Nirwana

Kondisi tanpa penderitaan yang menjadi tujuan utama para pengikut Buddhisme
(Dialihkan dari Nibbana)

Dalam Buddhisme, Nirwana (Pali: Nibbāna; Sanskerta: निर्वाण, Nirvāṇa) adalah puncak tertinggi pencarian umat Buddha terhadap kebebasan dari samsara, yaitu siklus mati dan kelahiran kembali. Secara harfiah, Nibbāna berarti "kepadaman".

Terjemahan dari
Nirwana
Indonesianirwana, kepadaman, pemadaman
Inggrisblowing out,
extinguishing,
liberation
Palinibbāna
Sanskertaनिर्वाण
(IAST: nirvāṇa)
Tionghoa涅槃
(Pinyinnièpán)
Jepang涅槃
(rōmaji: nehan)
Korea열반
(RR: yeolban)
Mongoliaγasalang-aca nögcigsen
Tibetanམྱ་ངན་ལས་འདས་པ།
mya ngan las 'das pa
Bengaliনির্বাণ nibbano
Myanmarနိဗ္ဗာန်
(MLCTS: neɪʔbàɰ̃)
Thaiนิพพาน
(RTGS: nipphan)
VietnamNiết bàn
Khmerនិព្វាន
(UNGEGN: nĭppéan)
Monနဳဗာန်
([nìppàn])
Shanၼိၵ်ႈပၢၼ်ႇ
([nik3paan2])
Sinhalaනිවන
(nivana)
Daftar Istilah Buddhis

Theravāda

sunting

Padamnya pengotor batin

sunting

Dalam kitab suci Tripitaka Pāli aliran Theravāda, Buddha mendeskripsikan Nirwana sebagai padamnya pengotor-pengotor batin (kilesa) dalam Mahāli Sutta, Dīgha Nikāya 6:[1]

Kemudian lagi, seorang bhikkhu melalui padamnya kekotoran-kekotoran mencapai, dalam kehidupan ini juga, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang ia capai dengan pandangan terangnya sendiri [pencapaian Nibbāna; arahat].

"Itu adalah hal-hal lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna daripada yang ini, yang oleh karenanya para bhikkhu menjalankan kehidupan suci di bawah-Ku."

Puna caparaṁ, mahāli, bhikkhu āsavānaṁ khayā anāsavaṁ cetovimuttiṁ paññāvimuttiṁ diṭṭheva dhamme sayaṁ abhiññā sacchikatvā upasampajja viharati. Ayampi kho, mahāli, dhammo uttaritaro ca paṇītataro ca, yassa sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ caranti.

"Ime kho te, mahāli, dhammā uttaritarā ca paṇītatarā ca, yesaṁ sacchikiriyāhetu bhikkhū mayi brahmacariyaṁ carantī"ti.

— Mahāli Sutta, DN 6
terj. Indra Anggara

Kebahagiaan tertinggi

sunting

Di lain kesempatan, Buddha juga mendeskripsikan Nibbāna sebagai kebahagiaan tertinggi dan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan terbaik, sebagaimana tercatat pada Māgandiya Sutta, Majjhima Nikāya 75:[2]

Kemudian pada titik ini Sang Bhagavā mengucapkan seruan kegembiraan:

“Yang tertinggi dari segala perolehan adalah kesehatan, Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi; Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah jalan terbaik Karena jalan itu menuntun menuju keselamatan, pada Keabadian.”

Atha kho bhagavā tāyaṁ velāyaṁ imaṁ udānaṁ udānesi:

“Ārogyaparamā lābhā, nibbānaṁ paramaṁ sukhaṁ; Aṭṭhaṅgiko ca maggānaṁ, khemaṁ amatagāminan”ti.

