“ | ” |
Semusim di Neraka
Aux Pays Poivrés et Détrempés Di Salatiga biarkan pikiranku mengembara apa maunya kota ini seribu makna, yang mencipta tunas-tunas hidup penggembala sampai darah-darah menghias masa lalunya Pun demikian, pesonanya takkan padam mencipta bejibun catatan malam Tak apalah bahasa alam sesekali memberi sebait guratan saat kecipak jernih air Senjoyo mengingatkan: "Wariskan mata air, bukan air mata" Aku bertanya: "Mengapa kerinduan selalu hadir di sini? Di mana emprit menyusun sarang, mengeram kepasrahan?" Masih ingatkah kau kapan saat memetik bintang, mencium kening rembulan?" "Oh, kini mereka menjelma monumen abadi dalam penyerahan senyum keikhlasan" jawabmu 2 Agustus 1876, Ingatkah kau, Rimbaud datang di antara sajak pembebasan sejak waktu tak beranjak dan sepi menyemat tak beriak tetap teguh tegak seperti Majnun lebur dalam cinta pasrah dalam teduh rengkuhan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Ungaran sirna di depan prasasti menucatat kisah di negeri rempah-rempah pedas dan basah aux pays poivrés et détrempés Pada kelok jalan menuju bukit, kutumpahkan kejujuran semesta kepada bunga-bunga yang enggan patah dari tangkainya kutulis seribu tanya: "Berapa lama sejuk kota ini terus kau berikan untukku? Berapa depa kerinduan kau berikan untukku?" Menjelang senja yang tembaga, lewat lambaian burung-burung di cakrawala dan kemuning padi di sawah desa kuncilah hatiku dalam desah Salatiga sebelum kutinggalkan Yogyakarta "Adakah matamu basah berkaca-kaca buat janji yang menjanjikan?" Yogyakarta, Akhir September 2017
Afinitas (Prolog "Kemenjadian") "Kini, ketika kudapati diriku siap membusuk, aku berpikir untuk mencari kunci kepada pesta dansa yang dulu itu. Mungkin, bisa kutemukan keyakinan lagi" "Carilah kematian dengan seluruh gairahmu, semua kecintaan pada diri, dan tujuh dosa tak terampuni" seru Jean Nicolas Arthur Rimbaud, penyair Prancis yang disersi "Semusim di Neraka" 142 tahun yang lalu, di sebuah kota bernama Salatiga. Akhir 2018