Teori kuman penyakit

Teori yang umum diterima mengenai penyakit

Teori kuman penyakit adalah teori ilmiah yang saat ini digunakan untuk menjelaskan keberadaan penyakit. Teori ini menyatakan bahwa mikroorganisme yang dikenal sebagai patogen atau "kuman" dapat menyebabkan penyakit. Berbagai organisme kecil yang tidak kasatmata ini menyerang manusia, binatang, dan makhluk hidup lainnya. Perkembangan dan reproduksinya di dalam inang (organisme yang terinfeksi) dapat menyebabkan penyakit. Dalam hal ini, kata "kuman" tidak hanya merujuk pada bakteri, tetapi juga pada jenis mikroorganisme apa pun maupun patogen tidak hidup yang dapat menyebabkan penyakit, seperti protista, fungi (jamur), virus, prion, atau viroid.[1] Penyakit yang disebabkan oleh patogen disebut penyakit menular. Meskipun patogen dapat menjadi penyebab utama seseorang terkena penyakit, tetapi banyak pula faktor lain yang menentukan keparahan penyakit tersebut mau pun potensi seseorang terinfeksi, seperti faktor lingkungan serta genetika.

Gambar yang dihasilkan mikroskop elektron untuk bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini menyebabkan penyakit kolera.

Perkembangan teori kuman penyakit ini sudah dimulai dari beberapa abad yang lalu. Seperti dari teori miasma yang menjadi teori predominan mengenai penyebaran penyakit yang kemudian ditinggalkan karena tidak terbukti secara ilmiah. Kemudian, berkembang di beragam kebudayaan seperti Israel Kuno, Yunani dan Roma, India Kuno. Serta penemuan beberapa tokoh di abad pertengahan dan periode modern awal.

Pada abad pertengahan, beberapa tokoh mulai mengusulkan bentuk awal dari teori kuman penyakit, seperti Ibnu Sina pada tahun 102 dan Girolamo Fracastoro pada tahun 1546. Akan tetapi, di Eropa, pandangan seperti ini tidak terlalu dipercayai; dokter dan ilmuwan masih lebih memandang tinggi teori miasma dari Galenus. Mereka menjadi tidak mampu memahami progresi penyakit akibat doktrin ini.

Pada periode modern awal, beberapa tokoh mulai membantu mengembangkan beberapa inovasi yang membantu berkembangnya teori kuman penyakit, seperti eksperimen yang dilakukan oleh Francesco Redi pada tahun 1668, pengamatan mikroorganisme oleh Anton van Leeuwenhoek pada tahun 1670-an, sampai dikembangkan oleh Marcus von Plenciz pada tahun 1762.

Selanjutnya, para tokoh seperti Agostino Bassi, Ignaz Semmelweis, Gideon Mantell, John Snow juga mengemukakan berbagai pengamatan mereka yang memengaruhi perkembangan teori kuman penyakit. Pada awal abad ke-19, vaksinasi cacar sudah banyak dilakukan di Eropa, tetapi para dokter tidak paham cara kerja vaksin tersebut atau cara memindahkan prinsip vaksin ke penyakit lain. Pengobatan yang mirip juga banyak digunakan di India sebelum tahun 1000. Di akhir tahun 1850-an, Louis Pasteur akhirnya mampu mendalami lebih lanjut. Penelitiannya diperdalam oleh Robert Koch pada tahun 1880-an. Di akhir dekade tersebut, teori miasma sudah tidak banyak digunakan akibat kalah saing dengan teori kuman penyakit. Kemudian, pada tahun 1890-an, virus ditemukan. Mulailah sebuah "abad keemasan" ilmu bakteriologi dan dengan teori kuman penyakit, para ilmuwan segera mencari dan mengidentifikasi organisme lain yang menyebabkan penyakit.

Teori miasma

 
Penggambaran wabah kolera oleh Robert Seymour yang menggambarkan penyebaran penyakit melalui udara beracun.

