Krisis Selat Sunda

Revisi sejak 23 September 2020 01.41 oleh FBN122645 (bicara | kontrib) (Terjemahan sedikit)

Krisis Selat Sunda adalah konfrontasi yang berlangsung 2 pekan, antara Inggris Raya dan Indonesia mengenai kapal induk kelas Illustrious HMS Victorious yang melalui Selat Sunda, selat yang memisahkan pulau-pulau Indonesia: Jawa dan Sumatra, yang terjadi antara bulan Agustus dan September 1964. Insiden ini adalah bagian dari konfrontasi Indonesia-Malaysia yang lebih besar, konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia (dengan dukungan militer Inggris) selama pembentukan Malaysia sebagai negara merdeka.

Pada tanggal 27 Agustus 1964, kapal induk Inggris HMS Victorious dan dua kapal penghancur yang mengawal berlayar melintasi Selat Sunda, perairan internasional yang diklaim oleh Indonesia, menuju Australia. Kesal dengan peringatan santai Inggris soal pas langsung kapal-kapal melalui selat tersebut (panggilan telepon dua hari sebelumnya), tidak disebutkannya kapal induk dalam peringatan tersebut, dan kewaspadaan terhadap kemungkinan bahwa Inggris sedang berusaha untuk memprovokasi mereka agar memberikan respons kekerasan, dua hari kemudian Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia memutuskan untuk mencoba menghalangi kapal-kapal perang tersebut dalam perjalanan mereka kembali ke Singapura, yang dijadwalkan di pertengahan September.

Marah atas apa yang dianggap sebagai satu lagi penghinaan terhadap martabat Inggris setelah pendaratan baru-baru di Pontian dan Labis oleh relawan Indonesia di Malaysia barat daya, anggota Kabinet Inggris, khususnya Peter Thorneycroft dan Louis Mountbatten, bermaksud mengirim kapal induk tersebut kembali melalui Selat Sunda terlepas dari larangan Indonesia. Meskipun komandan angkatan laut Inggris di Timur Jauh prihatin benar bahwa Victorious akan tidak dapat dipertahankan melalui rute tersebut, opini yang menang adalah bahwa tidak mengirim kapal tersebut akan mengakibatkan kekalahan besar politik baik pada skala domestik maupun internasional serta hilangnya hak-hak di jalur air penting. Ketegangan bertambah karena Inggris dan Indonesia masing-masing menolak untuk mengalah, dan ketika waktu kapal induk untuk berlayar datang, perang menjadi sangat mungkin.

Namun, Indonesia memberi tawaran jalan keluar pada 10 September: rute alternatif melalui Selat Lombok. Inggris mengambil tawaran ini, melegakan kedua belah pihak, dan Victorious dengan damai kembali melalui wilayah Indonesia. Perang dihindari, dan puncak dari ketegangan selama konfrontasi telah berlalu. Tidak pernah lagi ada ancaman perang habis-habisan sebagai kemungkinan realistis, meskipun terdapat beberapa pertempuran darat besar di Borneo utara pada musim semi berikutnya, dan konfrontasi luka surut pada akhir musim gugur 1965 tanpa pernah meningkat menjadi konflik besar, dengan kesepakatan damai yang ditandatangani tahun berikutnya.

Asal-Usul

Pada 31 Agustus 1957, wilayah Inggris Malaya menerima kemerdekaan dari Crown sebagai bagian dari penarikan koloni Inggris dari Timur Jauh, setelah hampir satu dekade pasukan Inggris dan Persemakmuran melakukan perang kontra-pemberontakan berliku-liku terhadap pemberontak Malayan di Malayan Emergency.[1] Rencana Inggris menentukan bahwa negara baru ini akan digabungan dengan koloni Inggris di Sarawak, Sabah, dan Brunei di Borneo utara untuk lebih melindungi kepentingan militer dan ekonomi Inggris di daerah-daerah ini. Brunei tidak bergabung, sementara Sarawak, Sabah, dan Singapura telah sepakat untuk bergabung dengan federasi baru ini pada tahun 1963.[2] Proyek Ini, dilabel 'Grand Design' oleh Ramsay MacDonald, telah menjadi pondasi pemikiran strategi Inggris di wilayah ini selama pertengahan 1950-an, dan berujung pada federasi awal berbagai negara bagian Malay terlepas dari aneka perbedaan, dengan Singapura dan Kalimantan yang bergabung kemudian. Rencana ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Malaysia, yang berharap untuk mencegah klaim dari rival: Indonesia di Kalimantan.[3]

Awal dari Konfrontasi

 
Presiden Soekarno dari Indonesia adalah kekuatan pendorong di balik Konfrontasi.

