Amangkurat V

Susuhunan dari Mataram

Amangkurat V (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧕꧇, translit. amangkurat kalima, har. 'amangkurat lima', dikenal juga sebagai Sunan Kuning) adalah seorang cucu Amangkurat III di Mataram, putra dari Pangeran Tepasana. Tahun 1742, ia diangkat sebagai susuhunan Mataram menggantikan takhta Amangkurat IV oleh koalisi Jawa-Tionghoa yang menantang kekuasaan Pakubuwana II.

Amangkurat V
ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧕꧇
Sunan Kuning
Susuhunan Mataram
ke-10
Bertakhta1 Juli 1742 – ? September 1743
Penobatan6 April 1742 di Kabupaten Pati
PendahuluPakubuwana II
KelahiranRaden Mas Garendi
1726
Kesultanan Mataram Kartasura, Mataram
Kematian?
Sailan Belanda
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping V
Nama anumerta
Sunan Kuning
Bahasa Jawaꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧕꧇
WangsaMataram
AyahPangeran Tepasana
AgamaIslam

Silsilah

sunting

Sunan Amangkurat V atau Sunan Kuning memiliki nama asli Raden Mas Garendi, lahir pada 1726. Dia adalah putra bungsu dari Pangeran Tepasana, atau cucu dari Amangkurat III. Masa kecilnya sudah diwarnai politik berdarah. Ayahnya, Pangeran Tepasana, terbunuh karena konflik kerajaan.

Setelah ayahnya tewas, Raden Mas Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Karaton Kartasura oleh pamannya bernama Wiramenggala. Mereka melintasi Gunung Kemukus hingga menuju Grobogan. Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Garendi lantas diangkat anak oleh He Tik.[1]

Dalam Babad Kartasura II, dijelaskan perihal deskripsi fisik Raden Mas Garendi. Dia disebut sebagai remaja ganteng yang populer dan banyak penggemar.

"Akan halnya Raden Mas Garendi, memang rupawan. Kebagusannya sudah terkenal di mana-mana, apalagi banyak cerita-cerita yang turut meramaikannya. Bahwasannya seorang bangsawan yang bijaksana, lagi pula baik hatinya. Adalah tidak mustahil, banyak yang turut senang, melihat Raden Mas Garendi," demikian keterangan dalam Babad Kartasura II.[2]

Pemerintahan

sunting

Geger Pacinan

sunting
 
Lukisan Jawa abad ke-19 menggambarkan salah satu episode Perang Jawa-Tionghoa melawan VOC, perang yang meletus di Jawa tahun 1741-1743.

Pada mulanya, Pakubuwana II adalah seorang sunan yang melawan kolonialisme Belanda. Dia pernah meminta para pejabat dan bupati bersumpah setia serta bersiap mengusir mereka dari tanah Jawa.

Di masa kepemimpinannya, pasukan Mataram menyerang benteng kompeni di Kartasura pada 1741. Tercatat 10 prajurit kompeni tewas di dalam dan sekitar benteng. Peristiwa itu menandai konflik terbuka antara Kesultanan Mataram dan VOC. Pakubuwana II juga memerintahkan patihnya mengirim pasukan untuk membantu laskar Tionghoa mengepung VOC di Semarang.

Saat itu adalah masa-masa Geger Pacinan, rangkaian peperangan yang disebut-sebut lebih besar daripada Perang Diponegoro pada dua dekade setelahnya. Geger Pacinan diawali dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC di Batavia (sekarang Jakarta). Hal itu menyulut aksi pemberontakan melawan VOC.

Pemimpin pemberontakan dari pabrik gula di Gandaria, Batavia, adalah Souw Phan Ciang atau Khe Panjang, yang kemudian dikenal sebagai Kapitan Sepanjang. Dia lari sampai Semarang dan bergabung dengan laskar Tionghoa pimpinan Singseh (Tan Sin Ko). Kapitan Sepanjang dan Singseh berperang melawan VOC, mendapat bantuan pasukan dari Pakubuwana II, namun kemenangan sulit diraih, bahkan VOC mengklaim sebagai pihak yang menang.

Namun, Pakubuwana II berubah sikap 180 derajat dari yang semula melawan kompeni menjadi memihaknya. Dukungan Mataram ke pemberontak Tionghoa dicabut pada awal 1742. Perubahan sikap itu dilatar belakangi Pakubuwana II yang khawatir dilengserkan dari takhta Mataram bila terus melawan VOC. Dalam hal ini, VOC dikenal handal menyulut intrik politik. Di sisi lain, para bangsawan juga banyak yang mengincar kedudukan Pakubuwana II. Sejak saat itu, perang melawan Pakubuwana II dan VOC berkobar.

Di Grobogan, Raden Mas Garendi menghimpun kekuatan. Tiga brigade Jawa dan tiga brigade Tionghoa dikumpulkan. Mereka menyusun rencana untuk menyerang Pakubuwana II di Kartasura.

