Pemotongan kelamin perempuan

Ritual pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan

Khitan pada wanita (bahasa Inggris: female genital mutilation disingkat FGM),[a] juga dikenal sebagai pemotongan genital wanita dan sunat wanita, adalah pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita. Praktik ini ditemukan di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, serta pada berbagai komunitas di negara-negara yang biasa melakukan FGM. UNICEF memperkirakan pada tahun 2016 bahwa 200 juta wanita di 30 negara (27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman) telah menjalani prosedur ini.[3]

Sebuah plakat di dekat Kapchorwa, Uganda, 2004.
DefinisiDidefinisikan pada tahun 1977 oleh WHO, UNICEF, dan UNFPA sebagai "penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk alasan nonmedis."[1]
AreaAfrika, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan pada berbagai komunitas di area ini.[2]
JumlahLebih dari 200 juta perempuan di 27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman (tahun 2016).[3]
UsiaBeberapa hari setelah kelahiran sampai pubertas.[4]
Prevalensi

FGM biasanya dilakukan oleh penyunat tradisional menggunakan pisau dan dilakukan mulai dari beberapa hari setelah kelahiran hingga masa pubertas dan seterusnya. Pada separuh negara dengan angka-angka nasional yang diketahui, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun.[6] Cara pemotongan berbeda-beda menurut negara atau kelompok etnik, seperti penghilangan tudung klitoris dan kelenjar klitoris; penghilangan labia bagian dalam; dan penghilangan labia bagian dalam dan luar, serta penutupan vulva. Pada metode terakhir ini, yang dikenal sebagai infibulasi, sebuah lubang kecil disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi; vagina dibuka untuk hubungan intim dan dibuka lebih lanjut untuk melahirkan.[7]

Praktik ini berakar pada ketidaksetaraan gender, upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan, dan gagasan tentang kemurnian, kerendahan hati, dan keindahan. FGM biasanya diprakarsai dan dilakukan oleh wanita, yang melihatnya sebagai sumber kehormatan dan ketakutan bahwa kegagalan untuk melakukan FGM pada anak perempuan dan cucu perempuan mereka akan mengantarkan gadis-gadis itu pada pengucilan sosial.[8] Efek kesehatan yang merugikan tergantung pada metode yang diambil, seperti infeksi berulang, kesulitan buang air kecil dan pembuangan cairan menstruasi, nyeri kronis, perkembangan kista, ketidakmampuan untuk hamil, komplikasi saat melahirkan, dan perdarahan fatal.[7] Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui.[9]

Telah ada upaya internasional sejak tahun 1970-an untuk membujuk para praktisi untuk meninggalkan FGM. Praktik ini telah dilarang atau dibatasi di sebagian besar negara yang menerapkan FGM, meskipun peraturan yang ada tidak ditegakkan dengan baik. Sejak 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan kepada para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melakukan semua bentuk FGM, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan "penandaan" tudung klitoris secara simbolis.[10] Perlawanan terhadap FGM juga dikritik, terutama dari kalangan antropolog yang mengajukan pertanyaan sulit tentang relativisme budaya dan universalitas hak asasi manusia.[11]

Terminologi

 
Upacara FGM Samburu di dataran tinggi Laikipia, Kenya, 2004

Sampai tahun 1980-an, FGM secara luas dikenal dalam bahasa Inggris sebagai sirkumsisi perempuan, menyiratkan kesetaraan dengan sirkumsisi laki-laki.[5] Dari tahun 1929, Dewan Misionaris Kenya menyebutnya sebagai mutilasi seksual terhadap wanita, mengikuti arahan Marion Scott Stevenson, seorang misionaris Gereja Skotlandia.[12] Penyebutan praktik ini sebagai mutilasi meningkat sepanjang tahun 1970-an.[13] Pada tahun 1975, Rose Oldfield Hayes, seorang antropolog Amerika Serikat, menggunakan istilah mutilasi genital perempuan dalam sebuah judul makalah di American Ethnologist,[14] dan empat tahun kemudian Fran Hosken, seorang penulis feminis Austria-Amerika, menyebutnya sebagai mutilasi dalam Laporan Hosken: Mutilasi Genital dan Seksual Wanita, karyanya yang berpengaruh.[15] Komite Inter-Afrika tentang Praktik-Praktik Tradisional yang Memengaruhi Kesehatan Perempuan dan Anak-Anak mulai menyebutnya sebagai mutilasi genital perempuan pada tahun 1990, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengikutinya pada tahun 1991.[16] Istilah bahasa Inggris lainnya termasuk pemotongan genital wanita (female genital cutting, disingkat FGC) dan mutilasi/pemotongan genital wanita (female genital mutilation/cutting, disingkat FGM/C), lebih disukai oleh mereka yang bekerja bersama praktisi.[13]

