Besar Martokusumo atau dikenal juga dengan Mas Besar Martokoesoemo adalah seorang pengacara atau advokat pertama Indonesia dan wali kota Tegal (8 Juli 1894 – 23 Februari 1980). Ia menikah dengan Raden Ajoe Marjatoen dan dikaruniai empat orang anak yaitu Mas Roro Marjatni, Mas Roro Indraningsih, Mas Soeksmono dan Mas Wisnoentoro merupakan wali kota bangsa Indonesia Pertama serta tercatat sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Mas
Besar Martokoesoemo
Berkas:Besar Mertokusumo.jpg
Wali Kota Tegal ke-6
Masa jabatan
1942–1945
Informasi pribadi
Lahir(1894-07-08)8 Juli 1894
Brebes, Hindia Belanda
Meninggal23 Februari 1980 (umur 85)
MakamTaman Makam Giritama, Bogor, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Suami/istriRaden Ayu Marjatoen
Anak4
AlmamaterUniversitas Leiden
PekerjaanPengajur
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Mantan Sekjen Departemen Kehakiman itu mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School-ELS) di Pekalongan dan lulus pada 1909. Enam tahun kemudian, lulus dari Rechtschool di Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada 1922.

Masa Pendudukan Jepang

Besar Mertokusumo yang biasa dikenal oleh masyarakat Tegal dengan nama Mr.Mas Besar Martokoesoemo diangkat sebagai wali kota (Shi-co)April 1942 Tegal saat pendudukan Jepang dan menjadi salah seorang anggota BPUPKI. Kemudian pada Juni 1944 diangkat sebagai Bupati (Ken-Co) Tegal, dan menjadi Wakil Residen Pekalongan (Fuku Syuu-cokan) pada Juni 1945.

Peranan sebagai pengacara / advokat

Siapa advokat pertama di Indonesia? Ketika pertanyaan itu muncul, mungkin sederet nama seperti Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien dan Suardi Tasrif. Mereka memang dikenal sebagai pengacara pembela kepentingan rakyat. Nama mereka juga sering menjadi rujukan ketika orang berbicara tentang hak asasi manusia dalam proses hukum.

Sebenarnya advokat pertama di Indonesia adalah Besar Mertokusumo. Nama Besar memang tak besar seperti namanya. Tak ada nama jalan yang mengutip namanya. Hingga kini belum ada gelar pahlawan yang ditambatkan padanya. Dalam literatur sejarah advokat, Besar Mertokusumo kerap disebut sebagai generasi advokat pertama.

Beruntunglah kita memiliki Daniel S. Lev yang banyak menyinggung kiprah Besar dalam dunia advokat. Banyak buku sejarah advokat yang lahir belakangan bersumber dari buku Daniel yang bertajuk Hukum dan Politik di Indonesia. Dalam buku itulah, Daniel memperkenalkan sosok Besar Mertokusumo sebagai advokat pertama di Indonesia.

Adnan Buyung Nasution juga mengakui hal itu. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak lama. Ia memang lebih banyak di pemerintah, ketimbang praktik advokat, sosok Besar juga sebagai penyusun konsep sistem peradilan Indonesia.

Dalam buku Daniel S. lev, sosok Besar digambarkan sebagai advokat yang sering membela terdakwa miskin dalam persidangan di Landraad (Pengadilan Negeri). Besar menggeluti dunia advokat sekitar tahun 1923. Firma hukumnya didirikan di Tegal, Jawa Tengah, dekat kota kelahirannya, Brebes. Daniel S. Lev menyatakan kemungkinan Tegal dipilih karena disitulah keluarga dan teman-temannya berada. Beberapa kantor advokat Belanda juga sudah berdiri ketika itu di Tegal.

