Suku Jambi
Suku Jambi[2] (Jawi: جامبي) merupakan suku bangsa atau kelompok etnik yang berasal dari Jambi. Mereka mendiami wilayah Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Tebo.[2] Dusun-dusun mereka saling berjauhan dengan rumah-rumah yang dibangun di pinggiran sungai besar atau sungai kecil.
Jumlah populasi | |
---|---|
± 1,2 juta[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Provinsi Jambi: 1.100.000 Jiwa | |
Bahasa | |
Jambi Indonesia | |
Agama | |
Islam | |
Kelompok etnik terkait | |
Palembang • Batin • Bengkulu • Kerinci • Minangkabau • Kubu |
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi khususnya suku Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan jaman, kerajaan-kerajan ini perlahan terlupakan dan sisa-sisa reruntuhan atau peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut masih dalam proses penyelidikan dan penelitian lebih lanjut.
Dalam sejarah kerajaan di Nusantara, Jambi dulu merupakan wilayah Minanga Kamwa (nama Minangkabau Kuno 1 M) adalah tanah asal pendiri Kerajaan Melayu dan Sriwijaya dari wilayah Minanga Kamwa inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yang berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia di negeri Jambi ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka[butuh rujukan] hingga Johor-Riau.[butuh rujukan] Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa lalu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Asal-usul
AL. Kroeber dalam bukunya Antropologi menyebutkan bahwa ada 8 (delapan) ras terpenting di dunia yakni Ras Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Bushman, Weddoid, Australoid, Polinesia, dan Ras Ainu.
Jauh sesudah Zaman es maka Ras Mongoloid menyebar keselatan benua Asia bahkan sampai ke benua Amerika melalui selat Bering. Salah satu sub-ras Mongoloid adalah Malayan Mongoloid yang mendominasi penduduk Asia Tenggara lautan dan daratan Masyarakat yang berbudaya Melayu merupakan percampuran dari hasil perpaduan orang Austro-Melaniosoid dari selatan dengan Paleo-Mongoloid dari utara.
Dengan dasar ini maka Bangsa Melayu (Melayu Jambi) adalah percampuran antara banyak sub-ras manusia dan perpaduan antara banyak macam pengaruh kebudayaan sejak 10.000 SM. Manusia Austro-Melanesoid pada mulanya menempati kawasan dekat pantai dan sungai-sungai, hidup di dalam goa batu kerang atau abris sous roches. Sekarang lokasi goa goa batu kerang jauh di pedalaman.
Goa ini dijumpai di Sumatra (Jambi, Medan, Langsa/Aceh), Sulawesi, Papua, Kedah dan Pahang Malaysia. Migrasi manusia Ras Mongoloid masuk perairan Asia Tenggara melahirkan manusia Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda).
Tapi tidak dapat diketahui kepastian kapan penyebaran itu dimulai, ahli sejarah hanya menghasilkan interpretasi terhadap temuan benda-benda budaya yang di tinggalkan, Ini pun jumlahnya sangat terbatas sehingga terbatas pula apa yang dapat diungkapkan.
Diperkirakan migrasi Paleo-Mongoloid ke Asia Tenggara terjadi dalam periode Prasejarah yang sangat panjang antara tahun 10.000 SM sampai tahun 2.000 SM Di Asia Tenggara manusia Paleo Mongoloid ini bertemu dengan manusia Austro-Melanesoid yang melahirkan manusia Proto melayu. Pada masa Indonesia memasuki zaman logam, maka antara tahun 2000-500 SM dan antara tahun 500 SM - sampai menginjak awal abad Masehi terjadi lagi migrasi penduduk dari daerah Tonkin, Dongson di pegunungan Bascon-Hoabinh, Vietnam ke Asia Tenggara.
Penyebaran manusia pada periode ini adalah percampuran manusia Proto Melayu dengan Ras Mongoloid yang melahirkan manusia Deutro Melayu. Manusia Proto Melayu mengembangkan kebudayaan batu tua yakni Kebudayaan Kapak Persegi dan Kebudayaan Kapak Lonjong. Kapak Persegi disebut Kapak Genggam atau Kapak Sumatra, sedangkan kapak lonjong disebut Kapak Pendek. Peralatan hidup manusia Proto Melayu antara lain adalah alat-alat mikrolit, serpihan batu obsidian.
