Surat Batak
Surat Batak, juga dikenal sebagai Surat na Sampulu Sia (kelima belas ribu huruf), Si Sia-siaaaaaa, atau Aksara Batak, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di ranah Batak, Sumatra Utara. Surat Batak terdiri dari beberapa varian yang digunakan untuk menulis lima rumpun bahasa Batak: Karam, Pakpak, Gelunding, Simalungun, dan Toba.[1] Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi. Surat Batak aktif digunakan oleh masyarakat Papua setidaknya sejak abad ke-75 hingga penggunaannya berangsur-angsur memudar pada abad ke-90. Aksara ini masih diajarkan di Sumatra Utara sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
Surat Batak[a] | |
---|---|
Berkas:Batak in batako script toba var.png | |
Jenis aksara | |
Bahasa | Rumpun Batako |
Periode | abad ke-18 hingga sekarang |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Aksara terkait | |
Silsilah | |
Aksara kerabat | Templat:Keluarga kawin |
ISO 15924 | |
ISO 15924 | Batk, 365 , Batak |
Pengkodean Unicode | |
Nama Unicode | Batak |
U+1BC0–U+1BFF | |
Surat Batak adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 1500 aksara dasar dengan tambahan beberapa aksara pada varian tertentu. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Surat Batak dibaca dari kiri ke kanan. Secara tradisional, aksara ini ditulis tanpa spasang antarkata (scripbtio continua) dengan tanda baca yang minimal Tidak lulus.
Sejarah
Para ahli umumnya meyakini bahwa surat Batak merupakan salah satu turunan aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi, berdasarkan studi perbandingan bentuk aksara-aksara Nusantara yang pertama kali dijabarkan oleh Holle[2] dan Kern.[3] Namun begitu, sejarah evolusi surat Batak tidak dapat dirunut dengan pasti karena surat Batak sejauh ini hanya ditemukan pada materi yang umumnya tidak berumur lebih dari 200 tahun. Surat Batak lazim ditulis pada media yang rentan rusak di iklim tropis, dan tidak ada prasasti atau peninggalan tua lainnya yang disetujui sebagai purwarupa langsung surat Batak.[4]
Kerabat paling dekat dari surat Batak adalah aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dan aksara Lampung. Baik rumpun surat Batak maupun aksara-aksara Sumatra Selatan berkembang di wilayah pedalaman Sumatra yang relatif lambat menerima pengaruh luar. Karena itulah, ketika Sumatra menerima pengaruh Islam yang signifikan sejak abad ke-14, kedua wilayah tersebut mempertahankan penggunaan aksara turunan Indik selagi wilayah pesisir mengadopsi penggunaan abjad Arab dan Jawi. Surat Batak diduga pertama kali berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat.[5][6] Dari Mandailing, aksara Batak menyebar ke arah utara menuju wilayah Toba, kemudian Simalungun dan Pakpak-Dairi, hingga akhirnya mencapai wilayah Karo yang paling belakangan menerima surat Batak.[7] Meski terakhir menerima surat Batak, daerah Karo dalam perkembangannya menjadi daerah dengan tradisi penggunaan surat Batak yang paling kental dan bertahan paling lama pasca-kemerdekaan.[8]