Berikut ini pihak-pihak yang mendukung Raden Mas Garendi:

  • Patih Natakusuma, patih bawahan Pakubuwana II yang memilih mendukung Sunan Kuning dan pasukan Tionghoa
  • Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), kelak bergelar Mangkunagara I
  • Tumenggung Martapura, bupati Grobogan
  • Tumenggung Mangun Oneng, bupati Pati
  • Singseh, pemimpin laskar Tionghoa dari Tanjung Welahan (dekat Demak)
  • Kapitan Sepanjang, pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia

Kenaikan takhta

sunting

Pada tanggal 6 April 1742 di Pati, diadakan pembahasan mengenai siapa yang harus menggantikan Pakubuwana II. Singseh mengusulkan Tumenggung Martapura yang diangkat menjadi sunan Mataram, Kapitan Sepanjang setuju dengan usul itu. Namun Tumenggung Mangun Oneng tidak setuju karena Martapura tidak memiliki garis keturunan atau wahyu keprabon, bobot (kepantasan), dan bibit (asal-usul) untuk menjadi sunan Mataram.

Tan He Tik mengusulkan agar Raden Mas Garendi yang menjadi sunan Mataram pengganti Pakubuwana II. Karena, Raden Mas Garendi adalah cucu sunan Mataram, Amangkurat III. He Tik sendiri adalah orang tua angkat Garendi. Kapitan Sepanjang sempat khawatir bila Raden Mas Garendi akan berkhianat seperti Pakubuwana II yang semula melawan VOC menjadi bersekutu dengan VOC. Namun akhirnya semua bersepakat untuk menobatkan Raden Mas Garendi menjadi sunan Mataram.

Raden Mas Garendi kemudian bergelar Amangkurat V, dalam upacara penobatan itu hadir para ulama di samping kanan Amangkurat V dan panglima berbusana Tionghoa di samping kirinya.

Dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi.[3] Selain karena banyak pengikutnya yang berkulit kuning (Tionghoa), hal itu karena orang Tionghoa menyebutnya sebagai cun ling (bangsawan tertinggi) merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan.

Sejak saat itu, pertempuran demi pertempuran dilakoni oleh koalisi Jawa-Tionghoa. Mei 1742, formasi pasukan Jawa-Tionghoa terdiri atas seribu prajurit Jawa dan seribu prajurit Tionghoa. Perkembangan selanjutnya, pasukan Jawa menjadi lebih banyak dibanding Tionghoa.

Pada Juni 1742, Sunan Amangkurat V dan pasukannya menuju Kartasura. Laskar Tionghoa dipimpin panglimanya bernama Entik, Macan, dan Pibulung. Laskar Jawa di bawah komando Kertawirya, Wirajaya, dan Martapura. Sunan yang masih remaja tersebut dikawal oleh Tumenggung Mangun Oneng, Kapitan Sepanjang, dan Singseh. Mereka bertempur di Salatiga hingga Boyolali.

Penyerbuan ke Kartasura

sunting

Pada tanggal 30 Juni 1742, pasukan Amangkurat V menjebol benteng Karaton Kartasura. Penjebeloan benteng istana itu bahkan bisa dilihat sampai sekarang. Tembok istana itu berhasil dilubangi karena pasukan Amangkurat V menggunakan meriam.

Suasana Kartasura mendadak kacau dan luluh lantak karena diserbu pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Pakubuwana II dan keluarganya menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut. Mereka dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff bersama pasukan VOC dan mengungsi ke arah Magetan melalui Gunung Lawu.

Pada tanggal 1 Juli 1742, Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning resmi bertakhta di Kartasura. Terdapat candrasengkala (penanda waktu dalam tradisi Jawa) berbunyi Pandita anom angoyog jagad, bermakna Pemimpin muda mengguncang jagat.

Setelah berhasil menduduki takhta Mataram kemudian Amangkurat V mengangkat Tumenggung Mangun Oneng menjadi patih. Tumenggung Martapura diangkat menjadi pelaksana harian komando pertempuran dengan nama Sujanapura. Raden Suryakusuma kelak dikenal sebagai Pangeran Prangwedana diangkat sebagai panglima perang.

Akhir pemerintahan

sunting

Amangkurat V merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 pasukan gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan itu. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.

Pada 26 November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Amangkurat V. Kartasura diserang dari tiga penjuru oleh Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Amangkurat V meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukannya.

Akhir dari perjalanan Amangkurat V terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Amangkurat V terpaksa menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).

Kontroversi

sunting

Sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa petilasan Sunan Kuning atau Sunan Amangkurat V berada di bagian barat Kota Semarang, di atas sebuah bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, nama lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutan Sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.[4]

Referensi

sunting
  1. ^ Gondodiprojo, Daradjadi (2014). Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Penerbit Buku Kompas. 
  2. ^ Sastronaryatmo, Moelyono (1981). Babad Kartasura II. Jakarta: Balai Pustaka. 
  3. ^ Sylado, Remy (2005). 9 Oktober 1740: Drama Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  4. ^ Fajri, Muhammad Yogi (5 Juli 2014). "Sunan Kuning dan Geger Pacinan". historia.id. Diakses tanggal 4 Februari 2021. 

Kepustakaan

sunting
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Ricklefs, Merle Calvin (1983). "The Crisis of 1740–1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the Fall of the Court of Kartasura" [Krisis 1740–1 di Jawa: Orang Jawa, Tionghoa, Madura, dan Belanda, dan Runtuhnya Keraton Kartasura]. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). The Hague. 139 (2/3): 268–290. 

Lihat pula

sunting
Amangkurat V
Lahir: 1726 Meninggal: Tidak diketahui
Gelar
Didahului oleh:
Pakubuwana II
Susuhunan Mataram
1742 ‒ 1743
Diteruskan oleh:
Jabatan dihapus