Ketika berpraktik di Landraad (Pengadilan Negeri), Besar tak senang dengan perlakuan pengadilan terhadap terdakwa asal Indonesia. Dalam persidangan, terdakwa orang Indonesia harus duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat ketakutan. Besar menilai perlakuan itu sebagai bentuk penghinaan pengadilan terhadap orang Indonesia. Ketika itu, hakim dan jaksa menggunakan bahasa Belanda saat bersidang. Besar sendiri tak suka dengan kondisi demikian. Persidangan itu membuat orang Indonesia sulit menerima pengadilan itu seperti pengadilannya sendiri. Meski demikian, para hakim Belanda tetap menghormati Besar.

Setelah firma hukum di Tegal berkembang, Besar membuka kantor cabang di Semarang. Di kantor barunya, ia lebih banyak merekrut sarjana hukum Indonesia, antara lain Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. Pernah, suatu waktu, gaji advokat dikantor itu 600 golden per bulan, ditambah dengan bagian keuntungan. Ketika zaman malaise (krisis) dua kantor yang didirikan oleh Besar itu berdiri sendiri.

Sebelum terjun ke dunia advokat, Besar bekerja sebagai panitera pada Landraad di Pekalongan. Pekerjaan itu diperoleh setelah lulus dari Rechtschool. Setelah bekerja beberapa tahun, kemudian hijrah ke Belanda untuk memperoleh gelar sarjana hukum, bersama dengan sebelas pelajar lainnya dengan kuliah di Universitas Leiden.

Kaum pribumi yang belajar hukum umumnya berasal dari komunitas Jawa, Sumatra dan keturunan Cina. Mereka belajar di Rechtschool dengan materi ilmu hukum dan hukum acara pidana. Mereka yang lulus dengan ketat bergelar rechtskundingen sebagai sarjana muda hukum. Sedang mereka yang cerdas dapat meraih penuh gelar sarjana hukumnya di negeri Belanda, yang statusnya disamakan dengan kelompok yang langsung sekolah di Belanda.

Pada umumnya sarjana hukum dari Belanda diberi dua pilihan, yaitu untuk menerapkan ilmu yang mereka miliki dengan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Mereka yang pulang ke Indonesia sebagian besar bekerja di pengadilan dan dalam jumlah yang lebih kecil mencoba membuka kantor advokatnya. Salah satunya ada Besar Mertokusumo yang membuka kantor di Tegal.

Minimnya jumlah advokat ketika itu dipengaruhi meningkatnya suhu politik di Indonesia. Mahasiswa hukum yang kembali ke Indonesia kebanyakan langsung terjun ke dunia politik. Tidak mudah untuk menjadi advokat ketika itu, kesulitan itu bukan kesulitan finansial sebab advokat baru kebanyakan berasal dari keluarga dan keturunan kaya. Meski demikian, dari sisi profesionalitas, advokat Indonesia harus bersaing dengan pengacara Belanda yang notabene dekat dengan lembaga hukum yang dikuasai pejabat Belanda.

Profesi advokat tak jarang juga mendapat kecaman dari keluarga. Profesi advokat tak dipandang mentereng layaknya jabatan di pemerintahan. Begitupula dengan keluarga Besar, awalnya keluarga tak menyetujui pilihan Besar menjadi advokat. Bekerja sebagai pamong praja dinilai lebih baik dibandingkan advokat. Padahal ayah Besar adalah jaksa. Namun, Besar tak gentar dengan rintangan tersebut, ia tetap memilih menjadi pengacara. Keluarganya pun akhirnya menerima keputusan Besar hingga ia mengakhiri kariernya sebagai advokat pada 1942.

Penghargaan

Berdasarkan Kepres No.048/ TK/ 1992 tanggal 17 Agustus 1992 (secara anumerta) mendapatkan Bintang Mahaputra Utama atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara. Meninggal dalam usia 85 tahun dan dimakamkan di Makam Giritama, Tonjong Parung Bogor

Pranala luar


Jabatan politik
Didahului oleh:
H. Leenmans
Wali kota Tegal
1942–1945
Diteruskan oleh:
R. Soengeb Reksoatmodjo