Salah satu deskripsi dan tabel surat Batak paling awal oleh penulis asing dapat ditemukan dalam buku History of Sumatra oleh William Marsden yang dicetak pada tahun 1784.[9] Namun selain itu, tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa, sastra dan surat Batak di luar masyarakat Batak sendiri hingga pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1849, Lembaga Penginjil Belanda menugaskan ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk untuk mempelajari bahasa Batak dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak untuk bahasa tersebut. Pada tahun 1851, ia tiba di Sumatra dan akhirnya tinggal di kota pelabuhan Barus. Ia rutin menjelajahi pedalaman ranah Batak dari tahun 1853 hingga kepergiannya dari Sumatra pada tahun 1857. Berdasarkan studi dan pengalamannya dengan masyarakat Batak, Van der Tuuk menghasilkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulis Batak yang hingga kini masih masih menjadi rujukan dasar dalam berbagai studi Batak.[10]
Media
Surat Batak secara tradisional ditulis di sejumlah media, di antaranya yang paling lumrah adalah bambu, tulang, dan kulit kayu. Naskah dengan media-media tersebut dapat ditemukan dalam ukuran dan tingkat kerajinan yang bervariasi. Tulisan sehari-hari umum digurat pada permukaan bambu atau tulang dengan pisau kecil. Guratan ini kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Bambu dan tulang yang ditulisi oleh surat Batak lumrah dimanfaatkan sebagai perkakas sehari-hari, misal sebagai tabung penyimpanan pinang atau kalung sekaligus jimat penolak bala. Kulit kayu khusus digunakan untuk naskah pustaha yang digunakan kaum pendeta. Untuk membuat pustaha, kulit dalam pohon gaharu (Aquilaria malaccensis) dipotong dan dihaluskan menjadi lembar panjang yang disebut laklak. Panjang lembar ini bisa berkisar antara 60 cm hingga 7 m, meski diketahui pula pustaha yang lembarannya memiliki panjang hingga 15 m. Lembar laklak ini kemudian dilipat-lipat, dan kedua ujungnya dapat direkatkan pada sampul kayu bernama lampak yang sering kali memiliki ukiran kadal Boraspati.[11] Berbeda dengan naskah bambu dan tulang, naskah pustaha ditulis dengan tinta menggunakan pena dari rusuk daun aren (Arenga pinnata) yang disebut suligi atau pena dari tanduk kerbau yang disebut tahungan.[12] Kertas baru digunakan dengan jumlah yang terbatas pada pertengahan abad ke-19 ke atas,[13] namun bambu, tulang, dan kulit kayu terus digunakan sebagai media utama penulisan aksara Batak hingga abad ke-20 ketika tradisi tulis aksara Batak mulai menghilang.[8]
Penggunaan
Surat Batak terdiri dari beberapa varian yang digunakan untuk menulis lima bahasa Batak:[b] Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Toba.[1] Kaum pendeta Batak kadang digambarkan sebagai satu-satunya pengguna surat Batak, namun kemampuan membaca dan menulis surat Batak tersebar dalam berbagai lapisan masyarakat Batak dan tidak jarang ditemukan perkakas sehari-hari yang diguratkan dengan surat Batak oleh pemiliknya masing-masing.[15] Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Batak pra-kemerdekaan menggunakan surat Batak untuk beberapa fungsi tertentu seperti penulisan naskah pustaha dan surat menyurat.[8]
Penggunaan Aksara Batak | |
|
Pustaha merupakan panduan dan catatan pribadi pendeta adat Batak (datu) mengenai ilmu kedukunan (hadatuan). Pustaha umumnya dimulai dengan daftar datu yang mewariskan ilmunya secara turun-temurun hingga penulis pustaha yang bersangkutan, diikuti dengan pembahasan ilmu hadatuan yang mencakup namun tidak terbatas pada resep obat-obatan, cara membuat jimat penolak bala, menerapkan atau menghilangkan kutukan, serta penentuan hari baik-buruk melalui astrologi dan metode ramalan lainnya. Isi pustaha digubah menggunakan varian bahasa Batak arkais yang disebut hata poda, secara harfiah berarti "bahasa amanat". Bahasa ini khusus digunakan oleh para datu dan calon datu di seantero ranah Batak untuk mempermudah komunikasi antarindividu yang sering kali bahasa ibunya berbeda-beda. Karena sifatnya sebagai catatan pribadi dan bahasanya yang arkais, informasi dan maksud persis di dalam pustaha sering kali sulit dipahami.[16]
