Ketuhanan dalam Buddhisme

konsep ketuhanan dalam agama Buddha
Revisi sejak 13 November 2020 06.11 oleh Sultan Hendrick (bicara | kontrib) (Perbaikan pengetikan)


Tuhan dalam agama Buddha bukanlah Siddharta Gautama. Konsep Ketuhanan dalam ajaran Buddha berbeda dari konsep Ketuhanan dalam ajaran agama-agama lainnya. Buddhisme juga menolak konsep adanya sosok sang makhluk mahakuasa nan abadi sebagai sang maha pencipta segala sesuatu.[1] Ajaran Buddha menyatakan bahwa alam semesta selalu diatur dan diproses oleh lima hukum kosmis (Panca Niyama Dhamma), yakni Utu Niyama, Bija Niyama, Kamma Niyama, Citta Niyama, dan Dhamma Niyama.[2] Hal ini dipandang oleh banyak orang sebagai perbedaan utama antara Buddhisme dan agama-agama lain.

Buddha adalah mahaguru agung para dewa dan manusia namun bukanlah "Tuhan Yang Maha Kuasa" bagi pengikut ajaran agama Buddha.

Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak".Dalam hal ini, Komsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ajaran Agama Buddha adalah suatu yang "tanpa Aku" (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan (tidak memiliki kepribadian) dan tidak dapat diuraikan seperti apa pun. Tetapi dengan adanya "Yang Mutlak", yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.[3]

Umat Buddha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa, tetapi mereka juga makhluk—seperti halnya manusia, yang dikatakan masih dapat menderita di samsara—belum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Bahkan Sang Buddha sering disebutkan sebagai maha guru agung para dewa dan manusia yang lebih unggul dari mereka, meskipun dewa—seperti semua makhluk hidup lainnya—mungkin menjadi Bodhisattva tercerahkan dan mencapai kesucian.

Ibadah umat Buddha lebih fokus pada hukum spiritual alam semesta untuk mencapai pencerahan diri sehingga sampai pada akhir dari nafsu indriawi yang menyebabkan semua belenggu penderitaan kelahiran, usia, penuaan, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan, serta dapat merealisasi kebebasan tertinggi (pencapaian nibbana).

Ketiadaan pencipta dunia

Dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya "Dewa Pencipta" ataupun "Sang Pencipta Dunia"; alam semesta dengan segala isinya diatur oleh hukum universal (Niyama Dhamma) yang berlaku di semua alam kehidupan, segala isi Bumi, segala tata bintang, maupun segala galaksi di jagat raya ini.

Dhamma bukanlah ciptaan para Buddha; Dhamma tetap ada dan tetap akan ada selamanya. Para Buddha hanya penemu Dhamma, setelah menemukannya Beliau memerintahkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi itu akan tetap ada sepanjang zaman, sebagaimana yang disabdakan Buddha:

O para Bhikkhu, apakah para Tatagatha muncul (di dunia) atau tidak, Dhamma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi.
(Dhamma Niyama Sutta)

Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, penganut Buddhisme meninggalkan konsep yang "salah" tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut Brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya.[1]

Dewa

Dalam agama Buddha, Dewa adalah salah satu makhluk yang tidak setara dengan manusia, memiliki kesaktian, hidup panjang, namun tidak abadi. Agama Buddha mengenal banyak dewa, namun mereka bukan Tuhan, mereka tidak sempurna dan tidak maha kuasa. Mereka (para dewa) adalah makhluk yang sedang dalam usaha mencari kesempurnaan hidup. Alam dewa sering juga disebut sebagai surga.

Para Dewa tidak selalu sama dengan Bodhisattva. Para Dewa masih terikat pada karma dan samsara, meskipun dewa—seperti semua makhluk hidup lainnya—mungkin menjadi Bodhisattva tercerahkan dan mencapai kesucian.