Di negara-negara yang umum mempraktikkan FGM, ada banyak varian praktik yang tecermin dalam lusinan istilah, yang sering merujuk pada pemurnian.[17] Dalam bahasa Bambara, yang sebagian besar dituturkan di Mali, praktik ini dikenal sebagai bolokoli ("mencuci tangan")[18] dan dalam bahasa Igbo di Nigeria bagian timur sebagai isa aru atau iwu aru ("sedang mandi").[b] Istilah lain termasuk khifad, tahur, quodiin, irua, bondo, kuruna, negekorsigin, dan kene-kene.[20] Istilah bahasa Arab yang umum untuk pemurnian memiliki akar t-h-r, yang digunakan untuk sirkumsisi laki-laki dan perempuan (tahur dan tahara).[21] FGM juga dikenal dalam bahasa Arab sebagai khafḍ atau khifaḍ.[22] Masyarakat mungkin menyebut FGM sebagai "firaun" untuk infibulasi dan sirkumsisi "sunah" untuk yang lainnya.[23] Sunnah berarti "jalur atau jalan" dalam bahasa Arab yang berarti tradisi Muhammad, meskipun tidak ada praktik FGM yang diwajibkan dalam Islam.[22] Istilah infibulasi berasal dari fibula, bahasa Latin untuk jepitan; penduduk Romawi Kuno dilaporkan menggunakan jepitan yang menembus kulit depan atau labia budak untuk mencegah hubungan seksual. Pembedahan infibulasi wanita kemudian dikenal sebagai sirkumsisi firaun di Sudan, dan sebagai sirkumsisi Sudan di Mesir.[24] Di Somalia, praktik ini hanya dikenal sebagai qodob ("menjahit").[25]

Metode

 
Anatomi vulva, yang menunjukkan kelenjar klitoris, krura klitoris, korpus kavernosum klitoris, bulbus vestibularis, serta vagina dan lubang uretra.

Tindakan FGM umumnya dilakukan oleh penyunat tradisional di rumah anak perempuan, dengan atau tanpa anestesi. Pemotong biasanya merupakan wanita yang lebih tua, tetapi pada komunitas tertentu ketika tukang cukur pria telah mengambil peran sebagai petugas kesehatan, ia juga akan melakukan FGM.[26][c] Saat pemotong tradisional dilibatkan, kemungkinan besar alat-alat yang tidak steril akan digunakan, seperti pisau, pisau cukur, gunting, kaca, batu yang diasah, dan kuku.[28] Menurut seorang perawat di Uganda, yang dikutip pada 2007 di The Lancet, pemotong akan menggunakan satu pisau hingga pada 30 anak perempuan sekaligus.[29] Tenaga kesehatan profesional sering kali terlibat di Mesir, Kenya, Indonesia, dan Sudan; 77 persen prosedur FGM di Mesir, dan lebih dari 50 persen di Indonesia, dilakukan oleh para profesional medis pada 2008 dan 2016.[30][3] Pada tahun 1995, para wanita di Mesir melaporkan bahwa anestesi lokal telah digunakan pada anak perempuan mereka dalam 60 persen kasus, anestesi umum pada 13 persen, dan tidak ada anestesi pada 25 persen (dua persen lainnya hilang/tidak tahu).[31]