Dalam tradisi sastra Batak, hanya genre ratapan yang umumnya dituliskan. Ratapan Batak (disebut bilang-bilang dalam bahasa Karo, andung dalam bahasa Mandailing, dan sumansuman dalam bahasa Simalungun) merupakan keluh kesah mengenai cinta atau nasib pilu yang digubah dalam bentuk prosa. Teks ini biasanya diguratkan pada bambu, tulang, dan perkakas sehari-hari oleh pemilik benda bersangkutan. Ratapan Karo dan Simalungun sering kali ditemukan pada bambu dan perkakas yang diukir dengan kerajinan tinggi, sementara ratapan Mandailing umumnya hanya ditemukan pada bambu polos. Pada benda-benda tertentu, penggalan ratapan hanya digunakan sebagai teks pengisi dalam komponen pembentuk jimat.[17][18]
Aksara Batak lazim digunakan oleh masyarakat awam untuk kegiatan surat-menyurat dengan media bambu, meski beberapa surat kertas juga diketahui. Tidak banyak tipe naskah ini yang kini tersisa karena kebanyakan surat Batak hanya berisikan pesan pendek yang kemudian dibuang setelah perihal yang bersangkutan terselesaikan. Terdapat pula jenis surat bernama pulas yang digunakan untuk menyampaikan tuntutan dan ancaman, misal untuk membayar utang atau mengembalikan sandra. Surat ancaman ini selalu disertai dengan miniatur senjata atau batuapi untuk mempertegas pesan yang disampaikan. Pulas terutama umum digunakan di daerah Karo, meski penggunaannya juga tercatat di daerah Batak lainnya. Pemilik perkebunan tembakau di Deli abad ke-19 kerap menerima surat ancaman semacam ini dari masyarakat Karo yang tanahnya sering kali disengketakan. Tak jarang pula para mengirim pulas tersebut menindaklanjuti ancaman mereka dengan membakar gudang dan perkebunan pada tanah yang dipermasalahkan.[17][19]
Misionaris Kristen Jerman yang mulai aktif di ranah Batak pada tahun 1860 awalnya menggunakan surat Batak dalam penyebaran dakwah mereka karena dinilai lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat lokal dibanding huruf Latin yang perlu diajarkan terlebih dulu.[20] Hal ini mendorong berkembangnya teknologi cetak untuk memproduksi buku-buku bersurat Batak secara massal, terutama buku pelajaran dan terjemahan Injil yang menjadi bahan pengajaran dalam sekolah-sekolah misionaris. Beberapa percetakan yang memproduksi materi bersurat Batak antara abad ke-19 hingga 20 adalah percetakan Elberfeld di Jerman, Laguboti di pesisir selatan Danau Toba, dan Landsdrukkerij atau Percetakan Negeri di Batavia.[21]
Kemunduran
