Suku Rejang

kelompok etnik di Indonesia
Revisi sejak 28 November 2020 12.55 oleh Yandea ramadhani (bicara | kontrib) (Suku Rejang: Perbaikan kesalahan ketik)

Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Bengkulu dan Sumatra Selatan. Catatan mengenai mereka salah satunya berasal dari buku karya William Marsden yang berjudul The History of Sumatra. Marsden menyebutkan bahwa selain Melayu (Malays), di Sumatra terdapat pula suku Minangkabau (Menancabow), Aceh (Achenese), Batak (Battas), Rejang (Redjang), dan Lampung (Lampoons).[1] Suku ini adalah satu dari 10 kelompok masyarakat asli di Provinsi Bengkulu. Jumlah populasi suku ini tidak diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan suku Rejang dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010 tidak dikategorikan secara spesifik melainkan sebagai kelompok suku Sumatra lainnya selain Batak, Aceh, Melayu, dan Minangkabau.

Suku Rejang
Tun Jang/Tun Hêjang
Jumlah populasi
ca 500.000 (2010)
Daerah dengan populasi signifikan
Provinsi Bengkulu460.000
Provinsi Sumatra Selatan20.000
Daerah-daerah lain di seluruh Indonesia dan dunia20.000
Bahasa
  • Bahasa Ibu:
  • Bahasa lain yang dituturkan:
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Suku Dayak Bidayuh

Di antara 10 kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu, masyarakat Rejang merupakan penduduk asli dan sekaligus mayoritas di 5 kabupaten yang meliputi wilayah Lebong, Kepahiang, Rejang Lebong, Bengkulu Tengah, dan Bengkulu Utara. Di antara suku-suku lain di Bengkulu, suku Rejang memiliki populasi terbesar. Populasi masyarakat Rejang dalam jumlah yang lebih kecil dapat pula dijumpai di Ulu Rawas, Musi Rawas Utara. Masyarakat Rejang di Ulu Rawas bercakap dalam bahasa Rejang dialek Rawas (Awês) yang berbeda secara signifikan dari 4 dialek lainnya yang dituturkan di wilayah Provinsi Bengkulu. Dalam jumlah yang lebih kecil terdapat ribuan orang Rejang yang bermigrasi ke berbagai kota di Indonesia dan luar negeri.

Masyarakat Rejang bertutur dalam bahasa Rejang sebagai bahasa ibu, meskipun di daerah kota kecamatan seperti Curup yang penduduknya seimbang antara suku Rejang sebagai orang asli dan masyarakat pendatang terdapat gejala penurunan penggunaan bahasa tersebut. Bahasa Rejang perlahan tergantikan oleh bahasa Melayu Bengkulu yang dipandang sebagai basantara masyarakat Bengkulu yang beragam.[2][3]

Etimologi

Menurut A. Samid Said dan Dicky Darmawan Butto dalam buku karya Zulman Hasan yang berjudul Anok Kutai Rejang, istilah Rejang bersumber dari Rhe Jang Hyang, yakni nama seorang leluhur suku ini yang berasal dari Mongolia. Pada tahun 2090 SM, Rhe Jang Hyang dan kelompoknya mendirikan sebuah perkampungan yang bernama Kutai Nuak di daerah Napal Putih, Bengkulu Utara.[4]

Persebaran penduduk

Masyarakat Rejang umumnya tinggal di daerah pedalaman di sekitar lereng-lereng Pegunungan Bukit Barisan. Sebagian kecil tinggal di dataran rendah dan pesisir pantai. Daerah pemukiman masyarakat Rejang yang bermukim khususnya di Lebong pada awalnya berada di daerah sekitar Danau Tes. Masyarakat Rejang pada mulanya hidup dalam kelompok yang kecil dan kemudian berhimpun dalam kelompok yang lebih besar yang dinamakan kutai. Masyarakat bermukim di sekitar Danau Tes dengan tujuan untuk mempermudah diri terhadap akses air bersih. Air tersebut dipakai untu mênêpap (mencuci pakaian), mêngucang (mencuci piring), mandi, keperluan konsumsi, dan kakus. Daerah di sekitar Danau Tes umumnya datar dan cocok untuk dijadikan lahan persawahan. Selain itu gunung-gunung di seberang danau ditumbuhi pepohonan yang lebat. Daerah berhutan itu merupakan tumpuan perekonomian masyarakat melalui aktivitas mengumpulkan makanan.[5]

