Pinisi

tipe sistem layar dari Indonesia

Istilah pinisi, pinisiq, pinisi' atau phinisi mengacu pada jenis sistem layar (rig), tiang-tiang, layar dan konfigurasi tali dari suatu jenis kapal layar Indonesia. Ia terutama dibangun oleh suku Konjo, sebuah kelompok sub-etnis Bugis-Makassar yang sebagian besar penduduk di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tetapi masih digunakan secara luas oleh orang Bugis dan Makassar, sebagian besar untuk transportasi antar-pulau, kargo dan tujuan memancing di kepulauan Indonesia.

Pinisi di pelabuhan Paotere, Makassar
Gambar Pinisi dengan lambung tipe Lamba
Pinisi Lamba bermesin

UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada Sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada tanggal 7 Desember 2017.[1] Kapal bersistem layar pinisi adalah kapal layar tradisional Bugis terbesar, dan juga merupakan kapal layar tradisional Indonesia yang terbesar terbesar sejak menghilangnya jong raksasa.[2]

Etimologi

Menurut sebuah tradisi setempat, nama pinisi diberikan oleh seorang raja Tallo, I Manyingarang Dg Makkilo, kepada perahunya. Namanya berasal dari dua kata, yaitu "picuru" (artinya "contoh yang baik"), dan "binisi" (sejenis ikan kecil, lincah dan tangguh di permukaan air dan tidak terpengaruh oleh arus dan ombak).[3]

Sumber lain menyatakan bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi (kata Bugis, berarti "sisip"), atau mappanisi (menyisipkan), yang mengacu pada proses mendempul. Karena lopi dipanisi berarti perahu yang disisip/didempul, telah disarankan bahwa kata panisi mengalami perubahan fonemis menjadi pinisi.[4]

Asal kata dari pinisi juga mungkin dari kata Belanda pinas,[5] yang sejatinya berasal dari kata Spanyol pinaza c. 1240, dari kata pino (pohon pinus), yang merupakan kayu yang digunakan untuk membuat kapal itu.

Deskripsi umum

Sebuah kapal bersistem layar pinisi memiliki tujuh hingga delapan layar pada dua tiang, diatur dengan cara yang mirip dengan sekunar-keci: disebut 'sekunar' karena semua layarnya adalah layar 'depan-belakang', berbaris di sepanjang garis tengah dari lambung pada dua tiang; dan disebut 'keci', karena tiang di buritan kapal agak lebih pendek daripada yang ada di haluan.[6]

Layar agung besar bentuknya berbeda dari sistem layar gap gaya barat, karena mereka sering tidak memiliki bom dan layarnya tidak diturunkan dengan gap. Sebaliknya layar itu digulung menuju menuju tiang, seperti tirai, sehingga memungkinkan gapnya untuk digunakan sebagai derek geladak di pelabuhan. Bagian bawah tiang itu sendiri mungkin menyerupai tripod atau terbuat dari dua tiang (bipod).

Sejarah

Ada beberapa sumber dari internet yang mengatakan bahwa kapal jenis pinisi sudah ada dari abad ke-14, dan mengaitkannya dengan naskah Sureq Lagaligo yang bercerita tentang kisah Sawerigading.[7][8] Namun klaim itu terbukti mengada-ngada karena sudah dibantah oleh penelitian terhadap naskah itu sendiri. Nama perahu dan kapal yang terdapat pada naskah itu adalah waka(q), wakka(q), wakang, wangkang, padewakang, joncongeng, banawa, pelapangkuru, binannong, pangati, dan lopi.[9]

 
Pinisi berlambung palari di Sulawesi Selatan. 1923-1925.

Pada abad ke-19, para pelaut Sulawesi mulai menggabungkan layar-layar persegi panjang besar dari layar tanjaq dengan jenis-jenis layar depan dan belakang yang mereka lihat di kapal-kapal Eropa yang berkeliaran ke Nusantara. Sejak awal abad ke-18, VOC mulai membangun kapal-kapal bergaya Eropa untuk perdagangan inter Asia di galangan-galangan Jawa, sehingga terus memperkenalkan metode konstruksi dan rig baru, termasuk versi Belanda dari layar depan dan belakang yang baru. Selama abad ke-19, angkatan laut kolonial dan perusahaan perdagangan Eropa, India, dan Cina mengoperasikan sekunar Barat yang jumlahnya terus meningkat; tetapi, meskipun laporan sejak awal tahun 1830 menyebutkan perahu, “sekunar dengan layar kain”, digunakan oleh 'bajak laut' yang beroperasi di Selat Malaka.

Pinisi berevolusi dari lambung dasar padewakang dengan layar depan dan belakang ke model lambungnya sendiri dengan "layar pinisi" pribumi. Selama dekade-dekade evolusi ini, para pelaut Indonesia dan pembangun kapal mengubah beberapa fitur dari sekunar barat yang asli. Pinisi asli Sulawesi pertama diperkirakan dibangun pada tahun 1906 oleh pengrajin perahu Ara dan Lemo-Lemo, mereka membangun perahu penisiq [salah sebut] pertama untuk seorang nakhoda Bira.[10]

Pada mulanya, layar sekunar dipasang di atas lambung padewakang, tetapi setelah beberapa lama pedagang Sulawesi memutuskan untuk menggunakan palari berhaluan tajam yang lebih cepat. Seluruh lambung adalah ruang kargo, dan hanya ada kabin kecil untuk kapten ditempatkan di dek buritan, sementara kru tidur di dek atau di ruang kargo. Dua kemudi panjang yang dipasang di sisi buritan seperti yang digunakan pada padewakang, dipertahankan sebagai perangkat kemudi.

