Tradisi Suci adalah istilah teologis yang digunakan di dalam tradisi-tradisi Kristen arus utama, khususnya tradisi-tradisi Kristen yang mengaku masih memelihara suksesi apostolik, misalnya tradisi Kristen Katolik, tradisi Kristen Ortodoks Timur, tradisi Kristen Ortodoks Oriental, tradisi Kristen Asyur, dan tradisi Kristen Anglikan, sebagai sebutan bagi landasan kewenangan doktrinal dan spiritual Kekristenan maupun Alkitab.

Umat Kristen percaya bahwa ajaran-ajaran Yesus Kristus dan rasul-rasulnya terlestarikan di dalam Kitab Suci maupun melalui ujaran-ujaran lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keberlanjutan pewarisan ajaran-ajaran ini disebut "Tradisi Yang Hidup". Umat Kristen percaya bahwa ajaran-ajaran para rasul diwariskan dengan setia dan berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Warisan tersebut "mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya."[1] Khazanah Iman (bahasa Latin: fidei depositum) adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi keseluruhan wahyu ilahi. Menurut teologi Kristen Katolik, Kitab Suci dan Tradisi Suci merupakan satu "Khazanah Iman" yang tunggal, artinya Khazanah Iman atau segenap wahyu ilahi diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam wujud Kitab Suci dan Tradisi Suci, melalui kewenangan mengajar dan tafsir Magisterium Gereja, yang terdiri atas para uskup Gereja di dalam persekutuan dengan Sri Paus, dan yang lazim terselenggara di dalam sinode-sinode dan konsili-konsili ekumene).

Menurut teologi Kristen Ortodoks Timur, Tradisi Suci adalah wahyu Allah yang terilhamkan, dan merupakan ajaran katolik Gereja, bukan suatu sumber kewenangan dogmatis yang berdiri sendiri sehingga dapat dipandang sebagai pelengkap wahyu Alkitab. Tradisi Suci justru dipahami sebagai segenap kebenaran ilahi yang diwartakan di dalam Kitab Suci, dilestarikan para uskup apostolik, dan diungkapkan di dalam kehidupan Gereja melalui hal-hal seperti Liturgi Suci dan Misteri Suci (Ekaristi, pembaptisan, perkawinan, dst.), syahadat dan definisi-definisi doktrinal lain yang dirumuskan Tujuh Konsili Ekumene Perdana, ikonografi Kristen yang kanonik, dan kehidupan suci orang-orang saleh.

Menurut pemahaman teologis Gereja-Gereja tersebut, Kitab Suci adalah bagian tersurat dari tradisi yang lebih besar, yakni rekam penghayatan komunitas Gereja (sekalipun kadang-kadang lewat karya tulis pujangga-pujangga Gereja secara perorangan) akan Allah, khususnya Yesus. Oleh sebab itu Alkitab harus ditafsirkan di dalam konteks Tradisi Suci dan di dalam komunitas Gereja. Pemahaman seperti ini bertolak belakang dengan pemahaman banyak tradisi Kristen Protestan yang mengusung ajaran sola scriptura, yakni ajaran bahwa Alkitab saja sudah memadai dijadikan landasan bagi seluruh ajaran agama Kristen.

Pemakaian istilah

Istilah tradisi berasal dari kata kerja Latin tradere yang berarti "memindahtangankan, menyerahterimakan, mewariskan".[2] Menurut teologi Kristen Katolik, Rasul Paulus, di dalam suratnya yang ke-2 kepada jemaat di Tesalonika (2 Tesalonika 2:15), mengimbau umat beriman supaya berpegang "pada tradisi yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis." Surat-surat Paulus adalah bagian dari Kitab Suci, sementara ajaran-ajarannya yang disampaikan "secara lisan" adalah bagian dari Tradisi Suci warisan para rasul. Baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci diilhamkan Allah, dan Tradisi Suci berguna membantu orang memahami Kitab Suci, sehingga Tradisi Suci mustahil bertentangan dengan Kitab Suci.[3] Umat Kristen Protestan mafhum bahwa ajaran-ajaran para rasul disampaikan "secara lisan maupun secara tertulis", tetapi bukan berarti yang satu adalah sarana untuk menafsir yang lain. Umat Kristen protestan juga menitikberatkan penggunaan kata "kami" di dalam ayat tersebut, sehingga mengartikan ajaran lisan sebagai ajaran yang langsung dilisankan para rasul.[4]

Sejarah

Salah satu contoh tertua penggunaan Tradisi Suci sebagai acuan teologis adalah tanggapan Kekristenan ortodoks purba terhadap Gnostisisme, sebuah gerakan keagamaan yang menggunakan sejumlah Kitab Suci Kristen sebagai landasan ajaran-ajarannya.[5] Ireneus berpendirian bahwa 'ketentuan iman' (bahasa Yunani: κανών της πίστης, kanon tis pistis; bahasa Latin: regula fidei) dilestarikan Gereja melalui kesinambungan sejarahnya (dalam hal tafsir dan ajaran) dengan para rasul.[6] Tertulianus menandaskan bahwa sekalipun tafsir-tafsir yang didasarkan atas pembacaan keseluruhan Kitab Suci tidak akan mengarah kepada kesesatan, Tradisi Sucilah pedoman yang tepat.[7] Atanasius berpandangan bahwa Arianisme jatuh ke dalam jantung kesesatannya karena tidak bepegang kepada Tradisi Suci.[7]


Lihat pula

Pranala luar

  1. ^ Paul VI, Pope of the Catholic Church. "Dei verbum". www.vatican.va. Diakses tanggal 5 Januari 2021. 
  2. ^ Hardon, John (12 January 2011). "The Catholic Catechism: A Contemporary Catechism of the Teachings of the Catholic Church". Crown Publishing Group. ISBN 9780307779588. Diakses tanggal 5 Januari 2021 – via Google Books. 
  3. ^ Hardon, John A. (5 January 1981). "The Question and Answer Catholic Catechism". Doubleday Religious Publishing Group. ISBN 9780385136648. Diakses tanggal 5 Januari 2021 – via Google Books. 
  4. ^ Slick, Matt (10 July 2010). "the New Testament and 2 Thessalonians 2:15". Carm.org. Diakses tanggal 5 Januari 2021. 
  5. ^ McGrath, Alister. 1998. Historical Theology: An Introduction to the History of Christian Thought. Oxford: Blackwell Publishers. Bab 1 'The Patristic Period, c. 100–451.'
  6. ^ McGrath. op.cit. hlmn. 29–30.
  7. ^ a b McGrath. op.cit. hlm. 30.