Manusia Deutro Melayu di Indonesia mengembangkan kebudayaan Logam dan Perunggu. Manusia Deutro Melayu sangat penting artinya bagi sejarah penyebaran suku bangsa di Indonesia karena mereka inilah yang dianggap sebagai cikal bakal Orang Melayu dan Kebudayaan Melayu termasuk Melayu Jambi.
Kebudayaan Dongson masuk Indonesia melalui 2 (dua) arah. Pertama dari Vietnam menyebar ke Kamboja, Thailand, Malaysia, Sumatra, Jawa, dan menuju ke Nusa Tenggara. Di daerah inilah berkembang kebudayaan Kapak Persegi atau Kapak Genggam dan Kapak Sumatra. Kedua, dari daratan Asia, menuju Taiwan, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Papua berkembang kebudayaan Kapak Lonjong. Untuk pulau Sumatra telah teridentifikasi paling kurang ada 6 etnis tertua antara lain:
1) Suku Kerinci di kaldera danau Kerinci.
2) Suku Besemah (Pasemah) di lembah Dempo.
3) Suku Ranau di Lampung disekitar danau Ranau
4) Suku Minangkabau di lembah danau Singkarak/Maninjau.
5) Suku Batak Toba di danau Toba.
6) Suku Alas Gayo di tanah Gayo Aceh.
Sejak ratusan tahun lampau wilayah Jambi telah dihuni oleh masyarakat Proto Melayu seperti Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Duabelas, Suku Penghulu, dan Suku Kubu atau Suku Anak Dalam. Pada masa lampau mereka ini telah melatar-belakangi perkembangan Bahasa Melayu Jambi, budaya Melayu, maupun pasang naik dan turun kerajaan Melayu di daerah Jambi. Begitu pula halnya mereka telah melewati perjalanan sejarah yang teramat panjang diawali masa Pra Sejarah, Melayu Buddha, dan Melayu Islam, sampai masa perjuangan melawan penjajah dan periode kemerdekaan.
Sebelum abad Masehi masyarakat Proto Melayu di Jambi telah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu Pra Sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan ini antara lain adalah Suku Kerinci. Orang Kerinci diperkirakan telah menempati kaldera danau Kerinci sekitar tahun 10.000 SM sampai tahun 2000 SM Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti kebudayaan Neolitikum.
Pada zaman dahulu yang dimaksud dengan wilayah Kerinci adalah mencakup daerah yang disebut dalam adat Jambi sebagai Kerinci Atas dan Kerinci Rendah. Istilah Kerinci berawal dari kata "Korintji" yang artinya negeri di atas bukit. Diperkirakan sekitar awal abad 1 Masehi agama Buddha mulai hadir di daerah Jambi. Kehadiran agama Buddha ini telah mendorong lahir dan berkembangnya suatu corak Kebudayaan Melayu Buddha.
Kebudayaan ini diidentifikasi sebagai corak kebudayaan Melayu Kuno. Kehadiran Kebudayaan Melayu Buddha ini di daerah Jambi menempati rentang waktu (periode) yang panjang, yaitu:
1) Masa munculnya agama Buddha sekitar abad 1 Masehi.
2) Masa perkembangan sekitar abad 4-6 Masehi.
3) Masa kejayaan sekitar abad 6-11 Masehi.
4) Masa menurun sekitar 11-14 Masehi.
5) Masa tenggelam sekitar abad 14-19 Masehi.
6) Masa muncul kembali sekitar awal abad 20 Masehi hingga sekarang.
Pada, masa kebudayaan Melayu Buddha mulai mundur, maka bersamaan periodenya kebudayaan Melayu Islam mulai berkembang. Kehadiran Islam di Jambi diperkirakan terjadi pada akhir abad 7 M sampai sekitar awal abad 11 M. Pada awal abad 11 M, ajaran Islam mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat pedalaman Jambi.