Mahabrahma

"Mahabrahma dapat menyinari lebih dari ribuan sistem dunia dengan pancaran cahayanya yang cemerlang. Ia dapat melihat segala sesuatu dalam dunia-dunia tersebut, mendengarkan suara-suara, pergi ke tempat mana pun dan kembali sekehendak hatinya dalam seketika, dan membaca pikiran para manusia dan dewa. Berhubungan dengan kekuatan menciptakan dan mengubah sesuatu, mahabrahma dapat menciptakan atau mengubah tubuhnya sendiri atau objek eksternal apa pun menjadi berbagai bentuk. Namun ini hanya bagaikan pertunjukan sulap di mana ketika ia menarik kembali kekuatannya, semuanya akan lenyap. […] Mahabrahma dapat memindahkan ribuan manusia dalam kehidupan sekarang ke surga jika ia menginginkannya. Ia tidak dapat membuat mereka tidak mengalami usia tua dan kematian, bahkan ia tidak dapat menghalangi dan menyelamatkan mereka dari kelahiran kembali di alam yang menderita. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur materi dan mental yang menyusun pribadi manusia berada dalam pengaruh hukum alam (Dhamma-niyama) dari kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia tidak dapat membuat manusia atau makhluk mana pun terlahir kembali di surga setelah mereka meninggal karena lahirnya kehidupan baru di alam yang baru setelah kematian bukan dalam lingkungan kendali iddhi melainkan dalam kendali Kamma-niyama. […] Di dunia ini orang yang membunuh dan memakan unggas dan selalu mabuk minuman keras pasti jatuh ke alam yang menderita setelah kematian walaupun setiap hari rajin berdoa dan mengunjungi tempat ibadah. Mahabrahma atau ‘Tuhan’ tidak dapat menyelamatkannya bagaimanapun, karena ini berada dalam jangkauan Kamma-niyama dan bukan jangkauan iddhi. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mempercayai konsep issara-kutta dan brahma-kutta, yang menyakini hukum kamma dan menjauhi perbuatan buruk dan selalu mengembangkan perbuatan baik, pasti naik ke alam yang bahagia setelah kematiannya. Mahabrahma tidak dapat mencegahnya datang ke surga, karena pengaruh iddhi tidak dapat menolak jalannya hukum moral. Mahabrahma tidak dapat mempertahankan dan menyelamatkan bahkan dirinya sendiri dari kejatuhan ke alam rendah."

Nurwito Nasiman, Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 184–185. ISBN 978-602-427-074-2

Menurut kosmologi Buddhis, Mahabrahma (Mahābrahmā), atau Brahma yang Agung, disebutkan dalam Digha Nikaya sebagai makhluk yang menempati alam atas.[4] Ia merupakan dewa pemimpin dan penguasa Alam Brahma.[5][6] Kendati sama-sama merupakan agama berbasis darma, Brahma dalam agama Buddha berbeda dengan Brahma dalam agama Hindu yang diyakini sebagai pencipta dunia. Menurut agama Buddha, semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, sehingga tiada sosok pencipta yang disebut Brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya.[1] Terjadinya dunia merupakan suatu siklus; banyak dunia yang terbentuk dan hancur pada masa lampau, dan dunia yang baru akan menggantikan dunia yang sekarang pada masa yang akan datang, dan demikian seterusnya. Kepercayaan bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir—dengan merenungkan perumpamaan tentang rumah dengan pembangunnya—sampai pada kesimpulan bahwa dunia pasti memiliki pencipta: Sang Pencipta, Mahabrahma, atau ‘Tuhan’ pada umumnya.[7]

Selanjutnya ada sebuah pokok uraian dalam ajaran agama Buddha yang telah menyesatkan banyak penulis,[8] sehingga agama Buddha dianggap oleh mereka sebagai agama non-teis. Pandangan yang salah ini didasarkan pada pernyataan Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta, bahwa Sang Buddha menolak Mahabrahma sebagai Tuhan, Pencipta, Mahakuasa dan sebagainya. Mahabrahma yang dimaksud dalam Brahmajala Sutta adalah dewa Brahma yang salah mengerti tentang dirinya sendiri. Pernyataan Sang Buddha tersebut adalah sebagai berikut:

Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, 'bumi ini belum ada'. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang 'masa hidupnya' atau 'pahala kamma baiknya' untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan,

'O semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!'.

Pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.

Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat:

"Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari ynag telah ada dan yang akan ada. Semua mahluk ini adalah ciptaanku". Mengapa demikian? Baru saja terpikir, semoga mereka datang', dan berdasarkan pada keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini muncul. Mahluk-mahluk itu pun berpikir,'dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. mengapa? Sebab, kita muncul sesudahnya.

Para bhikkhu, dalam hal ini mahluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya. Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata:

"Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas."[9]

Ketuhanan Yang Maha Esa

Berdasarkan aliran Theravada, pernyataan dari Sang Buddha yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan konsep ketuhanan dalam agama Buddha terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:3, sebagai berikut:

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu." (Sutta Pitaka, Udana VIII: 3).

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Berdasarkan uraian tersebut, konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain, terutama agama rumpun Abrahamik (Samawi).Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, kehidupan manusia di alam semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.[3]

Alam semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini sangat luas dengan banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut:

Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? […]..

Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa (belahan bumi bagian Selatan), seribu Aparayojana (belahan bumi bagian Barat), seribu Uttarakuru (belahan bumi bagian Utara), seribu Pubbavidehana (belahan bumi bagian Timur) […]..

Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu).[10] Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu". Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.

Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya.

Terjadinya Bumi dan manusia

Terjadinya Bumi dan manusia menurut agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul, bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Terjadinya Bumi dan manusia pertama diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang tampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, […] laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja.

Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu.

Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata: 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari […] mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasikonstelasi tampak […] siang dan malam […] terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk […] maka sari tanah itupun lenyap […] ketika sari tanah lenyap […] muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan […]

Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali […] (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul […] warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni […]

Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu […] maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka tampak lebih jelas; sebagian tampak indah dan sebagian tampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk […] Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.

Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap […] muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka tampak lebih jelas. Bagi wanita tampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki tampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga).

Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.

Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin […]....[11] (Sutta Pitaka, Digha Nikaya)

Kehidupan manusia

Menurut agama Buddha, kehidupan manusia tidak hanya sekali saja. Sebagaimana diuraikan dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi.

[…] ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau […] 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi ber-evolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali, dst.). […] 20, 30, sampai 40 kali masa bumi ber-evolusi […] (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut […]

Menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan sekali saja, tetapi telah berlangsung berulang-ulang kali hidup di Bumi ini dan juga di dunia yang lain. Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah Bumi ke Bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah Bumi ke Bumi yang lain disebabkan karena Bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di Bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi Buddhis. Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang sangat lama.

Dari ke 31 alam (kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akanittha) adalah alam Lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami. Anagami adalah manusia atau mahluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)[12] dari 10 belenggu yang mengikat manusia.

Anagami adalah manusia atau mahluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu: Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula. Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.

Kiamat

Kiamat atau hancur leburnya Bumi menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.

Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati […]

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada […]

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada […]

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada […]

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana (semacam ukuran yang ada di masa Sang Buddha yang jauhnya kira-kira 7 mil), lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.

Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.

Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.

Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.

Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.

Keselamatan atau kebebasan

Menurut agama Buddha, pandangan yang menyatakan keselamatan yang dapat dinikmati setelah kematian adalah suatu pandangan yang spekulatif. Keselamatan menurut pandangan agama Buddha harus didasarkan pada akal dan pengalaman, seperti yang dikatakan oleh G.P. Malalasekera:

"Agama Buddha adalah ajaran empiris dan antimetafisika, dan tidak dapat menerima sesuatu yang tak dapat dialami oleh akal atau pancaindra".

Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan ini pun diketahui oleh orang bersangkutan pula, seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta:

Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri.

Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan ini kita dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti yang diuraikan Beliau dalam Satipatthana Sutta, Digha Nikaya dan Majjhima Nikaya sebagai berikut:

Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan mahluk-mahluk, untuk mengatasi penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk mencapai jalan kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian […]

[…] Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat Perkembangan Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil yang dapat dicapainya Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika masih ada bentuk ikatan tertentu ia mencapai tingkat kesucian Anagami.

Empat Perkembangan Perhatian tidak dapat diuraikan secara terperinci di sini, bila ada yang mau mempelajari dan melaksanakannya dapat melihat langsung pada Satipatthana Sutta atau dalam Visuddhi Magga (The Path of Purification). Empat Perkembangan Perhatian ini merupakan dasar dari meditasi Vipassana didasarkan pada segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak menyenangkan (dukkha), dan segala sesuatu yang bersyarat maupun tidak bersyarat adalah tanpa aku atau jiwa yang kekal (anatta).

Dalam Aliran-Aliran

Mahayana

Pada dasarnya, aliran Mahayana juga meyakini konsep yang tertera pada Sutta Pitaka, Udana VIII:3. Namun, aliran Mahayana juga mempercayai beberapa paham khusus mengenai hakekat Tuhan Yang Maha Esa, seperti tertera dalam dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, yang tercatat dalam kitab suci Lankavatara Sutra sebagai berikut:

"...... untuk alasan ini Mahamati, silahkan para Bodhisattva Mahasattva yang sedang mencari pemujaan kebenaran menghasilkan kesucian Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam. Mahamati, bila kau berkata bahwa tak ada Tathagatagarba yang dikenal sebagai Alayavijnanam, maka tak ada juga keterbitan maupun penghilangan dalam ketidakhadiranNya. Tathagatagarba dikenal juga sebagai Alayavijnanam.(Lankavatara Sutra Hal. 190).

