Pasukan Rasyidin
Pasukan Kekhalifahan Rasyidin atau Pasukan Rasyidin (bahasa Arab: جيش الخلفاء الراشدين) adalah kesatuan militer utama dalam angkatan bersenjata Kekhalifahan Rasyidin selama penaklukan Muslim pada abad ke-7. Pasukan Rasyidin bertugas bersama Angkatan Laut Rasyidin. Pasukan Rasyidin merupakan pasukan tempur yang memiliki tingkat kedisiplinan, keunggulan strategi, dan organisasi yang tinggi.[1]
Pasukan Rasyidin | |
---|---|
Pemimpin | Khalifah (Amirul Mukminin, Pemimpin Orang-orang Beriman ) |
Waktu operasi | 632 - 661 M |
Markas | Madinah, Kufah |
Wilayah operasi | Timur Tengah, Levant, Mesopotamia, Armenia, Azerbaijan, Kaukasus, Transoxiana, Anatolia, Baktria, Persia, Balokhistan, Afrika Utara, Mesir, Fezzan, Laut Mediterania, Semenanjung Iberia, Andalusia. |
Ideologi | Jihad |
Bagian dari | Kekhalifahan Rasyidin |
Lawan | Arab, Kekaisaran Sassaniyah, Kekaisaran Romawi Bizantium, Ghassaniyah, Lakhmid, Berber, Kekhanan Khazar, Kerajaan Visigoth, dan lain-lain. |
Pertempuran dan perang | Perang Penaklukan Muslim Kekhalifahan Rasyidin |
Pada masanya, pasukan Rasyidin merupakan salah satu pasukan militer yang paling kuat dan efektif di dunia. Jumlah prajurit dalam pasukan Rasyidin pada awalnya berjumlah sekitar 13.000 tentara pada tahun 632, namun seiring berkembangnya kekhalifahan, jumlah tentaranya pun secara berangsur-angsur bertambah menjadi 100.000 orang pada tahun 657.[2] Pasukan Rasyidin dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu infanteri dan kavaleri ringan. Dua jenderal tersukses yang pernah memimpin pasukan Rasyidin antara lain Khalid bin Walid, yang menaklukkan Mesopotamia Persia dan Suriah Romawi, serta Amr bin Ash, yang menaklukkan Mesir Romawi.
Siasat utama yang digunakan oleh pasukan Rasyidin adalah pengerahan infanteri dan pemanah untuk melakukan dan menjaga kontak dengan pasukan musuh sementara kavaleri ditahan dulu hingga musuh sudah sepenuhnya bergerak. Setelah seluruh pasukan musuh dikerahkan, pasukan cadangan musuh ditahan oleh pasukan infanteri dan pemanah, sedangkan kavaleri digunakan sebagai penjepit untuk menyerang musuh dari arah samping atau bahkan dari perkemahan musuh.
Rekonstruksi perlengkapan militer yang digunakan oleh pasukan Rasyidin cukup problematik. Jika dibandingkan dengan pasukan Romawi atau pasukan Muslim Abad Pertengahan pada masa selanjutnya, jangkauan representasi visualnya sangat kecil dan sering kali tidak tepat serta sulit diketahui asal waktunya. Hanya sedikit bukti fisik yang masih tersisa dan bahkan sebagian besarnya sulit diketahui asal waktunya.[3] Para prajurit Rasyidin diketahui menggunakan helm besi dan perunggu bersegmen yang berasal dari Irak dan merupakan helm jenis Asia Tengah.[4] Bentuk standar untuk zirah perlindungan tubuh pasukan Rasyidin adalah zirah cincin. Hauberk dan perisai anyaman kayu yang besar digunakan sebagai perlindungan dalam pertempuran.[3] Para prajurit Rasyidin biasanya dipersenjatai dengan pedang yang digantungkan di baldrik. Mereka juga dilengkapi dengan tombak dan belati.[5]
Pasukan
Hanya orang Muslim yang boleh bergabung dengan pasukan Rasyidin sebagai tentara reguler. Pada Perang Riddah pada masa pemerintahan Kalifah Abu Bakar, pasukan Rasyidin banyak berisi korps yang berasal dari Madinah, Mekkah dan Ta'if.[6] Di kemudian hari pada penaklukan Irak pada tahun 633, banyak korps badui yang direkrut ke dalam pasukan sebagai tentara reguler. Selama penaklukan Islam terhadap Persia Sassaniyah tahun 633-636, sekitar 12.000 prajurit elite Persia memeluk agama Islam dan kemudian bertugas pada invasi berskala penuh terhadap kekaisaran tersebut.[7] Selama penaklukan Muslim terhadap Suriah Romawi pada tahun 633-638, sekitar 4.000 prajurit Bizantium Yunani di bawah komandan Joakhim (kemudian berganti nama menjadi Abdullah Joakhim) memeluk agama Islam dan bertugas sebagai pasukan reguler dalam penaklukan di Anatolia dan Mesir. Selama penaklukan Mesir pada tahun 641-644, banyak orang Kristen Koptik yang memeluk Islam direkrut ke dalam pasukan. Mereka ikut membantu penaklukan di daerah tersebut. Selama penaklukan Afrika Utara, banyak orang Berber yang memeluk Islam dan kemudian direkrut sebagai pasukan reguler. Mereka kemudian menjadi bagian terbesar dalam Pasukan Rasyidin, dan di kemudian hari juga menjadi bagian terbesar dalam pasukan Umayyah di Afrika.[1]