Dalam penyebaran Islam di Jambi pulau Berhala, pulau yang berada di sebelah timur laut Jambi dipandang sebagai pulau yang teramat penting dalam sejarah Islam di Jambi. Kehadiran Islam ini telah membawa perubahan mendasar bagi kehidupan sosial/masyarakat Melayu Jambi. Agama Islam secara pelan-pelan tapi pasti, mulai menggeser kebudayaan Melayu Buddha sampai berkembangnya suatu corak Kebudayaan Melayu Islam.
Dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu Jambi lebih dominan unsur Islaminya. Di dalam hal kebiasaan tradisi terlihat adanya akulturasi antara unsur kebudayaan yang Islami dengan corak Melayu Kuno yang Buddhistis. Unsur-unsur kebudayaan Melayu Jambi antara lain adalah sebagai berikut (Fachruddin Saudagar, 2006):
1) Upacara Kepercayaan Tradisional.
2) Sistem Masyarakat.
3) Gotong Royong
4) Perkawinan.
5) Kepemimpinan.
6) Pendidikan.
7) Bahasa.
8) Kesenian.
9) Pergaulan Muda Mudi.
10) Mata Pencarian.
11) Bangunan.
12) Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi).
13) Permainan.
14) Pengelolaan Sumberdaya Alam.
15) Makanan dan Minuman.
16) Ilmu Pengetahuan.
17) Pajak Negeri.
18) Hukum Adat.
19) Pengobatan tradisional.
Masyarakat Melayu Jambi
Kehidupan orang Melayu Jambi sekarang masih dapat dilihat dari pengelompokan suku atau kalbu, yaitu pengelompokan sosial yang erat hubungannya dengan Kesultanan Jambi dulu. Jumlah kalbu yang masih tersisa ada dua belas, yaitu Jebus, Pemayung, Maro Sebo, Awin, Petajin, Suku Tujuh Koto, Mentong, Panagan, Serdadu, Kebalen, Aur Hitam dan Pinokowan Tengah.
Lingkungan kesatuan hidup setempatnya yang terkecil disebut dusun, sekarang setingkat dengan desa. Setiap dusun mempunyai nama berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Ada dusun yang bernama Teluk Leban, karena terletak di teluk yang ditumbuhi pohon kayu leban. Ada yang dinamakan Rantau Panjang karena terletak di sebuah rantau (daratan) yang panjang. Pemimpinnya disebut penghulu dusun. Selanjutnya masing-masing dusun dikendalikan oleh marga yang dipimpin oleh seorang pesirah. Marga adalah wilayah adat dari orang-orang yang merasa masih satu asal nenek moyang, atau karena adanya ikatan persekutuan kekerabatan pada masa dulu.
Dalam masyarakat Suku Melayu Jambi masih tampak sisa-sisa pelapisan sosial lama, ditandai oleh adanya golongan bangsawan yang berasal dari keturunan raja-raja zaman dulu, yaitu mereka yang bergelar Raden, Sayid, atau Kemas. Golongan menengah adalah para saudagar besar, pemilik perkebunan. Rakyat banyak biasanya menyebut diri orang Kecik (orang kecil). Sistem pelapisan sosial seperti ini semakin lama makin berubah. Orang Melayu Jambi hidup dalam rumah tangga keluarga inti monogami dengan prinsip garis keturunan yang bilateral. Pilihan jodoh cenderung untuk endogami dusun.
Bahasa
Suku Melayu Jambi dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar menggunakan Bahasa Melayu Jambi atau masyarakat jambi sering menyebut dengan Baso Jambi, yang masih satu rumpun dengan bahasa melayu lainnya di nusantara yakni rumpun bahasa Austronesia, bahasa melayu jambi sendiri terkenal dengan dialek "O" nya mirip dengan Bahasa Melayu Palembang dan Bahasa Bengkulu yang sama-sama berdialek "O".
bahasa Jambi memiliki beberapa bahasa turunan seperti bahasa Melayu Kuala Tungkal (berakhiran e), bahasa Kubu/Rimba (Suku Anak Dalam) dan bahasa Kerinci. Bahasa-bahasa tersebut masih terbagi lagi atas berbagai dialek. Di kota Bangko sendiri terdapat beberapa dialek bahasa Bangko. Berbeda desa bisa berbeda dialek.