Sementara itu, Indonesia dan terutama presidennya yang lama menjabat: Soekarno, dengan keras menentang pembentukan Federasi tersebut. Soekarno menentang baik pelestarian kehadiran Inggris yang 'imperialis' di Asia Tenggara, wilayah di mana ia bercita-cita menjadi kekuatan tertinggi, maupun penggabungan koloni-koloni Borneo ke Federasi baru tersebut, karena tujuannya adalah untuk mengontrol seluruh pulau. Memang, karena kepemilikan atas wilayah Kalimantan, Indonesia sudah menguasai sebagian besar pulau besar. Untuk meningkatkan posisi Indonesia di meja perundingan sebelum Federasi tersebut diciptakan, Soekarno bertekad untuk memulai periode Konfrontasi dengan Malaysia. Awalnya terdiri atas serangan yang sering terjadi oleh 'relawan' Indonesia ke wilayah Malaysia, konflik ini tidak dianggap sebagai perang oleh kedua sisi, dan paling tidak oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan, ketika ditanya tentang apa sebenarnya Konfrontasi itu, Menteri Luar Negeri Soebandrio dari Indonesia menjawab, "Konfrontasi tidak mencakup perang, karena dapat dilakukan tanpa perang."

Untuk Soekarno, operasi semacam ini memiliki sejumlah manfaat. Memulai operasi militer melawan 'imperialis' akan membantu mengikat bersama kekuatan antagonis pasukan angkatan darat dengan Partai Komunis (PKI) dalam mendukungnya, sementara tidak menciptakan lautan api yang ditingkatkan sepenuhnya akan mencegah Inggris dan sekutu Persemakmurannya yang secara militer superior agar tidak menggunakan kekuatan penuh mereka. Indonesia juga telah mengadakan operasi sukses yang menggunakan teknik yang sama dalam Operasi Irian Barat melawan Belanda satu dekade sebelumnya, operasi penyerbuan ke Western New Guinea berakhir dengan Belanda yang menyerahkan wilayah itu untuk mencegah Indonesia 'jatuh' ke tangan Komunisme.[4]

Konfrontasi Mengembang

 
Pasukan Indonesia yang ditangkap setelah serangan di Sungai Kesang.

Bagian utama dari Konfrontasi ini umumnya terbagi menjadi tiga tahap yang berbeda. Pada tahap pertama, Indonesia mendukung pemberontakan terhadap kekuasaan Anglo-Malaysia di Kalimantan Utara, terutama Pemberontakan Brunei pada Desember 1962. Di tahap kedua, serangan-serangan gerilya yang membuat konflik ini paling terkenal dimulai dengan sungguh-sungguh, dari April 1963 hingga seterusnya. Pertempuran di fase ini, sementara menyebabkan beberapa kerusakan dan korban jiwa, relatif kecil dan serangan-serangan ini biasanya hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil tidak lebih dari ukuran peleton yang melintasi perbatasan Kalimantan ke Sarawak dan Sabah. Operasi ini merupakan inti dari strategi awal untuk memperbaiki posisi negosiasi Indonesia, dan terus berlanjut seiring negosiasi tersebut sepanjang musim panas tahun 1963. Namun, pada 16 September, negosiasi diakhiri dengan pembentukan Federasi Malaysia, yang meliputi Malaya, Singapura, dan yang paling penting, dua negara bagian Borneo (Sarawak dan Sabah). Menanggapi hal ini, serangan semakin intensif menjadi kelompok-kelompok lebih besar yang bekerja dengan atau terdiri dari pasukan regular Indonesia - awal dari eskalasi konflik menuju fasenya yang ketiga dan paling berbahaya.[5]

