Sengketa Irian Barat
Persengketaan Irian Barat (1950–1962), juga dikenal sebagai Persengketaan Nugini Barat, adalah sebuah konflik diplomatik dan politik antara Belanda dan Indonesia terhadap wilayah Nugini Belanda. Ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 setelah Revolusi Nasional Indonesia, Belanda menolak klaim bahwa setengah Nugini yang dikuasai oleh Belanda pada dasarnya berada pada wilayah Hindia Belanda dan bahwa Republik Indonesia yang saat itu baru berdiri berhak penuh atas seluruh bekas koloni Belanda tersebut.[1]
Setelah pertarungan panjang, Irian Barat secara resmi terintegrasi ke dalam Indonesia berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969. [2]
Latar Belakang Sejarah
Sebelum kedatangan Belanda, dua kesultanan Indonesia yang dikenal sebagai Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate diklaim telah menguasai Papua Barat. Berdasarkan perjanjian tahun 1660 antara Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate yang berada di bawah jajahan Belanda, orang Papua diakui sebagai subjek Kesultanan Tidore. Kemudian di bawah perjanjian 1872, Kesultanan Tidore mengakui kendali Belanda atas seluruh wilayahnya, yang digunakan oleh Kerajaan Belanda untuk menetapkan Papua Barat sebagai bagian jajahan resmi Hindia Belanda.
Kurang dari sepekan setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Belanda kembali datang membawa sekutu dan memulai rentetan kontak senjata di berbagai tempat termasuk Jakarta sampai pada awal 1946, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada 25 Maret 1947, Belanda dan Indonesia berhasil menyepakati bersama Perundingan Linggarjati. Namun, pada 21 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Dari tahun 1947-1948, Belanda menggunakan politik Devide et Impera atau politik pecah belah yang merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Politik peredaman ini dilakukan oleh Belanda dengan pendirian negara boneka di Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur pada tahun 1947-1948 untuk membina separatisme.
Pada 22 Desember 1948, para delegasi Indonesia membahas pelanggaran Perundingan Linggarjati, penggelaran operasi militer Belanda, dan penawanan para petinggi pemerintahan Indonesia di sidang PBB di Paris. Delegasi Belanda di PBB menolak klaim Indonesia dengan menyatakan bahwa keadaan di Indonesia telah kembali normal dan para pemimpin yang ditawan diperkenankan untuk bergerak dengan leluasa. Namun pada 15 Januari 1949, dua anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dikirim ke tempat pengasingan dan tidak menemukan kebenaran dalam klaim Belanda.
Para delegasi Indonesia selanjutnya mengikuti Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri oleh perwakilan sejumlah negara dan menghasilkan kesepakatan forum yang meminta bantuan PBB untuk mengatasi persoalan antara Belanda dan Indonesia. Dalam mediasinya, PBB menerbitkan Resolusi 67 tertanggal 28 Januari 1949 yang menghimbau agar Belanda menghentikan aksi militernya di Indonesia dan agar Indonesia menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Setelah itu agresi militer dihentikan, namun Belanda menolak sebagian besar isi resolusi dan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam usaha untuk mengakhiri konflik Belanda-Indonesia, perjanjian Den Haag atau Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) diratifikasi pada 2 November 1949. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda dengan Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950. Untuk membantu mempertahankan koloni Papua dari infiltrasi pasukan Indonesia, pasukan Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) yang beranggotakan pribumi Papua dibentuk oleh Belanda pada tahun 1961.
Belanda melanjutkan pembentukan sebuah komite pada tanggal 19 Oktober 1961 yang merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.
Langkah-langkah yang dilakukan Belanda ini merupakan pelanggaran perjanjian KMB. Selanjutnya, Belanda melakukan penyerangan di Yogyakarta pada 19 Desember 1949 yang menandai awal Agresi Militer II Belanda. Hingga pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan akan melaksanakan Operasi Trikora.
