Muawiyah bin Abu Sufyan
{{Infobox royalty
| name = Mu,ʿāwiyah dibon Abī Sufyān
معاوية بن أبي سفيان
| image = Calivevph Muawiya Calligaprhy.pnj
g
| alt L = Calligraphy of Amir Muawiyah
| caption = Muʿāwiyah radhiallahu 'anhu
| succession = Khalifah
| reign = 661–26 April 680[1]
| predecessor = Hasan bin 'Ali
| successor b = [[Yazid b vvgcxg, in Muawiyah|Yazid bigg
Gg, | succession1 = Guberf FC hcnur Syam
| reign1 = 639–661
| predecessor1 = Abu 'Ubaidah bin al-Jarrah
| successor1 = Ad-Dhahhak bin Qais al-Fihri
| spouse =
| spouse-type =
| consort =
| issue = Yazid
| full name = Muʿāwiyah ibn Abī Sufyān
(معاوية ابن أبي سفيان)
| house = Umayyah (Sufyani)
| father = Abu Sufyan bin Harb
| mother = Hindun binti 'Utbah
| birth_date = 602
| birth_place = Makkah, Jazirah Arab
| death_date = 22 Rajab[2] 60 H
26 April 680 (umur 77–78)
| death_place = Damaskus, Syria
| burial_date =
| burial_place = Damaskus, Syria
| religion = Islam
}}
Mu'awiyah bin Abu Sufyan (bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان; 602 (umur -79–-78); bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان) atau Mu'awiyah I adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 661 sampai 680. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi dan juga merupakan saudara tiri dari Ummu Habibah Ramlah, istri Nabi Muhammad. Meski 'Utsman bin 'Affan yang sebenarnya merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah, Mu'awiyah adalah khalifah yang menjadikan Umayyah sebagai dinasti di kekhalifahan. Mu'awiyah merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah yang berasal dari garis Sufyani, sebutan untuk keturunan Abu Sufyan bin Harb.
Mu'awiyah memulai karier politiknya sebagai penguasa setelah ditunjuk menjadi Gubernur Syria pada 639 oleh Khalifah 'Umar bin Khattab dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang cakap. Salah satu capaiannya adalah pembentukan angkatan laut Muslim pertama. Pembunuhan Khalifah 'Utsman bin 'Affan pada tahun 656 dan perbedaan pendapat mengenai status pembunuhnya menjadikan terjadinya perselisihan antara pihak Mu'awiyah dan Khalifah 'Ali bin Abi Thalib yang berujung pada Pertempuran Shiffin. Sepeninggal 'Ali mangkat dan putranya, Hasan, melepas jabatan khalifah setelah disandang selama sekitar enam atau tujuh bulan, Mu'awiyah resmi menjadi khalifah pada tahun 661.
Pada masanya, Mu'awiyah melakukan berbagai upaya penaklukan. Pengepungan Konstantinopel pada masanya merupakan upaya penaklukan pertama Konstantinopel oleh umat Muslim. Dalam bidang pemerintahan, Mu'awiyah lebih mengedepankan kecakapan dan kesetiaan daripada sistem kebangsawanan lama. Secara kepribadian, Mu'awiyah juga termasuk Muslim yang saleh dan menjaga ibadahnya meski dia menanggung beban memimpin kekhalifahan yang wilayahnya sudah sangat luas.
Perselisihannya dengan 'Ali bin Abi Thalib, juga penunjukkan putranya untuk menjadi khalifah sepeninggalnya, merupakan tema utama yang menjadikan Mu'awiyah sebagai sosok yang kontroversial dalam sejarah Islam. Literatur Madinah awal dan Abbasiyah awal memiliki gambaran yang baik terkait Mu'awiyah, tetapi tidak demikian dengan literatur Abbasiyah pada masa belakangan yang lebih cenderung bersifat anti-Umayyah.
Asal-Usul Muawiyah
Nama Lengkap
Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab[3] Ia berasal dari bani (klan) Umawiyah.
