Francisca Casparina Fanggidaej
Francisca C. Fanggidaej (16 Agustus 1925 – 13 November 2013)[1] adalah seorang guru bahasa Inggris dan penerjemah. Ia juga bekerja sebagai wartawan untuk Radio Gelora Pemuda Indonesia. Francisca dilahirkan dari keluarga Gottlieb Fanggidaej, seorang pegawai tinggi di Hindia Belanda dan Magda Maël, ibu rumah tangga dari Timor.
Masa kecil
Francisca dilahirkan di di Noël Mina, Timor, sebagai anak ke-4 dengan Ibu bernama Magda Mael dari Timor dan ayahnya bernama Gottlieb Fanggidaej berasal dari Pulau Rote yang bekerja di Burgerlijke Openware Werken (BOW) atau sekarang dikenal sebagai Dinas Pekerjaan Umum, pemerintahan Hindia Belanda dengan posisi hoofdopzichter atau kepala pengawas (setara dengan pejabat eselon 3 untuk jaman sekarang) dan bekerja di bagian bendungan dan irigasi. Karena kedudukannya yang tinggi tersebut, maka keluarganya termasuk golongan "Belanda hitam" dan berada pada posisi "gelijkgesteld" yang berarti mereka adalah golongan masyarakat yang dipersamakan dengan Belanda/Eropa. Hal ini karena mereka secara lahirnya bukan bangsa Belanda (non-pri), tapi dimasukkan di dalam golongan masyarakat Belanda dan dibawah kewenangan hukum Belanda. Kakek Francisca, turut serta menerjemahkan edisi pertama Kitab Injil berbahasa Melayu, tepatnya Injil Protestan.[2]
Ayahnya mendapatkan pendidikan sekolah pangreh-praja, Stovia, yang tidak diselesaikannya karena dikeluarkan ketika turut aksi pernyataan ketidakpuasan para mahasiswa Indonesia terhadap pemerintahan Hindia Belanda.[2]
Masa kecilnya dihabiskan di Surabaya, Jawa Timur. Ia tinggal di dekat rumah G.A. Siwabessy yang sering menjadi tempat berkumpulnya para pemuda Maluku. Dari G.A. Siwabessy dan Sam Malessy, ia banyak mendapatkan pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai kebangsaan. [3]
Francisca belajar di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian melanjutkan ke MULO. Di rumah, ia hanya diizinkan berbahasa Belanda. Hal ini menyebabkan ia bertumbuh merasakan dirinya sebagai seorang bangsa Belanda.
Ikut perjuangan pemuda
Pada 6 -10 November 1945 ia menjadi seorang delegasi Pemuda Republik Indonesia dalam Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta. Setelah Kongres berakhir, ia tidak bisa kembal ke Surabaya karena meletusnya pertempuran antara rakyat dan pemuda Surabaya melawan pasukan NICA. Ia memutuskan untuk bergabung dengan delegasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan kemudian menjadi anggotanya. Ia aktif dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dengan mengadakan kampanye penerangan kepada rakyat tentang arti kemerdekaan dan kolonialisme.
Francisca aktif dalam Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) yang salah satu kegiatannya adalah melakukan siaran Radio Gelora Pemuda di Madiun dengan menggunakan bahasa Belanda dan Inggris. Program ini terutama ditujukan kepada pasukan-pasukan Belanda dan Inggris dengan maksud memberikan gambaran kepada mereka bagaimana pendapat orang Indonesia sendiri tentang kemerdekaan dan kolonialisme.
Pada 21 Juli 1947, ia berangkat ke India untuk kemudian lanjut ke Festival Pemuda Sedunia Pertama di Praha, Cekoslowakia.
Dari Praha ia pergi London dan di sana ia menerima kawat dari BKPRI agar selesai Festival ia pergi ke Kolkata untuk mewakili BKPRI dalam Panitia Persiapan South East Asian Youth & Students Conference yang akan diselenggarakan 21-26 Februari 1948 di kota tersebut.
Menjadi ketua Pemuda Rakyat
Setelah Kongres Pesindo pada 1950, organisasi ini berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, dan mengubah namanya menjadi Pemuda Rakyat. Francisca terpilih menjadi ketua organisasi ini.
Pada 1957, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili wartawan. Sebagai anggota delegasi parlemen, ia berkunjung ke Kuba pada 1960 dan 1953, serta berjumpa dengan Fidel Castro di sana.
Hidup di pengasingan
Pada 1964, ia menjadi penasihat Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aljaziar. Pada tahun 1965 ia berkunjung ke Chili sebagai anggota delegasi Indonesia dalam kongres Organisasi Wartawan Internasional di sana. Pada waktu itulah meletus tragedi G30S, sehingga ia tidak dapat kembali ke Indonesia. Sejak itu ia tinggal selama dua puluh tahun di Republik Rakyat Tiongkok. Sejak 1985 ia menetap di Belanda.
Aktivitas sekarang
Di Belanda, Francisca menjadi anggota Komite Indonesia-Belanda, dan ikut mendirikan Stichting Azië Studies (Yayasan Studi Asia). Pada tahun 2003 untuk pertama kalinya ia dapat kembali ke Indonesia untuk menemui keluarganya, setelah hampir empat puluh tahun hidup di pengasingan.
Keluarga
Pada 1948 Francisca menikah dengan Sukarno, seorang anggota dewan dari Pesindo. Dari Sukarno, Francisca memperoleh seorang anak perempuan, Nilakandi Sri Luntowati. Dari pernikahannya yang kedua dengan sesama wartawan, Soepriyo, ia memperoleh enam orang anak yaitu Dien Rieny Saraswati,Alm.Godam Ratamtama,Nusa Eka Indriya,Savitri Sasanti Rini,Pratiwi Widiantini,dan Mayanti Trikarini. Reza Rahardian adalah cucunya dari Pratiwi Widianti.
Referensi
Catatan kaki
- ^ Setiawan 2006, hlm. 13.
- ^ a b Setiawan 2006, hlm. 13 - 22.
- ^ Warman Adam, Asvi (02 Oktober 2016). "Urgensi Pelurusan Sejarah dan Kisah Perempuan Revolusioner". CNN Indonesia. Diakses tanggal 29 Agustus 2020.
Daftar pustaka
- Setiawan, Hersri (2006). Memoar Perempuan Revolusioner. Yogyakarta: Galangpress. ISBN 979-3627-67-0.