Klasifikasi

Variasi

Pada 1997, WHO, UNICEF, dan UNFPA mengeluarkan pernyataan bersama yang mendefinisikan FGM sebagai "semua prosedur yang melibatkan penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita baik karena alasan budaya maupun nonterapi".[13] Prosedurnya bervariasi sesuai dengan praktisi etnis dan individual; pada survei tahun 1998 di Niger, para wanita merespons dengan lebih dari 50 istilah ketika ditanya apa yang dilakukan terhadap mereka.[17] Masalah penerjemahan diperparah oleh kebingungan wanita tentang jenis FGM yang mereka alami, atau bahkan apakah mereka mengalaminya.[32] Penelitian menunjukkan bahwa respons terhadap survei tidak dapat diandalkan. Sebuah studi tahun 2003 di Ghana menemukan bahwa pada tahun 1995, empat persen wanita mengatakan mereka tidak menjalani FGM, tetapi pada tahun 2000 mengatakan mereka pernah, sedangkan 11 persen wanita mengatakan sebaliknya.[33] Di Tanzania pada 2005, 66 persen melaporkan FGM, tetapi pemeriksaan medis menemukan bahwa 73 persen telah mengalaminya.[34] Di Sudan pada tahun 2006, banyak wanita dan gadis yang diinfibulasi merespons jawaban dengan tipe FGM yang lebih ringan.[35]

Tipe

 

Kuisioner standar dari badan PBB berisi pertanyaan pada perempuan apakah mereka atau anak perempuan mereka telah mengalami hal berikut: (1) pemotongan, tidak ada daging yang dibuang (pengikisan simbolik); (2) pemotongan, sebagian daging dihilangkan; (3) penjahitan untuk menutup; atau (4) tipe yang tidak ditentukan/tidak pasti/tidak tahu.[d] Prosedur yang paling umum yaitu kategori "pemotongan, sebagian daging dihilangkan" dan melibatkan pengangkatan total atau sebagian kelenjar klitoris.[36] WHO menciptakan tipologi yang lebih rinci pada tahun 1997: Tipe I–II menunjukkan seberapa banyak jaringan yang dihilangkan; Tipe III setara dengan kategori UNICEF "dijahit tertutup"; dan Tipe IV menjelaskan berbagai prosedur, termasuk pengikisan simbolis.[37]

Tipe I

Tipe I adalah "penghilangan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau preputium (kulup atau kulit penutup)". Tipe Ia[e] hanya melibatkan pengangkatan tudung klitoris saja, yang jarang dilakukan.[f] Prosedur yang lebih umum adalah Tipe Ib (klitoridektomi), yaitu penghilangan total atau sebagian kelenjar klitoris (ujung klitoris yang terlihat) dan tudung klitoris. [1] [40] Penyunat menarik kelenjar klitoris dengan ibu jari dan telunjuknya dan memotongnya.[g]

Tipe II

Tipe II (eksisi) adalah penghilangan total atau sebagian labia bagian dalam, dengan atau tanpa pengangkatan kelenjar klitoris dan labia bagian luar. Tipe IIa adalah penghilangan labia bagian dalam; Tipe IIb, penghilangan kelenjar klitoris dan labia bagian dalam; dan Tipe IIc, penghilangan kelenjar klitoris, labia bagian dalam, dan labia bagian luar. Eksisi dalam bahasa Prancis dapat merujuk pada segala bentuk FGM.[1]

Tipe III

Tipe IV

Manfaat khitan perempuan

WHO mengatakan bahwa "[khitan pada wanita] tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali terhadap perempuan"[41].

Khitan perempuan dan HIV

Khitan perempuan dapat menambah risiko untuk kaum wanita terkena penyakit berbahaya seperti HIV[42].

Di dunia

Di dunia banyak terjadi di Sabuk Afrika dan umumnya dilakukan khitan pada wanita secara berlebihan dengan alasan yang mungkin tidak masuk akal, seperti akan sulit mendapat jodoh atau yang tidak dikhitan dikatakan pelacur.

