Asimtomatik

Revisi sejak 18 Maret 2021 13.31 oleh UcokMN (bicara | kontrib) (memperbaiki tautan referensi ke daftar pustaka)

Pada ilmu kedokteran, penyakit asimtomatik adalah suatu penyakit yang sudah positif diderita oleh seseorang, tetapi tidak memberikan gejala klinis apapun terhadap orang tersebut. Penyakit asimtomatik mungkin tidak akan ditemukan sampai seseorang melakukan tes medikal (sinar X, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan lainnya). Beberapa penyakit tetap tidak diketahui gejalanya untuk waktu yang panjang, termasuk beberapa bentuk kanker.[1]

Penyakit

Demam berdarah

Demam berdarah termasuk salah satu jenis penyakit tropis yang sulit dibedakan dengan jenis demam lainnya. Diagnosis demam berdarah dengue dapat keliru karena infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau memiliki gejala yang tidak jelas. Gejala berupa demam baru muncul secara mendadak setelah masa inkubasi.[2]

Demam rematik akut

Demam rematik yang akut selalu diawali oleh kondisi asimtomatik. Sebelum gejala klinis muncul, pasien akan mengalami faringitis akut sekitar 20 hari.[3]

Diabetes melitus

Kondisi asimtomatik terjadi pada diabetes melitus tipe 2. Penyebab keterlambatan diagnosis pada penderita diabetes melitus tipe 2 ialah adanya periode asimtomatik yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Kondisi asimtomatik umumnya diketahui secara kebetulan. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar yang muncul pada pengidap diabetes melitus merupakan akibat dari adanya kondisi asimtomatik.[4] Penundaan diagnosis pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang asimtomatik, akan memperparah hiperglikemia.[5]

Fibrilasi atrium

Sebagian besar proses fibrilasi atrium termasuk dalam kondisi asimtomatik.[6] Pada pasien dengan kondisi asimtomatik, indikasi ablasi jaras belum dapat dipastikan. Umumnya, pasien yang asimtomatik memiliki preeksitasi dengan prognosis yang baik.[7]

Gagal ginjal kronis

Gagal ginjal kronis umumnya asimtomatik pada stadium awal. Ini dikarenakan gejala klinis yang terjadi pada gagal ginjal kronis tidak spesifik. Umumnya, gejala penyakit baru ditemukan pada tahap akhir penyakit. Kondisi asimtomatik menyebabkan penderita tidak waspada dan terlambat mencari pertolongan.[8]

Hepatitis

Kondisi asimtomatik umumnya terjadi pada pasien yang menidap hepatitis akut, khususnya hepatitis C. Keadaan tanpa gejala umumnya terjadi pada pasien dengan penanda biokimia cedera hati yang hanya mengalami peningkatan yang sedikit. Pada hepatitis C, kondisi asimtomatik berakhir setelah fase prodromal dimulai.[9] Kondisi asimtomatik juga dialami oleh pengidap hepatitis kronis yang hanya mengalami peningkatan penanda biokimia setelah diperiksa secara rutin dalam laboratorium.[10]

Hipoglikemia

Kondisi asimtomatik dapat terjadi pada hipoglikemia dengan kadar gula darah sewaktu bernilai kurang dari 70 mg/dl.[11] Hipoglikemia asimptomatik dapat diketahui dengan pemantauan glukosa darah secara mandiri.[12] Kondisi asimtomatik dapat terjadi pada hari pertama hingga hari kedua sejak kelahiran bayi.[13] Hipoglikemia asimtomatik umumnya dialami oleh bayi dengan ibu pengidap diabetes melitus. Kondisi ini terjadi pada bayi dengan rentang 0,8–8,5 jam pertama sejak kelahiran. Rata-rata kejadian hipoglikemia terjadi pada bayi dengan 1–2 jam pertama kelahiran.[14]

