Bedil
Bedil adalah istilah dari daerah Nusantara di Asia Tenggara Maritim yang mengacu pada berbagai jenis senjata api dan senjata bubuk mesiu, dari pistol matchlock kecil sampai meriam pengepungan yang besar. Istilah bedil berasal dari kata wedil (atau wediyal) dan wediluppu (atau wediyuppu) dari bahasa Tamil.[1] Dalam bentuk aslinya, kata-kata ini secara berurut merujuk pada ledakan mesiu dan niter (kalium nitrat). Tapi setelah terserap menjadi bedil pada bahasa Melayu, dan di sejumlah budaya lain di kepulauan Nusantara, kosakata Tamil itu digunakan untuk merujuk pada semua jenis senjata yang menggunakan bubuk mesiu. Pada bahasa Jawa dan Bali istilah bedil dan bedhil dikenal, pada bahasa Sunda istilahnya adalah bedil, di bahasa Batak sebagai bodil, di bahasa Makassar, badili, di bahasa Bugis, balili, di bahasa Dayak, badil, di bahasa Tagalog, baril, di bahasa Bisaya, bádil, di rumpun bahasa Bikol, badil, dan orang Melayu orang memanggilnya badel atau bedil.[1][2][3]
Sejarah
Pengetahuan tentang senjata berbasis bubuk mesiu diperkenalkan ke kerajaan Jawa ketika tentara Cina Kublai Khan di bawah kepemimpinan Ike Mese berusaha untuk menginvasi Jawa pada tahun 1293. Buku Sejarah Yuan (Yuan shi) menyebutkan bahwa orang Mongol menggunakan meriam (bahasa Cina: Pao) melawan pasukan Daha.[4] Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1329-1364) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[5] Salah satu catatan paling awal tentang adanya meriam dan penembak artileri di Jawa adalah dari tahun 1346.[6] Meriam putar isian belakang yang dibuat oleh orang Jawa, cetbang, pada awalnya dikenal dengan nama bedil, kata yang menunjukkan senjata berbasis serbuk mesiu apapun.[7]
Pendahulu senjata api, meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan oleh Jawa pada tahun 1413.[8][9] Akan tetapi pengetahuan membuat senjata api sejati datang jauh setelah penggunaan meriam putar, setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460.[10] Ini menghasilkan perkembangan arquebus Jawa, yang aslinya juga disebut dengan nama bedil.[11] Pengaruh Portugis terhadap persenjataan lokal, terutama setelah perebutan Malaka (1511), menghasilkan senjata api matchlock tradisi campuran jenis baru, yaitu istinggar.[12]
Penjajah Portugis dan Spanyol kadang-kadang terkejut dan bahkan kalah persenjataan.[13] Duarte Barbosa mencatat berlimpahnya senjata berbasis bubuk mesiu di Jawa sekitar tahun 1510. Orang Jawa dianggap sebagai ahli pembuat senjata api dan penembak artileri yang baik. Senjata yang ditemukan di sana diantaranya meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya.[14][15] Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, meriam putar yang diisi dari belakang (cetbang) dan meriam putar isian depan (lela dan rentaka) ditemukan dan dirampas oleh Portugis.[16] Saat pertempuran itu, orang-orang Melayu menggunakan meriam, senapan matchlock, dan "tabung tembak".[17] Pada awal abad ke-16, orang Jawa sudah memproduksi meriam besar secara lokal, beberapa di antaranya masih bertahan sampai hari ini dan dijuluki sebagai "meriam keramat" atau "meriam suci". Meriam ini bervariasi antara 180-260 pon, beratnya antara 3-8 ton, panjangnya antara 3-6 m.[18]
Pemanenan saltpeter dicatat oleh para pelancong Belanda dan Jerman sebagai hal yang biasa bahkan di desa-desa terkecil dan dikumpulkan dari proses dekomposisi bukit-bukit kotoran besar yang secara khusus ditumpuk untuk tujuan tersebut. Hukuman Belanda karena memiliki bubuk mesiu yang tidak diizinkan tampaknya adalah amputasi.[19] Kepemilikan dan pembuatan mesiu kemudian dilarang oleh penjajah kolonial Belanda.[20] Menurut kolonel McKenzie yang dikutip dalam buku Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java (1817), belerang paling murni dipasok dari kawah dari gunung dekat selat Bali.[21]
Untuk senjata api yang menggunakan mekanisme flintlock, penduduk kepulauan Nusantara bergantung pada kekuatan Barat, karena tidak ada pandai besi lokal yang dapat menghasilkan komponen rumit seperti itu.[22][23][24] Senjata api flintlock ini adalah senjata yang sama sekali berbeda dan dikenal dengan nama lain, yaitu senapan atau senapang, yang berasal dari kata Belanda snappaan.[25] Daerah pembuatan senjata di Nusantara dapat membuat senjata jenis ini, laras dan bagian kayunya dibuat secara lokal, tetapi mekanismenya diimpor dari penjajah Eropa.[24][26][23]
Daftar senjata yang diklasifikasikan sebagai bedil
Di bawah ini adalah senjata yang secara historis dapat disebut sebagai bedil. Deskripsi lengkap dapat ditemukan di halaman masing-masing. Ini diurutkan berdasarkan abjad.