Namun, fase itu masih satu tahun yang akan datang. Setelah menghabiskan sebagian besar tahun 1964 bergerak di Kalimantan utara dan menjadi semakin frustrasi dengan oposisi Inggris terhadap rencana Indonesia, Soekarno menyampaikan sebuah pidato terobosan namun pahit di Jakarta pada 17 Agustus dalam peringatan Hari Kemerdekaan. Di dalamnya, ia mencerca Barat, terutama Inggris dan Amerika, atas kebijakan mereka untuk Vietnam dan Malaysia. Yang paling terkenal, ia menyatakan bahwa tahun berikutnya akan menjadi "tahun hidup berbahaya"[6] untuk Indonesia. Pidato ini, terutama karena seminggu setelah Soekarno mengakui kenegaraan Vietnam Utara, menjadi sinyal niat, dan Soekarno bermaksud menyokong kata-katanya dengan tindakan. Malam itu juga, sebuah kontingen kecil tentara Indonesia mendarat di Pontian, di negara bagian Johor di ujung selatan Semenanjung Melayu. Meskipun para penyerbu dengan cepat ditangkap oleh pasukan keamanan elit Malaysia Senoi Praaq, pesannya jelas: Konfrontasi sedang berkembang. Malaysia, terancam, menyatakan keadaan darurat dan menekan Inggris untuk bertindak dalam pertahanan mereka.[7]

Krisis

Pelayaran Victorious dari Singapura

 
HMS Victorious berjalan di Pasifik pada tahun 1964.

Pada 26 Agustus, kapal induk HMS Victorious berlayar dari Singapura bersama dua kapal perusak yang mengawal, HMS Caesar dan HMS Cavendish, menuju Perth, Australia Barat. Tujuan sebenarnya perjalanan ini masih diperdebatkan, tetapi ada kemungkinan bahwa kelompok kapal induk tersebut lewat sebagai unjuk kekuatan kepada Indonesia mengikuti pendaratan Pontian dan 'kunjungan muhibah' rutin resmi di mana kapal itu konon menuju sekutu Inggris.[8][9] Satuan tugas itu ternyata mendapati sangat sedikit respons Indonesia saat melewati wilayah perairan mereka, kapal induk melaporkan hanya satu Tupolev Tu-16 melakukan flyover ketika kapal-kapal perang ini melalui Selat Sunda pada hari berikutnya.[10] Kepemilikan selat itu sendiri kompleks, Indonesia mengklaimnya meskipun Inggris menegaskannya sebagai perairan internasional sehingga kapal perang mereka bisa lewat setiap waktu. Mengikuti standar prosedur Inggris dalam situasi seperti ini, Atase Militer Inggris di Jakarta telah menelepon Direktur Intelijen Angkatan Laut Indonesia dan menyampaikan bahwa skuadron mereka akan melewati wilayah Indonesia tanpa meminta izin, sebelumnya Inggris telah melalui selat tersebut sama halnya pada Oktober 1963.[11] Kebijakan ini, dibuat oleh Departemen Luar Negeri, memiliki tujuan ganda memberitahukan orang-orang Indonesia atas aksi yang mungkin provokatif tanpa kesadaran mengenai apa yang mereka pikir sebagai klaim berlebihan di perairan internasional. Tanggal kembali ke Singapura tidak diatur dengan pasti pada saat berlayar, tetapi diperkirakan sekitar pertengahan September.[12]

Respons Awal Indonesia

 
Menteri Luar Negeri Soebandrio pada tahun 1964.

Keesokan harinya (28 Agustus), Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Suwito memanggil Charge d'Affaires Inggris mengeluhkan pemberitahuan Inggris yang terlalu kasual; sementara tidak meminta Inggris untuk memohon izin Indonesia untuk tindakan seperti itu, ia meminta Inggris untuk memberikan pengumuman yang lebih formal, sebaiknya tertulis, di waktu berikutnya. Jika tidak, Suwito memperingatkan, "ketegangan sekarang mungkin dapat mengakibatkan insiden yang tidak direncanakan, tidak diinginkan tetapi serius," pernyataan yang dengan cepat diteruskan ke pemerintah Inggris.[13] Charge d'Affairs menjawab bahwa setiap pemberitahuan lebih lanjut akan dilakukan secara tertulis, agar tidak menimbulkan masalah apapun. Beberapa hari kemudian, pada 2 September, sehari setelah pendaratan Labis, Subandrio berjalan di garis keras, memberitahu Duta Besar Australia di Jakarta bahwa Victorious akan ditolak kembali melalui Selat Sunda. Penyebab larangan tersebut tidak jelas, karena dokumen-dokumen resmi dari waktu itu tidak tersedia, tetapi pengumuman Subandrio ini sejalan dengan kebijakan pemerintah soal pas melalui perairan Indonesia, menuju penindakan kegiatan-kegiatan ilegal setelah grup kapal induk Amerika lewat di awal bulan.[14] Para pembuat kebijakan Indonesia juga mungkin khawatir atas ancaman kekuatan udara Inggris yang begitu dekat dengan Jakarta serta kemungkinan akan usaha Inggris untuk memprovokasi respons yang mirip dengan Vietnam terhadap Amerika pada insiden Teluk Tonkin di awal tahun itu. Yang terakhir ini tampaknya sangat mungkin dengan tampaknya kemurkaan Sukarno dalam menanggapi insiden itu, sudah wajar jika tanggapan terhadap serangan Inggris ini sama kuat. Bagaimanapun juga, pimpinan Indonesia memahami insiden ini sebagai pembalasan langsung atas pendaratan Pontian dan sinyal putusan Inggris; meskipun mengkhawatirkan, tidak bisa menyelesaikan pelanggaran Inggris atas klaim bahari mereka.[15]