Julukan
Muawiyah memiliki atau julukan. Julukannya adalah Abu Abdurrahman dan Al-Quraisyi al-Umawi Al-Makki.[3]
Ciri Fisik Muawiyah
Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh wibawa[3].
Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat[4] dan bergaya seperti raja[5]. Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah tapi hanya menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.
Sifat Muawiyah
Muawiyah adalah orang yang menyukai kebersihan dan juga orang yang menyukai kedisiplinan dalam segala hal[6]
Keluarga Muawiyah
Orangtua Muawiyah
Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang pembenci Nabi Muhammad saw dan Ibu dari Muawiyah, adalah Hindun binti Utbah terkenal sebagai wanita pemakan jantung Paman Nabi Muhammad. Abu Sufyan adalah orang yang dilaknat oleh Nabi Muhammad saw sebagaimana yang diceritakan oleh 'Abbas bin Fadhl Al Isfaathiy, "Nabi Muhammad saw sedang berkhutbah diatas mimbar kemudian seorang laki laki berdiri dan memegang tangan anaknya dan keduanya keluar dari masjid. Maka Nabi Muhammad saw bersabda laknat Allah bagi orang yang menuntun dan yang dituntun". Jumhur Ulama menyatakan bahwa orang yang menuntun anak itu adalah Abu Sufyan bin Harb.
Harapan Orangtuanya
Saat kecil, Abu Sufyan pernah melihat Muawiyah yang sedang merangkak, lalu berkata, "anakku ini berkepala besar, dia pantas memimpin kaumnya". Hindun menjawab, "hanya memimpin kaumnya saja? Seharusnya ia memimpin bangsa Arab seluruhnya"[7]
Saudara-Saudara Muawiyah
Muawiyah memiliki beberapa saudara. Mereka adalah sebagai berikut:
- Yazid bin Abu Sufyan
- Utbah bin Abu Sufyan
- Anbasah bin Abu Sufyan
- Ummu Habibah binti Abu Sufyan
- Ummul Hakam binti Abu Sufyan
- Azzah binti Abu Sufyan
- Umaimah binti Abu Sufyan[8]
Istri-Istri Muawiyah
Muawiyah memiliki beberapa orang istri. Ada yang diceraikannya dan ada pula yang meninggal[9]. Berikut adalah nama-nama mereka:
- Maisun binti Bahdal al-Kalbiyah. Muawiyah menceraikannya karena Maisun tidak betah tinggal di istana Muawiyah yang besar dan lebih mencintai desanya.
- Fakhitah binti Qarazhah bin Abd Amr bin Naufal bin Abdi Manaf.
- Kanud binti Qarazhah. Kanud adalah saudara Fakhitah. Muawiyah menikahinya setelah Fakhitah wafat. Dia lah yang bersama Muawiyah saat pembebasan Cyprus.
- Na'ilah binti Imarah al-Kalbiyah. Muawiyah mentalaknya karena sebuah persoalan.
Anak-anak Muawiyah
Muawiyah juga memiliki beberapa anak[9]. Ini adalah nama-namanya yang tercatat:
- Yazid bin Muawiyah. Ia lahir dari Maisun binti Bahdal. Saat Muawiyah menceraikan Maisun dan kembali ke desanya, Yazid mengikuti ibunya. Jadi, masa kecilnya dihabiskan di desa ibunya, menghirup udara segar dan bahasa Arab fasih.
- Abdurrahman bin Muawiyah. Ibunya adalah Fakhitah. Abdurrahman meninggal sewaktu masih kecil.
- Abdullah bin Muawiyah. Abdullah adalah anak dari Fakhitah. Ia anak yang terbelakang mental dan sangat lemah.