Kusta subklinis

Penyakit kusta mengalami keadaan asimtomatik pada stadium kusta subklinis. Kusta subklinis adalah suatu keadaan telah terinfeksi oleh Mycobacterium leprae, tetapi gejala klinis belum nampak. Pada kondisi kusta subklinis ini, pengidap kusta terlihat sehat, karena tidak adanya lesi. Namun pada pemeriksaan serologis telah ditemukan antibodi spesifik terhadap bakteri dengan kadar IgM anti PGL-1 di atas 605 U/ml.[15]

Tuberkulosis dan efusi pleura

Tuberkulosis mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain. Gejala umum yang ditimbulkannya ialah tubuh lemas dan demam. Kondisi asimtomatik terjadi pada penderita tuberkulosis dengan gejala yang tidak jelas. Tuberkulosis dengan keadaan asimtomatik umumnya terabaikan. [16] Pada pasien yang mengalami efusi pleura, kondisi asimtomatik juga terjadi.[17]

Virus

Koronavirus

Kondisi asimtomatik koronavirus bermula dari kasus suspek. Pada kondisi ini, pasien tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARSCoV-2 positif.[18] Kondisi asimtomatik pada koronavirus juga terjadi pada kasus konfirmasi dengan hasil rapid antigen SARSCoV-2 positif.[18] Pada pasien dengan kriteria selesai isolasi medis dan telah menerima konfirmasi asimtomatik, pemeriksaan dengan metode reaksi berantai polimerase waktu-nyata tidak dilakukan. Pasien langsung dinyatakan selesai isolasi setelah menjalani isolasi mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.[19]

Sitomegalovirus

Asimtomatik dapat terjadi pada Sitomegalovirus (CMV).[20] Sitomegalovirus adalah virus yang masuk kedalam famili grup Herpesviridae pada tubuh manusia, virus ini umumnya diketahui sebagai virus herpes manusia 5.

Virus imunodefisiensi manusia (HIV)

Keadaan asimtomatik pada HIV ditemukan pada pengidap HIV yang telah ditetapkan positif. Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. HIV asimtomatik tetap dapat menular ke orang lain.[21] Kondisi asimtomatik ini merupakan akibat dari tidak dikenalinya virion setelah terperangkap di dalam sel dendritik folikuler yang terletak di pusat germinativum kelenjar. Sebagian besar virion di plasma berpindah ke kelenjar limfe.[22] Kondisi asimtomatik ini umumnya berlangsung selama 10 tahun dalam masa inkubasi.[23] Anak yang mengidap HIV dengan kondisi asimtomatik tidak dianjurkan melakukan terapi antiretroviral, karena meningkatkan terjadinya resistensi antibiotik seiring waktu. Umumnya, terapi ditunda hingga infeksi akut terobati.[24]

Virus herpes simpleks

Virus herpes simpleks dapat menyebakan infeksi genital. Periode infeksi terbagi menjadi 5 kategori yaitu yaitu episode I infeksi primer, episode I non infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik, atau subklinis. Kondisi asimtomatik terjadi pada episode I infeksi primer. Virus memasuki tubuh pasien dan bergabung dengan DNA. Setelahnya, virus mulai memperbanyak diri dan menimbulkan kelainan pada kulit. Keadaan asimtomatik terjadi setelah virus berdiam diri di dalam ganglion saraf regional setelah melalui serabut saraf. Penularan virus herpes simpleks terjadi selama masa asimtomatik.[25] Infeksi genital dengan kondisi asimtomatik umumnya hanya dialami oleh wanita.[26] Kondisi asimtomatik kembali berlangsung selama masa inkubasi yang berlangsung selama rentang 3–7 hari. Penelitian restropektif memberikan informasi tentang kondisi asimtomatik sering terjadi pada virus herpes simpleks tipe 2 dengan persentase sebesar 50-70%.[27]