— Māgandiya Sutta, MN 75
terj. Indra Anggara


Padamnya nafsu

sunting

Dalam Nirodhanibbānapañha, Milindapañha 3.4.8, Bhante Nāgasena mendeskripsikan Nibbāna sebagai padamnya atau berhentinya nafsu (nirodha). Dukkha-nirodha juga merupakan bagian dari Empat Kebenaran Mulia, yakni Kebenaran Mulia Ketiga.[3][4]


Metode mencapai Nirwana

sunting

Dalam sutta yang sama, Buddha juga menguraikan empat tingkat kemuliaan, yakni Pemenang-Arus (sotāpanna), Yang-Kembali-Sekali (sakadāgāmī), Yang-Tak-Kembali (anāgāmī), dan pencapaian Nirwana (arahat). Buddha juga menguraikan cara mencapai Nirwana, yaitu dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan:

"Dan Bhagavā, apakah jalan itu, apakah metode itu?"

"Yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu, Pandangan Benar, Pemikiran Benar; Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar; Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai hal-hal ini.

"Katamo pana, bhante, maggo katamā paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāyā"ti?

“Ayameva ariyo aṭṭhaṅgiko maggo. Seyyathidaṁ—sammādiṭṭhi sammāsaṅkappo sammāvācā sammākammanto sammāājīvo sammāvāyāmo sammāsati sammāsamādhi. Ayaṁ kho, mahāli, maggo ayaṁ paṭipadā etesaṁ dhammānaṁ sacchikiriyāya.

— Mahāli Sutta, DN 6
terj. Indra Anggara


Rakit menuju Nirwana

sunting

Dalam Alagaddūpama Sutta, Majjhima Nikāya 22, Buddha menjelaskan Buddhisme sebagai sebuah rakit yang, setelah mengantarkan penumpangnya ke pantai seberang (perumpamaan untuk pencapaian Nibbāna), pada akhirnya perlu ditinggalkan.[5]

Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?

Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’

Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu.

Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.

Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.

Kathaṅkārī ca so, bhikkhave, puriso tasmiṁ kulle kiccakārī assa?

Idha, bhikkhave, tassa purisassa uttiṇṇassa pāraṅgatassa evamassa: ‘bahukāro kho me ayaṁ kullo; imāhaṁ kullaṁ nissāya hatthehi ca pādehi ca vāyamamāno sotthinā pāraṁ uttiṇṇo. Yannūnāhaṁ imaṁ kullaṁ thale vā ussādetvā udake vā opilāpetvā yena kāmaṁ pakkameyyan’ti.

Evaṅkārī kho so, bhikkhave, puriso tasmiṁ kulle kiccakārī assa.

Evameva kho, bhikkhave, kullūpamo mayā dhammo desito nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya.

Kullūpamaṁ vo, bhikkhave, dhammaṁ desitaṁ, ājānantehi dhammāpi vo pahātabbā pageva adhammā.

— Alagaddūpama Sutta, MN 22
terj. Indra Anggara


Dalam syair antara Buddha dengan Dhaniya, Sang Buddha juga menyampaikan perumpamaan yang serupa, sebagaimana tercatat dalam Dhaniya Sutta, Sutta Nipāta 1.2:[6]

Rakit terikat dan dibuat dengan baik,

(ucap Begawan) Pantai seberang telah tercapai, banjir telah diseberangi; Apakah lagi yang kuperlukan dari rakit yang dibuat dengan baik ini? Maka, hujanlah O langit, sesukamu!

Baddhāsi bhisī susaṅkhatā,

(iti bhagavā) Tiṇṇo pāragato vineyya oghaṁ; Attho bhisiyā na vijjati, Atha ce patthayasī pavassa deva

— Dhaniya Sutta, Snp 1.2
terj. Indra Anggara


Ketuhanan Yang Maha Esa

sunting

Dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Udāna 8.3, Siddhattha Gotamasammāsambuddha masa sekarang—mendeskripsikan Nirwana sebagai berikut.[7]

... Ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian tidak mungkin mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian dapat mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. ... ... Atthi, bhikkhave, ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ. No cetaṁ, bhikkhave, abhavissa ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, nayidha jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyetha. Yasmā ca kho, bhikkhave, atthi ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī”ti. ...
— Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta Sutta, Ud 8.3
terj. Indra Anggara


Ungkapan dalam Udāna 8.3 juga merupakan pernyataan dari Sang Buddha yang kemudian diinterpretasikan sebagai dasar legal untuk memenuhi sila Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia. Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" yang artinya sebagai berikut:

  1. Yang Tidak Dilahirkan (ajāta)
  2. Yang Tidak Menjelma (abhūta)
  3. Yang Tidak Tercipta (akata)
  4. Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata)

Dalam hal ini, Nirwana sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang tidak terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang Tidak Terkondisi (asaṅkhata), maka manusia yang berkondisi (saṅkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).

33 nama Nirwana

sunting

Penggunaan istilah Nibbāna (bahasa Indonesia: Nirwana atau "kepadaman") hanya merupakan salah satu cara Buddha dalam mengilustrasikan Nibbāna atau Nirwana itu sendiri. Di kesempatan lain, Buddha seringkali menggunakan istilah-istilah lain yang juga merujuk kepada Nibbāna. Dalam keseluruhan teks bagian Asaṅkhatasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya 43, Buddha menguraikan 33 nama Nirwana:[8][9][10][11][12][13][14]

No. Bahasa Pāli Terjemahan bahasa Indonesia Referensi
1 Asaṅkhata Yang Tak Terkondisi SN 43.1, SN 43.12, dll.
2 Rāgakkhaya Dosakkhaya Mohakkhaya Hancurnya Nafsu, Hancurnya Kebencian, Hancurnya Delusi SN 43.1, SN 43.2, SN 43.12, dll.
3 Anata Ketidak-Condongan SN 43.13, dll.
4 Anāsava Ketanpa-Nodaan SN 43.14-43, dll.
5 Sacca Kebenaran SN 43.14-43, dll.
6 Pāra Pantai Seberang SN 43.14-43, dll.
7 Nipuṇa Yang Halus SN 43.14-43, dll.
8 Sududdasa Yang Sangat Sulit Dilihat SN 43.14-43, dll.
9 Ajajjara Yang Tanpa Penuaan SN 43.14-43, dll.
10 Dhuva Yang Stabil SN 43.14-43, dll.
11 Apalokita Ketidak-Hancuran SN 43.14-43, dll.
12 Anidassana Ketidak-Berwujudan SN 43.14-43, dll.
13 Nippapañca Yang Tanpa Proliferasi SN 43.14-43, dll.
14 Santa Yang Damai SN 43.14-43, dll.
15 Amata Tanpa-Kematian SN 43.14-43, dll.
16 Paṇīta Yang Luhur SN 43.14-43, dll.
17 Siva Yang Menguntungkan SN 43.14-43, dll.
18 Khema Yang Aman SN 43.14-43, dll.
19 Taṇhākkhaya Hancurnya Ketagihan SN 43.14-43, dll.
20 Acchariya Yang Menakjubkan SN 43.14-43, dll.
21 Abbhuta Yang Tanpa Penyakit SN 43.14-43, dll.
22 Anītika Kondisi Tanpa Penyakit SN 43.14-43, dll.
23 Nibbāna Kondisi Tanpa Penyakit SN 43.14-43, dll.
24 Abyābajjha Yang Tidak Dirundung SN 43.14-43, dll.
25 Virāga Kebosanan atau Ketanpa-keinginan SN 43.14-43, dll.
26 Suddhi Kemurnian SN 43.14-43, dll.
27 Mutti Kebebasan SN 43.14-43, dll.
28 Anālaya Yang Tidak Melekat SN 43.14-43, dll.
29 Dīpa Pulau SN 43.14-43, dll.
30 Leṇa Naungan SN 43.14-43, dll.
31 Tāṇa Suaka SN 43.14-43, dll.
32 Saraṇa Perlindungan SN 43.14-43, dll.
33 Pāraya Tujuan SN 43.44, dll.

