Kesultanan Jailolo

Revisi sejak 7 Agustus 2020 14.18 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (Memperbaiki teks)

Kesultanan Jailolo adalah salah satu kesultanan yang pernah berkuasa di Kepulauan Maluku. Pendirian kesultanan ini berawal dari Persekutuan Moti yang diusulkan oleh Sultan Sida Arif Malamo.[1]

Kesultanan Jailolo adalah satu-satunya kesultanan di Maluku Utara yang pusat pemerintahannya berada di Pulau Halmahera.[2] Selain itu, wilayah Kesultanan Jailolo adalah salah satu sumber penghasil cengkih di Kepulauan Maluku.[3] Kesultanan Jailolo telah berdiri sejak abad ke-13 Masehi. Pada abad ke-17, kesultanan ini mengalami keruntuhan. Wilayah-wilayahnya kemudian terbagi menjadi bagian dari Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate.[4]

Kesultanan Jailolo didirikan kembali secara adat setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998. Bersamaan dengan itu, komunitas adat Moloku Kie Raha dibentuk kembali. Selama periode 2002–2017, telah terpilih empat keturunan dari Kesultanan Jailolo sebagai pemimpin adat.[5] Kesultanan Jailolo tidak memiliki banyak peninggalan arkeologi. Bekas Istana Kesultanan Jailolo tidak ditemukan sama sekali. Peninggalan yang tersisa hanya berupa benteng, masjid, dan makam kuno.[6]

Keagamaan

Kesultanan Jailolo mulai mengenal agama Islam setelah menjalin kerja sama perdagangan dengan para pedagang dari Pulau Jawa. Selain itu, masyarakat Jailolo mulai beragama Islam setelah Sultan Zainal Abidin kembali dari Kedatuan Giri dan mulai berdakwah di Kepulauan Maluku. Agama Islam semakin berkembang di Kesultanan Jailolo setelah Selat Malaka menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan para pedagang Arab dengan wilayah Indonesia Timur secara langsung.[7]

Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perkembangan kekuasaan Islam yang paling awal di Maluku Utara. Masyarakat Jailolo mulai meninggalkan pemikiran primitif sejak Islam diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik.[8] Kesultanan Jailolo menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya. Al-Qur'an dan nasihat para leluhur menjadi sumber hukum utama dalam menjalankan hubungan sosial. Kehidupan masyarakat sepenuhnya diatur oleh adat yang dikenal sebagai Adat Se Atorang.[9]

Kesultanan Jailolo bekerja sama dengan Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bacan dalam menyebarkan Islam di Maluku Utara. Mereka menyebarluaskan tentang syariat, tarekat, hakikat dan makrifat Islam kepada masyarakat Maluku.[10] Peran masing-masing kesultanan diatur pada tahun 1322 dalam Persekutuan Moti. Urusan tarekat diserahkan kepada Kesultanan Tidore. Kesultanan Ternate diberi tanggung jawab dalam urusan syariat. Urusan hakikat diberikan kepada Kesultanan Bacan. Sedangkan Kesultanan Jailolo menerima tanggung jawab dalam urusan makrifat. Pada masa ini, perkembangan tarekat sangat pesat dengan disertai pembangunan masjid-masjid. Tarekat-tarekat yang berkembang yaitu Alawiyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah. Masing-masing tarekat ini beribadah pada masjid yang terpisah, tetapi tetap saling menghormati dan rukun.[11]

Perdagangan

Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perdagangan cengkih di Pulau Halmahera pada abad ke-15.[12] Wilayahnya merupakan penghasil rempah-rempah sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang asing. Para pedagang asing ini berasal dari Arab, Eropa, Gujarat, Cina, Melayu, Jawa, dan Makassar.[13] Wilayah pesisir barat Pulau Halmahera menjadi pusat bandar-bandar perdagangan Kesultanan Jailolo.[14]

