R.H. Hadjid

Revisi sejak 30 April 2020 13.46 oleh Faisal Anas (bicara | kontrib) (Menjadi pengurus jawatan agama dan dosen: posisi yang dimiliki Hadjid digunakannya untuk membebaskan ulama Yogyakarta yang ditahan Jepang.)

Raden Haji Hadjid (20 Agustus 1898 – 23 Desember 1977), adalah seorang kyai dan salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yang membantu perkembangan Muhammadiyah. Selain di Muhammadiyah, ia tercatat pernah menjadi pegawai di Jawatan Agama Provinsi DIY.

Biografi

Masa kecil dan pendidikan

Raden Haji Hadjid adalah seorang kyai kelahiran Kauman, Yogyakarta pada 20 Agustus 1898. Ia merupakan putra dari R.H. Djaelani dan R. Ngt Muhsinah.[1] Hadjid merupakan salah satu orang yang berperan penting dalam kemajuan Muhammadiyah. Pendidikan formal yang pernah dijalaninya adalah Sekolah Rendah 6 Tahun (1903-1909). Kemudian ia bersama ayahnya pergi menunaikan ibadah haji sekaligus menetap untuk belajar selama setahun. Sepulangnya dari Mekkah, ia sudah bisa baca tulis, bahasa Arab, dan mengaji. Untuk memperdalam ilmu agamanya, ia belajar di Pesantren Jamsaren, Surakarta. Setelah selesai di pesantren Jamsaren, Hadjid melanjutkan belajar di Pesantren Tremas. Ia berguru kepada Kyai Haji Dimyati dan Kyai Bisri yang kemudian hari menjadi pengurus Nahdhatul Ulama. Hadjid melanjutkan pelajaran ilmu agamanya dengan bersekolah di Madrasah Tinggi Al Atas Jakarta selama empat tahun.

Peran dalam Muhammadiyah

Tidak hanya berguru di pesantren, Hadjid juga belajar dengan K.H. Ahmad Dahlan. Pada masa awal bergabung dengan Muhammadiyah, ia menjadi guru Standard School Muhammadiyah (kini SD Muhammadiyah Suronatan). Hadjid juga tercatat mengajar di HIS Muhammadiyah. Karena kemampuannya, ia kemudian dipercaya sebagai direktur Kweekschool Muhammadiyah pada tahun 1928. Pada masa kepemimpinannya, Kweekschool Muhammadiyah menjadi salah satu institusi pendidikan Islam yang berkualitas dan diperhitungkan. Kemajuan ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang diambil oleh Hadjid. Diantara kebijakan yang diambil adalah memperbarui sistem pembelajaran, membangun infrastruktur dan mendirikan Kweekschool Isteri (yang kemudian hari menjadi Madrasah Mualimmat Muhammadiyah), serta mempublikasikan keberadaan Kweekschool Muhammadiyah melalui media massa yang dimiliki Muhammadiyah seperti Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiyah, dan Bintang Islam.[2] Kepemimpinan Haji Hadjid berlangsung hingga tahun 1930. Haji Hadjid juga terlibat dalam pembentukan Hizbul Wathan. Ia bersama dengan K.H. Mochtar dan H.M. Syarbini bahu membahu dalam membentuk organisasi kepanduan Muhammadiyah ini. Nama Hizbul Wathan adalah usulan dari Hadjid yang berarti cinta tanah air.[3]

Ketika H. Hisyam mengundurkan diri sebagai Ketua Pengurus Besar (Hoofdbestuur) Muhammadiyah, ada beberapa nama yang direkomendasikan untuk menggantikannya. Pertama, adalah Ki Bagus Hadikusuma diusulkan sebagai Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah, namun ia menolak. Tokoh kedua yang dihubungi adalah Hadjid sendiri, tetapi ia juga menyatakan tidak bersedia. Pilihan ketiga jatuh kepada K.H. Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Surabaya). Pada mulanya ia menolak, namun setelah melalui dialog panjang akhirnya K.H. Mansur bersedia menjadi Ketua Hoofdbestuur.[4]

Sebelumya, organisasi ini bernama Padvinders Muhammadiyah atau Pandu Muhammadiyah. Setelah Indonesia merdeka, Hadjid dipercaya menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah sejak tahun 1951 hingga tahun 1957. Prestasinya selama memimpin Majelis Tarjih adalah dibukukannya hasil Muktamar dalam buku berjudul Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Selanjutnya, ia dipercaya menjadi Penasihat PP Muhammadiyah sejak tahun 1966 hingga tahun 1977.

Menjadi pengurus jawatan agama dan dosen

Hadjid tidak hanya aktif di Muhammadiyah. Pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi bagian dari Kantor Lembaga Agama Yogyakarta. Dengan posisi yang didudukinya, ia dapat membebaskan ulama yang ditahan oleh pemerintah Jepang. Karirnya berlanjut pada masa kemerdekaan ketika ia dipercaya menjadi Wakil Kepala Jawatan Agama Provinsi DIY. Ia juga menjadi dosen pada Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII) di Yogyakarta pada tahun 1946 hingga tahun 1947.

Karya tulis

Haji Hadjid adalah seorang penulis yang cukup aktif. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain; 1 ) Kalimah Sahadah Bahasa Jawa; 2) Tafsir Al Fatihah; 3) Pedoman Dakwah Umat Islam; 4) Pedoman Tabligh Bahasa Jawa Jilid I, II, III; 5) Buku Fiqh (ditulis dengan huruf Pegon); 6) Tafsir Al Quran Juz 1-18; 7) Tujuh Belas Ayat-Ayat ; 8) Kitab Pertjontohan Bagi Pemoeda-Pemoeda Kita; 9) Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan; 10) Buku Belajar Huruf Hijaiyah; 11) Piwoelang Islam; 12) Goeroe Tabligh; 13) Perkawinan; Menurut ‘Adat dan Asas Perkawinan Setjara Islam. Sebagian besar buku yang ditulisnya merupakan buku-buku yang berkaitan dengan agama Islam.[5]

Akhir hayat

Haji Hadjid wafat pada tanggal 23 Desember 1977 di Kauman. Ia wafat dalam usia 79 tahun.

Referensi

  1. ^ Lasa H.S., dkk, 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, (Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah, 2014), hlm. 134.
  2. ^ Muarif, Modernisasi Pendidikan Islam Sejarah dan Perkembangan Kweekschool Moehammadijah 1923-1932, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), hlm. 133-137.
  3. ^ Mohammad Ali, Paradigma Pendidikan Berkemajuan: Teori dan Praksis Pendidikan Progresif Religius K.H. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 216.
  4. ^ “Protes Angkatan Muda Muhammadiyah terhadap Kepemimpinan K.H. Hisyam”, dalam Suara Muhammadiyah, No. 15, Th. Ke-89, 1-15 Agusutus 2004, hlm. 4.
  5. ^ Lasa H.S., dkk., Percikan Pemikiran Tokoh Muhammadiyah untuk Indonesia Berkemajuan, (Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018), hlm. 159.