Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Revisi sejak 26 Mei 2020 12.50 oleh Faisal Anas (bicara | kontrib) (Artikel ini baru saja diterbitkan. Ini masih bentuk dasar.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Madrasah Muallimin Muhammadiyah merupakan salah satu sekolah yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Sekolah ini didirikan pada tahun 1918 oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk menyediakan guru-guru bagi sekolah Muhammadiyah yang semakin jumlahnya saat itu. Dalam perkembangannya, sekolah ini berganti nama hingga menjadi Madrasah Muallimin yang bertahan hingga saat ini.

Al Qismul Arqa

Madrasah Muallimin Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1918 pada awalnya bernama Al Qismul Arqa.[1] Sekolah ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan guru-guru di sekolah Muhammadiyah. Saat itu, banyak sekolah milik Muhammadiyah yang telah berdiri, namun mengalami kekurangan tenaga pendidik yang merupakan lulusan Muhammadiyah. Karena itu, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah bernama Al Qismul Arqa yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu al qism yang berarti “bagian” dan al arqa yang memiliki makna “pertumbuhan”. Sekolah ini dibentuk sebagai kelas lanjutan dari Standaardschool.

Pada awalnya, hanya ada sembilan anak yang menjadi murid di Al Qismul Arqa. Mereka secara khusus dididik oleh K.H. Ahmad Dahlan untuk menjadi guru. Pada awal pendiriannya, Al Qismul Arqa belum mengenal pembagian kelas. Materi pelajaran yang disampaikan seluruhnya adalah pendidikan agama. Secara materi, memang tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren pada masa itu, yang membedakan hanyalah penggunaan papan tulis sebagai media pembelajaran.

Setelah kurang lebih tiga tahun berdiri, sekolah ini mengalami pertumbuhan pesat. Rumah K.H. Ahmad Dahlan yang semula digunakan sebagai sekolah tidak mampu lagi menampung murid-murid Al Qismul Arqa. Sekolah ini kemudian dipindahkan di depan rumah H. M. Sudja yang merupakan seorang murid K.H. Ahmad Dahlan.

Pondok Muhammadiyah

Pada tanggal 8 Desember 1921, sekolah ini resmi berfungsi. Nama Al Qismul Arqa berubah menjadi Pondok Muhammadiyah.[2] Direktur sekolah yang semula dipegang oleh K.H. Ahmad Dahlan kini beralih ke Haji Siradj Dahlan, Putra K.H. Ahmad Dahlan. Siradj Dahlan memimpin tahun 1923 hingga tahun 1928 dan digantikan oleh R.H. Hadjid sejak tahun 1928 hingga tahun 1930. Haji Siradj Dahlan dipercaya lagi menjadi direktur pada tahun 1930 sampai tahun 1942.

Meskipun menggunakan nama Pondok, akan tetapi dalam praktiknya tidak seperti pondok yang berkembang pada masa itu. Pondok Muhammadiyah merupakan pengembangan dari pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Pembelajaran pada Pondok ini tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Masuknya ilmu umum dalam Pondok Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari peran Mas Ngabehi Djojosoegito yang merupakan lulusan sekolah Belanda dan masih termasuk misan K.H. Hasyim Asyari yang merupakan pendiri Nahdhatul Ulama. Sistem pembelajaran pondok ini sudah menggunakan sistem klasikal. Pendidikan pada pondok ini berlangsung selama lima tahun yang dibagi dalam lima kelas. Dalam setiap kelas, diadakan ujian kenaikan kelas. Jika sudah menempuh lima tahun pendidikan, maka murid berhak menerima ijazah.

Kweekschool Muhammadiyah

Nama Pondok Muhammadiyah berubah pada tahun 1923 menjadi Kweekschool Muhammadiyah. Pembentukan Kweekschool Muhammadiyah sudah direncanakan oleh Ngabehi Djojosugito sejak tahun 1922 melalui artikel di Suara Muhammadiyah edisi no. 1 Tahun ke-3. Untuk mewujudkan rencana ini, maka dibentuklah Comite Pendirian Roemah Kweekschool Islam (CPRKwI) yang diketuai oleh H. Mochtar.

Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Pertumbuhan sekolah-sekolah swasta yang diadakan oleh organisasi pergerakan nasional mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Untuk membendung pertumbuhan sekolah swasta tersebut, pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar atau Wilde Scholen Ordonantie pada tahun 1932. Inti dari ordonansi ini adalah melarang adanya sekolah di Hindia Belanda yang tidak didukung oleh guru yang berijazah pendidikan guru yang diakui pemerintah Belanda. Setelah ordonansi ini resmi berlaku, sekolah yang tidak memenuhi persyaratan harus ditutup. Bagi yang membandel, terutama guru-guru yang tidak memenuhi persyaratan akan dikenakan hukuman badan.

Ordonansi ini sebenarnya tidak begitu berpengaruh terhadap lembaga pendidikan Islam. Sebagian besar lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sesuai dengan pemerintah tidak begitu terdampak. Namun, ada  beberapa lembaga pendidikan Muhammadiyah yang menggunakan kurikulum berbeda dengan pemerintah, salah satunya Kweekschool Muhammadiyah. Untuk mengatasi permasalahan ini, nama Kweekschool Muhammadiyah diubah menjadi Madrasah Muallimin pada tahun Kongres Muhammadiyah tahun 1934.[3] Nama Madrasah Muallimin terus bertahan hingga saat ini.

Referensi


  1. ^ Arifin, M.T., Muhammadiyah: Potret yang Berubah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016), hlm. 81.
  2. ^ Muarif, Modernisasi Pendidikan Islam Sejarah dan Perkembangan Kweekschool Moehammadijah 1923-1932, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 20120, hlm. 94.
  3. ^ Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 38