Infantri
Pasukan Rasyidin sangat mengandalkan infantri mereka yang disebut Mubarizun. Infantri ini merupakan bagian khusus dalam pasukan Muslim dan terdiri atas para prajurit elit. Tugas mereka adalah membunuh para prajurit penting dalam pasukan musuh dengan tujuah melemahkan semangat pasukan musuh. Para prajurit infantri biasanya melakukan gerakan maju dan mundur secara berulang, yang dikenal sebagai karr wa farr, dan menggunakan pedang dan tombak yang dikombinasikan dengan tembakan panah untuk membuat musuh lemah dan kelelahan. Akan tetapi, mereka biasanya juga menyimpan tenaga mereka untuk melakukan serangan balik yang didukung oleh pasukan kavaleri, yang bertujuan mengepung dan mengelilingi pasukan musuh. Jika dalam keadaan bertahan, para penombak Muslim, yang membawa tombak sepanjang dua setengah meter, akan merapatkan barisan dan membentuk tembok pertahanan yang disebut Tabi'a. Dari balik tembok pertahanan ini, para pemanah menembakkan panah-panah mereka. Salah satu penggunaan formasi rapat ini yang terkenal adalah ketika pasukan infantri Rasyidin bertahan selama empat hari pertama pada Pertempuran Yarmuk.[2]
Kavaleri
Kavaleri Rasyidin merupakan salah satu pasukan kavaleri ringan tersukes sepanjang sejarah. Mereka bersenjatakan tombak, yang dapat mencapai panjang sekitar lima setengah meter, dan ditambah dengan pedang. Para penunggang kuda yang tergabung dalam pasukan ini membawa tiga jenis pedang, yaitu pedang pendek Arab, pedang panjang Arab, dan Skimitar panjang Arab. Pada awalnya, kavaleri digunakan sebagai pasukan cadangan, dengan peran utamanya adalah menyerang musuh ketika musuh sudah melemah oleh serangan pasukan infantri. Pasukan kavaleri akan melakukan pergerakan untuk mengepung dan mengelilingi musuh, bisa dari sayap maupun langsung dari arah tengah, kemungkinan menggunakan formasi berbentuk baji dalam serangannya. Beberapa contoh terbaik dalam penggunaan kavaleri Rasyidin adalah ketika dipimpin oleh Khalid bin Walid pada Pertempuran Walaja melawan Kekaisaran Persia Sassaniyah serta pada Pertempuran Yarmuk melawan Kekasiaran Bizantium. Pada kedua pertempuran tersebut, resimen kavaleri pada awalnya ditempatkan di belakang sayap dan tengah pasukan.
Perlengkapan
Merekonstruksi perlengkapan militer pasukan Muslim awal cukup problematis. Dibandingkan dengan pasukan Romawi atau pasukan Muslim Abad Pertengahan pada masa selanjutnya, penggambaran visual untuk pasukan Rasyidin sangatlah sedikit, sering kali tidak tepat dan sulit diketahui asal waktunya. Secara fisik hanya sedikit bukti materi yang masih tersisa, dan bahkan sebagian besarnya sulit ditentukan asal waktunya.[3] Sebagian besar perlengkapan militer Arab pra-Islam berasal dari Suriah, Irak, Armenia, dan Yaman. Selama masa-masa awal penaklukan, para prajurit Muslim juga mengambil sejumlah banyak perlengkapan militer dari musuh.
Perlindungan
Pelindung kepala pasukan Rasyidin meliputi helm bersepuh, ada yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk runcing, mirip dengan helm perak Kekaisaran Sassaniyah. Helm yang berbentuk bulat, disebut juga ‘’Baidah’’ ("Telur"), adalah jenis helm standar Bizantium awal yang terdiri atas dua bagian. Sementara helm lancip merupakan helm dari daerah Asia Tengah yang disebut ‘’Tarikah’’. Pasukan Rasyidin memakai zirah cincin untuk melindungi wajah dan leher, bisa sebagai aventail dari helm atau sebagai koif zirah cincin seperti yang dipakai oleh pasukan Romawi-Bizantium sejak abad ke-5. Bagian wajah sering kali ditutup sebagian dengan menggunakan sebagian serban, yang juga berguna untuk melindungi dari angin gurun yang kuat.