...... Mahamati, Tathagatagarba (penerangan unggul) memegang di dalam kedua-duanya, yaitu: kebaikan dan kejahatan, dan olehNya semua bentuk keadaan dihasilkan.(Lankavatara Sutra Hal. 190).

......Sesungguhnya Mahamati, para Tathagata, yang sepenuhnya diterangi menyampaikan ajaran Tathagatagarba yang sebetulnyatak dikenal sebagai persamaan dengan buah pikiran sifat egoisnya para ahli filsfat. Maka Mahamati, supaya tak meninggalkan hal kesalahpahaman yang dipelihara oleh para ahli filsafat, kamu harus berjuang untuk mengajar sifat tak egois dan Tathagatagarba.(Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 68).

...... Mahamati, bahwa kerajaan Tathagatahood adalah kerajaan Tathagatagarba, dimulai dengan Alayavijnanam adalah teruntuk Bodhisattva Mahasattva, yang seperti kamu juga dihadiahkan kelembutan, kecerdikan yang menembusi kekuatan pemikiran dan pengertiannya adalah sesuai dengan artinya, dan tidak untuk yang lain. Seperti ahli filsafat Sravakah dan Pratyekabuddha, yang terlihat kepada naskah-naskah keagamaan, untuk alasan ini, Mahamati, supaya kamu dan para Bodhisattva Mahasattva yang lain menertibkan diri dalam kerajaan Tathagatahood.

...... Diceritakan oleh saya dalam Naskah undang-undang keagamaan yang berkaitan dengan Ratu Srimala dan dalam hal lain, Bodhisattva dihadiahkan keajaiban, kelembutan, kehalusan, pengetahuan asli telah didukung (oleh kekuatan Rohani saja), bahwa Tathagatagarba dikenal sebagai Alayavijnanam yang lambat laun menjadi bersama dengan ketujuh Vijnana. Ini ditujukan kepada Sravakah yang tak bebas dari ikatan, untuk memperlihatkan kepada mereka sesuatu yang tak egois, dan untuk Ratu Srimala kepada siapa kekuatan kesucian rohani Buddha ditambahkan, kerajaan Tathagata yang asli dituangkan. Ini tak termasuk dalam kerajaan, ada untung karena ini dilanjutkan oleh Sravakah, Pratyekabuddha dan lain-lain filsafat tanpa kecuali. Mahamati, bahwa kerjaan Tathagata adalah kerajaan Tathagatagarba Alayavijnanam teruntuk Bodhisattva Mahasattva"

Mengingat Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjangkau dalam alam pikiran manusia, maka Sakyamuni Buddha dengan berbagai cara dan dengan memakai berbagai perumpamaan mencoba menjelaskan perihal Tuhan Yang Maha Esa, antara lain dengan menyebutkan sebagai Hukum yang tunggal (Saddharma Pundarika Sutra). Tathagatagarba merupakan sumbernya semua Tathagata/Para Buddha Penerangan Unggul, disabdakan oleh Sakyamuni Buddha sebagai terang benderang dan Esa. (Lankavatara Sutra XXVIII, hal. 63).

Alayavijnanam adalah percikan-percikan dari benih-benih Tathagatagarba (Tuhan Yang Maha Esa) yang terdapat di dalam setiap manusia.

Dari dialog antara Sakyamuni Buddha dengan Mahamati Bodhisattva, mereka percaya bahwa ada kekuatan yang kekal yang berada diluar jangkauan daya pikiran manusia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam agama Buddha aliran Mahayana dikenal dengan sebutan Tathagatagarba.

Di dalam jiwa setiap manusia sesungguhnya, terdapat kesadaran yang kekal, yang merupakan percikan-percikan benih Ketuhanan, Tathagatagarba (Alayavijnanam), akan tetapi benih Ketuhanan ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara dan dirawat. Dalam hal ini adalah tergantung pada kemauan orang tersebut, apakah dia mau merawat, memelihara dengan baik benih-benih Ketuhanan yang ada didalam dirinya sehingga dia dapat manunggal, bersatu dengan kekekalan, atau sebaliknya.

Di dalam memelihara dan merawat benih-benih Ketuhanan inilah perlunya manusia beragama dengan melaksanakan jalan Bodhisatta untuk merawat dan memelihara benih-benih Ketuhanan tersebut agar tidak salah dan tidak keliru dalam pelaksanaannya.[13]

Sang Hyang Adi Buddha

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988)[14], Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut:

“Adi‐Buddha adalah salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Sebutan ini berasal dari tradisi Aisvarika dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. Sedangkan Aisvarika adalah sebutan bagi para penganut paham Ketuhanan dalam agama Buddha. Kata ini berasal dari ‘Isvara’ yang berarti ‘Tuhan’ atau ‘Maha Buddha’ atau ’Yang Mahakuasa’, dan ‘ika’ yang berarti ‘penganut’ atau ‘pengikut’.”

