Nyai Ambetkasih
Nyai Ambetkasih atau Nhai Ambet Kasih atau Nyai Rambut Kasih atau Ngambetkasih adalah salah satu istri Maharaja Kerajaan Sunda-Galuh atau Pajajaran Prabuguru Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi atau Raden Pamanahrasa.
Nama Nyai Ambetkasih tertulis dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) berjudul "Cariosan Prabu Siliwangi"[1] yang ditulis di atas kertas kayu atau Daluwang pada tahun 1435 Masehi. Naskah Cariosan Prabu Siliwangi ini disalin ulang pada tahun 1675 dan kini disimpan di Museum Geusan Ulun Sumedang Jawa Barat. Selain itu, nama Ambetkasih juga tercatat dalam naskah lontar Carita Ratu Pakuan[2] dan Cerita Purwaka Caruban Nagari (1720 M).
Silsilah Nyai Ambetkasih
Nyai Ambetkasih adalah putri Ki Gede ing Sindangkasih (Juru Pelabuhan Muarajati Cirebon) putra Prabu Rahyang Bunisora Suradipati atau Prabu Rahyang Borosngora. Prabu Bunisora Suradipati adalah adik Prabu Linggabuana yang gugur dalam Perang Bubat. Ia menjadi wali karena putra Linggabuana yaitu Niskala Wastu Kancana masih berusia 7 tahun. Kelak dikemudian hari, Niskala Wastu Kancana menikahi putri pamannya Bunisora Suradipati yaitu Dewi Mayangsari (Nyai Ratna Mayangsari). Dari Dewi Mayangsari, dikaruniai anak Dewa Niskala. Dewa Niskala adalah Ayahanda Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja. Dari istrinya Niskala Watu Kancana yang lain, yaitu Lara Sarkati (putri Raja Lampung) dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal. Prabu Sahyang Bunisora Suradipati (Prabu Kuda Lalean) memiliki putra-putri yaitu:
- Giridewata (Ki Gede ing Kasmaya Cirebon)
- Bratalegawa (Haji Purwa Galuh)
- Nhay/Nyai Ratna Mayangsari (Dewi Mayangsari)
- Banawati
Putra-putri Nyai Ambetkasih
Menurut Babad Pasir dari Cilacap Jawa Tengah, dari pernikahan Nyai Ambetkasih dan Prabu Siliwangi (Raden Pamanahrasa) memiliki 3 orang putra-putri, yaitu:
- Banyak Catra (Banyak Cotro) atau Kamandaka
- Banyak Ngampar (Gagak Ngampar)
- Nhay Ratna Pamekas (Retna Ayu Mrana)
Dari Banyak Catra ini menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir Luhur (Eks Keresidenan Banyumas Jawa Tengah) dan Banyak Ngampar di Kerajaan Daya Luhur (Kabupaten Cilacap Jawa Tengah). Sementara dalam legenda Majalengka tidak menceritakan Nyai Ambetkasih memiliki anak.
Sosok Nyai Ambetkasih
Sosok Nyai Ambetkasih adalah seorang pemberani, memiliki paras cantik molek, berambut panjang, bijaksana dan waspada Permana Tingal[3]. Dalam kisah legenda Majalengka, disebutkan bahwa Nyai Rambut Kasih (Ambetkasih) adalah seorang raja di Sindangkasih Majalengka. Menurut naskah-naskah Sunda kuno, Sindangkasih Majalengka adalah Mandala Sindangkasih.