Pada awalnya, pasukan Rasyidin menggunakan zirah sisik kulit yang diperkuat atau zirah lamela, yang kedua jenis itu diproduksi di Yaman, Irak, dan di sepanjang Teluk Persia. Ketika pasukan Rasyidin mulai menaklukkan kekaisaran-kekaisaran tetangganya, mereka menjadi lebih suka menggunakan zirah cincin, yang biasanya diperoleh dengan cara mengambil dari musuh sebagai bagian dari harta rampasan.[8] Baju zirah ini dikenal sebagai Dir dan terbuka sebagian di bawah dada. Supaya tidak karatan, baju zirah itu secara rutin dipoles dan disimpan dalam cairan campuran pasir dan minyak.[9] Prajurit infantri mengenakan lebih banyak baju zirah daripada prajurit berkuda. Disebutkan juga bahwa ada prajurit yang mengenakan dua lapis baju zirah (dir’ayn), lapisan yang kedua biasanya lebih pendek dan sering kali dibuat dari kain atau kulit.
Sejumlah prajurit Rasyidin menggunakan perisai kayu atau perisai anyaman, namun sebagian besar perisai yang digunakan terbuat dari kulit. Perisai jenis ini dibuat dari kulit unta atau sapi yang kemudian diminyaki, suatu praktik yang dilakukan sejak masa Yahudi.[3] Ketika pasukan Rasyidin menginvasi Levant, mereka berhasil memperoleh perisai kulit gajah yang direbut dari pasukan Bizantium. Sejak itu, perisai kulit gajah banyak digunakan oleh para tentara Rasyidin.
Persenjataan
Untuk penyerangan, pasukan Rasyidin menggunakan senjata berupa tombak, pedang, dan panah. Tombak yang digunakan oleh pasukan Rasyidin merupakan tombak bergagang panjang yang dibuat secara lokal dari gelagah yang didapat di pesisir Teluk Persia. Tombak yang dibawa oleh pasukan infantri memiliki panjang sekitar dua setengah meter, sedangkan tombak untuk pasukan kavaleri dapat mencapai panjang sekitar lima setengah meter.
Pasukan Rasyidin dilengkapi dengan senjata tambahan berupa pedang, yang dianggap sebagai senjata paling bergengsi oleh orang-orang Muslim awal. Pedang yang digunakan biasanya adalah pedang pendek infantri, mirip dengan pedang gladius dari Romawi. Pedang pasukan Rasyidin yang berkualitas tinggi dibuat di Yaman dari besi wootz asal India.[5] Selain pedang tersebut, disebutkan juga bahwa ada prajurit Rasyidin yang membawa pedang India. Pedang yang lebih inferior dibuat di seluruh Arab. Baik pedang Arab maupun pedang panjang Sassaniyah digunakan oleh pasukan Rasyidin, namun sebagian besar pedang yang digunakan adalah skimitar (sejenis pedang dengan bilah melengkung). Seringkali para prajurit berkuda dan infantri digambarkan memiliki dua buah pedang, yaitu pedang pendek Arab dan pedang panjang Sassaniyah. Para prajurit Rasyidin menyimpan menyimpan semua pedang mereka dalam baldrik. Senjata personal lainnya selain pedang adalah pisau belati di garis pertahanan terakhir.
Busur panah yang digunakan oleh pasukan Rasyidin dibuat secara lokal di berbagai tempat di Arab, dan yang paling terkenal adalah busur dari Hijaz. Busur panah dibuat dari satu atau dua potong kayu yang digabungkan menjadi satu. Panjangaya sekitar dua meter ketika tidak diikat, mirip dengan busur panjang Inggris. Jangkauan guna maksimal untuk busur Arab tradisional adalah sekitar 150 meter. Para pemanah Muslim awal merupakan pemanah infantri yang terbukti sangat efektif melawan pasukan kavaleri musuh.
Ketika melakukan operasi pengepungan, pasukan Rasyidin mengerahkan sejumlah besar katapel tempur. Di bawah pimpinan Kalifah Umar bin Khattab, suatu menara kepung yang disebut Dababah juga digunakan. Menara kepung ini dibuat dari kayu, bergerak dengan menggunakan roda, dan terdiri atas beberapa tingkat. Untuk menerobos dinding pertahanan, pasukan Rasyidin menggunakan pelantak tubruk. Para tentara Rasyidin membawa pelantak tubruk ke bagian depan dinding pertahanan yang sedang dikepung, lalu dinding pertahanan tersebut akan berusaha dihancurkan dengan alat ini. Ketika usaha ini sedang dilakukan, para pemanah Rasyidin bertugas untuk menembakkan panah ke arah musuh dengan tujuan melindungi pelantak tubruk dan para tentara yang memdorongnya.[4]
Organisasi
Pada rahun 637, dilakukan suatu reformasi dalam organisasi pasukan Muslim. Ketika itu Khalifah Umar bin Khattab menetapkan pasukan militer sebagai departemen negara. Dia adalah penguasa Muslim pertama yang melakukannya. Awalnya, kebijakan dimulai dengan suku Quraisy dan kaum Anshar, lalu sistem ini diperluas sampai ke seluruh Jazirah Arab serta kemudian mencakup orang-orang Muslim di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Dibuat pula suatu sistem untuk mendaftar siapa saja pria dewasa yang dapat dipanggil untuk berperang, selain itu sistem dan skala pemberian gaji juga diperbaiki. Semua pria dewasa dapat masuk dalam pasukan tempur. Mereka dibagi menjadi dua kategori, yaitu mereka yang memang tergabung dalam pasukan tempur reguler, dan mereka yang tidak tergabung sebagai prajurit reguler namun dapat dipanggil masuk ke dalam pasukan jika dubutuhkan.
