Wangari Maathai

aktivis politik dan pemerhati lingkungan asal Kenya
Revisi sejak 2 Juli 2021 07.18 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (+{{Authority control}}, clean up)

Dr. Wangari Muta Maathai (1 April 1940 – 25 September 2011) adalah seorang aktivis lingkungan hidup dan politik. Pada tahun 2004, ia menjadi wanita asal Afrika pertama yang dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel untuk kontribusinya dalam bidang pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan perdamaian. Ia merupakan anggota Parlemen Kenya serta pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam pemerintahan Presiden Mwai Kibaki antara Januari 2003 sampai November 2005.

Wangari Maathai
Wangari Maathai pada tahun 2001
LahirWangarĩ Muta
(1940-04-01)1 April 1940
Desa Ihithe, Divisi Tetu, Distrik Nyeri, Kenya
Meninggal25 September 2011(2011-09-25) (umur 71)
Nairobi, Kenya
KewarganegaraanKenya
Pendidikan
  • BSc: biologi
  • M.Sc: ilmu biologi
  • Ph.D: anatomi hewan
Almamater
PekerjaanEnvironmentalis, aktivis politik, penulis
Dikenal atasGerakan Sabuk Hijau
AnakWanjira Mathai
Penghargaan
IMDB: nm2214860 Find a Grave: 77117165 Modifica els identificadors a Wikidata

Dr. Maathai lahir di Desa Ihithe, Divisi Tetu, Distrik Nyeri, Kenya dalam keluarga etnis Kikuyu. Ia mendapat gelar sarjana dalam biologi dari Benedictine College, Atchison pada tahun 1964 dan kemudian dilanjutkan di Universitas Pittsburgh sebelum kembali ke Nairobi. Di Universitas Nairobi, ia mendapat gelar Ph.D. pertama bagi wanita asal Afrika Timur dalam bidang kedokteran hewan. Ia menjadi dosen anatomi hewan di universitas tersebut pada 1971 dan kemudian menjadi dekan. Pada tahun 2002, ia menerima posisi sebagai Visiting Fellow di Institut Global untuk Kehutanan Berkelanjutan Universitas Yale.

Kehidupan keluarga

Wangari Maathai ialah ibu dari 3 anak: Waweru, Wanjira and Muta. Pada tahun 1980-an, ia diceraikan suaminya, Mwangi Mathai, yang mengatakannya "terlalu terdidik, terlalu kuat, terlalu berhasil, dan terlalu sulit dikendalikan." Ia kemudian dijebloskan ke penjara karena menentang hakim serta dilarang menggunakan nama suaminya lagi. Sebagai penolakan, ia hanya mengubah namanya dengan menambahkan satu huruf "a" menjadi Maathai.

Karier dan perjuangan

Pada tahun 1974, ia memulai kegiatan penanaman pohon di muka rumahnya. Ada 9 batang pohon yang ditanamnya itu.[1] Tahun 1977, ia mendirikan Gerakan Sabuk Hijau, sebuah organisasi akar rumput nonpemerintah yang bertujuan menjamin sumber penyokong kayu bakar dan mencegah erosi tanah. Kampanye itu menggerakkan wanita miskin dan menanam lebih dari 30 juta pohon hingga kini. Sampailah pada tahun 2004, sedikitnya ia telah menanam sebanyak 40 juta batang pohon di Afrika. Maathai berhasil memulihkan kerusakan hutan yang teramat hebat di sana. Hal itu oleh sebab menjelang akhir abad ke-20, hanya 2% lahan yang bertumbuhkan hutan di Kenya. Lain sekali dengan rekomendasi PBB yang mengharuskan 10% lahan harus ditumbuhi hutan.[1] Selama bertahun-tahun, penebangan liar telah menimbulkan kurangnya air segar dan kayu bakar serta mutu tanah yang menurun. Kelangkaan hutan di sana membawa risiko serius terhadap kehidupan jutaan rakyat Kenya. Mereka hidup di dalam kemiskinan dan kelangkaan pangan kronis.[1] Maathai bisa memotivasi ibu-ibu dari anak-anak kekurangan gizi untuk mengumpulkan bibit tanaman, menggali sumur, dan menjaga semaian dari hewan dan manusia. Karena jasa-jasanya itu, ia digelari Mama Miti (bahasa Swahili: Ibu dari Pepohonan).

Dari 1976 sampai 1987 Maathai aktif dalam Dewan Nasional Kenya untuk wanita, Maendeleo Ya Wanawake, yang diketuainya antara 1981–1987. Gerakan Sabuk Biru, yang muncul di saat yang sama, kemudian berkampanye pada isu-isu pendidikan dan gizi. Gerakan Sabuk Biru merupakan organisasi akar rumput non pemerintah di bidang lingkungan hidup,dan mempekerjakan ribuan sukarelawan.[1] Maathai sendiri telah memulai tantangan baru; sebagai contoh, ia adalah anggota Dewan Penasihat Perlucutan Senjata PBB.

Pada masa rezim Daniel Arap Moi, Maathai sempat ditahan beberapa kali dan mengalami penyerangan karena tuntutannya untuk pemilihan umum multipartai, pemberantasan korupsi, dan mengakhiri politik kesukuan. Termasuk dalam perjuangannya adalah penyelamatan Taman Uhuru di Nairobi pada tahun 1989 dari konstruksi kompleks bisnis Kenya Times Media Trust oleh rekanan Moi. Pada 1997, ia berkampanye untuk menduduki jabatan Presiden Kenya namun kalah setelah partainya menarik pencalonannya.

Pada Desember 2002, Maathai terpilih menjadi anggota Parlemen Kenya dengan 98% suara. Pada 2003 ia diangkat sebagai Asisten Menteri Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Margasatwa. Pada tahun yang sama, ia juga mendirikan Mazingira Green Party of Kenya

Penghargaan

Di samping Hadiah Nobel Perdamaian, Maathai menerima sejumlah penghargaan lain, termasuk Right Livelihood Award (1983), Woman of the Year Award (1983), Woman of the World Award (1989), Africa Prize (1991), juga Penghargaan Petra Kelly 2004 dari Yayasan Heinrich Böll Jerman. Ia menerima 3 gelar doktor kehormatan dari Amerika Serikat dan Norwegia.

Referensi

  1. ^ a b c d Hendryo, Bambang (Februari 2013). Hutan Indonesia: Paru-Paru Dunia. Cetakan ke-2. Hlm.5 – 6. Jakarta: Verbum Publishing. ISBN 978-979-1467-04-9.

Pranala luar