De Bouwploeg
N.V. de Bouwploeg (pengucapan Melayu Betawi: Boplo) adalah perusahaan real estat pertama di Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1912 oleh arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen guna mengembangkan wilayah Nieuw-Gondangdia (kawasan Menteng).[1] Perusahaan ini memiliki kantor yang dibangun di sebidang lahan di tengah dua jalur jalan yang kini bernama Jalan Cut Meutia. Karenanya daerah di sekitar bangunan bekas kantor perusahaan ini, sampai sekarang dikenal sebagai Kampung Boplo.[2]
Sejarah
N.V. de Bouwploeg dipimpin oleh Pieter Adriaan Jacobus Moojen, arsitek dan ahli pembangunan kota yang cemerlang asal Belanda. Moojen adalah pengkritik arsitektur gaya Imperial yang ornamental, yang masih populer saat ia baru tiba di Batavia pada tahun 1903. Moojen yang juga pelukis ini dianggap sebagai pelopor arsitektur modern Hindia Belanda. Ia merancang berbagai tipe rumah yang dibangun di kawasan Menteng, yang gaya arsitekturnya lebih sederhana dan lebih fungsional. Gaya arsitektur baru ini, yang disebut gaya Indis, merupakan hasil persilangan antara gaya arsitektur Barat dan seni arsitektur tropis Nusantara.
Salah satu karya monumental arsitek lulusan Antwerpen, Belgia itu adalah gedung galeri seni milik Nederlandsch-Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia Belanda) di pangkal Jalan Teuku Umar (dulu Van Heutz Boulevard), yang merupakan gedung pertama di Hindia Belanda yang dibangun dengan konstruksi beton bertulang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan itu lebih dikenal sebagai Gedung Imigrasi karena sempat lama dipakai oleh Kantor Imigrasi Jakarta Pusat. Kini, karya Moojen yang dibangun pada 1914 itu dimanfaatkan sebuah restoran.
Gedung Bouwploeg
Moojen pula yang merancang kantor Bouwploeg pada tahun 1912. Bangunan itu terletak di jalan masuk ke daerah permukiman di Gondangdia dan Menteng yang ketika itu baru akan dikembangkan. Denah dasar bangunan yang kemudian menjadi salah satu penanda (landmark) daerah Gondangdia itu berbentuk tanda silang dengan dua garis yang sama panjang. Di Gedung Bouwploeg (disebut oleh masyarakat lokal sebagai Gedung Boplo[3]) itulah Moojen, kelahiran Kloetinge, Selandia, Belanda tahun 1879, merancang pengembangan kawasan Gondangdia Baru (Nieuw Gondangdia) dan Menteng. Kedua daerah permukiman ini kemudian sama-sama masuk dalam wilayah Kecamatan Menteng.[4]
Ruang-ruang kantor Gedung Bouwploeg berlangit-langit tinggi dan berjendela besar sehingga cahaya matahari, yang sangat diperlukan para arsitek untuk berkarya, dapat menerangi seluruh bagian ruangan. Udara juga bisa bersirkulasi dengan baik berkat adanya ruang tengah yang tinggi, di mana udara panas mengalir keluar lewat sejumlah jendela yang ada di bawah kubah atapnya.
Pembangunan kawasan Menteng
Menteng dirancang dan dibangun Moojen sebagai sebuah kota taman, yang sebelumnya belum pernah ada di Hindia Belanda. Hal ini bermula pada tahun 1910, Pieter Adriaan Jacobus Moojen yang saat itu berusia 31 tahun, setelah tiga tahun di Batavia, memiliki ide untuk menyulap hutan Menteng menjadi tuinstad, sebuah kota taman. Ide tersebut dituangkan menjadi gambar. Begitu rampung, rancangan tersebut diserahkannya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1912 rancangan Moojen tersebut disetujui pemerintah. Tahun itu juga Moojen mendirikan NV de Bouwploeg. Inilah real estat pertama di Hindia Belanda.[5]
Moojen lalu merekrut sejumlah arsitek untuk berkarya bersama. Antara lain Frans Johan Louwrens Ghijsels, J.F. van Haytema, H. van Essen dan F.J. Kubatz. Nama yang disebut terakhir, pada 1921 bersama dengan Moojen merancang Voetbalbond Indische Omstreken Sport (Viosveld), yang kemudian hari menjadi Stadion Menteng dan kini menjadi Taman Menteng.
Pembangunannya dimulai pada 1920 dan terus berlanjut hingga dekade 1940-an. Saat daerah Menteng dibangun, warga Betawi yang tinggal di sana banyak yang dipindahkan ke daerah Karet, Tanah Abang. Ketika itu, tokoh-tokoh Sarekat Islam, seperti Tjokroaminoto dan H. Agus Salim, sudah ikut memperjuangkan dengan gigih agar rakyat mendapat uang ganti rugi penggusuran yang layak.
Ketika berkunjung ke Batavia pada tahun 1923, H.P. Berlage, arsitek ternama Belanda lain, menyebut Menteng sebagai Europese Buurt, lingkungan Eropa. Ia juga mengatakan bahwa kawasan permukiman ini mirip dengan Minervalaan di Amsterdam. Hanya saja, jika daerah permukiman elite di Amsterdam itu luasnya cuma 30 hektar, Menteng 20 kali lebih luas, yakni sekitar 600 hektar.[6]
Gedung Bouwploeg pasca-pailit
N.V. de Bouwploeg mengalami pailit semenjak sang direktur Moojen meninggal dunia pada tahun 1918. Kemudian gedung bekas kantor N.V. de Bouwploeg tersebut dipakai oleh Proviciale Waterstaat dan sebagai kantor pos pembantu. Pada saat Perang Dunia II, gedung ini digunakan oleh Angkatan Laut Jepang, kemudian dimanfaatkan oleh Staatssporweg (jawatan kereta api). Pada sekitar tahun 1957-1964 gedung ini digunakan oleh berbagai dinas perumahan, tahun 1964-1970 digunakan sebagai kantor sekretariat DPR-GR dan MPRS dan oleh Kantor Departemen Urusan Agama. Terakhir pada tahun 1985, Gedung Bouwploeg difungsikan sebagai masjid, yang benama Masjid Cut Meutia hingga sekarang. Gedung ini sejak tahun 1971 termasuk gedung cagar budaya dan dilindung undang-undang.[7]
Lihat pula
Referensi
- ^ Shahab 2006, hlm. 5.
- ^ "Boplo, dari Perusahaan Pengembang ke Warung Gado-gado". Kompas.com. 28 April 2009. Diakses tanggal 12 Januari 2012.
- ^ je Susilo, Bembeng (13 Desember 2015). "Gedung Boplo". Kompasiana. Diakses tanggal 11 Januari 2016.
- ^ "Bouploeg, Gedung". Jakarta.go.id. Diakses tanggal 30 Agustus 2017.
- ^ "Mau Tahu Real Estate Pertama di Indonesia? Ini Dia Lokasi dan Fotonya!". JPNN.com. 31 Agustus 2015. Diakses tanggal 11 Januari 2016.
- ^ Shahab 2006, hlm. 6.
- ^ Shahab 2006, hlm. 7.
Bacaan lebih lanjut
- Heuken, Adolf; Pamungkas, Grace (2001). Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
- Shahab, A. (2006), Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang, Jakarta: Penerbit Republika