mahir dalam berbagai disiplin ilmu keislaman sebelum usianya sampai 20 tahun. Salah seorang putra K.H. Muhammad Al-Maghfur, Muhammad Nawawi mengisahkan tentang pengalaman  sang ayah menuntut ilmu. Suatu hari pernah berkata: "Aku mondok tidak lama. Hanya tiga tahun saja. Tapi, atas izin Allah dan pertolongan-Nya, aku bisa. Padahal, aku tidak punya kitab karena mahal dan lingkunganku dalam penjajahan Belanda dan Jepang."

Menikah

Ketika mencapai pada umur 21 tahun K.H. Muhammad Al-Maghfur menikah dengan seorang gadis asal Cijambe, Cibaregbeg, Cibeber, Cianjur yang bernama Fatimah Masbarah binti Abdurrohim (H. Zakaria) bin H. Sapandi tanggal 4 Oktober 1949 M bertepatan dengan tanggal 11 Dzul Hijjah tahun 1368 H. Dikisahkan, pada zaman itu, dalam rentang waktu K.H. Muhammad Al-Maghfur mondok, di kampung Cijambe ada tokoh Agama yang bernama Mama Qomar. Dan, Cijambe menjadi pusat transformasi ilmu Agama ke masyarakat sekitar dalam radius sekira lima kilo meter dari delapan penjuru angin. Mama Qomar mempunyai seorang istri bernama Asiyah. Asiah adalah kakak pertama sekaligus menjadi pengasuh Fatimah Mashbarah karena ditinggal sang ibu ketika masih kecil. Dalam pengasuhan sang kakak, Fatimah mendapatkan tarbiyah yang baik. Dia sangat disayangi oleh Mama Qomar karena kepintarannya dalam mengaji dan kematangannya dalam keshalihahan. Memang Mama Qomar ini mengingkan  lahir seorang ulama di Cijambe. Atau, paling tidak, ada seorang wanita dari Cijambe yang layak dipinang ulama. Pada tahun 1948 Mama Qomar dan istrinya berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji. Kemudian, dalam rombongan Haji bertemu dengan seseorang yang bernama H. Badrudin dan memiliki istri yang bernama Azizah yaitu adik dari Umi Geger. Umi Geger adalah Istri kiyai Putoni yang mengasuh K.H. Muhammad Al-Maghfur kecil. Dalam pertemuan ini terjadilah diskusi ringan, ngobrol-ngobrol, dan Mama Qomar pun menyampaikan sesuatu bahwa dirinya sedang mencari seorang laki-laki yang bisa mengaji untuk menjadi ulama dan membimbing masyarakat di Cijambe dan untuk dinikahkan dengan seorang gadis yang diurus olehnya sejak kecil. Kemudian, H. Badrudin menyampaikan bahwa ada seorang ulama muda yang belum menikah bernama Ahmad Sahim. Sepulangnya dari tanah suci, obrolannya ditindak lanjuti secara serius. Dan, akhirnya dari Geger K.H. Muhammad Al-Maghfur didampingi H. Badrudin melamar ke Cijambe. Dan, satu tahun kemudian, tahun 1949 M, di hari tasyriq tanggal 11 Dzul Hijjah 1368 terjadi pernikahan.

Setelah Menikah

K.H. Muhammad Al-Maghfur pergi ke Cilaku Hilir, Cianjur. Untuk memperdalam apa yang sudah dipelajari di Gelar, di Gentur, di Rajamandala dan di Jamudipa kepada Syaikh Al-Faqih Mama Cilaku, K.H. Munawar. Beliau belajar di sana selama dua tahun sampai Allah membukakan pemahaman dan ilmu untuknya, yang sebelumnya belum beliau dapatkan ketika belajar di Gelar, Gentur, Rajamandala, dan Jamudipa. Di berbagai kesempatan, K.H. Muhammad Al-Maghfur sering memuji gurunya ini, Mama Cilaku. Hingga, salah seorang muballigh kondang Cianjur saat itu, Habib Ali, mempertanyakan mengapa Ajengan memberikan penghormatan yang berbeda kepada Mama Cilaku seakan melebihkan di atas guru-guru beliau yang lain. K.H. Muhammad Al-Maghfur menjawab: Bab Fiqih yang paling tidak dikuasai kebanyakan orang adalah Bab 'Itqi, karena tidak ada lagi kasusnya, dan Mama Cilaku memahami Bab 'Itqi seperti orang biasa memahami Bab Wudhu.

Pendirian Pondok Pesantren

Kemudian K.H. Muhammad Al-Maghfur mendirikan pesantren di Cijambe, Ciberegbeg, Cibeber, Cianjur setelah beliau menyelesaikan belajar di Cilaku sekitar tahun 1951, dan beliau pada saat itu berumur 23 tahun. Pesantrenya tidak diberi nama, tapi para santri datang dari berbagai penjuru meski tanpa publikasi. Beliau pun masih terus belajar ke Mama Cilaku dengan mengikuti program ngaji mingguan khusus para ajengan setiap malam Jumat. Di antara kitab yang dikhatamkan dalam ngaji mingguan tersebut adalah Kitab Jam'ul Jawami' tentang Ushul Fiqih. Pengajian Mama Cilaku selesai pukul satu (01:00) dini hari. Tapi, khusus K.H. Muhammad Al-Maghfur, Mama Cilaku melanjutkan ngajinya berdua di rumah sampai jam 4 pagi. Pada tahun 1967 K.H. Muhammad Al-Maghfur berkunjung ke Ciomas, Bogor untuk menghadiri Multqo al-Ilmi. Di sana bertemu seorang alim asli Bogor yang bernama K.H. Abdullah yang sebagian putranya dikirim untuk nyantri ke beliau. K.H. Abdullah berkata kepadanya: "Kiyai, beri nama pesantrennya dengan Raudlatul Muta'alimin." Maka, beliau pun memakai nama itu untuk pesantrennya.