Teori miasma adalah teori predominan mengenai penyebaran penyakit yang digunakan sebelum teori kuman penyakit menjadi arus utama di akhir abad ke-19. Teori ini sudah kuno dan tidak diterima lagi sebagai teori ilmiah. Menurut teori miasma, penyakit seperti kolera, infeksi klamidia, atau Maut Hitam, disebabkan oleh miasma (μίασμα, "polusi" dalam bahasa Yunani Kuno), semacam "udara buruk" yang keluar dari materi organik yang membusuk.[2] Miasma dianggap sebagai semacam uap atau kabut beracun yang dipenuhi partikel dari materi membusuk (miasmata) yang dapat ditentukan dari baunya yang tidak enak. Teori ini menyatakan bahwa penyakit adalah produk dari faktor lingkungan seperti air yang terkontaminasi, udara yang buruk, dan kondisi lingkungan yang jorok. Infeksi tidak terjadi antarindividu, tetapi hanya terjadi pada orang-orang yang berada di sekitar uap tersebut.

Perkembangan

Sebelum adanya penelitian mengenai mikrobiologi, orang-orang pada zaman dahulu percaya bahwa penyakit dikirim oleh para dewa sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat. Menurut warga Persia kuno, penyakit disebabkan oleh roh jahat dan harus dikendalikan melalui eksorsisme (praktik mengusir setan). Barulah pada abad ke-6, para filsuf pra-Socrates seperti Phytagoras, Alcmaeon, dan Empedocles menyatakan bahwa lingkungan memainkan peran yang penting dalam penyebab suatu penyakit. Pada abad ini juga terdapat sebuah wabah yang bernama Wabah Justinian. Wabah ini menjadi inspirasi bagi ilmuwan untuk menemukan penyebab dari wabah tersebut.[3] Sebelum munculnya teori miasma, terdapat satu teori pendahulu yaitu Teori Hyppocrates yang dibuat oleh Hippocrates. Teori ini dimuat dalam buku karya Hippocrates yang berjudul "On Airs, Waters, adn Places". Dalam teorinya, Hippocrates menyebutkan bahwa penyakut dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena adanya kontak dengan jasad hidup dan karena pengaruh lingkungan internal dan eksternal seseorang. [4] Pada awal abad ke-16 Girolamo Fracastoro seorang penyair, dokter, dan matematikawan mencoba menganalisis konsep penularan dan infeksi. Tahun 1546 ia menerbitkan tulisannya yang berjudul Contagious Diseases and Their Cure. Dalam tulisannya, Fracastoro berspekulasi bahwa infeksi disebabkan oleh benda kecil seperti benih yang dapat dipindahkan seperti seminaria atau kuman. [3]

Setelah itu, Fracastoro memperkenalkan teorinya yaitu the contagious theory. Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa kuman bukan merupakan mikroorganisme, melaikan sebagai zat kimia yang bertanggung jawab terhadap penguapan dan difusi atmosfer. Fracastoro juga mengatakan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh kuman yang berbeda. Dalam teori contagion Fracastoro mengatakan bahwa penyakit dapat ditulaskan dari satu orang ke orang yang lain melalui zat kimia yang bernama kontangion. Terdapat 3 jenis kontangion menurut Fracastoro, diantaranya ialah :

  1. Kontangion yang dapat ditularkan melalui kontak langsung seperti bersentuhan.
  2. Kontangion yang dapat ditularkan melaui perantara benda seperti melalui pakaian, handuk, dan lain-lain.
  3. Kontangioin yang dapat ditularkan dalam jarak jauh.Setelah penemuan mikroskopis oleh Anton Van Leeuwenhoek, pada abad 17 terjadi kemajuan pesat terhadap teori kuman sebagai penyebab penyakit.[3]

Beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner, Ignaz Semmelweis, dan  Robert Koch melakukan riset lebih lanjut terkait teori ini.[5] Pada abad ke-18 teori kuman penyakit pada awalnya hanyalah campuran teori dari pemikiran medis beberapa ahli. Pada abad ini teori kuman penyakit kembali mengalami kemajuan karena timbulnya penyakit cacar. Pada saat itu beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner melakukan serangkaian metode ilmiah seperti membuat hipotesis, menguji, dan membuktikan teori vaksinasi. Pada akhirnya, di abad-19 teori kuman penyakit ini berkembang dan dikenal oleh masyarakat.[5]

