Teologi kontekstual

Revisi sejak 20 Oktober 2020 04.10 oleh 114.79.0.150 (bicara)

Sejarah Singkat

Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20.[1] Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.[2] Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi.[1] Namun, ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkulturasi, dan teologi pribumi.[1]

Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga.[2] Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab.[2] Contohnya adalah inkarnasi Yesus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi.[2] Oleh karena itu, para teolog beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya.[2] Istilah-istilah itu adalah pribumi, inkulturasi, akomodasi dan adaptasi.[2]

Model-model Pendekatan Kontekstual

Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa model pendekatan.[1]

Model Akomodasi

Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli.[1] Sikap ini dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis.[1] Objek akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal.[1] Dalam pendekatan ini, terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan nilai-nilai Kristiani.[1] Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab.[1] Selama ini, Alkitab dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.[1]

Model Adaptasi

Model ini berbeda dengan model akomodasi.[1] Model ini tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam nilai-nilai Kristiani.[1] Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam kekristenan.[1] Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab dalam istilah setempat (indigenous terms).[1] Hal ini dilakukan agar istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks yang berbeda.[1]

Model Prossesio

Prossesio adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif.[1] Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi.[1] Kelompok yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah dirusak oleh dosa.[1] Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan.[1] Model ini juga memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.[1]

Model Transformasi

Model ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr mengenai Allah dan kebudayaan. Allah dipahami berada di atas kebudayaan.[1] Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia.[1] Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.[1]

Model Dialektis

Model ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan.[1] Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks juga memberi perubahan bagi Kekristenan.[1] Contohnya dalam teologi, kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan Kekristenan di tengah konteks yang ada.[1]

Tokoh

Matteo Ricci

 
Matteo Ricci (kiri) dan Xu Guangqi(徐光启) (kanan) dalam Unsur Euclid edisi Cina(《几何原本》)

Matteo Ricci adalah pastur dari Ordo Yesuit di Italia.[3] Ia diutus menjadi misionaris di Cina selama Dinasti Ming.[3] Ia memperkenalkan budaya Barat ke Cina.[3] Ia juga salah satu misionaris yang menggunakan model pendekatan akomodasi.[3]

Gustavo Gutierrez

Gustavo Gutierrez adalah seorang imam Katolik.[4] Ia juga seorang teolog.[4] Ia lebih dikenal sebagai teolog pembebasan.[4] Ia mencetuskan ide teologi pembebasan.[4] Ide itu berakar pada konteks saat itu.[4] Ia melihat bahwa gereja tidak memihak kepada yang miskin.[4] Gereja hanya mementingkan dirinya sendiri.[4]

C. S. Song

Choang Seng Song atau yang dikenal sebagai C. S. Song adalah salah satu teolog kontekstual di Asia.[5] Ia memahami bahwa ilmu teologi yang selama ini diajarkan dan dikembangkan oleh gereja-gereja di Asia tidak menyentuh budaya lokal.[5] Dalam pandangannya, teologi semestinya menyentuh konteks.[5]

Kosuke Koyama

 
Kosuke Koyama

Kosuke Koyama adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Jepang.[6] Ia tidak hanya seorang teolog, tetapi juga seorang misionaris.[6] Salah satu teologi kontekstual yang ia kembangkan adalah teologi kerbau.[6]

Aloysius Pieris

Aloysius Pieris adalah seorang teolog dari Sri Lanka.[7] Ia juga ikut mengembangkan teologi kontekstual di negara tersebut.[7] Salah satu bentuk teologinya adalah teologi kemiskinan dan kaitannya dengan pluralisme.[7]

Hope S. Antone

Hope S. Antone adalah salah satu teolog dari Filipina.[8] Ia mengembangkan teologi kontekstual dengan pendekatan pendidikan Kristiani.[8] Ia memahami bahwa Filipina memiliki teologinya sendiri dari budaya yang ada di negara tersebut.[8] Hal ini dicetuskan karena adanya dominasi teologi Barat yang dianggap mengabaikan konteks masyarakat Filipina.[8]

Tokoh-tokoh yang Mengembangkan Teologi Kontekstual di Indonesia

Andreas A. Yewangoe

Andreas Anangguru Yewangoe adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[9] Pendeta yang sering disebut A.A. Yewangoe ini mengembangkan teologi penderitaan dalam konteks Asia, khususnya Indonesia.[9] Ia juga memadukan ideologi Pancasila dengan nilai-nilai Kristiani.[9] Salah satu bukunya berjudul Theologia Crucis di Asia: Pandangan Kristen Asia tentang Penderitaan dan Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila.[9]

Eka Darmaputera

Eka Darmaputera adalah pendeta dan teolog yang cukup berpengaruh dalam teologi kontekstual di Indonesia.[10] Ia mengembangkan teologi dalam studi Pancasila.[10] Ia juga dikenal sebagai tokoh muda yang memajukan pemikiran teologi di Indonesia.[10] Ia sempat menjabat sebagai ketua Gerakan Mahasiswa Kristen di Indonesia (GMKI).[10]

Emanuel Gerrit Singgih

Emanuel Gerrit Singgih adalah salah satu teolog Perjanjian Lama di Indonesia.[11] Ia juga mengembangkan teologi kontekstual di Indonesia.[11] Ia juga dosen di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).[11] Salah satu bukunya berjudul Berteologi dalam Konteks.[11]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia)Y. Tomatala. 1993. Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar.hal 2. Malang: Gandum Mas.
  2. ^ a b c d e f (Inggris)Theological Education Fund Staff. 1972. Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund.England: Theological Education Fund.
  3. ^ a b c d (Inggris)Sunquist, Scott W. 2001. A Dictionary of Asian Christianity.Michigan: William B. Eerdman Publishing Co.
  4. ^ a b c d e f g (Indonesia)Lane, Tony. 2007. Runtut Pijar.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  5. ^ a b c (Inggris)Song, C. S. 1982. The Compassionate God.New York: Orbis Books
  6. ^ a b c (Inggris)Koyama, Kosuke. 2009. Water Buffalo Theology.New York: Orbis Books
  7. ^ a b c (Inggris)England, John C. 2009. Asian Christian Theologies: A Research Guide to Authors, Movements, Sources. Volume 1: Asia Region, South Asia, Austral Asia.New Delhi: ISPCK
  8. ^ a b c d (Indonesia)Antone, Hope S. 2003. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  9. ^ a b c d (Inggris)Yewangoe, A. A. 2009. Tidak Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja, Warga Bangsa.Jakarta: BPK Gunung Mulia
  10. ^ a b c d (Inggris)Darmaputera, Eka. 1988. Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: a Cultural and Ethical Analysis.Leiden, New York: E.J. Brill
  11. ^ a b c d (Inggris)Hamel, Victorius A. 2010. Gerrit Singgih: Sang Guru dari Labuang Baji.Jakarta: BPK Gunung Mulia