- Ramlah binti Muawiyah. Setelah dewasa, Ramlah dinikahi oleh Amr bin Utsman bin Affan
- Hindun binti Muawiyah. Hindun ini kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Amir
- Aisyah binti Muawiyah
- Atikah binti Muawiyah
- Shafiyyah binti Muawiyah
Masuk Islamnya Muawiyah
Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk Islam dalam peristiwa Umrah Qadha tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari bapakku". Hal itu dapat dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu posisi Muawiyah cukup sulit, mengingat Abu Sufyan pada waktu itu masih kafir, bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy dalam melawan Nabi Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi Muhammad memberinya seratus unta dan 40 uqiyah emas dari harta rampasan perang Hunain.[10]
Hadist Nabi tentang Muawiyah
Baca juga: Hadist palsu tentang Muawiyah
"Ya Allah jadikanlah dia sebagai orang yang bisa memberikan petunjuk dan seorang yang diberi petunjuk (Mahdi) dan berikanlah hidayah (kepada manusia) melaluinya.” [11]
Hadist di atas adalah hadist shahih yang diriwayatkan oleh banyak ahli hadist dan membicarakan tentang kebaikan Muawiyah[12]
Muawiyah di Zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq
Zaman Abu Bakar adalah zaman kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu Bakar bertindak tegas dengan memerangi mereka. Muawiyah ikut salah satu pertempuran itu, yakni Perang Yamamah, perang melawan Musailamah si nabi palsu[13]. Setelah pemberontakan internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan mereka ke luar, yakni pembebasan negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim. Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat, salah satunya adalah Syam. Dalam kontingen pasukan Syam, ada salah satu pasukan yang dikomandani oleh Muawiyah.[14]
Muawiyah di Zaman Umar bin Khattab
Membuka Qaisariyah (Caesarea)
Qaisariyah (sekarang קֵיסָרְיָה Caesarea, Palestina) adalah kota dekat Tel Aviv. Pada zaman Umar, Muawiyah ditugaskan untuk membebaskan kota ini. Namun, ternyata Qaisariyah memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah dikepung dalam waktu cukup lama, Muawiyah pun berhasil menerobos kota tersebut. Dikatakan prajurit Qaisariyah yang tewas mencapai 100.000 orang[15]
Membuka Pesisir Syam
Mendengar keberhasilan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan yang juga seorang Gubernur Damaskus, meminta Muawiyah untuk ikut membebaskan pesisir Syam. Setelah bertarung melawan orang-orang Romawi, Muawiyah dan prajuritnya berhasil menang.[16]
Menjadi Gubernur Yordania
Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania pada 17 H.[17]
Menjadi Penguasa Damaskus, Ba'labak, dan Balqa
Saudara Muawiyah, Yazid bin Abu Sufyan, meninggal karena wabah Tha'un pada 18 H. Sebagian ulama berpendapat Tha'un adalah wabah pes[18], tetapi ada pula yang berpendapat Tha'un masih belum jelas termasuk kategori penyakit apa[19]. Untuk mengisi kekosongan, Umar bin Khattab menugaskan Muawiyah untuk menggantikan posisi saudaranya memimpin Damaskus, Ba'labak (Ballbek, Yordania), dan Balqa (Yordania).[20]
Membagi Pasukan Islam
Byzantium dan Persia terus menyerang daerah perbatasan kekhalifahan. Untuk menahan hal itu, Muawiyah membagi pasukan menjadi dua, yakni pasukan musim panas dan pasukan musim dingin. Selain itu, Muawiyah menutup celah-celah di kota-kota perbatasan agar tak diserang. Muawiyah sempat memimpin penyerangan musim panas melawan Byzantium di 22 H.[21]
Membangun Angkatan Laut Islam
Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu adalah orang Arab. Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari pentingnya angkatan laut dan di zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak mengizinkan Muawiyah memakai angkatan laut karena ia tidak mau kaum Muslimin habis ditelan laut (karena mereka tidak familiar dengan laut)[22]. Angkatan laut baru dipergunakan pada zaman Utsman bin Affan untuk membebaskan Cyprus.[23]
Muawiyah di Zaman Utsman bin Affan
Menjadi Gubernur Penuh Syam
Sebagaimana Umar, Utsman bin Affan tidak memakzulkan Muawiyah. Bahkan, Utsman terus memberi Muawiyah kekuasaan sehingga Muawiyah menjadi Gubernur daerah mayoritas Syam. Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi gubernur Utsman yang paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Utsman, di Syam ada beberapa gubernur, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Saad al-Anshari (Himsh), dan Alqamah bin Khalid bin Walid (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia mengundurkan diri dari jabatannya. Utsman pun memberikan Himsh kepada Muawiyah. Setelah itu Alqamah wafat, Utsman pun memberikan Palestina kepada Muawiyah. Hal ini membuat Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya. Sampai akhir hayat Utsman, Muawiyah mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern, Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon, dan Syria -bisa dibayangkan seluas apa daerah kekuasaan Muawiyah.[24].
