Diponegoro
Pangeran Diponegoro 11 November 1785 – 8 Januari 1855) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia, yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda. Diponegoro lahir dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Pangeran Diponegoro | |
---|---|
Bendara Pangeran Harya Dipanegara | |
Dikenal atas | |
Kelahiran | Bendara Raden Mas Antawirya 11 November 1785 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta |
Kematian | 8 Januari 1855 Makassar, Sulawesi Selatan | (umur 69)
Pemakaman | |
Pasangan | Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih |
Wangsa | Mataram |
Ayah | Sultan Hamengkubuwana III |
Ibu | R.A. Mangkarawati |
Agama | Islam |
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Asal usul
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Raden Mas Surojo atau dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono III.[1] Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan diberi nama Mustahar dan memiliki gelar nama Bendara Raden Mas Antawirya[2] dan nama Islamnya adalah Ngabdul Kamid.[3]
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah yakni Sultan Hamengkubuwana III, untuk menjadi raja. Hal ini karena Pangeran Diponegoro menyadari posisi ibunya yang bukanlah sebagai permaisuri.[4]
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.[4]
Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[4]
Kehidupan pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai anggur putih bermerek Constantia yang berasal dari Tanjung Harapan, penyuka sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanamin bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau. Pangeran Diponegoro juga menyukai roti bakar, kentang Belanda yang dimakan dengan campuran sambal dan keripik singkong.[5]
Dia juga dikenal sebagai pria yang menyukai perempuan. Salah satu sifatnya saat muda yang tidak disukainya (sipat ngaral) adalah mudah tergoda oleh perempuan. Bahkan, Pangeran Diponegoro sempat tidur dengan perempuan Tionghoa, yang merupakan tawanan perang, sebelum bertempur dengan Belanda dan hal ini diakuinya sebagai penyebab kekalahan terbesarnya di Gowok, 15 Oktober 1862.[5]
Pangeran Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 perempuan dalam hidupnya.[5] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[6]
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwono III.[6] Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[6]
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.[7]
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, namun lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.[7]
Diponegoro kembali menikah untuk kesembilan kalinya dengan perempuan dari Wajo, Makassar, bernama lengkap Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar. Syarifah Fathimah adalah seorang putri dari Datuk Husain yang makamnya berada di Makassar.[8]
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut dengan cara mengiriminya pakaian perempuan.[5]
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang Pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan Istana dari madat.[11]
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[10]
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Brojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[12]
Para panglima Diponegoro
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya.[10] Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[12]
Kiai Madja
Kiai Madja merupakan seorang tokoh agama asal Surakarta yang turut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja lahir di Desa Mojo, wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta. Dia tertarik dan turut serta berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[13]
Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir justru tidak mencicipi kemewahan gaya hidup sebagai keluarga istana. Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Diponegoro kian erat setelah Kiai Madja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[14]
Perjuangan Pangeran Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Bupati Gagatan Raden Tumenggung Prawiradigdaya. Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.[15] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.[16]
Sentot Prawirodirdjo
Pendukung lainnya adalah Sentot AliBasha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengku Buwuno IV, yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[17]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya.[17]
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa".[12] Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.[12]
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.[18]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk upati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang Jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.[12]
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatra Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri, namun ini hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[17]
Kerta Pengalasan
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.[18] Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[19]
Para pendamping
Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para pendamping yang sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto), Banthengwareng, Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak (Rujakgadhung).[20] Mereka para panakawan disebut juga sebagai bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi.[21]
Joyosuroto
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan sang Pangeran sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.[21]
Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.[21]
Ketika perang berkecamuk dan sang Pangeran menerapkan sistem pemerintahan Keraton di Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian, para panawakan selalu mendampingi setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[21]
Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah tuannya.[21] Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo.[20]
Banthengwareng
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.[20]
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.[20]
Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[21]
Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830, menuliskan bahwa Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam kondisi kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria, harus berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan cukup makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan Februari 1830.[20]
Strategi perang sang Pangeran
Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.[18]
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta Pengalasan.[18]
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun.[18] Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, namun sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.[18]
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, namun Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.[18]
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai "senjata" dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak” bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Taktik Hindia Belanda
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu[10], suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, namun dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[18]
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.[18]
Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[18]
Negosiasi dan pengkhianatan
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1930 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[3]
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[3]
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.[3]
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.[3]
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.[22]
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.[22]
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, namun juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.[22]
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1930 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[10]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro"
Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara pelukis Indonesia yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif Bustaman, dengan Nicolaas Pieneman (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan peristiwa tanggal 28 Maret 1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro", sedangkan Pienaman melukisnya sebagai "Penyerahan Diponegoro".[23]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika berada di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan judul "Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro). Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada Raja Belanda, Willem III.[23]
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah,[23] menunjukkan perlawanan,[24] dan tegar, meskipun para pengikutnya terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.[25]
Lukisan "Penyerahan Diponegoro"
Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi kanan dengan Bendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan pasrah,[23] meskipun tergambarkan tidak menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan berwibawa.[25] Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.[24] Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De Kock yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi tawanan dan penguasa.[24]
Keberlanjutan perang