Putusan dan Rencana Inggris Memaksakan Selat Sunda

Departemen Luar Negeri, sementara itu, bertekad untuk tidak mundur dalam menghadapi tantangan dan perbuatan yang dipandang sebagai penghinaan lebih terhadap martabat Inggris. Thorneycroft berargumen bahwa jika Victorious tidak melewati Selat Sunda dalam perjalanan pulang, Inggris "harus menderita kekalahan politik substansial dengan efek yang tak terduga terhadap posisi militer di Timur Jauh,"; pandangannya didukung oleh Laksamana Mountbatten dan David Luce, Kepala Staf Angkatan Laut.[16] Mountbatten bahkan melangkah lebih jauh, memperingatkan Thorneycroft bahwa kegagalan dalam memenuhi tantangan ini akan memiliki "dampak serius" untuk "statur seluruh militer - tidak hanya di Timur Jauh, tetapi di seluruh dunia." Luce dan Mountbatten juga menganggap ini sebagai kesempatan sempurna untuk menekan Jakarta untuk pertama kalinya, Luce menyatakan bahwa pas kembali "bisa saja memberikan inisiatif ini untuk kita" dan Mountbatten memandangnya sebagai saat yang tepat untuk mengalihkan Soekarno dari penyerangan terhadap Malaysia. Setidaknya, pas polos melalui Selat Sunda harus dipertahankan.

Pandangan Whitehall tidak digemakan oleh para komandan angkatan laut, terutama Sir Varyl Begg, Commander-in-Chief tentara Inggris di wilayah itu, yang percaya bahwa kapal induk itu terlalu lemah untuk membela diri atau menyerang balik Indonesia. Begg memvonis bahwa sempitnya Selat Sunda berkombinasi dengan fitur geografis lokal membatasi gerakan kapal dan menegasi radar, sementara kustom mencegah operator dari menerbangkan pesawat atau membawanya di dek, membuat kapal dan yang mengawal sangat rentan jika diserang. Daripada itu, ia menyarankan untuk mengirim kapal perusak, yang jauh dapat dibuang dibandingkan dengan armada pengangkut. Pandangannya didukung oleh Lord Antony Head, yang berpendapat bahwa akan ada sedikit keuntungan bagi Indonesia dan kerugian bagi Inggris jika kapal induk tidak ditaruh dalam bahaya. Namun, Luce tetap bersikukuh bahwa yang Victorious harus berlayar; untuk meredakan ketakutan Begg, ia meyakinkan bahwa kapal induk yang lebih modern HMS Centaur akan siap memberikan perlindungan udara satuan tugas. Bala bantuan juga dilarikan ke Singapura untuk menemui provokasi Indonesia. Thorneycroft memerintahkan Begg untuk mulai merencanakan pemaksaan pas Selat Sunda, sebagaimana para pejabat tentukan pada 3 - 4 September: kapal induk itu tidak boleh dialihkan.