Inspeksi Militer ke Perbatasan
Pada zaman Utsman, Muawiyah cukup banyak melakukan inspeksi militer ke daerah perbatasan daerah kekuasaannya di Syam. Misalnya, pada 25 H ia menuju Anthakiyah dan Tarsus, tahun 26 H ia kembali melakukannya. Tahun 31 H, Muawiyah berangkat ke Daruliyah. Perbatasan yang berbentuk kepulauan ia serahkan penjagaannya kepada Habib bin Maslamah. Muawiyah juga beberapa turun langsung memimpin pasukannya sampai merambah celah bukit di Konstantinopel[25].
Pembebasan Cyprus
Syarat dari Utsman
Setelah sebelumnya ditolak Umar, Muawiyah kali ini mencoba meyakinkan Utsman untuk memakai angkatan laut demi membebaskan Qubrush (Cyprus). Utsman mengizinkannya dengan memberi syarat:
- Muawiyah harus membawa istrinya
- Pasukan yang berangkat harus dengan kemauan sendiri. Jika ada yang tidak mau berangkat maka tidak apa-apa[26]
Pembebasan dimulai
Walaupun Muawiyah mempersilahkan masyarakat untuk memilih ikut ke Cyprus atau tidak, kekhalifahan berhasil mengumpulkan armada hingga 1.700 kapal. Mereka tertarik karena sebuah hadist dari Ummu Haram binti Milhan (istri sahabat Nabi Ubadah bin Shamit) yang menyebutkan bahwa akan ada sekelompok dari umatnya yang "mengarungi laut seperti raja-raja di singgasana"[27]. Pada 28 H (649 M) mereka pun berangkat. Di pelabuhan, Abdullah bin Qais al-Jasi, panglima angkatan laut bermusyawarah dengan Muawiyah dan sahabat Nabi yang lain. Pasukan segera mengepung ibu kota Cyprus dan mengatakan mereka tidak datang untuk mengambil-alih Cyprus, akan tetapi meminta mereka bekerjasama dengan kekhalifahan. Sebab selama ini Cyprus menjadi daerah kekuasaan Byzantium sehingga menjadi duri dalam daging kekhalifahan.Tidak butuh waktu lama, Cyprus pun menyerah dan menyetujui syarat-syarat berikut:
- Bila Cyprus menyerang kaum Muslimin, ia tidak akan dibela lagi
- Cyprus harus mengabarkan gerak-gerik Byzantium
- Cyprus harus membayar jizyah kepada kekhalifahan sebesar 7.200 dinar per tahun
- Cprus tidak boleh mendukung Byzantium jika mereka menyerang kekhalifahan dan tidak membocorkan rahasia kekhalifahan[28]
Cyprus Mengingkari Perjanjian
Pada 32 H, Cyprus mengingkari perjanjian dengan kekhalifahan karena ditekan Byzantium. Kali ini Muawiyah datang kembali dan mengambil-alih Cyprus. Setelah menguasai Cyprus, Muawiyah menyadari bahwa ternyata Cyprus hanyalah pulau yang lemah. Tradisi militer mereka lemah sekali dan sering dijadikan boneka oleh Byzantium. Oleh karena itulah, Muawiyah menempatkan 12.000 pasukan di Cyprus, mendirikan kota-kota baru, membereskan administrasi, menggaji tentara, dan melindungi kekhalifahan dari serangan Byzantium.[29]
Muawiyah Membantu Utsman Menghadapi Badai Ujian
Baca juga: Tuduhan terhadap Utsman bin Affan
Di akhir pemerintahannya, Utsman menerima cobaan yang berat. Ia dituduh macam-macam oleh sebagian rakyatnya, mulai dari tuduhan menggelapkan harta, boros, mengangkat keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan penting, dan sebagainya. Pada masa-masa ini, Muawiyah terus membantu Utsman.
