Asyeik, Asyek, atau Tarei Asyeik adalah suatu upacara adat untuk memanggil roh lelehur pada etnis Kerinci, Jambi. Upacara ini telah ada sejak zaman prasejarah dan masyarakat Kerinci saat itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Upacara ini dipimpin oleh seorang pawang atau dukun, sehingga upacara ini dianggap magis dan sakral.[1] Sejak Islam menyebar di Kerinci, upacara ini mengalami akulturasi seperti pada mantra-mantra dan tujuan doa yang disampaikan. Walau begitu, upacara ini dianggap sebagai saran berkomunikasi kepada kekuatan gaib yang dianggap sakti.[2][3]

Upacara ini terdiri dari banyak tahapan ritual yang dapat berlangsung hingga berhari-hari, bahkan satu minggu.[4] Upacara ini juga merupakan seni pertunjukan yang kompleks karena memadukan unsur seni musik tradisional, sastra, dan tari. Pada puncak ritual akan ditampilkan tari-tarian yang diiringi syair-syair mantra dan instrumen tradisional hingga salah seorang penari kerasukan arwah leluhur.[3][5][6]

Upacara Asyeik dapat dilakukan kapanpun tergantung tujuan penyelenggaraannya. Tujuan penyelenggaraannya pun beragam, seperti penolak bala, penyembuhan, bahkan sebagai ungkapan rasa syukur hasil panen. Bagi orang atau kelompok yang memiliki hajat pada upacara ini, mereka wajib menyediakan barang-barang berbagai keperluan ritual. Jika pemilik hajat atau keluarganya belum mampu, upacara dapat ditangguhkan.[2]

Seiring perkembangan zaman, Ritual Asyeik kini sudah mulai ditinggalkan. Anggapan bahwa ritual ini bertentangan dengan Islam juga menjadi salah satu alasannya.[7] Walau begitu, ritual ini masih bertahan di beberapa daerah tersebar di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, seperti di Siulak, Sitinjau Laut, dan Pondok Tinggi. Pada tahun 2016, Upacara Asyeik ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia.[2][6]

Sejarah

Asyeik, dalam dialek lain dalam bahasa Kerinci disebut aseak, asyek, atau aseik, memiliki arti khusyuk atau penuh keyakinan. Hal ini dimaksudkan karena upacara ini dilakukan untuk memohon bantuan melalui kekuatan sakti dengan penuh keyakinan agar keinginan yang dituju tercapai. Pada kondisi tertimpa musibah, dipercaya upacara ini juga dapat memberikan ketenangan bagi orang tersebut.[3]

Upacara ini telah lama diadakan oleh masyarakat Kerinci sejak zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya batu megalit silinder di Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci. Pada batu tersebut terdapat ukiran orang yang sedang menari yang diyakini sedang melakukan ritual Asyeik. Pada masa tersebut, masyarakat Kerinci masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.[3]

Antara abad ke-13 hingga abad ke-14, Islam mulai menyebar di Sakti Alam Kerinci (sebutan untuk wilayah budaya Kerinci). Persebaran agama Islam dilakukan oleh pendakwah-pendakwah dari Minangkabau. Para pendakwah tersebut merupakan pengamal ajaran Sufi yang juga menonjolkan mistisme dalam berhubungan dengan tuhan. Hal ini membuat kebudayaan setempat yang lekat dengan hal-hal mistis dapat mengalami akulturasi dengan Islam, termasuk pada Ritual Asyeik. Mantra-mantra yang dirapalkan pun disisipkan dengan puji-pujian kepada tuhan serta menyertakan nama nabi dan para tokoh-tokoh yang dianggap salih sebagai media untuk menyampaikan keinginan kepada Yang Maha Kuasa.[3]

Jenis upacara

Upacara Asyeik memiliki berbagai jenis upacara tergantung tujuan penyelenggarannya. Secara umum, semua jenis memiliki tahapan yang sama. Hal yang membedakan adalah barang yang diperlukan sebagai sesajen ataupun tahapan khusus di dalamnya. Jenis-jenis upacara tersebut antara lain:[3]

Asyeik Ngayun Luci

Asyeik Ngayun Luci diselenggarakan untuk memohon keselamatan dan limpahan rezeki di saat musim padi mulai berisi. Selain itu juga memohon agar dihindarkan dari hama. Secara bahasa, ngayun luci berarti mengayunkan luci. Luci merupakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang dapat digunakan untuk menyumpan beras. Pada ritual ini luci-luci akan diisikan sesajen berupa buah-buahan, khususnya dari hutan, dan digantungkan pada rumah adat.[3]

Asyeik Tulak Bala

Asyeik Tulak Bala diperuntukan untuk membuang pengaruh-pengaruh jahat yang dapat menimbulkan masalah dan bencana bagi desa. Dahulu ritual ini diadakan pada bulan Muharram atau Safar, dalam kalender hijriyah.[3]

  • Asyeik Naik Mahligai
  • Asyeik Nyabung
  • Asyeik Nyambai
  • Asyeik Mamujo Padang
  • Asyeik Tauh

Tahapan upacara

Asyeik diselenggarakan secara bertahap hingga mencapai tahapan puncaknya. Secara garis besar, tahapan asyeik terbagi dua, yaitu tahapan umum dan khusus. Tahapan umum merupakan tahapan yang disertakan pada semua jenis asyeik. Sementara tahapan khusus merupakan tahapan yang hanya ada pada jenis asyeik tertentu saja.[6][3]

Referensi

  1. ^ Neidel, J. David (2014-01-01). "Discourse of Decline: Local Perspectives on Magic in Highland Jambi, Indonesia". Social Analysis. 58 (1). doi:10.3167/sa.2014.580104. ISSN 0155-977X. 
  2. ^ a b c Ajawaila, Gerzon; Minawati, Rosta; Syafriadi, Syafriandi (2017-07-27). "RITUAL ASYEIK SEBUAH FENOMENA BUDAYA MENJADI ESTETIK PENCIPTAAN FILM DOKUMENTER". Bercadik : Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni (dalam bahasa Inggris). 2 (1). ISSN 2355-5149. 
  3. ^ a b c d e f g h i Sunliensyar, Hafiful Hadi (2016, November). "Ritual Asyeik sebagai Akulturasi antara Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Pra-Islam Suku Kerinci" (PDF). Siddhayatra. 21 (2): 107–128. 
  4. ^ Indonesia.go.id, Redaksi. "Menari dalam Kondisi Kerasukan". Indonesia.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-11. 
  5. ^ Ramadani, Yolla; Nurlizawati, Nurlizawati; Salamah, Salamah; Yelnim, Yelnim (2020-06-16). "RITUAL TAREI ASYEIK PADA MASYARAKAT KELURAHAN PONDOK TINGGI KOTA SUNGAI PENUH PROVINSI JAMBI". Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya (dalam bahasa Inggris). 5 (1): 1–20. doi:10.25217/jf.v5i1.818. ISSN 2548-7620. 
  6. ^ a b c Febriza, Bella; Nerosti, Nerosti; Iriani, Zora (2018-08-14). "STRUKTUR UPACARA DAN FUNGSI PERTUNJUKAN TARI ASYEIK DALAM PENGOBATAN DI DUSUN EMPIH KECAMATAN SUNGAI BUNGKAL KOTA SUNGAI PENUH". Jurnal Sendratasik. 7 (1): 61–66. ISSN 2302-3201. 
  7. ^ Refisrul, author. Minangkabau dan Kerinci : hubungan budaya dan sistem kekerabatan. ISBN 978-602-8742-90-0. OCLC 948427774.