Suku Melayu Loloan
Suku Loloan di Bali atau adalah masyarakat Loloan yang bermukim di Bali, terutama di Loloan, Jembrana, sejak abad ke-17. Jumlah masyarakat rumpun Melayu Bali berkisar antara 28 ribu hingga 65 ribu.[1][2]
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Jembrana | |
Bahasa | |
Bahasa Loloan, bahasa Bali, dan bahasa Indonesia | |
Agama | |
Mayoritas Islam, minoritas Kristen | |
Kelompok etnik terkait | |
Suku Melayu, suku Bugis |
Sejarah
Kedatangan orang Melayu di Bali tercatat pada tahun 1669 ketika empat ulama dan pengikutnya tiba di Jembrana untuk menyebarkan ajaran Islam di Bali. Misi tersebut diizinkan oleh Raja Jembrana I Gusti Arya Pancoran. Keempat ulama tersebut ialah Dawan Sirajuddin dari Sarawak, Kekaisaran Brunei; Syeikh Basir dari Yaman, Kesultanan Utsmaniyah; Mohammad Yasin dari Makassar; dan Syihabbudin juga dari Makassar.[1][2]
Pada tahun 1799, empat kapal dari Pontianak, Kesultanan Pontianak tiba di Jembrana dan disambut oleh Raja Jembrana Putu Seloka. Rombongan tersebut dipimpin oleh Syarif Abdullah Yahya al-Qadri dan membawa ulama dari Terengganu Muhammad Ya'qub. Oleh Raja Jembrana, rombongan tersebut diizinkan tinggal di tanah seluas 80ha di Loloan Barat dan Loloan Timur.[1][2]
Namun menurut sesepuh Loloan, Haji Achmad Damannuri, perkembangan masyarakat Melayu Bali merupakan akibat pertemuan antara suku Bugis yang melarikan diri awalnya ke Perancak, Jembrana dari pengejaran VOC di Makassar pada 1653 dengan ulama asal Sarawak, Buyut Lebai, pada 1675 yang mengajarkan agama Islam menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Orang-orang Bugis tersebut kemudian mendapat persetujuan dari Jembrana untuk menempati daerah Loloan.[3]
Kajian lain yang dilakukan akademisi Universitas Udayana sepaham dengan penuturan Haji Achmad Damannuri mengemukakan bahwa suku Melayu Bali merupakan akibat perkawinan campur antara suku Bugis yang diizinkan menetap di Loloan dengan suku Bali yang tinggal di sekitarnya. Gelombang kedua pembentukan identitas Melayu Bali di Loloan diterangkan pada kedatangan pendatang dari Pontianak yang juga berujung pada perkawinan campur.[4] Namun sumber lain menuliskan bahwa perbedaan antara mayoritas suku Bali yang Hindu dengan pendatang Muslim justru berdampak pada pengucilan kaum pendatang tersebut.[2]
Budaya
Menurut koran Utusan Malaysia, sekitar 75 persen dari 40 ribu penduduk Melayu Bali di Loloan masih menggunakan bahasa Melayu.[1] Namun varian bahasa Melayu yang digunakan tersebut telah diadaptasi dan dipengaruhi bahasa Bali sehingga juga disebut sebagai base Loloan atau omong kampung.[3][4] Hidangan khas masyarakat Melayu Bali adalah pecel ayam kampung dan kopyor yang terutama dihidangkan pada bulan Ramadan.[3] Mayoritas suku Melayu Bali menganut agama Islam dengan minoritas beragama Kristen. Kepercayaan beberapa masyarakat suku Melayu Bali turut dipengaruhi oleh animisme dan takhayul.[2]
Rumah-rumah panggung Melayu masih digunakan masyarakat Melayu Bali di Loloan tetapi jumlahnya hanya tinggal beberapa puluh unit saja. Menurut budayawan dan sesepuh Loloan, Haji Musadat, keturunan Melayu Bali saat ini lebih memilih membangun rumah dengan arsitektur modern dan menjual rumah panggung yang dibagikan sebagai warisan.[1][5] Pintu depan rumah panggung Loloan menghadap ke timur untuk mencegah penghuninya terganggu saat salat yang berkiblat ke barat.[2]
Referensi
- ^ a b c d e ISMAIL, LUKMAN. "Melayu-Bali kekal tradisi". Utusan Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-06. Diakses tanggal 2019-03-04.
- ^ a b c d e f Project, Joshua. "Loloan-Malay Bali in Indonesia". joshuaproject.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-04.
- ^ a b c Media, Kompas Cyber. "Menyambangi Kampung Islam di Loloan Bali Halaman 1". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-03-28.
- ^ a b "Guyup Minoritas Melayu Loloan di Bali dan Bahasanya" (PDF).
- ^ Agency, ANTARA News. "Masyarakat Melayu Jembrana sikapi globalisasi dengan ikhtiar budaya - ANTARA News Bali". Antara News. Diakses tanggal 2019-03-28.