Sejak tahun 1930-an, kapal layar ini mengadopsi jenis layar baru, yaitu layar nade, yang berasal dari cutter dan sloop yang digunakan oleh pencari mutiara Barat dan pedagang kecil di Indonesia Timur.

 
Sebuah orembai dengan layar pinisi, di Seram, kepulauan Maluku.

Selama tahun 1970-an semakin banyak palari-pinisi yang dilengkapi dengan mesin, lambung dan layar kapal tradisional Indonesia dengan cepat berubah: Karena desain lambung pribumi tidak cocok untuk dipasangkan mesin, lambung tipe lambo menjadi alternatif. Pada tahun-tahun berikutnya, kapasitas muatan terus ditingkatkan, hingga hari ini rata-rata Perahu Layar Motor (PLM) dapat memuat hingga 300 ton.

Karena layar mereka hanya digunakan untuk mendukung mesin, layar belakang dari hampir semua PLM dihilangkan. Pada kapal yang lebih besar dipasang sebuah rig pinisi, sementara kapal berukuran sedang dipasang dengan layar nade. Namun, karena tiang mereka terlalu pendek dan area layarnya terlalu kecil, kapal ini tidak dapat bergerak hanya dengan layar, sehingga mereka menggunakannya hanya pada angin yang menguntungkan.[11]

pembangunan Pinisi

Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan. Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.

Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamin. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.

Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.

Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

 
Dua pinisi yang sedang dibangun, satu sudah hampir selesai.

Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal seberat 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.

Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili, yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dari 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi. Setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi dipotong bagian lutut kebawah digantung di anjungan sedangkan kaki belakang digantung di buritan pinisi,[12] maknanya adalah memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya binatang secara normal. Selanjutnya ada upacara Ammossi, yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa, atau lebih tepatnya mantra, pun diucapkan.

Jenis lambung kapal pinisi

 
Pinisi berlambung tipe palari, Sulawesi Barat. 1923-1925.

Ada beberapa jenis kapal bersistem layar pinisi, tetapi pada umumnya ada 2 jenis:

  1. Palari adalah bentuk awal lambung pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba. Biasanya dikemudikan dengan 2 kemudi (rudder) samping di buritan. Jenis yang sudah bermesin juga dilengkapi kemudi di belakang baling-baling, tetapi kebanyakan kapal pinisi bermesin menggunakan lambung jenis lambo.
  2. Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan dilengkapi dengan motor diesel (PLM-Perahu Layar Motor) menggunakan lambung ini. Lambung ini menggunakan 1 kemudi tengah, tetapi beberapa ada yang memiliki 2 kemudi samping sebagai hiasan/tambahan saja.

Pinisi masa kini

Di era globalisasi phinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar mewah komersial maupun ekspedisi yang dibiayai oleh investor lokal dan luar negeri, dengan interior mewah dan dilengkapi dengan peralatan menyelam, permainan air untuk wisata bahari dan awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern. Salah satu contoh kapal pesiar mewah terbaru adalah Silolona berlayar di bawah bendara.

Kapal pinisi umumnya memiliki panjang 20-35 m dengan berat sekitar 350 ton. Layarnya bisa mencapai tinggi 30 m diatas dek. Yang kecil berlambung jenis palari dan hanya sepanjang sekitar 10 meter.[9] Pada 2011 sebuah pinisi besar telah diselesaikan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia memiliki panjang 50 m dan lebarnya 9 m, dengan tonase sekitar 500 ton.[13]

Kapal pinisi juga menjadi lambang untuk gerakan WWF yaitu #SOSharks, program pelestarian ikan hiu dari WWF, dan pernah digunakan oleh perusahaan terkenal di Indonesia yaitu Bank BNI.

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "UNESCO Acknowledges Pinisi as Intangible Cultural Heritage". Tempo. Diakses tanggal 10 December 2017. 
  2. ^ Zainun, Nazarudin (2015). Antropologi Dan Sejarah Dalam Kearifan Tempatan. Penerbit USM. 
  3. ^ Koro, Nasaruddin (2006). Ayam Jantan Tanah Daeng: Siri' dan Pesse dari Konflik Lokal ke Pertarungan Lintas Batas. Ajuara. ISBN 9791532907. 
  4. ^ Saenong, Muhammad Arief (2013). Pinisi: Panduan Teknologi dan Budaya. Penerbit Ombak. 
  5. ^ Sailing the Asian Seas - Phinisi Schooners - Part 2 Diarsipkan April 25, 2012, di Wayback Machine.
  6. ^ Liebner, Horst H. (2018). Pinisi: The Art of West-Austronesian Shipbuilding. Seoul: National Research Institute of Maritime Cultural Heritage & ICHCAP.
  7. ^ [1] The Indonesian Phinisi
  8. ^ [2] Pusat Kerajinan Perahu Pinisi
  9. ^ a b Liebner, Horst H. (November 2016). "Perahu Nusantara - sebuah presentase bagi Menko Maritim". Academia. Diakses tanggal 13 Agustus 2019. 
  10. ^ Liebner, Horst H. and Rahman, Ahmad (1998): 'Pola Pengonsepan Pengetahuan Tradisional: Suatu Lontaraq Orang Bugis tentang Pelayaran ', Kesasteraan Bugis dalam Dunia Kontemporer (Makassar).
  11. ^ 2004 Horst H. Liebner, Malayologist, Expert Staff of the Agency for Marine and Fisheries Research, Department of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia
  12. ^ [3] Phinisi tradisional asli Indonesia
  13. ^ Sastrawat, Indra (22 November 2011). "Largest Pinisi Launched". Kompasiana. Diakses tanggal 15 July 2018.