“Istilah ini hidup di kalangan agama Buddha aliran Svabhavavak yang ada di Nepal. Aliran ini merupakan salah satu percabangan dari aliran Tantrayana yang tergolong Mahayana. Sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa dalam aliran ini adalah Adi‐Buddha. Paham ini kemudian juga menyebar ke Jawa, sehingga pengertian Adi‐Buddha dikenal pula dalam agama Buddha yang berkembang di Jawa pada zaman Sriwijaya dan Majapahit. Para ahli sekarang mengenal pengertian ini melalui karya tulis B.H. Hodgson. Ia adalah seorang peneliti yang banyak mengkaji hal keagamaan di Nepal.”

“Menurut paham ini seseorang dapat menyatu (moksa) dengan Adi‐Buddha atau Isvara melalui upaya yang dilakukannya dengan jalan bertapa (tapa) dan bersamadhi (dhyana).”

Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang Bhikkhu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa kitab yang menggunakan istilah Sanghyang Adi Buddha:

1. Naskah Guna Karanda Vyuha

"Sewaktu belum ada apa-apa, Sambhu sudah ada, inilah yang disebut Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), dan mendahului segala sesuatu, karena itu disebut juga Sang Adi Buddha."

2. Naskah Sanghyang Kamahayanikan

"Segala puji bagi Sanghyang Adi Buddha, inilah Sanghyang Kamahayanikan yang hendak Kuajarkan kepadamu, kepada putra Buddha (yang juga) keluarga Tathagata, keagungan pelaksanaan Sanghyang Mahayana itulah yang kuajarkan kepadamu."

Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:

"Stupa besar teratas [Borobudur] jang tertutup adalah lambang dari manusia jang telah mentjapai Kebebasan Mutlak (Nibbana/Nirwana) dan manunggal dengan Sang Adi Buddha. Dalam stupa tersebut dulu terdapat sebuah artja Buddha dalam bentuk kasar dan tak terselesaikan jang menggambarkan Sang Adi Buddha jang tak dapat dibajangkan oleh manusia."

Tridharma (Sam Kauw Hwee / San Jiao Hui)

Dengan masuknya pengaruh Buddhisme, kemudian muncul suatu aliran yang disebut Thian Tao (Tian Dao) atau Tridharma, yang merangkum ketiga ajaran yaitu Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Aliran ini mempertegas nama dan kedudukan Siang Te.

Menurut mereka, alam semesta ini terdiri dari tiga tingkat, yaitu Li Tian (Nirwana), Qi Tian (Kayangan) dan Xiang Tian (Bumi). Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Bing Bing Siang Te (Ming Ming Shang Di) dan berkedudukan di Li Tian / Nirwana.

Bing Bing Siang Te mengeluarkan firmannya yang disebut Tao, yang merupakan sumber kebenaran dan sumber kehidupan semua makhluk. Sebagai pelaksana pemerintahan alam semesta dijabat oleh Yu Huang Shang Di dengan dibantu para dewa-dewi dan malaikat sebagai menteri-menterinya, yang berkedudukan di Qi Tian / Kahyangan. Kedudukan Yu Huang Shang Di dijabat secara berganti-ganti dan mempunyai batasan waktu. Sedangkan sebagai pelaksana pemerintahan di bumi, dijabat oleh para Huang Di (kaisar atau raja).

Aliran Tridharma menggunakan sebutan "Thian" yang mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa.[15]

Vajrayana

Di dalam ajaran Vajrayana – yang berbasis Mahayana — memang dikenal adanya sosok Buddha primordial, yang sebenarnya adalah personifikasi kualitas terdalam dari batin kita di level Dharmakaya. Aliran Nyingma di Tibet yang muncul paling awal menyebutnya sebagai Samantabhadra. Sementara aliran Sarma yang muncul selanjutnya yakni Sakya, Kagyu, Jonang, dan Gelug menyebut sebagai Vajradhara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Sementara Buddha primordial dalam aliran Shingon atau tantra Jepang adalah Vairochana.[16][17]

Sunyata

Kebenaran tertinggi di dalam agama Buddha sering juga disebut sebagai śūnyatā yang sering kali diterjemahkan sebagai kekosongan. Inilah yang oleh orang Jawa lalu disebut sebagai Kasunyatan, kebenaran tertinggi dalam filsafat Jawa.