Operasi Trikora
Tanggal 1 Desember 1961, bendera Papua dinaikkan di Jayapura. Kemudian, 18 hari setelah itu Presiden Soekarno di Yogyakarta mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang antara lain berisi perintah batalkan negara boneka Papua buatan Belanda. Operasi Trikora yang diumumkan pada 19 Desember 1961 itu bertujuan untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua Barat (saat itu bernama Irian Barat) dengan Indonesia.
Pada dasarnya, Trikora adalah pembebasan semua wilayah bekas jajahan Belanda dari Sabang sampai Merauke. Dengan kata lain, Operasi Trikora diluncurkan untuk membebaskan Papua dari cengkeraman imperialis Belanda. Upaya untuk mengembalikan Papua ke pangkuan Indonesia itu juga diperjuangkan oleh salah satu pahlawan Papua, Frans Kaisiepo.
Kaisiepo mengajukan penggantian nama Netherland Nieuw Guinea menjadi Irian (Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland). Akibatnya, Frans Kaisiepo menjadi tahanan politik pada tahun 1954 sampai 1961. Tujuan Trikora tidak semata-mata untuk pembebasan teritorial, tetapi juga untuk pembebasan seluruh rakyat Papua dari penjajahan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan untuk menempatkan diri dalam strata masyarakat sosial yang berkualitas dan bermartabat.
Lihat pula
Bacaan tambahan
- Anderson, Benedict (1983; 2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
- Catley, Bob; Dugis, Vinsensio (1998). Australian Indonesian Relations Since 1945: The Garuda and The Kangaroo. Aldershot, England: Ashgate.
- Crocombe, Ron (2007). Asia in the Pacific Islands. Suva, Fiji: IPS Publications, University of the South Pacific.
- Djiwandono, Soedjati (1996). Konfrontasi Revisited: Indonesia's Foreign Policy Under Soekarno. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
- Green, Michael (2005). "Chapter 6: Uneasy Partners: New Zealand and Indonesia". Dalam Smith, Anthony. Southeast Asia and New Zealand: A History of Regional and Bilateral Relations. Wellington: Victoria University of Wellington. hlm. 145–208. ISBN 0-86473-519-7.
- Ide Anak Agung Gde Agung (1973). Twenty Years Indonesian foreign policy, 1945-1965. The Hague: Mouton.
- Kahin, Audrey; Kahin, George McTurnan (1995). Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. New York: The New Press.
- Legge, John D. (2003). Sukarno: A Political Biography. Singapore: Archipelago Press, Editions Didier Millet. ISBN 981 4068 64 0.
- Lijphart, Arend (1966). The Trauma of Decolonization: The Dutch and West New Guinea. New Haven: Yale University Press.
- Mackie, Jamie (2005). Bandung 1955: Non-Alignment and Afro-Asian Solidarity. Singapore: Editions Didier Millet.
- Muraviev, Alexey; Brown, Colin (Desember 2008). "Strategic Realignment or Déjà vu? Russia-Indonesia Defence Cooperation in the Twenty-First Century". SCDC Working Papers. Strategic and Defence Studies Centre, Canberra (411): 42. Diakses tanggal 26 Mei 2014.
- "Operation Trikora - Indonesia's Takeover of West New Guinea". Pathfinder: Air Power Development Centre Bulletin. Air Power Development Centre (150): 1–2. Februari 2011. Diakses tanggal 19 September 2013.
- Platje, Wies (2001). "Dutch Sigint and the Conflict with Indonesia 1950-62". Intelligence and National Security. 16 (1): 285–312. doi:10.1080/714002840. Diakses tanggal 19 September 2013.
- Singh, Bilveer (2001). "West Irian and the Suharto Presidency: a perspective". The Act of Free Choice: 73–93. Diakses tanggal 26 Meo 2014.
Catatan dan referensi
- ^ Bob Catley and Vinsensio Dugis, The Garuda and The Kangaroo, pp.20-21.