Ciri fisik

Masyarakat asli Rejang digambarkan oleh William Marsden sebagai masyarakat yang memiliki kulit yang lebih terang. Kulit mereka jauh lebih terang bila dibandingkan dengan orang-orang India Selatan yang keturunan murni maupun keturunan campuran. Kulit terang orang Rejang dan sejumlah suku-suku lain di Sumatra lebih tepat disebut kulit kuning dibanding putih seperti kulitnya orang Eropa.[6]

Kekerabatan

Prinsip hubungan kekerabatan masyarakat Rejang adalah kekerabatan bilateral.[7] Sedangkan prinsip keturunan menganut sistem patrilineal, meskipun pada masa yang lalu sempat terpengaruh budaya Minang dan menganut sistem matrilineal.[7] Tipe perkawinan masyarakar Rejang adalah eksogami. Untuk menentukan akan tinggal di mana suatu pasangan setelah menikah, akan diadakan duduk letok (penentuan tempat tinggal) yang ditentukan berdasarkan asen (mufakat) kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan keluarga perempuan). Bentuk kekerabatan lama masyarakat Rejang adalah keluarga luas yang disebut tumbang.[7] Biasanya ada beberapa tumbang yang berkaitan secara darah (petuloi) dengan tumbang yang lain karena berasal dari satu keturunan yang sama. Hubungan persaudaraan atau pertalian darah antardua tumbang atau lebih disebut satu ketumbai atau satu suku.[7] Prinsipnya mirip dengan pasukuan Minangkabau, hanya saja yang Rejang bersifat patrilineal. Satu desa atau sadei didiami oleh beberapa ketumbai.[7]

Budaya

 
Potret seorang laki-laki berpakaian adat Rejang yang terdapat dalam buku Hukum Adat Rejang karya Abdullah Sidik.

Bahasa

Suku Rejang memiliki bahasa dengan nama yang sama. Bahasa Rejang adalah bahasa utama yang dituturkan di rumah atau lingkungan keluarga besar. Sementara di tempat umum atau ketika berkomunikasi dengan masyarakat bukan Rejang, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Bengkulu. Melayu Bengkulu saat ini dipandang sebagai basantara yang memperlancar komunikasi antara orang asli (Rejang) dengan masyarakat pendatang. Melayu Bengkulu merupakan varian bahasa Melayu yang memiliki penutur di Provinsi Bengkulu. Bahasa Melayu Bengkulu dikenal karena memiliki kemiripan dengan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Palembang.

Menurut beberapa penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Prof. Richard McGinn dari Universitas Ohio, ahli bahasa Austronesia tersebut mengajukan hipotesis atau teori bahwa masyarakat Rejang berasal dari luar Sumatra dan berpindah ke sana untuk alasan yang belum diketahui. Sarawak adalah daerah yang disebut sebagai tanah asal orang Rejang sebelum berpindah ke Sumatra. Bahasa Rejang menurut Prof. McGinn tidak memiliki kerabat di Sumatra. Berdasarkan penelitiannya, kerabat bahasa Rejang yang paling dekat yakni Rumpun bahasa Dayak Darat di Sarawak yang tergolong sebagai masyarakat Suku Dayak Bidayuh.[8]

Sebagai anggota dari rumpun bahasa Austronesia, bahasa ini memiliki sejumlah persamaan kosakata dengan bahasa-bahasa daerah yang berlainan dan berjauhan letaknya di Indonesia. Kata tun yang berarti orang dalam bahasa Rejang memiliki padanan berupa to-ono dan tou masing-masing dari bahasa Minahasa dan bahasa Tolaki. Selanjutnya, kata nopoe yang berarti ular dalam bahasa Rejang dialek Kepahiang memiliki padanan berupa nipa dalam bahasa-bahasa Flores. Dan kata nangai yang bermakna muara memiiki padanan kata berupa nanga dalam bahasa-bahasa di Kalimantan Barat.