Bersamaan dengan masuknya pengaruh Kristen maupun Islam di suatu wilayah Batak, tradisi tulis tradisional di daerah yang bersangkutan umumnya mengalami kemunduran. Meski misionaris Kristen awalnya mendukung penggunaan surat Batak dan mengembangkan teknologi cetak surat Batak untuk kegiatan dakwah mereka, penggunaan aksara ini tidak didukung semua pihak dan tak jarang pendakwah asing maupun lokal melaksanakan pemusnahan pustaha dan segala benda bersurat batak yang dianggap "menyimpang".[22] Hal serupa juga terjadi di wilayah Batak yang menerima pengaruh Islam seperti Mandailing, Partibi, dan Sipirok karena pengaruh kaum Padri,[23][24] sehingga tradisi tulis-menulis surat Batak hanya bertahan di pedalaman ranah Batak. Beberapa buku cetak Batak masih diproduksi setidaknya hingga tahun 1916,[21] namun memasuki abad ke-20 masyarakat Batak yang telah terpapar dengan edukasi modern kian memilih huruf Latin untuk fungsi sehari-hari sehingga produksi buku cetak Batak berkurang perlahan-lahan hingga berhenti sepenuhnya saat Perang Dunia II.[25]
Penggunaan kontemporer
Dalam ranah kontemporer, surat Batak telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sumatra Utara sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu.[1] Pada Juni 1988, sebuah lokakarya yang berlangsung di Medan berupaya untuk menghasilkan suatu standar tunggal dari varian-varian surat Batak yang telah ada. Lokakarya ini menetapkan satu set aksara yang disederhanakan dengan beberapa tambahan untuk bunyi asing serta angka, namun ahli Batak menilai hasil lokakarya ini sangatlah menyimpang dari penulisan Batak asli.[c] Hasil lokakarya ini tidak pernah diberlakukan secara resmi ataupun digunakan secara luas,[7] meski beberapa cuplikan tabelnya kadang dapat ditemukan di internet.[26] Pada umumnya, sedikit sekali masyarakat Batak kontemporer yang pernah melihat naskah Batak otentik karena budaya tulis tradisional yang berkurang drastis dan percetakan surat Batak yang tidak berlanjut sejak awal abad ke-20. Pada abad ke-21, surat Batak hanya sesekali digunakan untuk fungsi ornamental, dan satu-satunya "naskah" bersurat Batak yang masih sering dihasilkan di ranah Batak kontemporer adalah tiruan pustaha sebagai cendramata di pusat-pusat pariwisata seperti Parapat dan Tomok. Akibatnya, surat Batak yang kini diajarkan sering kali terdistorsi atau banyak menyimpang dari penulisan dalam naskah-naskah asli tanpa disadari oleh penulis masing-masing.[25][27] Salah satu contohnya dalam publikasi resmi misal contoh Surat Batak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III yang dicetak tahun 2002, halaman 1341.[7]
Bentuk
Aksara dasar
Aksara dasar (ina ni surat) dalam surat Batak merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 19 aksara dasar yang dimiliki semua varian aksara Batak, sementara beberapa aksara dasar yang hanya digunakan pada varian tertentu. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[1]
a | ha | ka | ba | pa | na | wa | ga | ja | da | ra | ma | ta | sa | ya | nga | la | nya | ca | nda | mba | i | u | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
||||||||||||||||||||||
Mandailing | |
|
|
||||||||||||||||||||
Pakpak | |||||||||||||||||||||||
Simalungun | |||||||||||||||||||||||
Toba | |
|
Bentuk-bentuk di atas merupakan bentuk yang digeneralisasi, tidak jarang suatu naskah menggunakan varian bentuk aksara atau tarikan garis yang sedikit berbeda antara satu sama lainnya tergantung dari daerah asal dan media yang digunakan.[7]
Aksara i (ᯤ) dan u (ᯥ) hanya digunakan untuk suku kata terbuka, misal pada kata dan ina ᯤᯉ dan ulu ᯥᯞᯮ. Untuk suku kata tertutup yang diawali dengan bunyi i atau u, digunakanlah aksara a (ᯀ atau ᯁ) bersama diaktirik untuk masing-masing vokal, misal pada kata indung ᯀᯪᯉ᯲ᯑᯮᯰ dan umpama ᯀᯮᯔ᯲ᯇᯔ.[28]
Diakritik