Sunat pada wanita secara berlebihan dapat memicu pendarahan, infeksi, kesulitan buang air kecil dan menstruasi serta infeksi saluran kemih. Sedangkan dalam jangka panjang dapat memicu trauma emosi, kesulitan melakukan hubungan seksual dan melahirkan serta gangguan masalah kesuburan rahim dan juga kelahiran bayi mereka.[43]

Pada tahun 2015, diperkirakan ada lebih dari 200 juta perempuan di dunia yang telah mengalami khitan, termasuk sekitar 60 juta perempuan dari Indonesia [44].

Di Indonesia

Di Indonesia jarang ditemui mutilasi total pada alat kelamin wanita seperti di Afrika. Yang sering dilakukan di Indonesia saat ini adalah:

  • Secara simbolis, menempelkan gunting, pisau, atau silet pada klitoris
  • Secara simbolis, menggores atau menusuk klitoris
  • Secara simbolis, menyentuh atau 'membersihkan' klitoris dan alat kelamin perempuan luar dengan sepontong kunyit segar atau tumbuhan/daun lain seperti seikat daun kelor
  • Memotong sedikit dari penutup (kulup) klitoris
  • Memotong semua penutup (kulup) klitoris
  • Memotong sedikit dari klitoris.

Pada tahun 2001-2003 penelitian di enam provinsi mendapati bahwa terdapat 28 persen yang melakukan khitan pada perempuan secara simbolis dengan sedikit goresan atau menempelkan gunting pada alat kelamin perempuan.[45]

Dari segi pendidikan, 87,5 persen permpuan tanpa pendidikan tinggi mengkhitankan anak perempuannya, sedangkan 66,2 persen perempuan berpendidikan tinggi mengkhitankan anak perempuannya bahkan hingga pemotongan klitoris secara penuh dan tidak menyadari akibat-akibatnya.[46]

Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) menyatakan bahwa sunat perempuan boleh dilakukan asal tidak menyimpang. MUI menegaskan batasan atau tata cara khitan perempuan seusia dengan ketentuan syariah, yaitu khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah atau praeputium atau kulup) yang menutupi klitoris; dan khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi).[47]

Pada sisi lain, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengatakan khitan yang dilakukan terhadap wanita walaupun secara simbolis tetap merupakan tindak kekerasan.[48] Pada tahun 2006 Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan larangan sunat perempuan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Walaupun begitu, masih banyak dukun bayi dan petugas kesehatan menawarkan dan melakukan khitan pada bayi perempuan.

Dalam rangka Hari Internasional Anti Sunat Perempuan (tiap tanggal 6 Februari), Komnas Perempuan mengatakan masih ada khitan pada wanita, karena faktor budaya dan agama, dan yang mengatakan bahwa khitan pada wanita dimuliakan, dikarenakan hal tersebut dilihat dari perspektif laki-laki saja.[49]

Sumber

Catatan

  1. ^ Martha Nussbaum (Sex and Social Justice, 1999): "Although discussions sometimes use the terms 'female circumcision' and 'clitoridectomy', 'female genital mutilation' (FGM) is the standard generic term for all these procedures in the medical literature ... The term 'female circumcision' has been rejected by international medical practitioners because it suggests the fallacious analogy to male circumcision ..."[5]
  2. ^ For example, "a young woman must 'have her bath' before she has a baby."[19]
  3. ^ UNICEF 2005: "The large majority of girls and women are cut by a traditional practitioner, a category which includes local specialists (cutters or exciseuses), traditional birth attendants and, generally, older members of the community, usually women. This is true for over 80 percent of the girls who undergo the practice in Benin, Burkina Faso, Côte d'Ivoire, Eritrea, Ethiopia, Guinea, Mali, Niger, Tanzania and Yemen. In most countries, medical personnel, including doctors, nurses and certified midwives, are not widely involved in the practice."[27]
  4. ^ UNICEF 2013: "These categories do not fully match the WHO typology. Cut, no flesh removed describes a practice known as nicking or pricking, which currently is categorized as Type IV. Cut, some flesh removed corresponds to Type I (clitoridectomy) and Type II (excision) combined. And sewn closed corresponds to Type III, infibulation."[17]
  5. ^ Diagram pada WHO 2016, yang disalin dari Abdulcadir et al. 2016, merujuk Tipe 1a sebagai sirkumsisi.[38]
  6. ^ WHO (2018): Type 1 ... the partial or total removal of the clitoris ... and in very rare cases, only the prepuce (the fold of skin surrounding the clitoris)."[9]