Mendebat Perusuh
Pada suatu hari pada tahun 33 H, ada sekelompok orang yang mencari ribut di Kufah sampai hampir menyulut pertempuran. Utsman yang mendengar itu menyuruh Said bin Al-Ash, Gubernur Kufah, mengirim mereka ke Syam untuk bertemu Muawiyah. Utsman memerintahkan Muawiyah untuk "memperingati mereka dengan tegas, membuat nyali mereka ciut, menakut-nakuti mereka, dan mendidik mereka"[30] agar tidak membuat kerusuhan lagi. Muawiyah pun berkali-kali mendebat mereka dan berkali-kali pula menang. Di akhir debat mereka kalah dan marah, lalu merenggut jenggot Muawiyah[31]. Muawiyah pun mengancam mereka agar jangan macam-macam terhadap dirinya. Ancaman itu membuat mereka mundur.
Muawiyah mengirim surat kepada Utsman dan mengatakan bahwa mereka "berbicara dengan lidah setan". Utsman mengirim mereka ke Kufah kembali. Namun, karena mereka macam-macam kembali, Utsman kemudian mengirim mereka ke Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, gubernur Himsh. Di sini mereka baru tidak berani macam-macam karena Abdurrahman adalah anak Khalid bin al-Walid dan dia adalah seorang laki-laki yang berkarakter sangat keras seperti ayahnya.[32]
Muawiyah Mengikuti Forum Antargubernur
Kerusuhan yang makin parah menyebabkan Utsman mengundang para gubernur dan sahabat Nabi untuk berunding tentang apa yang harus dilakukannya terhadap para pemberontak ini. Di forum ini, Muawiyah mengusulkan untuk segera mengirim pasukan ke mereka dan dia sendiri akan mengatasi pemberontakan di Syam. Namun, Utsman lebih tertarik dengan perdamaian dan tidak menerima usul Muawiyah.[33]
Sebelum pulang kembali ke Syam, Muawiyah memperingatkan Utsman bahwa ia kemungkinan akan segera dibunuh oleh pemberontak dan Muawiyah menawarkan pasukan Syam untuk melindungi Utsman. Utsman mengatakan ia sudah tahu hal itu, tetapi ia menolak perlindungan dari Muawiyah karena ia tidak mau merepotkan orang-orang Madinah atas kedatangan pasukan Syam.[34]
SIkap Muawiyah Atas Terbunuhnya Utsman
Para perusuh yang mencapai 500 orang sudah mencapai rumah Utsman. Para sahabat Nabi mengirimkan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman tetapi mereka kalah jumlah. Utsman dibunuh dan para sahabat yang melindunginya terluka. Dan tidak ada satu orang sahabat Nabi Muhammad yang terlibat dan menyetujui pembunuhan itu. Ummu Habibah binti Abu Sufyan mengirimkan baju Utsman yang berlumuran darah ke tangan Muawiyah[35]. Saat mendengar berita pembunuhan itu, Muawiyah berpidato di depan penduduk Syam, bersumpah akan menuntut balas kematiannya.[36] Penduduk Syam sendiri bersumpah akan membantu Muawiyah dengan mengorbankan nyawa mereka.[37]
Muawiyah di Zaman Ali bin Abi Thalib
Inti Konflik Ali-Muawiyah
Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini:
- Pertama, mereka harus diqishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagipula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara-saudara Utsman yang lain, Muawiyah lah yang kekuatannya paling besar.
- Kedua, mereka harus diqishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali.
- Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mau terlibat dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, dan lainnya.
Inti dari permasalahan Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanyasaja ia dan penduduk Syam tidak mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan terbunuhnya Utsman tersebut. Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat kacamata abad modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang hidup di zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.
Muawiyah pernah ditanya, "Apakah kau penentang Ali?"