Gaji dibayarkan pada awal bulan Muharram, sedangkan tunjangan diberikan pada musim panen. Pasukan Rasyidin biasanya diberikan gaji berupa uang. Berlawanan dengan negara-negara di Eropa pasca-Romawi, pemberian tanah, atau hak untuk mengumpulkan pajak secara langsung dari pembayar, tidak dianggap begitu penting. Konsekuensi penting dari hal ini adalah bahwa pasukan secara langsung bergantung pada negara untuk memperoleh nafkah, yang berarti bahwa militer harus mengendalikan peralatan negara.[10] Promosi dalam pasukan dilakukan berdasarkan lama masa tugas atau jasa yang istimewa. Perwira dipilih berdasarkan penunjukkan dan bukan merupakan suatu tingkat jabatan. Perwira ditugaskan untuk memimpin suatu pertempuran atau kampanye militer. Setelah operasi militer selesai, seorang perwira bisa saja dikembalikan ke pangkatnya yang sebelumnya.
Izin cuti diberikan kepada pasukan secara berkala. Pasukan yang ditempatkan di daerah yang jauh boleh mengambil cuti setelah bertugas selama empat bulan. Tiap korps pasukan ditemani oleh seorang petugas perbendaharaan, akuntan, kadi, dan sejumlah penerjemah selain juga beberapa orang dokter dan ahli bedah. Ekspedisi dilakukan berdasarkan keadaan wilayah dan musim. Ekspedisi di negara yang dingin dilakukan pada musim panas, dan ekspedisi di negara yang panas dilakukan pada musim dingin. Pada musim semi, pasukan biasanya dikirim ke daerah yang memiliki iklim yang menyegarkan serta padang rumput yang bagus. Berdasarkan perintah, setiap prajurit diharuskan untuk membawa serta beberapa benda untuk keperluan pribadi. Benda-benda ini meliputi jarum, kapas, benang, gunting, dan kantung makanan. Khalifah Umar bin Khattab memberikan penekanan khusus kepara para prajuritnya bahwa mereka harus menguasai tiga keahlian, yaitu berkuda, memanah, dan berenang.
Pembagian
Pasukan Rasyidin diorganisir berdasarkan sistem desimal.[11] Dalam pertempuran, pasukan dibagi menjadi beberapa bagian atau seksi, yaitu:
- Qalb (قلب) atau Tengah
- Maimanah (ميمنه) atau Sayap kanan
- Maisarah (ميسرة) atau Sayap kiri
Tiap bagian dipimpin oleh seorang komandan dan masing-masing bagian saling terpisah sejauh kira-kira 150 meter. Setiap satuan suku memiliki pemimpin tersendiri yang disebut Arif. Dalam satuan semacam ini ada komandan untuk 10 prajurit, 100 prajurit, dan 1000 prajurit. Satuan yang terdiri atas 1000 prajurit menjadi satu resimen. Pengelompokkan resimen untuk membentuk pasukan yang lebih besar cukup fleksibel, dan beragam tergantung pada keadaannya. Para Arif juga dikelmpokkan di bawah seorang komandan yang disebut Amir-ul-Ashar. Para Amir-ul-Ashar bertugas di bawah perintah seorang komandan seksi, yang juga berada di bawah komando panglima, yang disebut Amir-ul-jaish.
Komponen pasukan lainnya antara lain:
- Rijal (الرجال) atau Infantri
- Forsan (فرسان) atau Kavaleri
- Ramat (الرامي) atau Pemanah
- Talaiah (طليعة) atau Pasukan patroli yang bertugas mengawasi pergerakan musuh
- Rukban (ركبان) atau Korps unta
- Nahab al-Muon (نهب المؤن) atau Kelompok pencari sumber daya
Pusat militer
Pusat militer yang dikenal sebagai jund (جند) pertama kali didirikan oleh Khalifah Umar Bin Khattab untuk tujuan administrasi pasukan. Pusat militer ini didirikan di antaranya di Madinah, Kufah, Basrah, Mosul, Fustat, Damaskus, Yordania dan Palestina. Di pusat militer, dibangun barak untuk tempat bermukim bagi para prajurit. Di pusat militer juga dibangun kandang kuda besar untuk menyimpan sekitar empat ribu ekor kuda yang terlengkapi penuh dan selalu dipersiapkan bahkan jika ada kebutuhan yang mendadak. Pasukan bantuan dikirimkan dari jund ini untuk menyokong pasukan utama. Semua catatan yang berkenaan dengan pasukan disimpan di tempat ini. Selain itu, pusat militer juga digunakan untuk menyimpan perbekalan makanan dari komisariat, dan dari tempat inilah suplai makanan dikirim ke berbagai tempat.