Sebuah Mandala adalah kawasan perdikan atau pendidikan di zaman Sunda Kuno bercirikan ajaran Syiwa-Buddha (Hindu Buddha) dengan sebutan Lemah Dewasana. Sedangkan tempat pendidikan keagamaan Jati Sunda disebut Lemah Parahyangan atau Kabuyutan. Para Ajar atau Maharesi atau Mahawiku di Mandala-manda biasanya adalah para bangsawan bahkan para pangeran atau rajaputra (putra mahkota) atau para putri raja. Struktur 'kepengurusan' Mandala ada rakyat sekelilingnya atau di lingkungan sekitarnya (tepi i siring atau tepiswiring) dan keamanannya dijamin oleh negara/kerajaan dengan menempatkan para prajurit penjaga keamanan. Oleh karena itu, Mandala sering dimaknai atau dipandang kalangan rakyat sebagai sebuah kerajaan. Meskipun demikian, pandangan Mandala sebagai kerajaan juga beralasan (Selain strukturnya mirip kerajaan), ada beberapa ke-Mandala-an kemudian berubah menjadi kerajaan seperti Mandala Wanagiri Cirebon menjadi Kerajaan Wanagiri, Mandala/Kabuyutan Galunggung menjadi Kerajaan Galunggung dan Mandala Kendang di Nagreg Bandung menjadi Kerajaan Kendan, pendahulu Kerajaan Galuh. Sedangkan Mandala Sindangkasih di Majalengka dianggap masyarakat sebuah Kerajaan Sindangkasih. Lokasi Ki Gede ing Sindakasih berada di Beber Kabupaten Cirebon sekarang. Sedangkan wilayah yang disebut Sindangkasih pada abad ke15 mencakup kawasan bagian utara Majalengka. Secara administratif, wilayah Mandala Sindangkasih termasuk dalam wilayah Kerajaan Sumedang Larang. Barulah wilayah Sindangkasih (Kota Majalengka sekarang) diserahkan oleh Sumedang Larang ke Panembahan Girilaya Cirebon sebagai talak Ratu Harisbaya yang diculik Prabu Geusan Ulun[4][5].
Pertemuan dengan Prabu Siliwangi
Kisah pertemuan Nyai Ambetkasih dengan Prabu Siliwangi diceritakan panjang lebar dalam Naskah Cariosan Prabu Siliwangi. Dalam naskah Cariosan Prabu Siliwangi, kisah Ambetkasih diceritakan panjang lebar hingga menjelang pernikahannya. Penelitian terhadap Naskah Cariosan Prabu Siliwangi dilakukan oleh Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh (EFEO, École française d'Extrême-Orient). Hasil penelitiannya diterbitkan tahun 1983[6].
Kurun waktu yang digambarkan oleh Cariosan prabu Siliwangi adalah bagian pertama dari hidup Siliwangi ketika ia sebagai seorang putra mahkota muda berumur sembilan tahun, Pamanahrasa, putra kedua Anggalarang (Dewa Niskala) dari permaisuri Umadewi. Wajahnya bersinar, sehingga dapat dianggap sebagai jelmaan Wisnu (Pupuh I:29.6). Kakaknya adalah putra dari Selir yang bernama Astunalarang (Sang Astunawangi). Ada satu lagi anak Prabu Anggalarang (si bungsu) bernama Rangga Pupuk. Kakaknya sangat iri terhadap pamanahrasa, karena ia Putra permaisuri. Astunalarang mencoba membunuh Pamanahrasa, adiknya itu. Kemudian Pamanahrasa diasingkan dari kerajaan dan dijualnya sebagai budak hitam dengan dibaluri ceumeung. Jika tidak dibaluri ceumeung dan kelihatan bersih serta wangi, serta memakai perhiasan kerajaan, ia tak akan dibeli orang. Seorang panakawan (pelayan) Rajaputra Astunalarang yang bernama Tandesang menganjurkan agar Pamanahrasa mengubah namanya menjadi asilih wawangi (Pupuh III: 57.7-58.2). Itu pun disetujui Pamanahrasa yang menjawab: "sebut saja saya si Siliwangi", yaitu Si Ganti Harum dan mengubah gelang emasnya dengan gelang besi. Siliwangi atau Pamanahrasa dalam teks Cariosan Prabu Siliwangi disebut juga sebagai Rajasunu atau Rajasiwi.
