Arsitektur kolonial di Indonesia

Revisi sejak 8 Mei 2020 07.47 oleh 116.206.30.47 (bicara) (Perbaikan kesalahan)

Bangunan kolonial adalah bangunan yang didirikan selama masa kolonialisasi berlangsung, untuk menunjang kegiatan pemerintah kolonial sendiri. Sedangkan, Arsitektur kolonial adalah perpaduan antara konsep rancangan wilayah jajahan dengan konsepan rancangan penjajah. Hal ini terjadi karna kenyamanan penjajah terhadap budaya perancangannya, namun tidak sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah tempat jajahannya. Oleh karena itu lahirlah tipologi baru yang mengkolaborasikan kedua konsep rancangan tersebut.

Arsitektur awal: menyalin negara asal

 
Benteng Rotterdam di Makassar sebuah benteng khas Belanda dari abad ke-17.

Setibanya di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari pengetahuan dan keahlian dari negara asal. Pada kebanyakan kasus, bangunan pertukangan batu disukai pada sebagian besar konstruksi mereka. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia, kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan istana utama. Selama periode awal kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama diperintah oleh VOC, yang terutama memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan sebagai ekshibisi bergengsi.[1]

Salah satu permukiman Belanda besar yang pertama adalah Batavia (Jakarta saat ini), yang pada abad ke-17 dan ke-18 adalah kota batu bata dan pertukangan batu berbenteng yang dibangun di atas dataran rendah.[2] Permukiman Belanda pada abad ke-17 umumnya intra-muros, dengan pertahanan bertembok untuk melindungi mereka dari serangan oleh rival perdagangan Eropa lainnya dan pemberontakan penduduk pribumi. Benteng itu merupakan pangkalan militer dan pusat perdagangan dan pemerintahan.[3] Kota ini ditata ke dalam sebuah kisi-kisi dengan blok-blok yang dibagi oleh kanal-kanal, lengkap dengan sebuah Balai Kota dan Gereja-gereja, seperti setiap kota Belanda lainnya pada saat itu. Rumah-rumah di Batavia digambarkan "cukup tinggi dengan fasad sempit dan dinding berplester disisipi dengan jendela sengkang yang dilengkapi anyaman rotan untuk ventilasi". Dan seperti di Belanda, mereka sebagian besar merupakan rumah bertingkat dengan halaman kecil.[1] Perilaku serupa dalam perencanaan dan arsitektur kota dapat dilihat dalam pembangunan pelabuhan VOC di Semarang pada abad ke-18.[4]

Selama hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa mereka dengan iklim tropis.[5] Di Batavia, misalnya, mereka membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh rumah baris berjendela kecil dan berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran Tionghoa-Belanda. Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan untuk limbah berbahaya dan kotoran dan tempat berkembang biak yang ideal untuk nyamuk anopheles, dengan malaria dan [disentri]] menyebar ke seluruh ibu kota kolonial Hindia Belanda.[5] Dan pada paruh kedua abad ke-17, penduduk di dalam Batavia bertembok mulai membangun properti dan vila luar kota yang besar sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang bertahan adalah bekas rumah besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.

Referensi

  1. ^ a b http://www.pac-nl.org/downloads/colonialarchitectureinindonesia.pdf
  2. ^ Schoppert & Damais 1997, hlm. 38-39.
  3. ^ Tjahjono 1998, hlm. 105.
  4. ^ Pratiwo. (2005). The City Planning of Semarang 1900–1970. In F. Colombijn, M. Barwegen, P. Basundoro & J. A. Khusyairi (Eds.), Old City, New City: The History of the Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  5. ^ a b Dawson, B., Gillow, J., The Traditional Architecture of Indonesia, p. 8, 1994 Thames and Hudson Ltd, London, ISBN 0-500-34132-X

Kutipan karya

  • Gunawan Tjahjono, ed. (1998). Architecture. Indonesian Heritage. 6. Singapore: Archipelago Press. ISBN 9813018305. 
  • Schoppert, P.; Damais, S. (1997). Java Style. Paris: Didier Millet. ISBN 9625932321.