Infeksi

Infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kemih pada sebagian besar anak berada dalam kondisi asimtomatik. Risiko yang tinggi ditemukan pada anak perempuan dalam usia sekolah pada uji tapis. Infeksi saluran kemih asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis akut dan prognosis.[28] Infeksi saluran kemih asimtomatik disebabkan oleh bakteriuria bermakna tanpa gejala.[29] Bakteriuria asimtomatik mengandung bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan manifestasi klinis. Diagnosis bakteriuria asimtomatik umumnya diketahui selama melakukan biakan urin dalam pemeriksaan rutin atau uji tapis pada anak sehat atau tanpa gejala klinis.[30] Jenis bakteri asimtomatik merupakan bakteri dengan virulensi rendah yang tidak mampu menyebabkan kerusakan ginjal meskipun berada di dalam ginjal. Bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi antibiotik.[31] Pada bayi asimtomatik, bakteriuria ditemukan dengan komposisi sebesar 0,3 hingga 0,4% saja.[32]

Malaria

Penderita malaria berada dalam kondisi asimtomatik selama fase awal infeksi. Periode ini ditandai oleh meningkatnya massa jenis sel darah merah secara eksponensial pada parasit aseksual. Kondisi asimtomatik berakhir ketika massa jenis sel darah merah telah mencapai nilai ambang demam. Spesies parasit menentukan nilai ambang demam yang mengakhiri kondisi asimtomatik. Parasit berupa Plasmodium vivax memulai infeksi pada rasio 100 parasit per satu, sedangkan Plasmodium falciparum memulai infeksi pada rasio 10.000 parasit per satu.[33] Jenis plasmodium malarie dalam kondisi amistomatik juga menimbulkan masalah pada proses transfusi darah dari pendonor darah ke pasien.[34] Malaria dengan kondisi asimtomatik umumnya terjadi di daerah yang sering mengalami endemi.[35]

Keracunan obat

Keracunan ibuprofen

Keracunan ibuprofen sebagian besar bersifat asimtomatik pada anak. Dosis ibuprofen pada kondisi asimtomatik rata-rata berada pada rentang 100 mg/kbBB. Pada sebagian kecil anak, dosis asimtomatik dapat mencapai 300 mg/kgBB. Kondisi asimtomatik pada keracunan ibuprofen membuat pasien harus memuntahkan obat atau melakukan bilas lambung. Keracunan ibuprofen juga dapat diatasi dengan mengonsumsi karbon aktif. Kondisi asimtomatik ini membat tidak ada antidot khusus terhadap keracunan ibuprofen.[36]