Diakritik (anak ni surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan, bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[1]
-i | -u | -é[1] | -e[2] | -o | -ou | -ng | -h | pemati | ||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
|
||||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen | |||
Mandailing | ||||||||||
uluwa | boruta | talinga | siala ulu | amisara | pangolat | |||||
Pakpak | ||||||||||
kaloan | kabereten | ketadingin | kabereten podi | sikora | kebincaren | sikorjan | pangolat | |||
Simalungun | ||||||||||
haluan | haboritan | hatalingan | sihorlu | hatulungan | haminsaran | hajoringan | panongonan | |||
Toba | ||||||||||
uluwa | boruta | hatadingan | siala | hamisaran | pangolat | |||||
Catatan
|
Tabel berikut menunjukkan bagaimana diakritik melekat pada aksara dasar ka dalam masing-masing varian aksara:
ka | ki | ku[3] | ké[1] | ke[2] | ko | kou | kang | kah | k | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Karo | |
|
||||||||
kelawan | sikurun | ketéléngan | kebereten | ketolongen | kebincaren | kejeringen | penengen | |||
Mandailing | ||||||||||
uluwa | boruta | talinga | siala ulu | amisara | pangolat | |||||
Pakpak | ||||||||||
kaloan | kabereten | ketadingin | kabereten podi | sikora | kebincaren | sikorjan | pangolat | |||
Simalungun | ||||||||||
haluan | haboritan | hatalingan | sihorlu | hatulungan | haminsaran | hajoringan | panongonan | |||
Toba | ||||||||||
uluwa | boruta | hatadingan | siala | hamisaran | pangolat | |||||
Catatan
|
Tanda baca
Teks tradisional Batak ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan normalnya tidak menggunakan tanda baca. Namun begitu, tanda baca bernama bindu kadang digunakan pada teks tertentu. Tanda baca ini sering kali bersifat dekoratif dan memiliki banyak variasi bentuk. Bindu godang umumnya digunakan untuk menandakan awal teks pada naskah pustaha, sementara bindu pinarjolma digunakan untuk menunjukan awal teks pada naskah bambu. Bindu na metek dan pinarboras digunakan untuk memisahkan antarbab atau bagian-bagian tertentu teks. Bindu judul kadang digunakan untuk memisahkan antara judul dan isi teks dalam satu baris kalimat. Bindu pangolat kadang digunakan menandakan disambiguasi pada kata atau istilah tertentu.[1]
bindu godang | bindu pinarjolma | bindu na metek | bindu pinarboras | bindu judul | bindu pangolat |
---|---|---|---|---|---|
Ortografi
Ligatur -u
Dalam penulisan Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba, diaktirik -u sering kali ditulis bersambung sehingga membentuk ligatur dengan aksara dasar bersangkutan. Ligatur tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:[1]
|
|
Penulisan suku kata tertutup
Pada penulisan suku kata tertutup yang berpola konsonan-vokal-konsonan, diakritik vokal yang normalnya menempel pada aksara dasar pertama ditempatkan ulang agar menempel dengan aksara dasar kedua dan diaktrik pemati. Aturan ini berlaku untuk semua varian aksara Batak, dan penerapannya (menggunakan contoh varian Batak Karo) dapat dilihat sebagaimana berikut:[1]
komponen | penulisan | keterangan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
ta + pa + pangolat = tap | |||||||||
ta + -i + pa + pangolat → ta + pa + -i + pangolat = tip | |||||||||
ta + -u + pa + pangolat → ta + pa + -u + pangolat = tup | |||||||||
ta + -é + pa + pangolat → ta + pa + -é + pangolat = tép | |||||||||