    WHO (2008): "[There is a] common tendency to describe Type I as removal of the prepuce, whereas this has not been documented as a traditional form of female genital mutilation. However, in some countries, medicalized female genital mutilation can include removal of the prepuce only (Type Ia) (Thabet and Thabet, 2003), but this form appears to be relatively rare (Satti et al., 2006). Almost all known forms of female genital mutilation that remove tissue from the clitoris also cut all or part of the clitoral glans itself."[39]

  7. ^ Susan Izett dan Nahid Toubia (WHO, 1998): "[T]he clitoris is held between the thumb and index finger, pulled out and amputated with one stroke of a sharp object."[40]

Referensi

  1. ^ a b WHO 2014.
  2. ^ UNICEF 2013, 5.
  3. ^ a b c d e UNICEF 2016.
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama UNICEF2013p50
  5. ^ a b Nussbaum 1999, 119.
  6. ^ Untuk pemotong dan pisaunya: UNICEF 2013, 2, 44–46; untuk usia: 50.
  7. ^ a b Abdulcadir et al. 2011.
  8. ^ UNICEF 2013, 15; Toubia & Sharief 2003.
  9. ^ a b WHO 2018.
  10. ^ UN 2010; Askew et al. 2016.
  11. ^ Shell-Duncan 2008, 225; Silverman 2004, 420, 427.
  12. ^ Karanja 2009, 93, n. 631.
  13. ^ a b c WHO 2008, 4, 22.
  14. ^ Hayes 1975.
  15. ^ Hosken 1994.
  16. ^ UNICEF 2013, 6–7.
  17. ^ a b c UNICEF 2013, 48.
  18. ^ Zabus 2008, 47.
  19. ^ Zabus 2013, 40.
  20. ^ Abusharaf 2007, 1.
  21. ^ El Guindi 2007, 30.
  22. ^ a b Asmani & Abdi 2008, 3–5.
  23. ^ Gruenbaum 2001, 2–3.
  24. ^ Kouba & Muasher 1985, 96–97.
  25. ^ Abdalla 2007, 190.
  26. ^ UNICEF 2013, 42–44 and table 5, 181 (for cutters), 46 (for home and anaesthesia).
  27. ^ UNICEF 2005.
  28. ^ Kelly & Hillard 2005, 491.
  29. ^ Wakabi 2007.
  30. ^ UNICEF 2013, 43–45.
  31. ^ UNICEF 2013, 46.
  32. ^ Yoder, Wang & Johansen 2013, 190.
  33. ^ Jackson et al. 2003.
  34. ^ Klouman, Manongi & Klepp 2005.
  35. ^ Elmusharaf, Elhadi & Almroth 2006.
  36. ^ Yoder, Wang & Johansen 2013, 189; UNICEF 2013, 47.
  37. ^ WHO 2008, 4, 23–28; Abdulcadir et al. 2016.
  38. ^ WHO 2016, Box 1.1 "Types of FGM".
  39. ^ WHO 2008, 25. Also see Toubia 1994 and Horowitz, Jackson & Teklemariam 1995.
  40. ^ WHO 1998.
  41. ^ Female Genital Mutilation
  42. ^ http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ Female Genital Mutilation
  43. ^ "Gbla dan Kisah Sunat Perempuan". Diakses tanggal 12 Maret 2015. 
  44. ^ http://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2016/02/08/466033967/unicef-estimate-of-female-genital-mutiliation-up-by-70-million
  45. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Khitan
  46. ^ Fuad Mahbub Siraj. "Khitan bagi Perempuan Ditinjau dari Kesehatan dan Islam". Diakses tanggal 12 Maret 2015. 
  47. ^ Ruslan, Heri (26 Februari 2012). "Khitan Perempuan: Boleh atau Tidak?". Republika. 
  48. ^ "Komnas kecam sunat perempuan". BBC. 5 Februari 2013. 
  49. ^ Antonius Eko (6 Februari 2015). "Agama dan Budaya Pemicu Sunat Perempuan di Indonesia". 