Keruntuhan

Pada tahun 1359, Kesultanan Ternate menyerang Kesultanan Jailolo atas perintah Gapi Malamo. Serangan kembali dilakukan oleh Komala Pulu pada tahun 1380 dan Taruwese pada tahun 1524 dan 1527. Serangan-serangan ini membuat wilayah kekuasaan dari Kesultanan Jailolo berkurang. Pada tahun 1534, Kesultanan Jailolo merebut kembali wilayahnya dengan dipimpin oleh Sultan Katarabumi dengan bantuan dari Portugis. Kesultanan Jailolo kemudian menyerang Kerajaaan Moro untuk memperluas wilayahnya. Penyerangan ini dibantu oleh Sultan Deyalo yang diberhentikan sebagai sultan dari Kesultanan Ternate oleh Portugis.[15]

Pada tahun 1551, Kesultanan Ternate menyerang Kesultanan Jailolo dengan bantuan dari Portugis. Serangan ini membuat sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi milik Kesultanan Ternate. Wilayah yang dikuasai kemudian diisi oleh Suku Ternate, sehingga masyarakat Jailolo khususnya Suku Wayoli pindah ke wilayah Kesultanan Jailolo yang lainnya.[16] Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate kembali melakukan serangan dan dibantu oleh Belanda. Kedua serangan ini akhirnya mengakhiri kekuasaan dari Kesultanan Jailolo.[17] Pada tahun yang sama, Kesultanan Ternate menggabungkan bekas wilayah Kesultanan Jailolo menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya.[18] Kaicil Alam menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Jailolo. Ia dinikahkan dengan saudari Sultan Sibori dan jabatannya diubah menjadi sangaji atau perwakilan Kesultanan Ternate. Kesultanan Jailolo sepenuhnya menjadi wilayah kekuasaan dari Kesultanan Ternate setelah Kaicil Alam wafat.[19]

Silsilah

Kesultanan Jailolo termasuk dalam salah satu dari Moloku Kie Raha atau empat penguasa wilayah Kepulauan Maluku. Kesultanan ini menjadi salah satu penguasa atau kolano, bersama dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan. Keempat penguasa kesultanan ini berasal dari garis keturunan yang sama.[20] Mereka merupakan keturunan dari Jafar Shadiq yang datang ke Ternate pada tahun 1250. Ia menikahi Nur Sifa yang merupakan seorang puteri dari penguasa Ternate. Pernikahan ini melahirkan 4 orang putera dan 4 orang puteri. Keempat puteranya kemudian menjadi penguasa di Maluku. Anak pertamanya yang bernama Buka menjadi penguasa di Makian. Anak keduanya yang bernama Daraji menjadi penguasa di Jailolo. Anak ketiganya bernama Sahajat menjadi penguasa di Tidore. Sedangkan anak keempat yang bernama Mansyur Malamo menjadi penguasa di Ternate.[21]

Peninggalan

Benteng Gamlamo

Benteng Gamlamo dibangun untuk menghadapi serangan Kesultanan Ternate dan Portugis. Pembangunan benteng dipimpin oleh Sultan Katarabumi. Pondasi benteng dibuat dari bahan tanah dan batu. Sekelilingnya dibanguni tembok dengan dua kubu pertahanan. Benteng ini memiliki persenjataan berupa 100 pucuk senjata laras panjang,18 pucuk meriam, satu mortir, dan beragam senjata untuk mencegah pengepungan. Senjata-senjata ini berasal dari Pulau Jawa.[22]

Masjid Gammalamo

Masjid Gammalamo terletak di pesisir Teluk Jailolo. Keberadaan masjid ini menjadi salah satu peninggalan sejarah perkembangan Islam di wilayah pesisir Jailolo, Halmahera.[23] Pembangunan Masjid Gammalamo dimulai pada awal tahun 1900-an atas prakarsa suku-suku di Jailolo, yaitu Suku Moro, Suku Wayoli, Suku Porniti dan Suku Gammalamo.[24]

