Hosti
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Hosti adalah sejenis wafer bundar, dibuat dari adonan roti dan digunakan untuk Komuni Suci oleh banyak Gereja Kristen.
Berasal dari kata Latin, "hostia", artinya "korban" atau "hewan korban". Istilah ini digunakan untuk menyebut roti tersebut baik sebelum maupun sesudah konsekrasi, akan tetapi lebih tepat digunakan untuk menyebut roti yang sudah dikonsekrasi. Roti yang belum dikonsekrasi lebih tepat disebut "roti altar."
Pembuatan Hosti dalam Gereja katolik Roma
Dalam Gereja Katolik Roma, pembuatan hosti biasanya dikerjakan oleh para biarawati sebagai salah satu sumber penghasilan mereka. Hosti diharuskan diolah dari tepung gandum dan air saja (Kitab Hukum Kanonik, Kanon 924). Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa pada saat kalimat konsekrasi diucapkan, roti tersebut berubah menjadi Tubuh Kristus melalui transubstansiasi.
Petunjuk Umum Misa Romawi, 321 merekomendasikan "agar roti ekaristi ... dibuat sedemikian rupa sehingga imam, dalam misa yang dihadiri oleh umat, dapat dengan mudah memecah-mecahkannya menjadi potongan-potongan untuk didistribusikan sekurang-kurangnya kepada beberapa umat beriman. ... Tindakan pemecahan roti, yang menjadi nama perayaan Ekaristi pada zaman apostolik, akan memperlihatkan dengan lebih jelas kekuatan dan makna mendalam dari tanda kesatuan semua orang dalam satu roti, dan dari tanda amal-kasih oleh karena roti yang satu itu dibagi-bagikan antar saudara-saudari."
Gereja Roma, pada puncak kejayaannya, sungguh-sungguh cermat dalam segala hal yang berhubungan dengan roti sakramental. Menurut Steevens, dalam bukunya Monasticon, pertama-tama orang mimilih gandum, biji demi biji, lalu mencucinya dengan sangat berhati-hati. Kemudian biji-bijian tersebut, dibawa dalam sebuah kantong ke tempat penggilingan oleh seorang pelayan, yang dikenal sebagai orang baik-baik dan yang khusus ditunjuk untuk mengerjakan hal tersebut. Pelayan itu menggiling biji-biji gandum tadi dengan batu penggilingan, setelah menutupi baik bagian atas maupun bawahnya dengan tabir-tabir; dan dia sendiri telah mengenakan selembar alba serta menutupi seluruh wajahnya kecuali di bagian mata dengan selembar kerudung. Pengolahan rotinya juga dilakukan dengan cermat. Adonan tidak dipanggang sebelum dibasuh terlebih dahulu; pejabat gereja, jika dia seorang imam atau diakon, merampungkan pekerjaan itu dengan bantuan dua rohaniwan, yang berasal dari ordo yang sama, serta seorang bruder, yang khusus ditunjuk untuk melakukan tugas tersebut. Seusai matin (sembahyang subuh), keempat rahib tersebut membasuh wajah dan tangan mereka. Tiga di antaranya mengenakan alba; salah satu dari mereka membasuh adonan dengan air bersih yang murni, lalu yang lain memanggangnya dalam panggangan dari besi. Begitu besar pengabdian dan hormat, kata sejarawan tersebut, yang diberikan para rahib Cluni kepada Ekaristi! Bahkan sekarang ini pun, di daerah itu, tukang roti yang mempersiapkan wafer sakramental tersebut, harus mendapatkan penunjukan dan izin pembuatan dari uskup Katolik setempat.
Tradisi Timur dan Barat
Ritus Latin menggunakan roti tidak beragi. Gereja-Gereja Katolik Timur dan Gereja-Gereja Ortodoks Timur menggunakan roti yang beragi sebagai Prosfora (kata Yunani untuk roti altar ekaristi), kecuali dalam Gereja Apostolik Armenia, Gereja Katolik Armenia, Gereja Katolik Siro-Malabar dan Gereja Maronit yang, akibat latinisasi liturgis dalam sejarahnya, telah menerima (atau terpaksa menerima) penggunaan roti tidak beragi. Beberapa tradisi melarang penggunaan hosti yang dibubuhi rempah-rempah, perasa atau pemanis, sedangkan beberapa tradisi lain memperbolehkannya. Sekalipun demikian, baik tradisi Barat maupun Timur bersikukuh bahwa roti tersebut harus terbuat dari gandum.
Lihat pula
Sumber pustaka
- Eucharistic Bread-Baking As Ministry. Tony Begonja. San Jose: Resource Publications, 1991, ISBN 0-89390-200-4.