Selain pusat militer, kantonmen juga didirikan di kota-kota besar dan tempat-tempat yang sangat strategis. Dalam mendirikan kantonmen dan membangun barak, keadaan iklim dan sanitasi di daerah yang bersangkutan amat diperhitungkan. Peraturan khusus dibuat berkenaan dengan jalanan di kantonmen, dan Khalifah Umar Bin Khattab mengeluarkan instruksi yang isinya adalah ketentuan mengenai lebar jalan di kantonmen.
Pergerakan
Ketika pasukan Rasyidin melakukan perjalanan, mereka selalu berhenti dulu pada hari Jum'at. Dalam bergerak, perjalanan pada siang hari tidak boleh terlalu lama supaya tidak terlalu membuat pasukan kelelahan. Jalur perjalanan dipilih berdasarkan ketersediaan sumber air dan kebutuhan lainnya. Salah satu ciri penting dari pasukan Rasyidin adalah bahwa mereka merupakan pasukan yang tidak bergantung pada jalur komunikasi. Di belakang mereka tidak terbentang jalur suplai, karena mereka tidak memiliki basis logistik. Pasukan ini tidak dapat diputus dari suplainya, karena memang tidak memiliki depot suplai. Di bawah Departemen Pasukan, ada Departemen Komisariat tersendiri. Seluruh perbekalan makanan dikumpulkan di satu tempat dan dibawa bersama pasukan.
Pasukan Rasyidin tidak membutuhkan jalan khusus ketika melakukan perjalanan, karena mereka tidak menggunakan gerobak, dan segala barang-barang dibawa dengan menggunakan unta. Dengan demikian, pasukan Rasyidin dapat pergi ke manapun dan melintasi jenis medan apapun asalkan ada jalur yang dapat dilalui oleh manusia dan hewan. Ini memberikan pasukan Rasyidin keunggulan yang sangat penting atas pasukan Bizantium dan Persia dalam hal mobilitas dan kecepatan.[12]
Dalam melakukan pergerakan, pasukan Rasyidin berarak seperti rombongan kafilah dan memberikan kesan bagaikan gerombolan yang tak tertembus; dari sudut pandag keamanan militer, ini pada hakekatnya tidak dapat diserang dengan mudah. Rombongan pasukan dipimpin di bagian depan oleh pasukan pengawal yang terdiri atas satu atau lebih resimen. Kemudian di belakangnya ada rombongan inti pasukan, dan mereka diikuti oleh perempuan, anak-anak, serta barang perbekalan yang diangkut menggunakan unta. Bagian ujung belakang rombongan dijaga oleh pasukan pengawal lainnya. Pada perjalanan yang panjang, kuda-kuda dikerahkan untuk memimpin di depan; namun jika ada ancaman bahaya sergapan oleh musuh dalam perjalanan, kuda-kuda tersebut akan ditunggangi, dan pasukan kavaleri tersebut dengan demikian akan bertugas sebagai pengawal depan atau bisa juga menjadi pengawal belakang atau bahkan bisa diposisikan lebih melebar ke samping di bagian sayap, semua tergantung pada arah dari mana kira-kira bahaya terbesar mengancam. Jika dibutuhkan, keseluruhan pasukan dapat menghilang dalam waktu sekitar satu jam dan mengamankan diri di daerah yang jauh yang medannya tidak dapat dijangkau oleh pasukan besar lainnya.
Ketika melakukan pergerakan, pasukan Rasyidin dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
- Muqaddimah (مقدمة) atau Garda depan
- Qalb (قلب) atau Tengah
- Al-khalf (الخلف) atau Belakang
- Al-mou'akhira (المؤخرة) atau Garda Belakang
Dalam perjalanan, sebagian besar orang menunggangi unta, dan yang lainnya menunggangi kuda. Ini membuat pergerakan mereka menjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya, yaitu pasukan Bizantium dan Persia.
Strategi
Strategi dasar dalam pasukan Muslim awal untuk menaklukkan musuh-musuhnya adalah dengan cara memanfaatkan segala kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh lawannya dengan tujuan memperoleh kemenangan dengan mengurangi kerugian sampai seminimal mungkin. Ini karena dalam hal kualitas dan kekuatan, pasukan Rasyidin pada awalnya masih berada di bawah pasukan Persia Sassaniyah maupun pasukan Bizantium.[7] Khalid bin Walid, jenderal Muslim pertama dalam Kekhalifahan Rasyidin yang menaklukkan daerah asing, selama kampanye militernya melawan Kekaisaran Persia Sassaniyah (Irak 633–634) dan Kekaisaran Bizantium (Suriah 634–638) mengembangkan siasat brilian yang dia gunakan secara efektif baik dalam melawan pasukan Sassaniyah maupun pasukan Bizantium. Kelemahan utama pasukan Sassaniyah dan Bizantium adalah bahwa mereka kurang dalam hal mobilitas.[13] Khalid bin Walid memutuskan untuk menggunakan mobilitas pasukan Rasyidin untuk memanfaatkan kelemahan dalam pasukan Sassaniyah dan pasukan Bizantium. Meskipun hanya sebagian satuan dalam pasukan Rasyidin yang merupakan pasukan kavaleri murni, namun keseluruhan pasukan menggunakan unta ketika melakukan pergerakan. Khalid bin Walid, dan para jenderal Muslim setelahnya, juga berhasil memanfaatkan para prajurit Muslim yang memiliki kemampuan bertarung dan bertempur dengan kualitas yang sangat baik, ini terutama karena sebagian besar prajurit dalam pasukan Rasyidin merupakan suku Badui yang ahli dalam menggunakan pedang ataupun senjata lainnya.