Bahasa Rejang memiliki lima dialek yang memiliki variasi atau perbedaan antar satu dialek dengan dialek lainnya dengan derajat yang berbeda-beda.[9] Empat dari lima dialek dituturkan di wilayah Provinsi Bengkulu. Satu dialek lagi dituturkan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatra Selatan. Kelima dialek tersebut adalah sebagai berikut:

  • Dialek Lebong, dituturkan di Kabupaten Lebong dan sebagian Kabupaten Bengkulu Utara.
  • Dialak Musi, dituturkan di sepanjang hulu aliran Sungai Musi di Kabupaten Rejang Lebong, sebagian Kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagian Kabupaten Kepahiang terutama di Kecamatan Merigi dan Kecamatan Ujan Mas. Dialek ini dinamai berdasarkan nama Sungai Musi.
  • Dialek Keban Agung, dituturkan di sebagian Kabupaten Kepahiang terutama daerah Kecamatan Tebat Karai dan Kecamatan Bermani Ilir.
  • Dialek Pesisir, dituturkan di sebagian Kabupaten Bengkulu Tengah seperti Kecamatan Pondok Kelapa, dan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara.
  • Dialek Rawas, dituturkan di hulu Sungai Rawas di Kabupaten Musi Rawas Utara. Dialek ini dinamai berdasarkan nama sungai Rawas. Dialek ini dianggap sebagai dialek proto atau dialek tertua dari bahasa Rejang dan menurut Prof. McGinn. Dialek inilah yang berfungsi sebagai alat bantu rekonstruksi bahasa Rejang purba. Namun, berdasarkan sejarah terbentuknya sebuah desa di Ulu Rawas, Musi Rawas Utara yang bernama Napal Licin. Masyarakat di daerah ini pada awalnya didiami Rejang dari Kabupaten Rejang Lebong, setelah beberapa lama kemudian datang juga orang Melayu dari daerah Kabupaten Sarolangun untuk membuka rimba belantara menjadi lahan pertanian. Mereka mulai bergaul dengan orang dari Rejang Lebong yang menetap pertama tadi sampai mereka menikah dan mempunyai keturunan Rejang Melayu Jambi. Puluhan tahun kemudian orang dari daerah lain mulai berdatangan seperti dari daerah Jawa, Palembang, dan lain sebagainya. Setelah ratusan tahun lama mereka hidup, maka bahasa asli masyarakat Desa Napal Licin berasal dari campuran dari keturunan nenek moyang mereka tadi yaitu bahasa Rejang yang bercampur dengan bahasa Melayu Jambi, Melayu Palembang, dan Jawa. Sehingga tercipta suku dan masyarakat yang baru, yakni Rejang Rawas.[10]

Penutur dialek Rejang yang satu dengan yang lain sebenarnya dapat saling mengerti dengan tingkat pemahaman mencapai di atas 80%, kecuali dialek Rawas. Dialek Rawas hampir tidak dapat dikenali apabila diperdengarkan kepada penutur dialek-dialek yang lain.

Aksara

Sebelum abad ke-20, masyarakat Rejang masih menulis surat-surat resmi dalam aksara sendiri yang dinamakan Aksara Rejang (Buak Rikung). Aksara Rejang sendiri pada masa kini lebih dikenal sebagai huruf Kaganga dan diajarkan di sekolah-sekolah di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara. Aksara ini berjenis abugida dan merupakan turunan dari aksara-aksara India. Ciri terutama aksara tersebut adalah garis-garis yang tajam dan tegas, berkebalikan dengan aksara Jawa atau Bali yang bergelombang. Evolusi aksara Rejang menuju bentuk garis yang tajam, lurus, dan tegas disebut-sebut sebagai adaptasi atas usaha menulis di atas kayu, bambu, dan tulang. Pada bahan dengan permukaan keras, garis melengkung sangat susah dibuat dan hasilnya, garis-garis melengkung berevolusi menjadi garis yang tajam dan lurus.