Muawiyah menjawab, "Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, 'serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya"
Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya[38]
Perang Saudara
Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Jamal dan Perang Shiffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Tebunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yang membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang[39]. Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah Al-Juhani dari pihak Muawiyah -ia bukanlah sahabat Nabi.[40]
Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang oleh Persia dan Byzantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari. Tidak seperti kabar yang terkenal, Amr bin Ash tidak memakzulkan Ali.[41]
Ali Terbunuh dan Sikap Muawiyah
Saat kabar tentang Ali yang terbunuh sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya berkata, "Kamu menangisi orang yang memerangimu?" Muawiyah menjawab, "Diam saja lah kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematian dia" Utbah berkata juga, "Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal itu darimu". Muawiyah menghardik, "Kamu juga diam saja lah!"[42]
Sikap Kita terhadap Konflik Ali-Muawiyah
Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci.[43]
Referensi
- ^ Encyclopedia Britannica: Muawiyah I.
- ^ Akbar Shāh K̲h̲ān Najībābādī, "The History Of Islam", Volume 2, Page 47, February 2001.
- ^ a b c Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 15
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 73
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 74
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 72
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 16
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 23-36
- ^ a b Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 36-38
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 39
- ^ http://priyayimuslim.wordpress.com/2012/12/11/keutamaan-muawiyah-bin-abi-sufyan-berdasarkan-hadits-rasulullah/
- ^ Hadits ini diriwayatkan At Tirmidzi No. 3842, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Ahmad No. 17895, Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 5/240. Ibnu Abi ‘Ashim, Al Aahaad wal Matsani No. 1129, Al Khathib dalam Tarikh Baghdad, 1/207-208, Ibnul Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah No. 442, Al Khalal dalam As Sunnah No. 699, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jam Ash Shahabah, 2/146, Ath Thabarani dalam Al Ausath No. 660, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 8/358. Imam Ibnu Abdil Bar dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Lihat Al Ishabah, 4/342-343 dan Fathul Bari, 7/104 Akan tetapi, menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth, hadits ini adalah shahih. “Rijal hadits ini tsiqat (tepercaya) dan merupakan para perawi hadits shahih, kecuali Sa’id bin Abdul Aziz, dia menjadi pokok perbincangan hadits ini, dia telah mengalami kekacauan hapalan pada akhir usianya seperti yang dikatakan oleh Abu Mushir dan Yahya bin Ma’in.” (Musnad Ahmad No. 17895, dengan tahqiq; Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dan lainnya) Menurut Syaikh Al Albani, hadits ini shahih, “Semua rijal (perawinya) adalah tsiqat (tepercaya) dan merupakan perawi yang dipakai Imam Muslim, maka hadits ini lebih benar adalah shahih.” (As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 61
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 64
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 67-68
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 68-69
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 69
- ^ http://danusiri.dosen.unimus.ac.id/artikel/bakteriologi-dalam-sabda-nabi-saw/
- ^ http://abuutsman.blogspot.com/2013/10/wabah-thaun-amwas-yang-ada-di-negeri.html
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 70-71
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 76-77
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 83
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 77
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 78
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 81-82
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 84
- ^ HR. Bukhari no.2877
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 88
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 92
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 136
- ^ Memegang jenggot di tradisi Arab adalah simbol merendahkan atau menantang
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 135-150
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 153-154
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 154
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 166
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 155-161
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 175
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 168-171
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 203
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 209
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 224-259
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 259
- ^ Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Muawiyah bin Abu Sufyan. halaman 245-254
Bacaan Lanjutan
(Indonesia) Mursi, Muhammad Sa'id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007. ISBN 979-592-387-0.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2012. Muawiyah bin Abu Sufyan: Prestasi Gemilang Selama 20 Tahun Sebagai Gubernur & 20 Tahun Sebagai Khalifah; Disertai Studi Kritis tentang Fitnah-Fitnah yang Terjadi di Zamannya. Darul Haq: Jakarta.
Muawiyah bin Abu Sufyan Sufyani Cabang kadet Bani Umayyah Lahir: 602 Meninggal: 26 April 680
| ||
Jabatan Islam Sunni | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Hasan bin 'Ali |
Khalifah 661 – 26 April 680 |
Diteruskan oleh: Yazid bin Mu'awiyah |