Jalan Raya Pos

jalan raya di Indonesia

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg atau De Groote Postweg, bahasa Prancis: La Grande Route) adalah jalan raya bersejarah di Jawa, yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811).

Jalan Raya Pos
Peta Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda
Peta Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda
Informasi rute
Panjang:1.000 km[1][2] (621 mi)
Periode waktu:1809 – kini
Sejarah:Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda
Persimpangan besar
Ujung barat:Anyer, Banten
Ujung timur:Panarukan, Jawa Timur

Asal-usul

Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon di Eropa.[3] Cemas akan masa depan Jawa, khususnya setelah Isle de France (kini Mauritius) diserbu Inggris pada 1807, Louis memberi dua tugas utama kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahannya.[4] Instruksi yang sama juga diterimanya oleh Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.[5]

Pilihan Daendels untuk membangun jalan raya diinspirasi oleh konsep jalan raya pos Kekaisaran Romawi, Cursus Publicus [en], yang mengikatkan Roma (ibukotanya) dengan kota-kota taklukkannya dalam satu kesatuan.[6][1] Dengan demikian, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan mengikatkan Batavia, ibu kota Hindia Belanda, dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[7] Sumber lainnya mengatakan bahwa ia mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa, ketika ancaman Inggris di lautan yang memaksa ia harus menempuh perjalanan darat melalui Prancis dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon. Ia juga melakukan perjalanan di dalam Pulau Jawa yang rumit dan memakan banyak waktu.[8]

Pembangunan

 
Daendels membangun Jalan Raya Pos di atas Jawa. Sebuah ilustrasi anonim ca 1910

Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari Buitenzorg ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada sebelumnya. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[9]

Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Akibatnya, arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya hampir tidak ada, dan satu-satunya sumber informasinya berasal dari korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni saat itu, Paulus van der Heim [nl].[10] Karenanya, tidak diketahui dengan pasti apakah Jalan Raya Pos seluruhnya adalah jalan yang baru atau merupakan penggabungan dan peningkatan dari jalan-jalan yang sudah ada. Namun, diketahui bahwa sebagian besar pengerjaannya terdiri dari pembaikan dari jalur-jalur yang sudah ada dan pembangunan hubungan jalan yang hilang.[8]

Tahap pertama

Pada 5 Mei 1808, Daendels mengeluarkan instruksi pada Komisaris Urusan Pribumi untuk membuka jalan raya dari Buitenzorg ke Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang) melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Pembangunan jalannya harus sudah mulai pada musim kemarau. Secara teknis, jalan tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roede (~7.5 meter) dan dibangunkan tiang di setiap 400 rijnlandse roede (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak sekaligus tujuan pemeliharaan jalan di antara distrik-distrik. Kemudian, kedua sisi jalan harus dibatasi dengan lapisan batu agar jalannya tidak terkikis saat hujan. Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya. Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja.[11]

Dari Ke Jumlah pekerja Upah

(ringgit perak)

Cisarua Cianjur 400 orang 10 per orang/bulan
Cianjur Rajamandala 150 orang 4 per orang/bulan
Rajamandala Bandung 200 orang 6 per orang/bulan
Bandung Parakan Muncang 50 orang 1 per orang/bulan
Parakan Muncang Sumedang 150 orang 5 per orang/bulan
Sumedang Karangsambung 150 orang 4 per orang/bulan

Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan. Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang-Sumedang.[12]

Tahap kedua

Pada Juli 1808, Daendels bertemu dengan 38 bupati untuk memerintahkan mereka memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa. Ia juga menyerahkan pembangunan jalan Cirebon-Surabaya kepada mereka agar mereka bisa menarik orang-orang umum ke dalam pengabdian masyarakat. Di Jawa Tengah, jalan raya ini melewati Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Sementara di Jawa Timur, jalan raya ini melewati Pacitan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Paiton, Besuki, dan akhirnya Panarukan.[13]

Kegunaan

Jalan Raya Pos adalah jalan militer yang dimaksudkan untuk memudahkan pengerahan tentara dan pasokan secara aman dalam rangka mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Sebelum jalan ini dibangun, sekitar 1750 sudah ada jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Terlebih lagi, jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Akan tetapi, hujan tropis yang deras seringkali menghancurkan jalannya.[8] Selain untuk kepentingan militer, Jalan Raya Pos juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Jalan-jalan yang awalnya rusak membuat penduduk setempat harus membayar ongkos pengangkutan hasil buminya lebih mahal.[14]

Jalan Raya Pos juga dimanfaatkan sebagai pos komunikasi yang saat itu dianggap berguna. Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan para birokrat yang tersebar di seluruh Jawa, belum lagi lalu lintas laut yang diblokade Inggris ikut mempersulit komunikasi. Adanya jalan raya ini memungkinkan komunikasi dan korespondensi antardaerah semakin cepat. Waktu tempuh perjalanan juga menjadi lebih pendek, misalnya perjalanan dari Batavia ke Surabaya yang awalnya memakan waktu sekitar 1 bulan dipendekkan menjadi antara 3 hingga 7 hari.[15]

Dalam budaya populer

Film dokumenter Jalan Raya Pos - De Grotoe Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie Ijdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[16]

Lihat pula

Catatan kaki

Bibliografi

Bacaan lebih lanjut