Istilah rikung dalam bahasa Rejang dapat bermakna sabit untuk memotong rumput dan atau sudut siku-siku. Menurut cerita, aksara Rejang awalnya ditulis dengan alat-alat yang tajam termasuk sabit yang menghasilkan garis-garis tajam. Menurut cerita yang lain pula, aksara Rejang disebut rikung karena sudutnya siku-siku. Aksara Rejang memiliki 18 buah konsonan utama (Buak Tu'ai), 1 buah vokal nyata (tergolong Buak Tu'ai), dan 6 buah konsonan ganda (Buak Ngimbang), totalnya terdapat 25 buah huruf. 25 buah huruf ini diberikan tanda diakritik baik tunggal maupun ganda untuk menghasilkan bunyi selain 'a' serta menghasilkan diftong.

Agama dan kepercayaan

Kepercayaan asli

Tidak banyak yang diketahui mengenai agama atau kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang Rejang. Peninggalan masa kini yang paling jelas dan penting untuk menjabarkan mengenai pengalaman spiritual atau keagamaan masyarakat Rejang lama adalah tradisi rêjung dan kêdurai agung. Kedua tradisi ini tak dapat dipisahkan satu sama lain. Rêjung merupakan gunungan berisi hasil bumi atau makanan dan kue yang ditata sedemikian rupa. Tingginya dapat mencapai dua meter. Diduga, rêjung menyimbolkan bentuk gunung terutama sekali merujuk pada Bukit Kaba yang menempati posisi penting dalam suasana kebatinan masyarakat Rejang. Rêjung biasa diadakan saat prosesi atau ritual kêdurai agung (Kenduri Besar). Rêjung adalah persembahan bagi dewa-dewi yang dipuja melalui kêdurai agung.

Kepercayaan masyarakat Rejang terhadap kekuatan supranatural di sekitarnya telah melahirkan dikotomi antara diwo dan nyang dengan sêmat. Diwo merujuk pada dewa dan nyang merujuk pada dewi. Hampir tidak diketahui nama-nama daripada dewa dan dewi dari kepercayaan asli suku Rejang. Tapi, yang paling dikenal ialah dewi padi atau dewi kesuburan. Dalam kepercayaan lama orang Rejang, dewi kesuburan yang dikenal sebagai Nyang Sêrai. Untuk menghormati sang dewi, masyarakat dahulu sering mengadakan persembahan berupa pemotongan hewan kurban, membakar kemenyan atau mengantar apem. Salah satu tempat paling terkenal untuk melakukan persembahan yakni Bingin Kuning di Lebong.

Adapun istilah untuk menyebut pertapaan atau persembahyangan terhadap dewa-dewi dalam bahasa Rejang yaitu bêtarak. Salah satu tempat bêtarak yang paling utama yaitu Bukit Kaba. Bukit Kaba sejatinya terbuka untuk umum. Daerah ini adalah kawasan konservasi dan meminta izin kepada petugas di pintu masuk serta melaporkan jumlah pendaki adalah suatu kewajiban. Namun berdasarkan kisah muning ra'ib, masyarakat Rejang dari Dusun Curup dilarang pergi ke Bukit Kaba untuk menghindari bala.

Berkebalikan dengan diwo atau nyang yang dipuja oleh masyarakat, golongan sêmat sebaliknya sangat ditakuti, baik karena memakan korban maupun menghuni lokasi-lokasi tertentu di Tanah Rejang. Agar terhindar dari sêmat, berdoa dan meminta izin atau permisi sebelum memasuki suatu tempat dan atau mengambil sesuatu di alam adalah hal yang wajib dilakukan. Izin dilakukan dengan mengucapkan stabik nik, keme nupang liwêt (permisi nenek, kami numpang melintas atau berjalan). Jenis-jenis sêmat dalam kepercayaan Rejang antara lain sêbêi sêbkêu, siamang bioa, sumêi, dan semat laut. Beberapa jenis sêmat yang lain berkedudukan sebagai penunggu atau tunggau suatu tempat. Tunggau yang paling dikenal oleh suku Rejang adalah Dung Ulau Tujuak atau Ular Kepala Tujuh yang berdiam di sraung atau gua bawah air di Danau Tes, Kabupaten Lebong.