Nisan-nisan Kuno

Nisan-nisan kuno merupakan salah satu peninggalan Islam di Kesultanan Jailolo. Nisan-nisan ini ditemukan pada makam-makam yang ada di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo. Ketiga desa ini berada di dalam wilayah Kecamatan Jailolo. Nisan-nisan kuno ini berbentuk pipih dan balok serta memiliki ornamen dengan ukiran kaligrafi dan bunga yang bersulur.[25]

Pendirian Kembali

Kesultanan Jailolo mulai didirikan kembali secara adat setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998. Komunitas adat Moloku Kie Raha mulai dibentuk kembali. Selama periode 2002—2017, telah terangkat empat sultan yang berkuasa secara berturut-turut, yaitu Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah.[5]

Rujukan

  1. ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 197."Jailolo merupakan bagian dari 4 kesultanan yang ada di Maluku yang lahir karena adanya perjanjian Moti Verbond yang diprakarsai oleh Sultan Sida Arif Malamo."
  2. ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 149."Keempat kerajaan di Maluku Utara masing-masing berpusat di sebuah pulau kecil yang berjajar di sebelah barat Halmahera. Hanya Jailolo yang berpusat di Halmahera."
  3. ^ Rahman, Fadly (2019), hlm. 353."Wilayah yang menjadi sumber tanaman cengkih (Eugenia aromatica) adalah lima pulau kecil di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan; selain juga Halmahera, terutama di Jailolo."
  4. ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 134."Sejak abad ke-13, di Kepulauan Maluku sudah terdapat beberapa kerajaan yang disebut kolano, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Kerajaan Jailolo sebenarnya telah hilang pada abad ke-17 karena wilayahnya telah dibagi-bagi antara kerajaan Ternate dan Tidore dengan bantuan VOC."
  5. ^ a b Mansur dan Said (2018), hlm. 137—138."Setelah gerakan reformasi 1998, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan pun dihidupkan kembali, seolah memberi kesan bahwa reformasi telah memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi adat termasuk institusi kesultanan. Ruang reformasi itu rupanya memungkinkan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang menjadi bagian dari pilar Moloku Kie Raha. Dengan semangat “Marimoi Ngone Futuru”, Jailolo sebagai bagian dari pilar Moloku Kie Raha akhirnya dihidupkan kembali pada 2002. Dengan hadirnya Kesultanan Jailolo, maka lengkaplah konfigurasi Moloku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Akan tetapi, eksisnya kembali Kesultanan Jailolo melahirkan dinamika tersendiri terhadap perkembangan institusi dan masyarakatnya. Kondisi ini dapat diamati dari adanya kontroversi mengenai hubungan geneologis sultan, pengangkan dan pemberhentian sultan, dan perangkat kesultanan dari 2002 sampai 2017. Pada periode yang disebutkan di atas, setidaknya terdapat empat sultan di Jailolo dengan pendukungnya masing-masing. Keempat sultan itu adalah Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah."
  6. ^ Handoko, Wuri (2010), hlm. 7."Dari segi tinggalan arkeologi, Kerajaan Jailolo meninggalakn sedikit jejak-jeka material dibandingkan dengan Ternate dan Tidore, hanya mesji, makam kuno, benteng Portugis, adapun bekas istana Jailolo sudah tidak ada."
  7. ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 204."Masuknya Islam ke Jailolo tidak terlepas dari adanya hubungan Jawa dengan Maluku pada masa lampau dan ditambah lagi dengan peranan Sultan Zainal Abidin salah seorang Sultan Ternate yang belajar Islam ke Giri dan melanjutkan dakwahnya di Kepulauan Maluku. Selain itu, peranan Selat Malaka sebagai pintu gerbang masuknya pedagang pedagang asing ke Nusantara menyebabkan terjadinya kontak bangsa Arab dengan penduduk Nusantara terutama ke wilayah Indonesia Timur. Adanya Hubungan Jawa dengan Maluku mendorong berkembangnya pertumbuhan masyarakat muslim khususnya di Jailolo."