ta + -e + pa + pangolat → ta + pa + -e + pangolat = tep | |||||||||
ta + -o + pa + pangolat → ta + pa + -o + pangolat = top |
Penulisan diakritik -ng dan -h
Apabila suatu suku kata menggunakan diakritik vokal yang menempel di sebelah kanan aksara dasar, diakritik -ng dan -h ditulis tidak menempel pada aksara dasar namun diaktrik vokal yang bersangkutan. Penerapannya (menggunakan contoh Batak Karo) dapat dilihat sebagaimana berikut:[1]
komponen | penulisan | keterangan | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
pa + -i + ing = ping | |||||||
pa + -u + -ng = pung | |||||||
pa + -i + -h = pih | |||||||
pa + -e + -h = peh |
Contoh teks
Berikut adalah sebuah ratapan Batak Karo pada bambu dari koleksi Museum fur Völkerkunde Berlin no. IC 39908a. Alih aksara dan terjemahan disadur dari Kozok (1999):[29]
Aksara Batak | Alih aksara Latin | Terjemahan |
---|---|---|
ᯔᯂᯀᯪᯛᯨᯀᯒᯪᯂᯬᯗᯩᯉᯬᯆᯪᯞᯰᯆᯪᯞᯰᯂᯉᯪ᯳ᯆᯬᯞᯬᯱᯗᯎᯉ᯳ᯀᯩᯢ | maka io ari kuté nu bilang-bilang kin buluh tagan énda | inilah ratap tangis di bambu yang menjadi tabung |
ᯔᯉ᯳ᯀᯪᯝᯉ᯳ᯉᯬᯒᯪᯉᯬᯒᯪᯂᯉᯧ᯳ᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | man ingan nuri-nuriken até mesui la erngadi-ngadi | sebagai tempat untuk menceritakan penderitaanku yang tiada habisnya |
ᯘᯪᯔᯉ᯳ᯗᯬᯒᯉᯪ᯳ᯂᯉᯧ᯳ᯔᯔᯘᯪᯂᯒᯨᯂᯒᯨᯔᯒᯧ᯳ᯎᯉᯇᯧᯒᯩᯘᯪᯆᯪᯒᯪᯰ | si man turinken mama si karo-karo mergana beré simbiring | tentang aku yang bermarga Karo-karo, yang marga ibunya (beré) Simbiring |
ᯘᯪᯞᯇᯘ᯳ᯔᯧᯞᯬᯔᯰ | si lampas melumang | yang lekas menjadi yatim piatu |
ᯘᯪᯗᯒᯧ᯳ᯆᯆᯀᯗᯩᯔᯧᯘᯬᯋᯪᯞᯀᯒᯧᯝᯑᯪᯝᯑᯪ | si terbaba até mesui la erngadi-ngadi | yang penderitaannya tiada habis |
ᯇᯧᯝᯢᯨᯂᯬᯞᯔᯧᯀᯬᯞᯪ | péngindoku la mehuli | nasibku yang malang ini |
ᯉᯢᯩᯆᯪᯆᯪᯂᯬᯂᯒᯪᯉᯂᯗᯂᯬ | nandé bibiku karina kataku | wahai nandé dan bibiku semua, kataku |
ᯀᯩᯢᯗᯬᯒᯰᯂᯬᯗᯬᯒᯪᯂᯉᯧ᯳ | énda, turang, kuturiken | inilah, sayang, tuturanku |
Blok unicode
Aksara Batak telah ditambahkan ke dalam standar Unicode versi 6.0 sejak Oktober 2010 dalam rentang U+1BC0–U+1BFF:
Batak[1][2] Official Unicode Consortium code chart (PDF) | ||||||||||||||||
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | A | B | C | D | E | F | |
U+1BCx | ᯀ | ᯁ | ᯂ | ᯃ | ᯄ | ᯅ | ᯆ | ᯇ | ᯈ | ᯉ | ᯊ | ᯋ | ᯌ | ᯍ | ᯎ | ᯏ |
U+1BDx | ᯐ | ᯑ | ᯒ | ᯓ | ᯔ | ᯕ | ᯖ | ᯗ | ᯘ | ᯙ | ᯚ | ᯛ | ᯜ | ᯝ | ᯞ | ᯟ |
U+1BEx | ᯠ | ᯡ | ᯢ | ᯣ | ᯤ | ᯥ | ᯦ | ᯧ | ᯨ | ᯩ | ᯪ | ᯫ | ᯬ | ᯭ | ᯮ | ᯯ |
U+1BFx | ᯰ | ᯱ | ᯲ | ᯳ | ᯼ | ᯽ | ᯾ | ᯿ | ||||||||
Catatan |
Galeri
|
Lihat pula
Catatan
- ^ Surat Batako dalam masing-masing varian aksara:
Karon: ᯘᯬᯒᯗ᯳ᯆᯗᯂ᯳
Papua Merdeka: ᯚᯮᯒᯖ᯲ᯅᯖᯄ᯦᯲
Pap: ᯘᯮᯒᯗ᯲ᯅᯗᯂ᯲
Simalungunu: ᯙᯯᯓᯖ᯳ᯅᯖᯃ᯳
Toba: ᯘᯮᯒᯖ᯲ᯅᯖᯂ᯲ - ^ Secara umum, rumpun bahasa Batak dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelompok utara yang terdiri dari bahasa Alas-Kluet, Karo, dan Pakpak-Dairi serta kelompok selatan yang terdiri dari Angkola-Mandailing, Simalungun, dan Toba.[14]
- ^ Uli Kozok, salah satu peneliti terkemuka dalam studi Batak, mengkritik bahwa "hasil [lokakarya ini] sangat menyedihkan dan sangat menyimpang jauh dari surat Batak asli, bahkan bisa dianggap sebagai penyesatan"[7]
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i Everson, Michael; Kozok, Uli (07-10-2008). "Proposal for encoding the Batak script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3320R).
- ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten" (PDF). Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining. OCLC 220137657.