Jenis Nirwana

sunting

Terdapat dua jenis Nirwana:[15]

  1. Nirwana yang masih menyisakan gugusan kehidupan (saupadisesa nibbāna)
  2. Nirwana yang sudah tidak menyisakan gugusan kehidupan (anupadisesa nibbāna) atau juga sering disebut sebagai Parinibbāna

Ketika Pangeran Siddhattha Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi seorang sammāsambuddha (Buddha yang tercerahkan sempurna oleh usaha-Nya sendiri), maka pada saat itu Dia mengalami saupadisesa nibbāna. Ketika Buddha Gotama meninggal dunia pada usia 80 tahun di Kusinara, maka Dia mencapai anupadisesa nibbāna karena tidak akan ada kelahiran lagi dalam bentuk gugusan apa pun.

Hinduisme juga menggunakan istilah 'Nirwana' sebagai sinonim untuk pemikiran tentang Moksa, sebagaimana dibicarakan dalam beberapa tulisan tantra Hindu dan Bhagawad Gita. Sebaliknya, Buddhisme juga menggunakan istilah 'Moksa' (Pali: mokkha) untuk mendeskripsikan Nirwana. Kendati demikian, konsep Nirwana antara agama Buddha dan Hindu tidak dapat disamaratakan. Penggunaan istilah mokkha yang ditujukan untuk pembebasan Nirwana dapat ditemukan dalam teks paritta pemujaan Buddha asal Sri Lanka yang berjudul "Puppha Pūjā":[16]

Perbedaan mendasar antara Hinduisme dan Buddhisme dalam hal pembebasan akhir terdapat dalam konsep-konsep kedua agama tersebut mengenai eksistensi jiwa (Pali: atta; Sanskerta: atman). Buddhisme menolak eksistensi jiwa atau roh yang permanen (Pali: anatta; Sanskerta: anatman), satu dari Tiga Corak Utama (tilakkhaṇa). Dua corak yang lainnya adalah penderitaan (dukkha) dan ketidakkekalan (anicca). Dengan demikian, pencapaian Nirwana menurut Buddhisme tidak melibatkan eksistensi jiwa kekal sebagaimana diyakini Hinduisme.

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Anggara, Indra. "DN 6: Mahālisutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  2. ^ Anggara, Indra. "MN 75: Māgandiyasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  3. ^ Gautama, Siddhartha. "Milindapañha 3.4.8: Nirodhanibbānapañha". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  4. ^ Gautama, Siddhartha. "Milindapañha Bab Empat: Landasan Indera (Terjemahan Indonesia)". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  5. ^ Anggara, Indra. "MN 22: Alagaddūpamasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  6. ^ Anggara, Indra. "Sutta Nipāta 1.2: Dhaniya Sutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  7. ^ Anggara, Indra. "Ud 8.3: Tatiyanibbānapaṭisaṁyuttasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  8. ^ Anggara, Indra. "SN 43: Asaṅkhatasaṁyutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2023-04-24. 
  9. ^ Anggara, Indra. "SN 43.1: Kāyagatāsatisutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  10. ^ Anggara, Indra. "SN 43.12: Asaṅkhatasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  11. ^ Anggara, Indra. "SN 43.2: Samathavipassanāsutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  12. ^ Anggara, Indra. "SN 43.13: Anatasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  13. ^ Anggara, Indra. "SN 43.14–43: Anāsavādisutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  14. ^ Anggara, Indra. "SN 43.44: Parāyanasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2024-02-05. 
  15. ^ Ko Lay, U (2005). Guide to Tipitaka: Canonical Pāli Buddhist Literature of the Theravāda School. Selangor: Selangor Buddhist Vipassana Meditation Society. hlm. 127. 
  16. ^ "Puppha Pūjā". Pali Compact View Chanting Guides. Diakses tanggal 2023-04-24.