Hutan bagi masyarakat Rejang lama merupakan karunia Tuhan serta sumber penghidupan. Hutan merupakan sumber kayu, madu, dan binatang buruan. Sebagaimana tempat lain, hutan atau imbo ini biasanya didiami oleh hewan jadi-jadian seperti imêu atau harimau. Bagi masyarakat Rejang, harimau dipandang sebagai jelmaan nenek moyang, sakral, dan tidak boleh dilukai ataupun dibunuh. Harimau dipandang sebagai saudara tua, dipanggil sebagai datuk, ninik, atau puyang.

Distribusi keagamaan suku Rejang
Islam
  
99,80%
Lainnya
  
0,20%
Populasi suku Rejang = 500.000 jiwa

Kepercayaan modern

Dewasa ini mayoritas suku Rejang memeluk agama Islam. Tidak ada catatan statistik resmi perihal jumlah penganut agama dalam komunitas Rejang masa kini. Perkiraan menyebutkan bahwa hampir 100% masyarakat Rejang memeluk agama Islam. Kebanyakan mereka tidak berafiliasi dengan denominasi Islam tertentu. Namun sebagaimana masyarakat Muslim di Nusantara lainnya, masyarakat Rejang menganut Islam Sunni dengan Mazhab Syafi'i. Organisasi keagamaan Islam yang utama meliputi Muhammadiyah dan NU. Minoritas Tarekat Naqsyabandiyah yang sering diejek sebagai Sulup terdapat di Desa Suka Datang, dekat dengan aliran Sungai Musi.

Boleh dikata hampir tidak ada orang Rejang yang beragama selain Islam. Kalaupun ada jumlahnya tak lebih dari beberapa puluh orang saja. Keberadaan pemeluk agama Hindu atau Budha dan Kristen di wilayah kediaman orang Rejang umumnya berkaitan dengan masyarakat pendatang yang melatabelakanginya. Pemeluk ajaran Hindu di Tanah Rejang umumnya adalah orang Bali, agama Buddha dipeluk oleh keturunan Tionghoa, dan Kristen dipeluk oleh sebagian orang Jawa dan Batak. Islam dipandangi sebagai agama rakyat dan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan pada masa kini. Islam mempengaruhi tata cara pemakaman, penggunaan bahan makanan halal, serta menumbuhkan budaya mengaji di masjid dan tahlilan. Islam diperkirakan masuk ke Tanah Rejang pada abad ke-16 masehi. Marsden dalam bukunya The History of Sumatra menyebut bahwa orang Rejang adalah Mahometan, sebuah sebutan kuno bagi orang yang mengikuti ajaran Muhammad.[11] Islam diperkenalkan oleh orang Minang, Banten, dan Aceh yang telah mengalami Islamisasi lebih dahulu. Sebelum masuknya Islam, disebut-sebut bahwa masyarakat Rejang telah lebih dulu berkenalan dengan agama Hindu yang dibawa dari Tanah Jawa oleh Empat Biku.

Festival

Beberapa festival yang dirayakan oleh masyarakat Rejang, terutamanya Rayo atau Idulfitri, Rayo Ajai atau Iduladha, dan perayaan seputar HUT kabupaten masing-masing serta peringatan HUT RI setiap bulan Agustus. Rayo dan Rayo Ajai merupakan dua perayaan terbesar suku Rejang. Kedua hari besar agama Islam yang sudah dipandang sebagai agama rakyat ini adalah waktu untuk pulang kampung, mengunjungi kerabat, berwisata bersama keluarga, dan mempererat tali silaturrahmi. Malam menyambut Rayo serta Rayo Ajai dirayakan dengan pawai, arak-arakan, dan pertunjukan kembang api dalam skala kecil.

Perayaan HUT kabupaten dan HUT RI adalah dua perayaan yang tidak berkaitan dengan agama tertentu yang banyak dirayakan oleh masyarakat Rejang. Dalam HUT kabupaten, biasanya diadakan pameran UMKM kabupaten bersangkutan serta pertunjukan musik yang mengundang penyai atau artis dari berbagai tempat. HUT kabupaten yang paling besar dilangsungkan bulan Mei tiap tahun di Curup, Rejang Lebong. Sementara HUT RI tiap bulan Agustus diramaikan dengan lomba gerak jalan dan lomba-lomba khas kemerdekaan lain seperti panjat pinang, balap karung, tarik tambang, dan lain-lain.