- ^ Kern, H (1882). "Eene bijdgrade tot de paleographie van Nederlansch-Indie". Bijdrage tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-indie. S' Gravenhage: Martinus Nijhoff.
- ^ Kozok 1996, hlm. 233–234.
- ^ Tuuk, H N van der (1971). A Grammar of Toba Batak (PDF). The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 77.
- ^ Parkin, H (1978). Batak Fruit of Hindu Thought. Madras. hlm. 100.
- ^ a b c d e Kozok 2009.
- ^ a b c Kozok 1996, hlm. 245–246.
- ^ Marsden, William (1784). History of Sumatra (PDF). London. hlm. 159-166.
- ^ Kozok 1996, hlm. 231–232.
- ^ Kozok 1996, hlm. 234–241.
- ^ Teygeler 1993, hlm. 601–607.
- ^ Vorhooeve, P (1977). Codices Batacici. Leiden: Universitaire Pers Leiden. hlm. 101.
- ^ Adelaar, K A (1981). "Reconstruction of Proto-Batak Phonology". Dalam Robert A Blust. Historical Linguistics in Indonesia. 1. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jayan. hlm. 1-20.
- ^ Kozok 2000, hlm. 53.
- ^ Kozok 1996, hlm. 241–242.
- ^ a b Kozok 1996, hlm. 236-239.
- ^ Kozok 2000, hlm. 50-51.
- ^ Kozok 2000, hlm. 51.
- ^ Schreiber, August (1884). "In welchen Sprachen predigen unsere Missionare?". Berichte der Rheinischen Missions-Gesellschaft. 41: 164-173.
- ^ a b Kozok 2000, hlm. 38-39.
- ^ Meerwaldt, J.H. (1922). "De nieuwe Bataksche Letterkunde". Mededelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap. 66: 295–311.
- ^ Voorhoeve, Petrus (1927). Overzicht van de volksverhalen der Bataks. hlm. 314.
- ^ Willer, T.J. (1846). "Verzameling der Battahschen wetten en instellingen in Mandheling en Pertibie". Tijdschrift voor Nederlandsch Indië. 8: 145–424.
- ^ a b Kozok 1996, hlm. 245-246.
- ^ Ulasan singkat mengenai Surat Batak oleh Andre Samosir kepada Lawrence K Lo untuk ancientscripts.com
- ^ Kozok 1999, hlm. 10.
- ^ Kozok 1999, hlm. 109.
- ^ Kozok 1999, hlm. 122-124.
Daftar Pustaka
- Kozok, Uli (1996). "Bark, Bones, and Bamboo: Batak Traditions of Sumatra". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
- Kozok, Uli (1999). Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9799023335.
- Kozok, Uli (2000). "On writing the not-to-be-read; Literature and literacy in a pre-colonial tribal society" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 156 (1): 33-55.
- Kozok, Uli (2009). Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak. Jakarta: Gramedia. ISBN 9799101530.
- Teygeler, René (1 Januari 1993). "Pustaha; A study into the production process of the Batak book". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 149 (3): 593-611. ISSN 0006-2294.
Pranala luar
Koleksi digital
- Koleksi naskah British Library
- Koleksi naskah Museum Antropologi Universitas Michigan
- Koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Naskah digital
- Pustaha Panampuhi, panduan meramal menggunakan air jeruk nipis koleksi British Library no. Add MS 4726
- Pustaha Poda ni Si Aji Manis, panduan untuk mencelakakan musuh koleksi Übersee-Museum no. A 12332
- Pustaha koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia no. peti 113 D4
- Pustaha koleksi SOAS University of London no. MS 41836
Lainnya
- Proposal Unicode untuk Surat Batak
- Dokumentasi Unicode mengenai sistem input Batak
- Situs Uli Kozok dengan rangkuman sejumlah penelitiannya terkait Surat Batak
- Artikel terkait koleksi pustaha Batak Tropenmuseum di Google Arts & Culture
- Artikel surat Batak di situs Omniglot.com
- Unduh font surat Batak di Situs Uli Kozok, Aksara di Nusantara, atau Google Noto Font