  8. ^ Handoko, Wuri (2014), hlm. 100."Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. (...). Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politi, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu."
  9. ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 232."Sebagai kerajaan islam, maka kepada empat kerjaan Moloku Kie Raha masing-masing menjaga empat pilar dalam Islam yakni Jailolo menjaga syariat, Tidore menjaga tarekat, Bacan menjaga hakikat, Dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan sosial mengacu pada aturan adat yang mengatur kehidupan dikenal dengan Adat Se Atorang. Aturan adat bersumber dari falsafah leluhur dan Al-Qur'an."
  10. ^ Kader, Abdurrahman (2018), hlm. 1—2."Secara historis di Maluku Utara pernah beridiri empat kesultanan yang ter-nama sekitar abad XVI-XVIII yang kita ke-nal Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo. Keempat kerajaan ini menjalankan empat pilar agama yakni syari`at, thariqat, hakikat dan ma`rifat. Dengan pembagian tugas masing-masing maka Kesultanan Tidore menegakan dan menyebarluaskan pendidikan ilmu thariqat. Namun secara harfiah keempat kesultanan ini menegakan empat pilar agama tersebut dan menyebar-luaskan kepada semua warga masyarakat khusus yang beragama Islam."
  11. ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 155."banyaknya masjid di Tidore melambangkan suburnya aliran tarekat yang tidak lepas kaitannya dengan perjanjian antara empat kesultanan di Maluku pada 1322 di Pulau Moti. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Ternate menekankan pada pengurusan syariat, Tidore pada pengurusan tarekat, Bacan pada pengurusan hakikat, dan Jailolo serta Halmahera pada pengurusan makrifat. Tarekat-tarekat seperti Alawiyah, Qadiriyah, dan Naqsabandiyah dapat hidup berdampingan meski mempunyai masjid sendiri sendiri. Kunci dari perdamaian antartarekat itu adalah saling menghormati."
  12. ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 106."Pada abad ke-15, Maluku merupakan pusat perdagangan cengkih di bagian timur Nusantara, khususnya di Maluku Utara sebelah barat Pulau Halmahera. Beberapa kerajaan lain yang juga merupakan pusat perdagangan cengkih adalah Tidore, Bacan, dan Jailolo di Halmahera."
  13. ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 198."Pada masa lalu, Jailolo merupakan bagian dari Provinsi Maluku sebagai sebuah kota kabupaten. Maluku yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah (spice islands) banyak dikunjungi oleh pedagang asing. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, Kepulauan Maluku banyak disinggahi oleh pedagang Arab. Selain itu, Kepulauan Maluku juga disinggahi oleh pedagang dari daerah Jawa, Melayu, Makassar, Cina, dan Gujarat dengan tujuan untuk berdagang rempah-rempah terutama cengkeh (...)."
  14. ^ Amir dan Utomo (2016), hlm. 114."Jailolo membawahi bandar-bandar di pesisir barat Pulau Halmahera."
  15. ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 237."Jailolo kembali merebut kedaulatannya pada masa pemerintahan Katarabumi (...). Di masa pemerintahan Katarabumi (1534) , wilayah Jailolo yang berhasil dikuasai oleh Ternate direbut kembali dengan bantuan Portugis. Bahkan berbalik melebarkan kekuasaan dengan merebut kerajaan Moro (Morotai). Dalam penyerangan ke Moro, Katarabumi bekerja sama dengan Sultan Deyalo, sultan Ternate yang dilengserkan oleh Portugis (...)."
  16. ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 142." (...) pada tahun 1551, berkat bantuan Portugis, Ternate berhasil menganeksasi dan menjadikan wilayah Jailolo sebagai bagian dari kekuasaan Ternate. Pascakekalahan ini, masyarakat Jailolo terutama suku Wayoli banyak yang keluar dari wilayah Jailolo. Daerah-daerah yang ditinggalkan kemudian diisi oleh eksodus besar-besaran masyarakat Ternate."