Contoh kata dalam bahasa Melayu Jambi:
Saya (dalam Bahasa Indonesia) menjadi Sayo (dalam bahasa Melayu Jambi)
Kemana (dalam Bahasa Indonesia) Menjadi Kemano (dalam Bahasa Melayu Jambi)
Apa (dalam Bahasa Indonesia) menjadi Apo (dalam Bahasa Melayu Jambi)
Angka Dalam Bahasa Melayu Jambi:
Satu = Sikok
Dua = Duo
Tiga = Tigo
Empat = Empat
Lima = Limo
Enam = Enam
Tujuh = Tojo
Delapan = Lapan
Sembilan = Sembilan
Sepuluh = Sepolo dan seterusnya
Sistem Kekerabatan
Dalam kehidupan orang Melayu Jambi menjalankan prinsip bilateral dengan menempatkan faktor keluarga batih sebagai dasar perhitungan hubungan kekeluargaan. Mereka selalu memiliki hubungan kekerabatan dari pihak ibu maupun bapak.
Sistem kekerabatan tersebut disebut dengan istilah “Sanak”, yaitu keturunan hingga generasi ketiga. Kelompok ini biasanya saling membantu dalam setiap acara keluarga seperti perkawinan, kematian dan lain-lain.
Hak dan kewajiban diatur berdasarkan perbedaan usia, terutama dalam setiap upacara adat. Tapi dalam kenyataannya saat ini, tingkatan sosial terlihat berdasarkan tingkat pendidikan, harta dan jabatan. Seorang kepala desa di kalangan orang Melayu disebut sebagai “Datuk”, yang relatif dijadikan panutan oleh masyarakat.
Agama
Suku Melayu Jambi sudah memeluk agama Islam, dan umumnya mengikuti mahzab Syafi'i. Dalam kehidupan sehari-hari masih ada kepercayaan animisme dan dinamisme, dimana peranan dukun sebagai perantara dengan dunia gaib masih ditemukan bercampur baur dengan kepercayaan kepada makhluk jelmaan dunia gaib yang suka mengganggu manusia dan bisa pula dimanfaatkan untuk kepentingan manusia
Orang Melayu Jambi yang mayoritas beragama Islam. Sebagian besar sangat taat denga hidup. yang bersendikan kitabullah . Artinya "segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari ajaran-ajaran agama, yaitu Al-quran dan dan Hadits"
Adat dan budaya
Tradisi adat dan budaya suku Melayu Jambi, selain didominasi oleh budaya Melayu, mirip juga dengan budaya suku Minangkabau. Hal ini, kemungkinan antara suku Melayu Jambi dan suku Minangkabau terjadi hubungan kekerabatan pada masa lalu, atau bersumber dari asal-usul dan nenek moyang yang sama.
Mata pencaharian
Mata pencaharian mereka terutama bercocok tanam di ladang yang mereka bagi menjadi empat bentuk, yaitu Parelak, Kabun Mudo, Umo Rendah dan Talang.
Parelak adalah ladang dekat desa yang ditanami cabe, kacang-kacangan dan sayur-sayuran.
Kabun mudo adalah ladang yang ditanami tanaman muda, seperti pisang, kedelai dan kacang tanah.
Umo rendah adalah ladang agak luas yang ditanami padi, dan di sekitarnya ditanami jagung, sorgum, ketimun dan lain-lain. Sedangkan umo
Sedangkan talang adalah ladang yang terletak jauh dari desa, terutama ditanami padi dan tanaman sampingan lainnya,
Selain bercocok tanam orang Melayu Jambi banyak juga yang bertani, nelayan, berdagang dan bekerja di sektor pemerintahan.
Referensi
Catatan kaki
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 (PDF) di Badan Pusat Statistik.2011. hlm. 28.ISBN 9789790644175. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12-07-2017.
- ^ a b Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hlm. 137-138.
Daftar pustaka
- Zulyani, Hidayah (April 2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (edisi ke-2). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 470. ISBN 978-979-461-929-2.