Semua aliran mainstream Buddhis mengakui śūnyatā. Di kanon Pali ada Sutta Cula-suññata dan Sutta Maha-suññata yang membahas mengenai hal tersebut.

Di Mahayana ada Sutra Prajñāpāramitāhṛdaya dan banyak sutra lain yang memang membahas hal itu. Sementara di Vajrayana – yang berbasis Mahayana— śūnyatā tentunya juga diakui. Meski demikian, ada dua aliran shunyata yang berkembang dalam agama Buddha Tibet, yakni Rangtong dan Shentong.

Rangtong berarti “kosong dari sifat diri sendiri”. Ini adalah istilah filosofis dalam agama Buddha Tibet yang digunakan untuk menyebut tentang sifat śūnyatā atau “kekosongan”, yaitu bahwa semua fenomena kosong dari masa lalu dan/atau esensi yang tidak berubah atau “diri”, bahwa kekosongan ini bukanlah kenyataan absolut, melainkan hanya merupakan karakterisasi nominal dari fenomena. Rangtong ingin mengatakan bahwa di dalam realita yang absolut, tiada yang absolut.

Hal ini terkait dengan pandangan prasangika, yang berpendapat bahwa tidak ada bentuk penalaran silogisme yang seharusnya digunakan untuk memperdebatkan gagasan keberadaan yang inheren, namun hanya argumen yang menunjukkan implikasi logis dan absurditas posisi berdasarkan eksistensi yang melekat. Pandangan ini merupakan tafsir utama Madhyamaka dari Gelugpa, aliran Buddhisme Vajrayana yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa.

Sementara Shentong yang secara harfiah berarti “kekosongan lain” adalah pandangan minoritas di dalam Madhyamaka Tibet. Ini artinya śūnyatā menyetujui kenyataan relatif kosong dari sifat diri sendiri, namun menyatakan bahwa kenyataan absolut itu sendiri tidak kosong dan benar-benar ada. Realitas absolut ini digambarkan dengan istilah positif, sehingga mirip dengan kebenaran tertinggi dalam konsep Hindu.

Shentong disistematisasikan dan diartikulasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361), seorang lama dari aliran Jonang, yang identik dengan praktik Tantra Kalachakra. Dalam sejarahnya, pandangan Shentong digilas oleh aliran Gelug yang dominan selama beberapa ratus tahun sejak Dalai Lama kelima, karena alasan politis dan doktrin. Pada tahun 1658, penguasa Gelug juga melarang aliran Jonang karena alasan politik, dan mengubah biarawan dan biara aliran itu menjadi Gelug. Ajaran dan kitab-kitab shentong dilarang, sehingga membuat posisi rangtong sangat dominan dalam corak agama Buddha Tibet dan aliran Jonang nyaris musnah.[18]

Shentong

Namun pada abad ke-19 pandangan Shentong bangkit kembali, dan berlanjut dengan gerakan Rimé (non sektarian). Saat ini pandangan Shentong hadir lagi dan merasuk terutama di aliran Nyingma dan Kagyu.

Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa master abad kesebelas yang bernama Yumo Mikyo Dorje– siswa pandita asal Kashmir bernama Somanatha — adalah orang Tibet pertama yang mengartikulasikan pandangan shentong, setelah pengalamannya melakukan retret Kalachakra secara intensif.

Shentong lalu disistematisasikan oleh Dolpopa Sherab Gyaltsen yang awalnya adalah biksu aliran Sakya, yang terlahir di keluarga praktisi Nyingma, namun akhirnya bergabung dengan aliran Jonang.

Tahun 1321 Dolpopa mengunjungi Biara Tsurphu untuk pertama kalinya, dan melakukan diskusi ekstensif dengan Karmapa Ketiga Rangjung Dorje (1284-1339) tentang masalah doktrinal. Tampaknya Karmapa mempengaruhi perkembangan beberapa pandangan Dolpopa, termasuk metode shentongnya.

Seperti yang diramalkan Karmapa Rangjung Dorje, Dolpopa lalu mempraktikkan Kalachakra secara intensif, dan akhirnya merealisasi pandangan shentong.

Ia memperkokoh pandangannya ini dengan mengutip kitab Mahāyāna Sūtra Mahāparinirvāṇa, Sūtra Aṅgulimālīya dan Sātra Śrīmālādevī Siṃhanāda.