  17. ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 134."Setidaknya terdapat dua serangan besar yang dilancarkan oleh pihak Ternate (dibantu oleh sekutu bangsa Eropa), yaitu tahun 1551 (bersama Portugis),dan tahun 1620 (bersama Belanda). Para ahli sejarah berpandangan bahwa dua serangan ini bahkan telah merusak struktur kekuasaan internal Kesultanan Jailolo."
  18. ^ Mansur dan Said (2018), hlm. 137."Adapun Kesultanan Jailolo telah dianeksasi oleh Kesultanan Ternate sejak 1620."
  19. ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 238."Raja Jailolo yang terakhir Kaicil Alam dikawinkan dengan saudara Sultan Sibori dan ditempatkan di Ternate. Sejak itu Jailolo secara de facto berada di bawah kekuasaan Ternate. Setelah Sultan Jailolo meninggal, Jailolo menjadi distrik yang dikepalai seorang Sangaji."
  20. ^ Pudjiastuti, Titik (2016), hlm. 2."(...) di daerah Maluku dikenal ungkapan tradisional yang disebut Moloku Kie Raha, yaitu istilah untuk menyebut empat penguasa daerah yang disebut kolano: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kolano ini dianggap mempunyai hubungan darah, keturunan dari Jafar Shidik, ulama Jawa yang datang ke Ternate pada tahun 1250 M dan menikah dengan putri Ternate. Dari perkawinan itu lahirlah empat orang putra yang disebut kolano."
  21. ^ As'ad, Muhammad (2010), hlm. 176."(...), Jafar shadiq (juga disebut Jafar Nuh) yang tiba di Ternate pada hari Senin, 6 Muharram 643 H atau 1250 M. Jafar Shadiq kawin dengan seorang puteri setempat yang diberinya nama Nur Sifa dan melahirkan 4 orang putera dan 4 orang puteri. Keempat putera itulah yang menjadi raja pertama dari empat kerajaan di Maluku, yaitu pertama Buka di makian, kedua Daraji di Jailolo, ketiga Sahajat di Tidore, dan keempat Mansyur Malamo di Ternate."
  22. ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 143."Selain pemimpin yang kuat, Kesultanan Jailolo pada saat itu juga memiliki benteng yang sulit ditembus hingga pada akhirnya pasukan gabungan Ternate-Portugis berhasil menaklukkan benteng ini. Menghadapi serangan besar ini, Katarabumi memperkuat benteng tersebut dengan membuat dinding luar yang terbuat dari tanah dan batu yang di atasnya berdiri tembok dengan dua kubu pertahanan (bulwark). Benteng ini juga dilengkapi dengan 100 pucuk senjata laras panjang, 18 pucuk meriam serta sebuah mortir, dan berbagai senjata yang didatangkan dari Pulau Jawa, berikut berbagai peralatan untuk mengatasi kepungan."
  23. ^ Siswayanti, Novita (2016), hlm. 332."Lokasi Masjid Gammalamo berada di pesisir pantai Teluk Jailolo merefleksikan eksistensi komunitas muslim di Jailolo Halmahera."
  24. ^ Siswayanti, Novita (2016), hlm. 334."Masjid Gammalamo masjid tertua yang dibangun pada awal tahun 1900-an atas swadaya masyarakat yang bergotong-royong bahu-membahu mendirikan tempat ibadah. Berawal tidak adanya bangunan rumah ibadah bagi kaum muslim di Jailolo, maka atas prakarsa Suku Moro (suku tertua di Jailolo) rakyat Jailolo bersepakat dan berswadaya mendirikan masjid. Empat suku di Jailolo yaitu suku Moro, Wayuli, Porniti, Gammalamo."
  25. ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 199—200."Masuknya pengaruh Islam ke Kepulauan Maluku menyisakan data-data arkeologis berupa nisan-nisan kuno terutama di Jailolo yang tersebar di enam titik yang tersebar di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo, Jailolo. Berdasarkan tipologi, nisan kuno di Jailolo berbentuk pipih dan balok. Ornamen pada nisan berupa kaligrafi dan flora berbentuk bunga serta suluran."

Daftar Pustaka

Buku

  • Amir, Amrullah dan Utomo, Bambang Budi (2016). Aspek-aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku & Luwu. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ISBN 978-602-1289-44-0. 

Jurnal Ilmiah

Buletin