Dalam hasil rapat kabinet perihal penyebaran angkatan laut pada 7 September, Thorneycroft dan Mountbatten mengajukan pemaksaan Selat Sunda dengan satuan tugas, meski mengakui bahwa kapal induk akan berisiko mengalami kerusakan atau kerugian, mencegah Soekarno dari mencapai kemenangan brinkmanship bernilai sama. Walau R. A. Butler dengan sangat kuat menunjukkan bahwa dalam argumen Begg Victorious itu aset yang terlalu kuat untuk direlakan, argumen Thorneycroft menang. Kabinet setuju bahwa kapal tidak akan dialihkan, karena penghalangan kapal induk itu akan meningkatkan martabat Soekarno tanpa batas, dan menyetujui persiapan Operasi Althorpe, rencana untuk melenyapkan angkatan udara Indonesia sebagai balasan terhadap serangan.[17] ; meskipun tidak ada keputusan tergesa-gesa yang dibuat, dan walaupun Kabinet telah setuju untuk memeriksa masalah ini lebih lanjut.[18]

Alternatif dan Resolusi Indonesia untuk Krisis Ini

Pada 9 September, Suwito memberitahu seorang diplomat Inggris bahwa Selat Sunda akan ditutup karena latihan angkatan laut dan bahwa apabila kapal perang Inggris menjauhi daerah itu untuk sementara, itu akan dihargai. Untuk Inggris, ini tampak sebagai eskalasi krisis; jika satuan tugas berlayar melaluinya, mungkin mereka harus melawan Angkatan Laut Indonesia secara langsung - meskipun pada kenyataannya Indonesia sedang mengurangi tekad untuk menolak pas satuan tugas Inggris melalui Selat Sunda, dan berharap menjauhkan Inggris dari mencoba memaksakan diri melalui berbagai cara tidak langsung.[19] Bagaimanapun, Inggris tidak menafsirkan demikian; pengumuman itu memicu babak baru perdebatan mengenai pemaksaan pas ini. Thorneycroft meninjau kembali rencana dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Commonwealth Relations Office; kebanyakan dari mereka memberitahunya untuk mempertimbangkan pendapat para komandan di tempat. Setelah mengingat endorsemen berpengaruh Lord Head atas pandangan Begg, Thorneycroft goyah dan memutuskan bahwa dua kapal perusak harus lanjut lewat Selat Sunda tanpa Victorious, dengan pesawat dari kapal itu dan Centaur sebagai bantuan.[20] Meskipun khawatir tentang efek psikologis tidak lewatnya kapal induk, ia diingatkan bahwa Inggris tidak memberitahu Jakarta bahwa kapal itu akan kembali lewat jalan itu sebelumnya.

Dalam rapat Kabinet keesokan paginya, Butler mengangkat isu ini sekali lagi, menginformasikan mereka bahwa Indonesia berusaha untuk menghalangi Victorious yang hanya ingin lewat Selat Sunda dengan dalih latihan angkatan laut. Thorneycroft kemudian berbicara, menyatakan bahwa Soekarno akan "mendapatkan prestise" jika ia menghentikan kapal-kapal agar tidak lewat, dan bahwa ia mungkin akan menutup jalur air lainya untuk Royal Navy jika ia berhasil. Thorneycroft mengaku bahwa ia awalnya berencana untuk mengirim kapal induk itu untuk melalui Selat Sunda, tetapi setelah diskusi dengan Head dan Begg memutuskan untuk mengirim kapal perusak lewat selat itu, dan mengirim Victorious ke utara lewat keliling Sumatra. Kapal-kapal penghancur masih akan mampu menegakkan hak atas pasnya, sementara memaksa Soekarno untuk menyerang atau membiarkan mereka lewat. Jika Indonesia menyerang kapal-kapal tersebut, "itu akan jadi sebuah tindakan perang... dan kita [Inggris] akan harus membalas dengan kekuatan besar." Meskipun Kabinet mencatat bahwa kapal perusak bisa saja hancur jika diserang, tidak membungkuk kepada Soekarno dianggap perlu. Inggris dan Indonesia berada di jurang perang habis-habisan.

Bagaimanapun juga, Kabinet belum tahu bahwa Indonesia sudah menyiapkan alternatif dari terjun bebas ke jurang tersebut. Pada hari itu juga, 10 September, Suwito meminta Inggris untuk menghindari "kesalahpahaman" yang mengerikan dan secara diam-diam menawarkan mereka agar melewati Selat Lombok. Di samping lebih jauh dari Jakarta, wilayah itu masih diklaim Indonesia, dan mungkin membantu Inggris menyelamatkan wajahnya sementara tidak melepaskan diri dalam perang yang mereka tidak inginkan. Dengan dukungan Departemen Luar Negeri, Thorneycroft dan Perdana Mentri Alec Douglas-Home meyetujui kompromi tersebut, dan memberitahu Suwito bahwa kapal-kapal itu akan mengambil jalur Selat Lombok. Suwito tampak, menurut para saksi mata, "teramat lega" setelah menghindari konflik penuh.[21] Victorious, setelah bertemu dengan kapal perusak HMS Hampshire dan frigate HMS Dido dan HMS Berwick, berlayar dengan aman melalui Selat Lombok pada 12 September.