Karya yang disitasi

Buku dan bab buku

  • Abusharaf, Rogaia Mustafa (2007). "Introduction: The Custom in Question". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 
  • Abdalla, Raqiya D. (2007). "'My Grandmother Called it the Three Feminine Sorrows': The Struggle of Women Against Female Circumcision in Somalia". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 
  • Ahmadu, Fuambai (2000). "Rites and Wrongs: An Insider/Outsider Reflects on Power and Excision". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers. 
  • Allen, Peter Lewis (2000). The Wages of Sin: Sex and Disease, Past and Present . Chicago: University of Chicago Press. 
  • Asmani, Ibrahim Lethome; Abdi, Maryam Sheikh (2008). De-linking Female Genital Mutilation/Cutting from Islam (PDF). Washington: Frontiers in Reproductive Health, USAID. 
  • Bagnol, Brigitte; Mariano, Esmeralda (2011). "Politics of Naming Sexual Practices". African Sexualities: A Reader. Cape Town: Fahamu/Pambazuka. ISBN 9780857490162. 
  • Barker-Benfield, G. J. (1999). The Horrors of the Half-Known Life: Male Attitudes Toward Women and Sexuality in Nineteenth-Century America. New York: Routledge. 
  • Berlin, Adele (2011). "Circumcision". The Oxford Dictionary of the Jewish Religion. New York: Oxford University Press. 
  • Boddy, Janice (2007). Civilizing Women: British Crusades in Colonial Sudan. Princeton: Princeton University Press. 
  • Boddy, Janice (1989). Wombs and Alien Spirits: Women, Men, and the Zar Cult in Northern Sudan. Madison: University of Wisconsin Press. 
  • Boyle, Elizabeth Heger (2002). Female Genital Cutting: Cultural Conflict in the Global Community. Baltimore: Johns Hopkins University Press. 
  • Cohen, Shaye J. D. (2005). Why Aren't Jewish Women Circumcised? Gender and Covenant In Judaism. Berkeley: University of California Press. 
  • El Guindi, Fadwa (2007). "Had This Been Your Face, Would You Leave It as Is?". Dalam Abusharaf, Rogaia Mustafa. Female Circumcision: Multicultural Perspectives. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 
  • El Dareer, Asma (1982). Woman, Why Do You Weep: Circumcision and its Consequences. London: Zed Books. 
  • Fiedler, Klaus (1996). Christianity and African Culture. Leiden: Brill. 
  • Gruenbaum, Ellen (2001). The Female Circumcision Controversy: An Anthropological Perspective. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 
  • Hoberman, John Milton (2005). Testosterone Dreams: Rejuvenation, Aphrodisia, Doping . Berkeley: University of California Press. 
  • Hosken, Fran (1994) [1979]. The Hosken Report: Genital and Sexual Mutilation of Females. Lexington: Women's International Network. 
  • Hyam, Ronald (1990). Empire and Sexuality: The British Experience. Manchester: Manchester University Press. 
  • Karanja, James (2009). The Missionary Movement in Colonial Kenya: The Foundation of Africa Inland Church. Göttingen: Cuvillier Verlag. 
  • Kenyatta, Jomo (1962) [1938]. Facing Mount Kenya. New York: Vintage Books. 
  • Kenyon, F. G. (1893). Greek Papyri in the British Museum. London: British Museum. 
  • Kirby, Vicky (2005). "Out of Africa: 'Our Bodies Ourselves?'". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. 
  • Korieh, Chima (2005). "'Other' Bodies: Western Feminism, Race and Representation in Female Circumcision Discourse". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. 
  • Kunhiyop, Samuel Waje (2008). African Christian Ethics. Grand Rapids, MI: Zondervan. 
  • Mackie, Gerry (2000). "Female Genital Cutting: The Beginning of the End" (PDF). Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 29 October 2013. 
  • Mandara, Mairo Usman (2000). "Female genital cutting in Nigeria: View of Nigerian Doctors on the Medicalization Debate". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers. 