Pasukan kavaleri ringan Muslim pada masa-masa akhir penaklukan Islam di Levant menjadi bagian paling kuat dalam pasukan Rasyidin. Penggunaan terbaik dari kavaleri bergerak cepat yang berzirah ringan ini terjadi pada Pertempuran Yarmuk (636 M) yang ketika itu Khalid bin Walid, yang mengetahui kegunaan dan kemampuan kavalerinya, mengerahkan pasukan kavaleri itu untuk memutarbalikkan keadaan pada setiap kondisi kritis dalam pertempuran. Ini dapat dilakukan karena pasukan kavaleri Rasyidin memiliki kemampuan untuk mundur dan maju dan memutar balik dan menyerang lagi dari sayap ataupun dari belakang, dan semua manuver itu dapat dilakukan dengan cepat. Resimen kavaleri yang kuat dibentuk oleh Khalid bin Walid yang meliputi para veteran dalam kampanye Irak dan Suriah. Para sejarawan Muslim awal menamainya mutaharrik tulaiha ( متحرك طليعة ), atau pengawal berkuda. Satuan ini dikerahkan sebagai garda terdepan dan berperang sebagai suatu pasukan penyerang yang kuat untuk memukul mundur pasukan musuh. Satuan ini memiliki mobilitas yang sangat tinggi sehingga memperoleh keunggulan ketika bermanuver melawan pasukan musuh, misalnya pasukan Bizantium. Dengan pasukan penyerang berkuda ini, pasukan Rasyidin berhasil menaklukkan Suriah dengan cukup mudah.[8][14]
Strategi terkenal lainnya yang dikembangkan oleh Khalid bin Walid, dan kemudian diikuti oleh para jenderal lainnya, yaitu bahwa pasukan Rasyidin tidak boleh bergerak terlalu jauh dari gurun ketika ada pasukan musuh dalam jarak serang dari bagian belakangnya. Gagasannya adalah untuk melakukan pertempuran di dekat gurun, dengan jalur kabur yang aman jika seandainya pasukan Rasyidin dikalahkan.[15] Daerah gurun bagi pasukan Rasyidin merupakan suatu daerah yang sangat aman karena pasukan Sassaniyah ataupun pasukan Bizantium tidak akan terlalu berani menjelajahi gurun. Selain itu, di gurun, pasukan Rasyidin, yang menggunakan unta, dapat bergerak dengan mudah, depat, dan bebas ke tujuan manapun yang mereka inginkan. Menggunakan strategi yang sama selama penaklukan Irak dan Suriah, Khalid Bin Walid tidak mengerahkan pasukannya terlalu jauh ke Irak maupun Suriah sampai pasukan musuh tak lagi memiliki kemampuan untuk mengancam jalur pasukan Rasyidin menuju gurun. Alasan lainnya kenapa pasukan Rasyidin selalu berusaha memiliki jalur menuju gurun adalah karena itu memudahkan komunikasi dan pengerahan pasukan bantuan.
Setelah Kekaisaran Bizantium menjadi lemah dan Kekaisaran Sassaniyah telah benar-benar dihancurkan, para jenderal Muslim pada masa selanjutnya bebas untuk menggunakan strategi dan siasat apapun untuk mengalahkan pasukan musuh lainnya tapi biasanya mereka tetap saja memanfaatkan keunggulan mobilitas pasukan Rasyidin untuk mencegah konstentrasi pasukan musuh dalam jumlah besar.[13]
Sebelum kampanye militer dilakukan, Khalifah Abu Bakar biasanya memberikan informasi dan instruksi kepada para jenderalnya, terutama mengenai misi mereka, daerah geografis tempat misi akan dilakukan, serta sumber daya yang tersedia untuk tujuan tersebut. Setelah itu Abu Bakar akan memberikan kebebasan kepada para jenderalnya untuk menyelesaikan misi mereka dengan cara apapun yang mereka inginkan. Akan tetapi, Khalifah Umar bin Khattab pada masa-masa akhir kekhalifahannya biasanya mengarahkan para jenderalnya mengenai di mana mereka akan bertahan dan kapan mereka harus bergerak menuju sasaran mereka serta siapa saja yang akan memimpin sayap kanan dan sayap kiri pasukan dalam pertempuran-pertempuran tertentu. Ini menjadikan proses penaklukan menjadi lebih lambat namun membuat kampanye militer menjadi lebih terorganisir. Sementara Khalifah Utsman bin Affan menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar. Dia memberikan misi kepada para jenderalnya kemudian memberi kebebasan kepada mereka mengenai bagaimana mereka akan melakukannya. Khalifah Ali bin Abi Thalib juga mengikuti metode tersebut.[6]
Intelijen dan spionase
Satuan mata-mata merupakan departemen yang paling berkembang dalam pasukan. Satuan ini terbukti memberikan banyak kontribusi selama kampanye pasukan Rasyidin. Satuan spionase (جاسوسية) dan intelijen pertama kali diorganisir oleh jenderal Muslim yang brilian, Khalid ibn Walid, ketika melaksanakan kampanye penaklukan di Irak.[16] Di kemudian hari, ketika dia dipindahkan ke front Suriah, dia kembali mengorganisir departemen spionase di sana;[17] Seiring waktu, satuan spionase ini menjadi bagian penting dalam pasukan dan menjadi satu departemen terpisah yang bertugas mencari informasi mengenai pergerakan dan kegiatan musuh. Satuan ini terdiri atas penduduk lokal di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Mereka sangat terorganisasi dan imbalan diberikan sesuai hasil kerja para mata-mata itu. Para anggota satuan spionase juga ada yang ditempatkan bersama tiap satuan lainnya dalam pasukan Rasyidin. Mereka bertugas mengamati pasukan dan memberikan laporan kepada khalifah mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan pasukan Rasyidin.