Dampak

Krisis Selat Sunda adalah titik puncak di mana konfrontasi Indonesia-Malaysia hampir memasuki perang penuh, dan pada akhirnya pergerakan itu memang terhindari, tetapi bayangan konflik belum sepenuhnya berlalu. Indonesia belum berhenti melakukan pendaratan di Malaysia, dan Inggris telah berniat melakukan pembalasan jika terpojok karena tekanan Malaysia baik melalui badan pemerintah maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa.[22] Namun, krisis ini dengan cepat mereda setelah pas Victorious melalui Selat Lombok. Tunku Malaysia melaporkan tawaran damai rahasia dari Soekarno pada 16 September; walaupun Inggris meragukan ketulusan tawaran ini, ada sedikit keraguan bahwa insiden ini telah menguncang kepercayadirian Jakarta. Dukungan Indonesia dari Afrika dan Asia di PBB mulai melemah; bertahan dari penghakiman sebab perbuatan mereka terhadap Malaysia hanya karena veto Uni Soviet. Hasilnya Tunku memberitahu Inggris pada 18 September bahwa ia tidak akan membalas secara langsung dan akan berusaha membawa kasus ini ke PBB, melegakan Inggris, yang menyambut "let-off" ini.[23] Inggris membatalkan rencana pas penuh kisruh kapal-kapal perang besar mereka, dan mulai dari saat itu menjadi jelas bahwa tidak ada pihak yang menginginkan perang.[24]

Hasil yang Diperdebatkan

Perdebatan mengenai siapa yang lebih diuntungkan dengan hasil krisis ini, Inggris atau Indonesia, berlanjut hingga kini; meskipun banyak sejarawan menggambarkan Inggris untung (diakui, mereka berkebangsaan Inggris dan Amerika) ada kondisi kredibel yang menunjukkan keberhasilan kedua belah pihak.[25]

Inggris

Kebanyakan sejarawan mendukung cerita meskipun Victorious justru berlayar melalui Selat Lombok dan bukan Sunda, Inggris dengan gamblang menang dalam unjuk kekuatan selama Krisis Selat Sunda. Banyak laporan, termasuk History of Counterinsurgency Gregory Fremont-Barnes, setuju dengan versi sederhana bahwa Indonesia menutup selat tersebut karena alasan tertentu dan kedatangan satuan tugas di sekeliling kapal induk tersebut mengintimidasi Soekarno untuk membukanya kembali.[26] Argumen yang umum adalah pas tersebut merupakan unjuk kekuatan yang efektif dan berani, sering kali mengabaikan masalah Selat Sunda sama sekali; sentimen yang ditunjukkan oleh awak Victorious sendiri, yang selama perjalanan melalui Selat Lombok berada di pos aksi saat melihat kapal selam Indonesia dan siap untuk menembak jika ada tanda-tanda permusuhan, percaya bahwa orang Indonesia memilih untuk menahan diri karena takut terhadap kekuatan mereka. Pandangan tersebut dipertahankan oleh laporan resmi Inggris, menggambarkan hasil krisi sebagai kompromi dari masyarakat Indonesia, yang dalam istilah brinksmanship, "berkedip pertama" setelah Inggris menolak untuk mundur. Departemen Luar Negeri bahkan habis-habisan mengklaim bahwa Selat Lombok sama saja dengan Selat Sunda, meskipun terdapat jarak yang lebih jauh antara Singapura dan Australia.[27] Setidaknya, kekalahan Indonesia kemudian hari di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kesepakatan Tunku untuk menjauhkan diri dari pembalasan adalah hasil yang sangat positif bagi Inggris dari insiden ini.