Arquebus Jawa adalah senjata api kancing sumbu panjang primitif dari Jawa, digunakan sebelum kedatangan penjelajah Iberia (orang Portugis dan Spanyol).
Meriam galah buatan lokal.
Meriam putar isian belakang awal yang dibuat oleh orang Jawa.
Meriam putar dengan pengarah yang menyerupai ekor monyet lutung.[27]
Jenis senjata api matchlock, hasil dari pengaruh Portugis terhadap persenjataan lokal, terutama setelah perebutan Malaka (1511).[12]
Lela adalah sejenis meriam, serupa tetapi berdimensi lebih besar dari rentaka.
Dulunya kata ini digunakan untuk satu jenis meriam, sekarang ia merupakan kata de facto bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia untuk "cannon".[28][29]
Juga dikenal sebagai meriam mata uang, senjata api ini diproduksi terutama untuk perdagangan dan barang koleksi.
Senjata api dengan mulut yang semakin melebar (flared muzzle).
Meriam putar lokal, sangat populer di kalangan orang Melayu.
Sejenis pistol pasukan dragoon, digunakan terutama oleh pelaut dan bajak laut.
Lihat juga
Referensi
- ^ a b Kern, H. (January 1902). "Oorsprong van het Maleisch Woord Bedil". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 54: 311–312.
- ^ Syahri, Aswandi (6 August 2018). "Kitab Ilmu Bedil Melayu". Jantung Melayu. Diakses tanggal 10 February 2020.
- ^ Rahmawati, Siska (2016). "Peristilahan Persenjataan Tradisional Masyarakat Melayu di Kabupaten Sambas". Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa. 5.
- ^ Song Lian. History of Yuan.
- ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792213768.
- ^ Beauvoir, Ludovic (1875). Voyage autour du monde: Australie, Java, Siam, Canton, Pekin, Yeddo, San Francisco. E. Plon.
- ^ "Mengejar Jejak Majapahit di Tanadoang Selayar - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2020-03-19.
- ^ Mayers (1876). "Chinese explorations of the Indian Ocean during the fifteenth century". The China Review. IV: p. 178.
- ^ Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268.
- ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans.
- ^ Kern, H. (January 1902). "Oorsprong van het Maleisch Woord Bedil". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 54: 311–312.
- ^ a b Andaya, L. Y. 1999. Interaction with the outside world and adaptation in Southeast Asian society 1500–1800. In The Cambridge history of southeast Asia. ed. Nicholas Tarling. Cambridge: Cambridge University Press, 345–401.
- ^ Atsushi, Ota (2006). Changes of regime and social dynamics in West Java : society, state, and the outer world of Banten, 1750–1830. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-15091-1.
- ^ Barbosa, Duarte (1866). A Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century. The Hakluyt Society.
- ^ Partington, J. R. (1999). A History of Greek Fire and Gunpowder (dalam bahasa Inggris). JHU Press. ISBN 978-0-8018-5954-0.
- ^ Charney, Michael (2004). Southeast Asian Warfare, 1300-1900. BRILL. ISBN 9789047406921.
- ^ Gibson-Hill, C. A. (July 1953). "Notes on the old Cannon found in Malaya, and known to be of Dutch origin". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 26: 145–174 – via JSTOR.
- ^ Modern Asian Studies. Vol. 22, No. 3, Special Issue: Asian Studies in Honour of Professor Charles Boxer (1988), pp. 607–628 (22 pages).
- ^ Raffles, Thomas Stamford (1978). The History of Java (edisi ke-[Repr.].). Kuala Lumpur: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-580347-1.
- ^ Dipanegara, P.B.R. Carey, Babad Dipanagara: an account of the outbreak of the Java war, 1825–30 : the Surakarta court version of the Babad Dipanagara with translations into English and Indonesian volume 9: Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing Works: 1981.
- ^ Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Oxford University Press, 1965 (originally published in 1817), ISBN 0-19-580347-7
- ^ Raffles, Sir Thomas Stamford (1830). The History of Java, Volume 2. Java: J. Murray.
- ^ a b Egerton, W. (1880). An Illustrated Handbook of Indian Arms. W.H. Allen.
- ^ a b Tarling, Nicholas (1999). The Cambridge History of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-66370-0.
- ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans.
- ^ Dasuki, Wan Mohd (2014). "Malay Manuscripts on Firearms as an Ethnohistorical Source of Malay Firearms Technology". Jurnal Kemanusiaan. 21: 53–71.
- ^ Teoh, Alex Eng Kean (2005). The Might of the Miniature Cannon A treasure of Borneo and the Malay Archipelago. Asean Heritage.
- ^ Dewan Bahasa dan Pustaka (2014). Kamus Dewan Edisi Keempat. Dewan Bahasa dan Pustaka.
- ^ Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.