Amangkurat V
Sri Susuhunan Amangkurat V atau dikenal juga Sunan Kuning, adalah penguasa terakhir di Kasunanan Kartasura sebelum akhirnya direbut kembali oleh Pakubuwana II atas bantuan VOC, tetapi tak lama Amangkurat V pun tersingkir. Kemudian Pakubuwana II mendirikan Kasunanan Surakarta. Amangkurat V sebagai pemimpin persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC dalam peristiwa Geger Pacinan dijuluki Sunan Kuning yang berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi). Lantaran lidah orang Tionghoa susah mengejanya, Sunan Kuning menjadi Soen An Ing.
Sri Susuhunan Amangkurat V | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Amangkurat Senopati ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotogomo Kaping Limo Sri Susuhunan Amangkurat V Susuhunan Kuning Susuhunan Cun Ling Soen An Ing | |||||
Penobatan | 6 April 1742 | ||||
Pendahulu | Amangkurat IV | ||||
Penerus | Pakubuwana II | ||||
| |||||
Wangsa | Wangsa Mataram | ||||
Agama | Islam |
Peristiwa Geger Pacinan
Amangkurat V (Sunan Kuning) merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan bersama Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa). Dalam Geger Pacinan, Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC, Amangkurat V (Sunan Kuning) bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Para pemberontak Tionghoa-Jawa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun (sumber lain menyebut 12 tahun). Dia pun dianggap sebagai "Rajanya orang Jawa dan Tionghoa."
Pengangkatan Sunan Kuning sebagai simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikhianati Pakubuwana II, yang bersekutu dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV (raja Madura yang bersekutu dengan VOC).
Balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning (Amangkurat V), kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh kapten Van Hohendorf (VOC) ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo (penanda waktu) yang berbunyi "Pandito Enem Angoyog Jagad" (Raja yang telah kehilangan keratonnya).
Sunan Kuning bertahta di Kasunanan Kartasura, terhitung 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo (Pangeran Prangwedana) sebagai panglima perang. Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Tionghoa-Jawa dipimpin Raden Mas Said (Mangkunegara I) dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru: Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Sunan Kuning meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa. Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Jawa.
Akhir dari perjalanan Sunan Kuning (Amangkurat V) terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang (pengawal Sunan Kuning), Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Sri Lanka.[1]
Riwayat
Sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa makam/petilasan Sunan Kuning (Amangkurat V) berada di bagian barat Kota Semarang, di atas sebuah bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, nama Lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutan Sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.[2]