Sunario Sastrowardoyo

politisi dan diplomat Indonesia
Revisi sejak 1 November 2008 22.38 oleh Ciko (bicara | kontrib)

Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo (Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902) adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Mr. Soenario

Sunario adalah satu-satunya tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu dicetuskan ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta. Sunario menjadi Sekretaris II, Hatta bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de rechten, lalu pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia."[1]

Karir

Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).

Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Di masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Soenario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai.

Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 - 1961. Setelah itu Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966).

Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.

Riwayat

Soenario lahir di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran dan Suyati Kartokusumo. Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo memiliki 14 anak, dimana Sunario sendiri merupakan anak pertama dan memiliki 13 adik.

Sunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928. Sunario wafat pada tahun 1997 dan istrinya tiga tahun lebih awal, 1994.

Pendidikan

Pada tahun 1908, Soenario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan Mejuffrouw Tien.

Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 - 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.

Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Perancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota Jong Java.[2]

Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia.

Rujukan

  1. ^ Sunario, Tokoh Sumpah Pemuda dan Manifesto Politik 1925, Kompas 28 Oktober 2002
  2. ^ M.D., Sagiman. 1993. 90 Tahun Prof. Mr. Sunario, Manusia Langka Indonesia. Jakarta: PT Rosda Jayaputra Jakarta.

Pranala luar

Didahului oleh:
Moekarto Notowidigdo
Menteri Luar Negeri Indonesia
1953 - 1955
Diteruskan oleh:
Ide Anak Agung Gde Agung