Dolpopa menyebut bahwa Buddha atau diri sejati yang ada di dalam masing-masing pribadi sebagai kebenaran aktual, tidak dikondisikan atau dihasilkan oleh proses sebab-akibat temporal.[18]

Interpretasi

Interpretasi Shentong tentang doktrin tathāgatagarbha adalah bahwa Buddha di dalam semua makhluk adalah sifat-sifat yang tidak berubah, permanen, tidak terkondisi. Buddha adalah kualitas kebahagiaan, welas asih, kebijaksanaan, kekuatan, dan sebagainya yang dianggap sebagai sesuatu yang sesungguhnya terus ada permanen dan tak terbatas, walau tertutupi oleh keserakahan, kemarahan, dan kebotohan batin manusia.

Dia menegaskan bahwa kebenaran tertinggi, yang disebut oleh istilah seperti tathāgatagarbha (Esensi Buddha), dharmadhātu (Dimensi Kebenaran), dan dharmakāya (Tubuh Kebenaran), adalah keadaan permanen atau kekal. Menurutnya, semuanya berkaitan dengan ranah Nirvana, dan merupakan satu dengan sifat Buddha. Menurut Dolpopa, yang diutarakannya ini bukan sekadar pandangan intelektual, tapi pengalaman langsung tentang kebahagiaan dan realitas tertinggi yang telah dialaminya.

Karena itulah ia mendapat julukan Buddha dari Dolpo, seseorang yang sudah merealisasi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[18]

Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren

Aliran Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren mempercayai adanya "Mystic Law" (Hukum Mistik) berdasarkan Lotus Sutra (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) yang merupakan salah satu sutra Mahayana yang paling populer dan berpengaruh, dasar di mana aliran-aliran ajaran Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren didirikan.

Menurut Paul Williams, "Bagi banyak penganut Buddha Asia Timur sejak masa awal Saddharma Pundarika Sutra (Lotus Sutra) berisi ajaran terakhir Sang Buddha, lengkap dan cukup untuk keselamatan." [19]

Hukum Mistik ini adalah entitas tertinggi atau kebenaran yang menembus semua fenomena di alam semesta, tetapi itu bukan makhluk yang dipersonifikasikan. Ada satu kesatuan tertinggi dari manusia dan Hukum tertinggi ini - tidak ada pemisahan antara manusia (semua manusia) dan gagasan tentang Tuhan ini sebagai Hukum Mistik.

Kebenaran abadi dan tidak berubah yang ada dalam diri kita adalah sumber dari mana kita dapat menarik kebijaksanaan belas kasih yang sesuai dengan keadaan yang berubah, dan keberanian serta keyakinan untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan itu. Ini mistis, bukan magis, karena totalitasnya di luar konseptualisasi manusia; dan upaya untuk mengkotak-kotakkannya, katakanlah dalam bentuk manusia, hanya membatas-batasi.

Hal ini disebut "hukum" karena berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari manusia individu.

Realitas tertinggi, kebenaran tertinggi, kemurnian tertinggi ada di dalam setiap manusia. Karena itu, umat Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren memandang semua orang sebagai sakral dan secara sempurna memiliki potensi untuk menjadi individu yang sangat bahagia dan tercerahkan. Tidak ada 'kita' dan 'mereka', tidak ada yang saleh dan durhaka - semua adalah anak-anak Tuhan, entitas dari Hukum Mistik.

Ketika orang lain melihat ke langit (surga-surga), Buddha mencari ke dalam dan menemukan permata tak ternilai dari keajaiban dan kemungkinan manusia. Dia mengakui bahwa kita juga terbuat dari "benda" ilahi alam semesta.

Sebutan Nichiren untuk Tuhan adalah "Nam-myoho-renge-kyo", suatu Hukum Mistik. Mereka percaya itu ada baik "di sini" (dalam diri) maupun "di luar sana" (luar diri) dan bahwa cahaya batin ini dapat bersinar dari dalam ketika kita terbangun dan membuka hati kita melalui tindakan memuji "Nam-myoho-renge-kyo".

Secara linguistik, Namu Myōhō Renge Kyō terdiri dari yang berikut ini:

  • Namu 南無 "devoted to" (khusyuk terhadap), transliterasi bahasa Sansekerta namas
  • Myōhō 妙法 "exquisite law" (hukum yang sangat indah)
    • Myō 妙, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan mièw, "strange, mystery, miracle, cleverness" (aneh, misteri, mukjizat, kepandaian)
    • 法, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan pjap, "law, principle, doctrine" (hukum, asas, doktrin)
  • Renge-kyō 蓮華經 "Lotus Sutra"
    • Renge 蓮華 ""padma (lotus)"" (teratai)
      • Ren 蓮, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan len, "lotus" (teratai)
      • Ge 華, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan xwæ, "flower" (bunga)
    • Kyō 經, dari Bahasa Tiongkok Pertengahan kjeng, "sutra" (sutra)

