Makam Kuno Islam Nepo

Revisi sejak 20 Februari 2021 21.23 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (merapikan tulisan dan referensi)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Makam Kuno Islam Nepo terletak di Desa Nepo, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Secara historis Nepo tumbuh menjadi sebuah kerajaan persatuan yang terdiri atas sejumlah wanua. Dalam perkembangannya menerima pengaruh politik dari beberapa kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti; Kesultanan Bone, Kedatuan Suppa, Kesultanan Soppeng, Kedatuan Sidenreng, Kesultanan Gowa dan Kedatuan Luwu. Dalam naskah lontara disebutkan bahwa penyatuan Kerajaan Nepo tersebut ditandai dengan mengangkat pemimpin pertamanya sebagai raja (arung) bernama Labonggo, putra bangsawan dari Kerajaan Suppa. Dari sumber tertulis maupun secara lisan, Kerajaan Nepo dan Kerajaan Tanete diketahui pernah menjadi kerajaan yang tangguh di wilayah Mallusetasi, tetapi pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan persatuan kerajaan-kerajaan Ajatappareng sebagai kerajaan tetangga yang terletak di sebelah utaranya. Makam raja-raja Nepo berdasarkan tahun Hijriayh sudah berusia sekitar 122 tahun (1897–2019), dengan ciri makam tersendiri yaitu adanya nisan dipasang pada bagian tengahnya atau pada bagian kepala yang dimakamkan, sehingga nisan tersebut memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting. Arti penting dari pemakaian nisan tersebut tidak terlepas dari pengaruh tradisi megalit. Makam yang mendapat pengaruh megalitik memiliki unsur-unsur tradisi megalitik yang tertuang dalam pahatan dan bangunan sakral, memakai batu alam menyerupai menhir atau bentuk patung yang sederhana. Keadaan tersebut mencerminkan berlangsungnya tradisi megalitik dalam masyarakat saat itu. Bentuk makam yang berbeda pada setiap kelompok budaya adalah karena kemampuan menyerap pengaruh budaya yang berbeda. Hal ini pula dipengaruhi dari kondisi geografis dengan daerah pesisir lebih berkembang dibandingkan dengan daerah pedalaman. Pemahaman tentang tradisi megalitik pada setiap lokasi memiliki arti yang sama yaitu menganggap pentingnya arti hubungan antara yang hidup dengan yang mati.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ Duli, A., dkk. (2013). Monumen Islam di Sulawesi Selatan (PDF). Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. hlm. 129–130. ISBN 978-602-8405-50-8.