Guru-gurunya

K.H. Muhammad Al-Maghfur adalah ulama yang istiqamah dalam pendidikan. Thariqahnya ngaji, yaitu belajar dan mengajar. Walaupun beliau sudah menjadi ulama yang kaya ilmu beliau masih terus belajar pada ulama-ulama di zamannya dalam disiplin-disiplin ilmu keislaman yang bermacam-macam. Adapun para guru beliau yang berpengaruh pada diri beliau memang banyak, tapi di antara yang menonjol adalah:

  1. Syaikh K.H. Muhammad Mushoffa Yahya, Nyalempet
  2. Syaikh K.H. Sopandi bin Husain, Gelar, Peuteuycondong
  3. Syaikh Alim Al Allamah Al Kamil Al Wari' Mama Gontor K.H. Ahmad Syathibi al-Qonturi
  4. Syaikh K.H. Hasbullah, Rajamandala
  5. Syaikh K.H. Fakhruddin, Jamudipa
  6. Syaikh Al Allamah Al Fatih K.H. Munawwar, Cilaku
  7. Syaikh Mama Ajengan Siraj, Cangkorah
  8. Syaikh K.H. Opo Mushthofa, Kandang Sapi

Anak-anaknya

K.H. Muhammad Al-Maghfur dari pernikahannya dengan Hj. Fatimah Masbarah dikaruniai 12 orang anak, lima laki-laki dan tujuh perempuan. Tapi, empat orang anak pertama meninggal masih kecil. Yaitu, Sa'diyah, Muhammad, Muflihah, dan Afifah. Kemudian, mulai dari anak yang kelima sampai yang ke 12 Allah berikan umur yang panjang. Mereka adalah sebagai berikut:

  1. Muhammad Nawawi, yaitu putra beliau yang paling besar. Nama Nawawi diambil dari nama sang kakek, yaitu H. Nawawi. Para santri beliau generasi awal menyebutnya Kang Muhammad.
  2. Hj. Maesurah. Suka dipanggil Eteh Cilaku, Teh Haji dan Mamah Cilaku
  3. Neneng Mafrohah, putranya, K.H. Deden Muhammad Makhyaruddin memanggilnya Enneh sejak kecil lalu yang lain mengikuti panggilan itu. Orang-orang memanggilnya sebelum itu dengan sebutan Teh Neneng.
  4. Fauziah. Dipanggil Teh Oo atau Bi Oo.
  5. K.H. Ilyas Muyassar. Dia adalah putra beliau yang paling mewarisi ilmunya.
  6. K.H. Ahmad Basyir, Al-Hafizh.
  7. Ai Judiyah. Dipanggil Teh Ai
  8. Muhammad Wawan Sofwan. Putra bungsu beliau.

Murid-muridnya

Anak-anak, istri, serta cucu-cucu beliau adalah murid beliau semua. Mereka mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan kapasitas kemampuan dan kesanggupannya. Dan, cucu beliau, K.H. Deden Muhammad Makhyaruddin adalah di antara yang mengambil ilmu dari beliau sejak kecil. Dan, berikut adalah di antara nama-nama murid beliau:

  1. K.H. Ilyas Muyassar, Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin, Cijambe
  2. K.H. Ahmad Basyir, Pimpinan Pondok Pesantren Tahfizhil Quran Nururrahman, Geger, Cianjur
  3. Kiyai Muhammad Wawan Sofyan, Pondok Pesantren Raudhlatul Muta'allimin, Cijambe
  4. Kiyai Muhammad Nawawi, Pondok Pesantren Raudhlatul Muta'allimin, Cijambe
  5. Ustadzah Ai Judiyah, Pimpinan Pondok Pesantren Serang, Banten
  6. Mama K.H. Ahmad Sulaeman, Pesantren Ath-Thahiriyah, Selajambe, Cianjur
  7. K.H. Syaikh Al-Faqih Mama K.H. Abdul Qodir Rozi, Cianjur
  8. Al-Syaikh Al-Allamah Al-Kabir Mama K.H. Abdul Halim, Bojong Herang, Cianjur
  9. K.H. Mus, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin, Cibadak, Cipanas, Cianjur
  10. K.H. Oji, Pimpinan Pondok Pesantren, Plered
  11. K.H. Maufur, Pimpinan Pondok Pesantren, Cilenjang
  12. K.H. Yayan, Pimpinan Pondok Pesantren, Cibanggala
  13. K.H. Misak, Pimpinan Pondok Pesantren, Tasik
  14. K.H. Ahmad Manar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Munawariyah, Cilaku