Metrosel

perusahaan asal Indonesia

PT Metro Selular Nusantara, disingkat Metrosel didirikan pada 1996, dan dimiliki secara patungan oleh Telkom Indonesia sebesar 20,17%, Yayasan Dana Pensiun Pegawai Telkom sebesar 3,83%, PT Centralindo Pancasakti Cellular (yang dikendalikan oleh Napan Group milik pengusaha Henry Pribadi) sebesar 51,20%, Pusat Koperasi ABRI sebesar 0,80%, PT Djati Yudha Komunikatama sebesar 4% dan Asialink (yang terafiliasi dengan perusahaan Salim Group First Pacific) sebesar 20%.[1] Pada November 1996, saham Asialink ditingkatkan menjadi 35%. Perusahaan ini didirikan untuk menyediakan layanan operator seluler dengan wilayah layanan (yang ditetapkan pemerintah) di Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Maluku menggunakan sistem AMPS.[2] Sebagai modal awal dari perusahaan ini, adalah pelanggan dari PT Centralindo Pancasakti Cellular yang dialihkan pada Metrosel.[3] Perlu diketahui bahwa PT Centralindo awalnya didirikan khusus untuk membangun jaringan telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional) bersistem AMPS dan mendapat izin pada tahun 1989 oleh Deparpostel (sekarang Kemenparekraf) di sejumlah kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya bekerjasama dengan Industri Telekomunikasi Indonesia dan Telkom dalam bentuk bagi hasil. Selanjutnya, proyek ini dilanjutkan ke Semarang-Yogyakarta-Solo dan Surabaya-Malang dengan kapasitas total 9.500 pengguna.[4] Seiring pembentukan Metrosel, operasional bagi hasil PT Centralindo ini kemudian digabungkan dalam operasi Metrosel.[5]

Metrosel
PT Metro Selular Nusantara
Anak perusahaan (2003-2007)
IndustriOperator dan layanan telekomunikasi seluler Indonesia
NasibMerger dengan Mobile-8
PenerusMobile-8
Didirikan1996
Ditutup11 Juni 2007
Kantor pusatJakarta, Indonesia
ProdukAMPS (1996-2002)
PemilikCentralindo Pancasakti Cellular (1996-2003)
Mobile-8 (2003-2007)

Pada tahun 1996, Metrosel terus mengembangkan usahanya di daerah operasinya, dengan memakan investasi senilai US$ 25 miliar dan menargetkan 29.000 pengguna.[6]Di tahun 1997, perusahaan ini mencatat sekitar 41.178 pelanggan, dan mulai merencanakan untuk menjadi pemimpin pasar wilayah Indonesia Timur serta meningkatkan jaringannya menjadi CDMA (walaupun akhirnya tidak berhasil). Seakan tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi 1997, Metrosel justru mencatat kenaikan pengguna: walaupun sedikit menurun tapi tetap bisa menjaga levelnya di 41,424 pelanggan pada 1999 dan meningkat lagi menjadi 62,981 pelanggan pada Desember 2001. Seiring dengan penurunan pengguna AMPS karena kalah populer dari GSM (dari 48,4% pada 1995 menjadi 4,4% pada 1999), Telkom sebagai salah satu pemilik sahamnya berencana untuk menjalankan proyek konversi menjadi CDMA pada 2002.[7][8] Selain itu, Metrosel juga sempat menjalin kerjasama dengan perusahaan lain yang bergerak di AMPS juga, yaitu Komselindo yang beroperasi di Jabodetabek, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi dalam bentuk kerjasama jaringan sehingga harga jaringan keduanya bisa ditekan hingga 40%.[9]

Bagaimanapun, pada akhirnya bisnis AMPS yang dikelola oleh Metrosel memasuki tahun 2000-an akhirnya menemui "titik akhir"-nya. Pada tahun 2001, saham PT Centralindo, pemilik saham utama Metrosel beralih ke Bhakti Investama (perusahaan yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo) sebanyak 37%, setelah Bhakti membeli obligasi PT Centralindo di Chase Manhattan Bank. (Kemudian, saham Bhakti meningkat menjadi 100% dengan menggelontorkan dana US$ 35 juta).[10][11] Di tahun itu juga, kepemilikan saham Metrosel berubah: saham Asialink lenyap dan komposisi kepemilikan berganti menjadi PT Centralindo (64%), PT Djati Yudha Komunikatama (5%), Pusat Koperasi ABRI (1%) dan Yayasan Dana Pensiun Telkom (9,8%). Sementara itu, saham PT Telkom tetap.[12] Pada 8 Agustus 2003, PT Centralindo dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham: Telkom menjual seluruh sahamnya kepada PT Centralindo sebesar 20,17% (ditambah 14,20% saham Komselindo dan 100% saham Telesera) dengan biaya Rp 185,10 M, dan sebagai gantinya, PT Centralindo menyerahkan saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara TV kabel TelkomVision) sebesar 35% dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom. Manajemen sendiri menyediakan dana sebesar Rp 900 M untuk menuntaskan transaksi ini.[13][14]

Di bawah penguasaan manajemen baru, tampak bahwa mereka memutuskan untuk membangun merek baru dengan melanjutkan pembangunan jaringan CDMA yang disiapkan Metrosel (dan Komselindo). Perusahaan baru itu dikenal dengan nama Mobile-8 Telecom yang didirikan akhir 2002, dan sebagai persiapannya manajemen menjadikan tiga perusahaan komunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Komselindo, Metrosel dan Telesera menjadi anak perusahaan Mobile-8.[15][16][17] Pada akhirnya, sebagai "penerus" Metrosel adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 yang berbasis CDMA 2000 dengan modal awal salah satunya adalah bekas pelanggan AMPS Metrosel yang dipindah menjadi CDMA. Di kondisi terakhirnya (2003), Metrosel merupakan perusahaan dengan pelanggan AMPS terbesar di Indonesia, sebesar 51,788 (walaupun menurun dari 78,519 pada 2002) mengalahkan pesaingnya yang sempat unggul, Komselindo.[18] Sejak saat itu, Metrosel hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, dan pada akhirnya, PT Metro Selular Nusantara dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007.[19]

Lihat pula

Referensi