Seni bela diri

Masyarakat Rejang mengenal seni bela diri tradisional sejenis silat. Silat tersebut dikenal dengan nama silat Pat Petulai. Silat Pat Petulai menurut cerita rakyat berasal dari ajaran atau petuah Empat Biku yang membawa peradaban bagi masyarakat Rejang.

Senjata tradisional

Senjata tradisional masyarakat Rejang kebanyakan jenisnya berupa senjata tajam. Senjata tradisional ini dalam praktik kehidupan sehari-hari bermetamorfosis menjadi perangkat yang dipakai untuk menciptakan berbagai jenis benda yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Senjata tradisional Rejang meliputi tombak yang disebut kujua atau kujuh, parang yang disebut pitat, badik yang disebut badek, keris yang disebut kê'is, dan badik melengkung yang mirip kuku harimau, disebut badek sêlon imêu".

Penggunaan parang dewasa ini lebih kepada barang bawaan wajib ketika pergi ke kebun. Parang dipergunakan untuk membersihkan belukar, membuat jalan setapak, menebang kayu, dan membuka kelapa. Penggunaan tombak di masa ini sudah semakin jarang. Umumnya dipakai kala menangkap ikan secara tradisional di sungai yang jernih. Keris umumnya dipergunakan dalam seni bela diri silat atau dikeramatkan dan disimpan secara baik di rumah-rumah. Keris dan benda-benda keramat dikenal sebagai pêsako.[12]

Masakan

Kaitan dengan Suku Bangsa Lain

Suku Rejang tinggal pada wilayah geografi yang berdekatan dengan suku Pekal. Meskipun belum jelas asal-usulnya, suku Pekal diduga merupakan suku hibrida yang muncul sebagai hasil percampuran antara masyarakat Rejang selaku orang asli dengan pendatang dari Kerinci maupun Minangkabau.[13] Suku Rejang dan Pekal sama-sama mendiami dataran rendah di Kabupaten Bengkul Utara.[13]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Marsden, William (1783). The History of Sumatra, containing An Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, With A Description of the Natural Productions, And A Relation of the Ancient Political State of the Island. Printed for Author. hlm. 40. 
  2. ^ "Vitalitas Bahasa Rejang: Melacak Daya Hidup Bahasa Kuno Bengkulu oleh Mahasiswa UGM". Diakses tanggal 2018-11-04. 
  3. ^ "Tim Satu-Satunya PKM Penelitian Sosiohumaniora UGM Berhasil Mengantongi 2 Emas di PIMNAS 2018". Diakses tanggal 2018-11-04. 
  4. ^ YouTube: Sejarah Suku Rejang
  5. ^ Siddik, Abdullah (1980). Hukum Adat Rejang. PN Balai Pustaka. hlm. 31. 
  6. ^ Marsden, William (1783). The History of Sumatra, containing An Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, With A Description of the Natural Productions, And A Relation of the Ancient Political State of the Island. Printed for Author. hlm. 40. 
  7. ^ a b c d e Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 321. ISBN 9789794619292. 
  8. ^ "Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-01-02. Diakses tanggal 2018-11-04.  dalam Adelaar & Pawley, eds, Austronesian historical linguistics and culture history
  9. ^ Omniglot: Redjang
  10. ^ Wordpress: Profil Desa Napal Licin
  11. ^ Marsden, William (1783). The History of Sumatra, containing An Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, With A Description of the Natural Productions, And A Relation of the Ancient Political State of the Island. Printed for Author. hlm. 36, 37. 
  12. ^ Marsden, William (1783). The History of Sumatra, containing An Account of the Government, Laws, Customs, and Manners of the Native Inhabitants, With A Description of the Natural Productions, And A Relation of the Ancient Political State of the Island. Printed for Author. hlm. 201. 
  13. ^ a b Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 309. ISBN 9789794619292. 

Pranala luar