Referensi

  1. ^ "The Significance of Diagnosing a Disease as Asymptomatic". Verywell Health. Diakses tanggal 15 Maret 2020. 
  2. ^ Suwandono, Agus, ed. (2019). Dengue Update: Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat (PDF). Jakarta: LIPI Press. hlm. 29. ISBN 978-602-496-108-4. 
  3. ^ Tim Adaptasi Indonesia 2009, hlm. 189.
  4. ^ Trihono, dkk. 2012, hlm. 69.
  5. ^ Trihono, dkk. 2012, hlm. 70.
  6. ^ Yuniadi, dkk. 2014, hlm. 19.
  7. ^ Yuniadi, dkk. 2014, hlm. 72.
  8. ^ Hidayat, Meilinah (2018). Hidrolisat Protein dari Kacang polong (Pisum sativum. L) untuk Terapi Penyakit Ginjal Kronis (PDF). Bandung: Penerbit Alfabeta. hlm. 35. ISBN 978-602-289-453-7. 
  9. ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 66.
  10. ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 67.
  11. ^ Mansyur 2018, hlm. 32.
  12. ^ Mansyur 2018, hlm. 55.
  13. ^ Sinta, dkk. (2019). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi dan Balita (PDF). Sidoarjo: Indomedia Pustaka. hlm. 29. 
  14. ^ Trihono, dkk. 2012, hlm. 78-79.
  15. ^ Hadi, M.I., dan Kumalasri, M.L.F. (2017). Kusta Stadium Subklinis: Faktor Risiko dan Permasalahannya. Surabaya: Program Studi Arsitektur UIN Sunan Ampel. hlm. 28. ISBN 978-602-50337-3-5. 
  16. ^ Zuriati, Suriya dan Ananda 2017, hlm. 142-143.
  17. ^ Zuriati, Suriya dan Ananda 2017, hlm. 266.
  18. ^ a b Burhan, dkk. 2020, hlm. 4.
  19. ^ Burhan, dkk. 2020, hlm. 38.
  20. ^ "Identifying CMV infection in asymptomatic newborns – one step closer?". www.mdedge.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-25. 
  21. ^ Ahyar, J., dan Muzir (2019). Kamus Istilah Ilmiah: Dilengkapi Kata Baku dan Tidak Baku, Unsur Serapan, Singkatan dan Akronim, dan Peribahasa (PDF). Sukabumi: CV. Jejak. hlm. 59. ISBN 978-602-474-705-3. 
  22. ^ Wulandari, N.A., dan Setiyorini, E. (2016). Asuhan Keperawatan pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) (PDF). Malang: Media Nusa Creative. hlm. 13–14. ISBN 978-602-6397-41-6. 
  23. ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 7.
  24. ^ Tim Adaptasi Indonesia 2009, hlm. 234.
  25. ^ Harlim 2019, hlm. 43.
  26. ^ Rahayu, dkk. (2017). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Remaja dan Lansia (PDF). Surabaya: Airlangga University Press. hlm. 33. ISBN 978-602-6606-23-5. 
  27. ^ Harlim 2019, hlm. 44.
  28. ^ Pardede, dkk. 2011, hlm. 5.
  29. ^ Pardede, dkk. 2011, hlm. 9.
  30. ^ Pardede, dkk. 2011, hlm. 2.
  31. ^ Pardede, dkk. 2011, hlm. 15.
  32. ^ Pardede, dkk. 2011, hlm. 4.
  33. ^ Arsin, Andi Arsunan (2012). Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemiologi (PDF). Makassar: Masagena Press. hlm. 161. 
  34. ^ Setyaningrum, Endah (2020). Mengenal Malaria dan Vektornya (PDF). Lampung Selatan: Pustaka Ali Imron. hlm. 22. ISBN 978-602-5857-32-4. 
  35. ^ Susanti, dkk. (2017). "Pengembangan Mikroskop dengan Mikrokontroler dan Cahaya Monokromatis untuk Mendeteksi Parasit Malaria". Jurnal Teknologi Laboratorium. 6 (2): 76. ISSN 2580-0191. 
  36. ^ Soedarmo, dkk. (2008). Buku Ajar lnfeksi dan Pediatri Tropis (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. hlm. 39. ISBN 979-8421-14-0. 

Daftar pustaka

  1. Burhan, dkk. (2020). Pedoman Tatalaksana Covid-19 (PDF) (edisi ke-3). Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). ISBN 978-623-92964-9-0. 
  2. Harlim, Ago (2019). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (PDF). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia. ISBN 978-602-1651-87-2. 
  3. Mansyur, Andi Makbul Aman (2018). Hipoglikemia dalam Praktik Sehari-hari (PDF). Makassar: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin. ISBN 978-602-61363-4-3. 
  4. Menon, A., dan Kamarulzaman, A. (2009). Inikah HIV? Buku Pegangan Petugas Kesehatan (PDF). Darlinghurst: The Australasian Society for HIV Medicine. ISBN 978-1-920773-73-1. 
  5. Pardede, dkk. (2011). Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak (PDF). Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. ISBN 978-979-8421-64-8. 
  6. Tim Adaptasi Indonesia (2009). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota (PDF). Jakarta: World Health Organization Indonesia. 
  7. Trihono, dkk. (2012). Kegawatan pada Bayi dan Anak (PDF). Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. ISBN 978-979-8271-39-7. 
  8. Yuniadi, dkk. (2014). Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium (PDF). Centra Communications. 
  9. Zuriati, Suriya, M., dan Ananda, Y. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi Aplikasi Nanda NIC dan NOC (PDF). Padang: Penerbit Sinar Ultima Indah. 

Lihat pula