Aturan dan etika
Prinsip utama dalam Al Qur'an yang berkenaan dengan pertempuran adalah bahwa komunitas lainnya harus diperlakukan seperti halnya komunitas sendiri. Pertempuran dibenarkan untuk pertahanan diri,[1] untuk menolong Muslim lainnya dan jika musuh melakukan pelanggaran terhadap suatu kesepakatan. Pertempuran harus dihentikan jika alasan atau keadaan yang membenarkan pertempuran sudah tak ada lagi.[18][19][20][21] Selama hidupnya, Muhammad memberikan berbagai perintah kepada pasukannya dan mengadopsi praktik peraturan perang. Peraturan-peraturan yang paling penting dirangkum oleh sahabat Nabi, Abu Bakar, dalam bentuk sepuluh peraturan bagi Pasukan Rasyidin.[22] Peraturan tersebut adalah sebagai berikut:[23]
Dengarkan, wahai orang-orang, karena aku akan memberitahukan kepadamu sepuluh peraturan untuk membimbingmu dalam medan perang. Jangan melakukan pengkhianatan dan jangan menyimpang dari jalan yang benar. Kalian tidak boleh memutilasi mayat musuh. Jangan membunuh anak-anak, ataupun perempuan, ataupun orang tua. Jangan merusak pepohonan, dan jangan pula membakarnya, terutama pepohonan yang subur. Jangan membunuh hewan ternak musuh, kecuali untuk dijadikan makanan. Kalian harus mengampuni orang-orang yang mengabdikan diri mereka untuk urusan keagamaan; jangan ganggu mereka.
Peraturan ini dihormati oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab, yang pada masa pemerintahannya (634–644) terjadi banyak penaklukan Muslim yang penting.[7][8][12][24] Lebih jauh lagi, pada Pertempuran Shiffin, Khalifah Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Islam tidak mengizinkan Muslim untuk menghentikan pasokan air musuh.[25] Selain peraturan oleh para Khalifah Rasyidin, hadits dari Muhammad sendiri menunjukkan bahwa dia menyatakan hal berikut berkenaan dengan penaklukan Muslim di Mesir:[26]
"Kamu akan memasuki Mesir suatu tanah di mana qirat (satuan uang) digunakan. bersikap baiklah karena mereka memiliki hubungan kedekatan dan pernikahan dengan kita."
"Ketika kamu memasuki Mesir setelah kematianku, rekrutlah banyak prajurit dari kalangan orang Mesir karena mereka adalah prajurit terbaik di bumi, karena mereka dan istri-istri mereka secara permanen bertugas hingga Hari Kiamat."
"Bersikap baiklah kepada orang Koptik di Mesir; kamu akan menaklukkan mereka, tapi mereka akan menjadi pertolongan dan bantuan bagimu."
"Bersikaplah benar kepada Allah tentang orang Koptik."
Kekuatan
Tahun | Jumlah prajurit |
---|---|
632 | 13.000 |
633 | 18.000 |
634 | 41.000 |
635 | 37.000 |
636 | 70.000 |
640 | 74.000 |
648 | 80.000 |
652 | 120.000 |
657 | 100.000 |
661 | 80.000 |
Jenderal
Jenderal lainnya yang terkenal
Lihat pula
- Pengawal berkuda
- Kekhalifahan Rasyidin
- Penaklukan Islam
- Keruntuhan Sassaniyah
- Perang Arab–Khazar
- Peperangan Romawi Timur-Arab
- Penaklukan Islam di Suriah
- Penaklukan Mesir oleh Muslim
- Penaklukan Persia oleh Muslim
- Penaklukan Afganistan oleh Islam
- Penaklukan Armenia oleh Arab
- Penaklukan India oleh Muslim
- Penaklukan Maghreb oleh Muslim
Catatan kaki
- ^ a b c "Islam From The Beginning To 1300". World History Project. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ a b Fratini, Dan (04-01-2006). "The Battle Of Yarmuk, 636". Military History Online.