  • McGregor, Deborah Kuhn (1998). From Midwives to Medicine: The Birth of American Gynecology. New Brunswick: Rutgers University Press. 
  • Nnaemeka, Obioma (2005). "African Women, Colonial Discourses, and Imperialist Interventions: Female Circumcision as Impetus". Dalam Nnaemeka, Obioma. Female Circumcision and the Politics of Knowledge: African Women in Imperialist Discourses. Westport, Conn and London: Praeger. hlm. 27–46. 
  • Nussbaum, Martha (1999). Sex and Social Justice. New York and Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780195355017. 
  • Nzegwu, Nkiru (2011). "'Osunality' (or African eroticism)". African Sexualities: A Reader. Cape Town: Fahamu/Pambazuka. ISBN 9780857490162. 
  • Peterson, Derek R. (2012). Ethnic Patriotism and the East African Revival: A History of Dissent, c. 1935–1972. New York: Cambridge University Press. 
  • Roald, Ann-Sofie (2003). Women in Islam: The Western Experience. London: Routledge. 
  • Robert, Dana Lee (1996). American Women in Mission: A Social History of Their Thought and Practice. Macon: Mercer University Press. 
  • Rodriguez, Sarah B. (2014). Female Circumcision and Clitoridectomy in the United States: A History of a Medical Treatment. Rochester, NY: University of Rochester Press. 
  • El Saadawi, Nawal (2007) [1980]. The Hidden Face of Eve. London: Zed Books. 
  • Shorter, Edward (2008). From Paralysis to Fatigue: A History of Psychosomatic Illness in the Modern Era. New York: Simon and Schuster. 
  • Strayer, Robert; Murray, Jocelyn (1978). "The CMS and Female Circumcision". Dalam Strayer, Robert. The Making of Missionary Communities in East Africa. New York: State University of New York Press. 
  • Tamale, Sylvia (2011). "Researching and theorising sexualities in Africa". Dalam Tamale, Sylvia. African Sexualities: A Reader. Pambazuka Press/Fahamu. hlm. 11–36. 
  • Thomas, Lynn M. (2000). "Ngaitana (I will circumcise myself)': Lessons from Colonial Campaigns to Ban Excision in Meru, Kenya". Dalam Shell-Duncan, Bettina; Hernlund, Ylva. Female "Circumcision" in Africa: Culture Controversy and Change. Boulder: Lynne Rienner Publishers. 
  • Thomas, Lynn (2003). Politics of the Womb: Women, Reproduction, and the State in Kenya. Berkeley: University of California Press. 
  • Thomas, Robert (1813). The Modern Practice of Physick. London: Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown. 
  • wa Kihurani, Nyambura; Warigia wa Johanna, Raheli; Murigo wa Meshak, Alice (2007). "Letter Opposing Female Circumcision". Dalam Lihamba, Amandina; Moyo, Fulata L.; Mulokozi, Mugaybuso M.; Shitemi, Naomi L.; Yahya-Othman, Saida. Women Writing Africa: The Eastern Region. New York: The Feminist Press at the City University of New York. hlm. 118–120. ISBN 978-1558615342. 
  • Walley, Christine J. (2002). ""Searching for 'Voices': Feminism, Anthropology, and the Global Over Female Genital Operations"". Dalam James, Stanlie M.; Robertson, Claire C. Genital Cutting and Transnational Sisterhood. Urbana: University of Illinois Press. hlm. 54–86. 
  • Wildenthal, Lora (2012). The Language of Human Rights in West Germany. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. 
  • Zabus, Chantal (2008). "The Excised Body in African Texts and Contexts". Dalam Borch, Merete Falck. Bodies and Voices: The Force-field of Representation and Discourse in Colonial and Postcolonial Studies. New York: Rodopi. 
  • Zabus, Chantal (2013). "'Writing with an Accent': From Early Decolonization to Contemporary Gender Issues in the African Novel in French, English, and Arabic". Dalam Bertacco, Simon. Language and Translation in Postcolonial Literatures. New York: Routledge. 

Artikel jurnal

Laporan PBB