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned, yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[5] Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Akhir hayat Diponegoro
Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.[26]
Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, namun Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, Diponegoro dipindahkan ke Makassar secara diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya Hindia Belanda untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan akhir hayatnya di Makassar.[26]
Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena sakit dan dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di Kampung Melayu. Setelah kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar makam putranya diberikan pagar tembok rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di samping pusara putranya, dan membuat rumah berikut masjid kecil untuk istri dan pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.[26]
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[26]
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Setelah sang istri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.[26]
Peninggalan bersejarah
Babad Dipanagara
Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi (mascapat atau puisi tradisional Jawa/tembang) setebal 1.170 halaman folio, yang menceritakan sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa baik pada zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram), yang dituturkan langsung oleh Pangeran Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis sejak Mei 1831 hingga Februari 1832, ketika sang Pangeran diasingkan di Manado. Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon (tanpa tanda baca) dan aksara Jawa. Namun, naskah asli Babad Dipanagara, menurut sejarawan Peter Carey, sudah hilang. Yang ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional dan di Rotterdam, Belanda.[27]
Babad Dipanagara kemudian diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) pada Juni 2013 sebagai Memory of the World (MOW) Register, yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan budaya.[28]
Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah Primbon, yakni tentang pengaruh Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan Jawa.[27]
Keris
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Nogo Siluman. Keris terakhir tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, namun ditemukan di Belanda dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.[29]
Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Nogo Siluman dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[30] Dalam dokumen kesaksian dalam Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran Diponegoro.[31] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Nogo Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi museumnya tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di Museum Volkenkunde Leiden.[32]
Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lodewijk van Gorkom menginformasikan bahwa Keris Pangeran Diponegoro tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan meminta untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985, meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan keberadaan keris tersebut, namun ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[33]
Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.[34]
Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[34]
Tongkat
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada tahun 2015.[35]
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.[10] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang, memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud selama 181 tahun. J.C Baud adalah gubernur jenderal Hindia Belanda ke-44, yang berkuasa pada tahun 1834-1836.[35]
Tombak
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya. Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, namun dua buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[35]
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan perang.[35]
Benda lainnya
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya serta tali kuda, yang masih tersimpan di Belanda.[32]
Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.[36]
Penghargaan sebagai Pahlawan
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), dan Kodam IV/Diponegoro. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat sebagai penghargaan, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No 87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[37][38]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Daftar pustaka
- Carey, P.B.R. (1981). Babad Dipanagara: an account of the outbreak of the Java War (1825-30): the Surakarta court version of the Babad Dipanagara. Kuala Lumpur: Printed for the Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing Works. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Malaysian Branch); no.9
- Sagimun, M.D. (1976). Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pembangunan.
Daftar referensi
- ^ a b "Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ Raditya, Iswara N. "Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV". tirto.id. Diakses tanggal 2017-12-06.
- ^ a b c d e "Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa Libur Selama Ramadan". Liputan6.com. 2016-06-07. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c "Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa". Tagar.id. 2017-12-23. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c d e "Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang". Historia.id. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ a b c "Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro". Kumparan.com. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b "Biografi terkait Diponegoro". diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ "Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ "Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik". Liputan6.com. 2016-04-27. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ a b c d e f "Biografi Pangeran Diponegoro, Pemimpin Perang Jawa Halaman all". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ "Meluruskan Fakta dalam Sejarah Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2019-07-13. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c d e f "Sentot Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ Heru., Basuki, (2007). Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang Sabil Sentot Ali Basah (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Samodra Ilmu. ISBN 9786028014014. OCLC 302187891.
- ^ 1947-, Babcock, Tim G., (1989). Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. ISBN 9789794201206. OCLC 21212549.
- ^ R.,, Carey, P. B.; Bambang,, Murtianto,; Gramedia, PT. Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855. Jakarta. ISBN 9789797097998. OCLC 883389465.
- ^ Raditya, Iswara N. "Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo". tirto.id. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ a b c "Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c d e f g h i j "Biografi terkait Diponegoro". diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-680-8.
- ^ a b c d e "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia". Historia. Diakses tanggal 2020-03-28.
- ^ a b c d e f "Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-28.
- ^ a b c "Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ a b c d "Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, Perlawanan Raden Saleh atas Karya Nicolaas Pieneman | Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman". Kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c "2 Wajah Pangeran Diponegoro Saat Penangkapan 188 Tahun Lalu". Liputan6.com. 2018-03-28. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ a b "Penangkapan Diponegoro: Jebakan Silaturahim di Hari Lebaran". Republika Online. 2019-06-10. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b c d e Matanasi, Petrik. "Akhir Hidup Diponegoro, Napoleon van Java". tirto.id. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b "Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui UNESCO Hilang, Ke Mana?". detiknews. Diakses tanggal 2020-03-27.
- ^ "Saat dunia mengakui otobiografi Diponegoro". Antara News. 2013-07-05. Diakses tanggal 2020-03-27.
- ^ "Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual". Historia. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ detikcom, Tim. "Keris Pangeran Diponegoro Dikembalikan oleh Belanda: Asli atau Palsu?". detiknews. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ "Kembalinya Keris Naga Siluman Milik Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2020-03-10. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b "Memastikan Keaslian Keris Diponegoro". Republika Online. 2020-03-13. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ "Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2020-03-05. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ a b Wiratama, Syailendra Hafiz. "Kisah Diponegoro Dikubur Bersama Kerisnya". detikx. Diakses tanggal 2020-03-20.
- ^ a b c d "Selain Keris, Ini Dua Pusaka Pangeran Diponegoro yang Dikembalikan Belanda ke Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ "Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2020-03-05. Diakses tanggal 2020-03-21.
- ^ (Indonesia) Indonesia.travel: Babad Diponegoro dan Negarakertagama Masuk Memory of The World UNESCO
- ^ Informasi dari situs web UNESCO mengenai Babad Mataram
Pranala luar
- (Indonesia) Sebelum Dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro Ditahan di Museum Sejarah, Kompas