Hilangnya Pamanahrasa dari keraton berlangsung 5 tahun. Kemudian pengembaraannya menjauhkan Siliwangi dari tahta Kerajaan. Sedangkan sifat-sifatnya yang luar biasa, membawanya untuk mengadakan persekutuan dengan sekian banyak raja, misalnya raja Ponggang, Singapura (Cirebon), Sumedang Larang, Kawali, Panjalu, Pekalongan, Balangbangan (Balungbungan?) yang memilihnya sebagai raja mereka, karena mengakui keunggulan dan kesaktian Siliwangi. Agar lebih memperkuat Siliwangi dalam kedudukannya yang menonjol itu, mereka menghadiahkan saudarinya untuk diperistri. Perkawinan yang ada lebih berisfat politis dan simbolis. Tradisi mengawinkan saudara perempuan raja dengan raja yang memiliki kharisma tinggi dicatat oleh para penjelajah Portugis ketika tiba di Sunda Kalapa.
Negeri Balangbangan mungkin berasal dari kata Balungbungan bukan Blambangan dalam naskah ini disebutkan dirajai oleh Amukmurugul atau nama lainnya Surabima Lembugora Panji Wirajaya/Wirajayeng Satru/Rajapanji. Mungkin, dalam naskah ini penyebutan Balangbangan diartikan sebagai "negeri timur". Kini negeri atau Kerajaan yang dirajai oleh Amukmurugul adalah Kerajaan Japura yang berlokasi di timur Kabupaten Cirebon, meliputi Sindanglaut hingga Ciledug.
Ada yang paling perlu kita catat adalah perkawinan Siliwangi (Pamanahrasa) dengan putri raja Singapura, yang bernama Mrajalarangtapa (Subanglarang). Siliwangi acuh tak acuh terhadap perkawinan politik itu. Siliwangi ditakdirkan Dewa kepada seorang putri cantik Ambetkasih, putri seorang juru pelabuhan Sindangkasih yang telah menukarkan kayu jati serta satu jungkung (Kapal Jung) dengan budak hitam (Pamanahrasa), ketika mau dijual di pelabuhan. Rencananya Pamanahsara akan dibeli oleh Minadi, Sang Juragan Nahkoda dari Palembang. Selanjutnya, Pamanahrasa mandi di Pancuran Cibasale, sehingga ia kembali kepada rupa asalnya. Menarik, bahwa nama Cibasale kini ada di kecamatan Majalengka kulon, Majalengka. Ada lagi wilayah 'katenggang' alias neggang dapat terlihat dari kejauhan, tempat Lampungjabul dan kawan-kawan diami, kemudian diganti nama menjadi Pan(y)ingkiran. Kemudian disebut negeri Maoslengka (Pupuh XIV:27) sebagai negeri asal nenek moyang Amukmurugul, sebelum ia memerintah Balangbangan (peneliti EFEO menuliskan = krama dari Majalengka?).
Kisah Cariosan Prabu Siliwangi berakhir di tengah percintaan Ambetkasih dan Siliwangi diambang perkawinan mereka. Ambetkasih disebut sebagai bidadari Supraba.
Leluhur Raja-raja Pasir Luhur dan Daya Luhur
Ambetkasih dalam sejarah Cilacap dan Banyumasan yang mengacu pada Babad Pasir[7][8], memiliki 3 orang anak: 2 orang putra dan 1 orang putri, yaitu Banyak Catra (Kamandaka), Banyak Ngampar (Gagak Ngampar) dan Ratna Pamekas (Retna Ayu Mrana). Pada tahun 1455 M, Kerajaan Daya Luhur sudah dipimpin oleh raja Banyak Ngampar. Tahun 1455 ini, berarti Sribaduga Maharaja (Siliwangi) belum menjadi raja Sunda-Galuh (Pajajaran) dan masih dikenal dengan gelarnya Pangeran Pamanah Rasa. Dalam kisah Ratu Pakuan, digambarkan iring-iringan Ambetkasih yang pindah dari istana timur (Keraton Surawisesa di Galuh) menuju Istana Barat di Pakuan Pajajaran (Sunda).