Indonesia

Sebaliknya, sejarawan Toh Boon Kwan berpendapat panjang lebar mengenai kepentingan orang Indonesia, menegaskan bahwa mereka mendapatkan kemenangan yang sama jika tidak lebih valid daripada Inggris. Ia menyatakan bahwa pembuat kebijakan Inggris, lega karena dapat terhindar dari jalan menuju peperangan, sudah lupa bahwa Selat Lombok secara militer menguntungkan Indonesia, kapal perang Indonesia bisa menghalangi satuan tugas Inggris dengan mudah dari pusat pangkalan angkatan laut yang dekat. Secara simbolis, juga, memaksa kapal-kapal kebanggaan Royal Navy untuk mengambil jalan panjang mengitari wilayah mereka dapat dianggap sebagai keberhasilan diplomatik yang besar. Politisi indonesia memperoleh kekuatan dari krisis ini, menjadi percaya bahwa mereka bisa setara dengan 'Imperialis' dan bertahan dari "bersenggolan dengan bahaya." Hal ini, aku Boon Kwan, anehnya kontras dengan pandangan tentara yang mengalah, kesal karena dekatnya mereka dengan perang, dan bagaimanapun juga tidak begitu senang melaksanakan kebijakan-kebijakan konfrontasi. Para tentaralah, ia menegaskan, yang mengirim inisiatif perdamaian ke Tunku pada bulan September.[28]

Referensi

  1. ^ "The Malayan Emergency: 1948–1960".
  2. ^ Simpson 2012, p. 161.
  3. ^ Easter 2012, pp. 5–6.
  4. ^ Simpson 2012, pp. 161–2.
  5. ^ Simpson 2012, p. 162.
  6. ^ Tuck 2016, p. 30.
  7. ^ Subritzky 2000, p. 116.
  8. ^ Auerswald 2000, p. 103.
  9. ^ Roberts 2009, p. 52.
  10. ^ McCart 1998, p. 153.
  11. ^ Easter 2012, p. 99.
  12. ^ Boon Kwan 2005, p. 406.
  13. ^ Easter 2012, p. 100.
  14. ^ Boon Kwan 2005, p. 402.
  15. ^ Boon Kwan 2005, p. 407.
  16. ^ Boon Kwan 2005, p. 408.
  17. ^ Easter 2012, p. 102.
  18. ^ Boon Kwan 2005, pp. 408–9.
  19. ^ Easter 2012, p. 101.
  20. ^ Boon Kwan 2005, p. 409.
  21. ^ Easter 2012, pp. 102–3.
  22. ^ Easter 2012, p. 103.
  23. ^ Subritzky 2000, p. 121.
  24. ^ Kraska & Pedrozo 2013, p. 137.
  25. ^ Boon Kwan 2005, p. 410.
  26. ^ Fremont-Barnes 2015, p. 112.
  27. ^ Boon Kwan 2005, p. 411.
  28. ^ Boon Kwan 2005, pp. 411–2.

Daftar pustaka

  • Auerswald, David P. (2000). Disarmed Democracies: Domestic Institutions and the Use of Force. University of Michigan Press. ISBN 9780472111206. 
  • Boon Kwan, Toh (2005). "Brinkmanship and Deterrence Success during the Anglo-Indonesian Sunda Straits Crisis, 1964–1966". Journal of Southeast Asian Studies. 36 – via JSTOR. 
  • Easter, David (2012). Britain and the Confrontation with Indonesia, 1960–66. I.B.Tauris. ISBN 9780857721150. 
  • Elleman, Bruce A.; Paine, S.C.M. (2010). Naval Power and Expeditionary Wars: Peripheral Campaigns and New Theatres of Naval Warfare. Routledge. ISBN 9781136841699. 
  • Fremont-Barnes, Gregory (2015). A History of Counterinsurgency. ABC-CLIO. ISBN 9781440804250. 
  • Kraska, James; Pedrozo, Raul (2013). International Maritime Security Law. Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 9789004233577. 
  • McCart, Neil (1998). HMS Victorious, 1937–1969. Fan Publications. ISBN 9781901225013. 
  • Roberts, John (2009). Safeguarding the Nation: The Story of the Modern Royal Navy. Seaforth Publishing. ISBN 9781848320437. 
  • Simpson, Emile (2012). War From the Ground Up: Twenty-First Century Combat as Politics. Oxford University Press. ISBN 9780199365357. 
  • Subritzky, J. (2000). Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961–5. Springer. ISBN 9780230595453. 
  • Tuck, Christopher (2016). Confrontation, Strategy and War Termination: Britain's Conflict with Indonesia. Routledge. ISBN 9781317162100.