Mereka telah mulai membayangkan alam semesta secara berbeda, dan bahwa konsep Tuhan sebagai Hukum Mistik sesuai dengan pemahaman yang mereka telah capai sendiri. Mereka akan menemukan, karena sebagian besar penganut Buddha Tiantai, Tendai, Cheontae, dan Nichiren dapat membuktikan, bahwa Hukum Mistik akan, dengan cukup baik, mengisi lubang berbentuk 'Tuhan' dalam diri spiritual mereka.[20]

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang Mahabrahma dengan segala sifat yang dimilikinya, sudah jelas bahwa Sang Buddha menolak paham Mahabrahma sebagai sosok Tuhan Pencipta. Paham Mahabrahma sebagai pencipta ini dengan segala sifatnya diklasifikasikan sebagai salah sebuah pandangan sesat dari 62 pandangan sesat yang diuraikan dalam Brahmajala Sutta. Setelah mengikuti uraian tentang konsep-konsep ajaran agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain, maka tampak bahwa dasar-dasar pemikiran Buddhis adalah unik dan spesifik Buddhis. Berdasarkan pada dasar-dasar pemikiran itulah maka konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha pun berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dari agama-agama lain.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b c Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. pp. 175-176. ISBN 978-602-427-074-2. "Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya."
  2. ^ darma, Diposting oleh. "Lima Hukum Alam (Panca Niyama Dhamma)". Bangkitlah. 
  3. ^ a b Cornelis Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id.
  4. ^ Peter Harvey (2013). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press. hlm. 35–36. ISBN 978-0-521-85942-4. 
  5. ^ Richard K. Payne; Taigen Dan Leighton (2006). Discourse and Ideology in Medieval Japanese Buddhism. Routledge. hlm. 57–58. ISBN 978-1-134-24210-8. 
  6. ^ Joseph Edkins. Chinese Buddhism: A Volume of Sketches, Historical, Descriptive and Critical. Trübner. hlm. 224–225. 
  7. ^ Nasiman, Nurwito. 2017 (III). Pendidikan Agama Budha dan Budi Pekerti untuk SMA Kelas X. ISBN 978-602-427-074-2. "Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah Sang Pencipta, mahabrahma, atau ‘Tuhan’."
  8. ^ Corneles Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala. "Mereka antara lain: 1. Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion. 2. Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism. Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru. Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia. Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini."
  9. ^ Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24. "Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan "Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali" ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-akam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu."
  10. ^ Buku Peringatan WAISAK 2528/1984 Yayasan Maha Bodhi Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 53. Dikutip dari Anguttara Nikaya, Ananda Vagga.
  11. ^ Sutta Pitaka, Digha Nikaya. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, 1983, hal. 19 - 22
  12. ^ Corneles Wowor, M.A. "Ketuhanan Yang Mahaesa Dalam Agama Buddha". Website Buddhis Samaggi Phala. "Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu: 1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi). 2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã). 3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa). 4. Nafsu indriya (kãma-rãga). 5. Dendam atau dengki (vyãpãda). 6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga). Alam bentuk (rüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV. 7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga). Alam tanpa bentuk (arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Arüpa Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV. 8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna). 9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat). 10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã). Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana), yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana) yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4) kãma-rãga dan (5) vyãpãda. Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana) yaitu (1) sampai dengan (5). Lima samyojana (1–5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhãgiya-samyojana. Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 - 10). Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 - 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana. Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat"
  13. ^ 2014. Biksu Dutavira Mahasthavira (Koordinator Dewan Sangha Walubi).
  14. ^ Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988). Jakarta: Cipta Adi Pustaka
  15. ^ Singgih, Marga (2017). "Tridharma Selayang Pandang". Jakarta: Perkumpulan Tridharma.
  16. ^ Dolpopa Sherab Gyaltshen (2006). Mountain doctrine: Tibet’s fundamental treatise on other-emptiness and the Buddha-matrix. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  17. ^ Stearns, Cyrus (2010). The Buddha from Dölpo: a study of the life and thought of the Tibetan master Dölpopa Sherab Gyaltsen. Ithaca, NY: Snow Lion Publications.
  18. ^ a b c Thera, Nyanaponika. “Buddhism and the God-idea”. The Vision of the Dhamma. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. (accesstoinsight.org)
  19. ^ Williams 1989, p. 149.
  20. ^ Phillip Hammond and David W. Machacck, “Soka Gakkai in America,” (Oxford University Press Inc., New York 1999).

Pranala luar