Petilasan Nyai Ambetkasih (Rambut Kasih)
Petilasan Nyai Ambetkasih berada di selatan kota Majalengka yang biasa disebut "Petilasan Nyai Ratu Rambut Kasih"[9]. Menurut naskah Cariosan Prabu Siliwangi, petilasan Nyai Rambutkasih di desa Pasirlenggik desa Sindangkasih di selatan kota Majalengka adalah tempat pertapaan Ambetkasih (Rambutkasih). Dikatakan bahwa Ambetkasih sering datang mengasingkan diri dan dimana diperkirakan beliau ngahiyang ke alam baka. Sebuah kompleks purbakala berupa tumpukan batu besar berliang dianggap oleh penduduk sebagai tempat duduk Ambetkasih beserta para pengiringnya, sedangkan ditengahnya disebut Arca Ambetkasih. Terlihat, di depan setiap batu, jelas ada bekas tempat pemujaan yang terus menerus.
Kabupaten Sindangkasih
Kabupaten Sindangkasih Majalengka dipimpin oleh Tumenggung Natakarya (1741-1762). Nama-nama pemimpin sebelumnya adalah Tumenggung Jagawéswa (Tumengung Yogaweswa Regent Of District Sindangkassie)[10], pangéran Jaya Wiyasa, Pangéran Martaguna, Embah Kawung Poék, Embah Jénggot, Embah Karsijem[11]. Pusat pemerintahan Kabupaten Sindangkasih berada di kecamatan Cigasong Majalengka sekarang ini. Kemudian pada tahun 1840 Kabupaten Sindangkasih disatukan dengan Kabupaten Maja dan berubah nama menjadi Majalengka.
Ada sebuah Petirtaan Kerajaan Sindangkasih berukuran 15 x 25 meter yang kini masih bisa dilihat di Cigasong dengan nama Kolam Sang Raja. Menurut Naro, seorang penggiat Grumala (Grup Madjalengka Baheula), Penamaan Sang Raja diberikan Bupati Majalengka zaman Belanda pada tahun 1927.
Referensi
- ^ "Cariosan Prabu Siliwangi | Legenda". Historiana. Diakses tanggal 2020-08-04.
- ^ Ungkara, Alam Wangsa. "Carita Ratu Pakuan". Historiana. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ "Sejarah Kabupaten Majalengka". JDIH KABUPATEN MAJALENGKA. Diakses tanggal 2020-08-04.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Tjandrasasmita, Uka (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 124. ISBN 979910212X.
- ^ Wijayakusuma, Asikin; Saleh, R. Mohammad (1960). Rucatan Sajarah Sumedang: Samemeh Sarta Nepi ka Campurna jeung Kumpeni (edisi ke-Cetakan kedua). Firma Dana Guru. hlm. 51.
- ^ Ungkara, Alam Wangsa. "Misteri Istri Pertama Prabu Siliwangi - Nhay Ambetkasih atau Nyai Rambutkasih | Cariosan Prabu Siliwangi | Kerajaan Dayeuh Luhur & Pasir Luhur". Historiana. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ "Babad Pasir". Historiana. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ "Babad Pasir (Aksara Jawa Kuno)". Khastara Perpusnas Republik Indonesia. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ News, Sindangkasih (2016-08-26). "Menguak Misteri Patilasan Nyi Rambut Kasih". SindangKasih News. Diakses tanggal 2020-08-04.
- ^ Methven, C (1817). "Addresses etc. presented to Mr. Raffles, on the occasion of his departure from Java". National Library Board Singapore. Printed by Cox and Baylis. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.
- ^ "Naon baé carita rayat anu aya di Kacamatan Cigasong, Kabupatén Majalengka?" (PDF). Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Diakses tanggal 4 Agustus 2020.