- ^ a b c d Kennedy, The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State, hlm. 168.
- ^ a b Kennedy, The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State, hlm. 183.
- ^ a b Nicolle, Armies of the Muslim Conquest
- ^ a b Esposito, John L. "The Muslim Community in History". Islam: The Straight Path. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ a b c "Arab Muslim Caliphate (633 - 930)". Worldology. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ a b c "Early rise of Islam (632-700)". BBC. 03-09-2009. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ Nicolle, Yarmouk 636, Conquest of Syria
- ^ Kennedy, The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State, hlm. 59.
- ^ Al-Tabari, The History of al-Tabari Vol. 3: The Children of Israel, hlm. 8
- ^ a b Gascoigne, Bamber. "HISTORY OF THE CALIPHS". Historyworld. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ a b Akram, The Sword of Allah: Khalid bin al-Waleed, His Life and Campaigns.
- ^ Muir, Annals of the Early Caliphate.
- ^ Al-Tabari, The History of al-Tabari Vol. 2: Prophets and Patriarchs, hlm. 560.
- ^ Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, hlm. 425.
- ^ Al-Waqidi, Fatuh Al-Sham, hlm. 61.
- ^ Crone, Encyclopedia of the Qur'an, hlm. 456.
- ^ Ishay, The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era, hlm. 45.
- ^ Miller, Boundaries and Justice: Diverse Ethical Perspectives, hlm. 197
- ^ Johnston, Faith-Based Diplomacy: Trumping Realpolitik, hlm. 48
- ^ Zuhur, Islamic Rulings on Warfare, hlm. 22.
- ^ "The Rightly-Guided Caliphs". Islamic Web. Diakses tanggal 21-02-2012.
- ^ Nadvi, Le Saint Coran , hlm. 519
- ^ Bearman, Encyclopaedia of Islam, hlm. 204
- ^ Daly, Egyptology: The Missing Millennium: Ancient Egypt in Medieval Arabic Writings, hlm. 18.
Referensi
- Nicolle, David (1993). Armies of the Muslim Conquest. Oxford: Osprey Publishing. ISBN 978-1-85532-279-0.
- Kennedy, Hugh (2001). The Armies of the Caliphs: Military and Society in the Early Islamic State. London: Routledge. ISBN 978-0-415-25093-1.
- Nicolle, David (1994). Yarmouk, 636AD: The Muslim Conquest of Syria. Oxford: Osprey Publishing. ISBN 978-1-85532-414-5.
- Akram, A.I. (1970). The Sword of Allah: Khalid bin al-Waleed, His Life and Campaigns. Rawalpindi: National Publishing House. ISBN 0-7101-0104-X.
- Muir, Sir William (1883). Annals of the Early Caliphate: From Original Sources. New York: Cornell University Library. ISBN 978-1-112-04507-3.
- Ishay, Micheline (2004). The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. California: University of California Press. ISBN 978-0-520-23497-0.
- Miller, David Leslie (2001). Boundaries and Justice: Diverse Ethical Perspectives. Princeton: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-08800-6.
- Johnston, Douglas (2003). Faith-Based Diplomacy: Trumping Realpolitik. New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-516089-5.
- Daly, Okasha El (2005). Egyptology: The Missing Millennium. Ancient Egypt in Medieval Arabic Writings. London: Routledge. ISBN 1-84472-063-2.
- Crone, Patricia; et al. (2001). The Encyclopaedia of the Qur'an. Boston: Brill Academic Pub. ISBN 978-90-04-11465-4.
- Sherifa D., Zuhur (2004). Islamic Rulings on Warfare. North Charleston: CreateSpace. ISBN 978-1-4635-0862-3.
- Nadvi, Abbass (2000). Le Saint Coran. New York: Islamic Book Service. ISBN 978-81-7231-303-6.
- Bearman, P. J. (2005). The Encyclopaedia of Islam. Boston: Brill Academic Publishers. ISBN 978-90-04-13974-9.
- Al-Tabari (1991). The History of al-Tabari Vol. 3: The Children of Israel. New York: SUNY Press. ISBN 978-0-7914-0688-5.
- Al-Tabari (1987). The History of al-Tabari Vol. 2: Prophets and Patriarchs. New York: SUNY Press. ISBN 978-0-88706-313-8.
- Al-Waqidi (2000). Fatuh al-Sham. London: Ta-Ha Publishers. ISBN 978-1-84200-067-0.
- Ibnu Katsir (1999). Al-Bidayah wan-Nihayah. Houston: Dar-us-Salam Publications. ISBN 978-1-59144-039-0.
Pranala luar
- (Inggris) History of Iran: Islamic Conquest
- (Inggris) Peta penaklukan Muhammad dan Rasyidin
- (Inggris) The Four Righteous Caliphs