Abad ke-19 ini menjadi era kejayaan bagi teori kuman penyakit. Hal ini dikarenakan, teori ini telah dikenal oleh masyarakat luas, sehingga sejak saat itu masyarakat percaya bahwa beberapa penyakit yang menyerang manusia selama beradab-abad tenyata disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia. Teori kuman penyakit ini memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan epidemologi penyakit infeksi. Hal ini dikarenakan teori kuman penyakit ini telah memberikan pencerahan bagi para ilmuwan untuk mengidentifikai berbagai penyakit baru yang menyerang manusia. Berkat teori ini juga, banyak penyakit yang akhirnya dapat dicegah dan juga disembuhkan. Teori kuman penyakit ini mengarahkan para ilmuwan untuk menghasilkan obat-obatan antibiotik dan antimikrobaseperti vaksin, steriliasi, preurisasi, dan program anitasi publik. Teori ini terus berkembang hingga ke level molekul pada abad ke-20. [4]

Teori kuman penyakit menghubungkan penyebab suatu penyakit dengan mikoorganisme tertentu yang berada di dalam tubuh manusia. Teori ini akhirnya menolak teori miasma yang mengatakan bahwa penyakit disebabkan oleh miasma semacam "udara buruk" yang keluar dari materi organik yang membusuk.[2]

Yunani dan Roma

Di periode klasik, seorang sejarawan Yunani, Thukidides (sekitar 460 – 400 SM) adalah orang pertama yang menyatakan bahwa penyakit dapat menular dari orang yang berpenyakit ke orang lain.[6][7] Hal ini ia tulis dalam catatannya mengenai wabah Atena. Teori lain yang menyatakan bahwa penyakit tidak menular melalui kontak langsung adalah teori yang menyatakan bahwa penyakit disebar melalui "benih" (semina dalam bahasa Latin) berbentuk spora yang ada dan dapat menyebar melalui udara. Penyair Romawi, Lucretius (sekitar 99 – 55 SM), dalam puisinya yang berjudul De rerum natura menulis bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[8][9] Negarawan Romawi, Marcus Terentius Varro (116–27 SM) dalam bukunya Rerum rusticarum libri III (Tiga Buku Mengenai Agrikultur) yang dipublikasikan tahun 36 SM menulis bahwa: "Harus lebih berhati-hati di daerah rawa [...] karena di daerah tersebut ada makhluk-makhluk kecil yang tidak kasatmata, yang mengambang di udara dan dapat memasuki tubuh melalui mulut dan hidung. Makhluk tersebut kemudian menyebabkan penyakit serius."[10] Tabib Yunani Galenus (129 M – sekitar 200 atau 216) berspekulasi dalam bukunya, Tentang Penyebab Awal (sekitar 175 M) bahwa beberapa pasien mungkin memiliki "benih demam".[11] Dalam bukunya yang lain berjudul Tentang Berbagai Jenis Demam (sekitar 175 M), Galenus berspekulasi bahwa wabah disebabkan oleh "sejenis benih wabah" yang ada di udara.[12] Dalam bukunya yang berjudul Epidemi (sekitar 176–178 M), Galenus berpendapat bahwa pasiennya mungkin dapat kembali mengalami demam setelah sembuh akibat "benih penyakit" yang masih bersembunyi di dalam tubuh mereka. Benih ini dapat kembali menyebabkan demam apabila pasien tersebut tidak mengikuti proses terapi pengobatan yang diperintahkan seorang dokter.[13]

Sebelum para ilmuwan Yunani dan Roma melakukan penelitian tentang penyakit, orang Yunani zaman dahulu percaya kalau penyakit merupakan kehendak dari Dewa yang ditandai dengan munculnya fenomena alam tertentu setiap kali wabah penyakit terjadi. Contohnya hujan deras terus-menerus dan angin yang bertiup kencang. Setelah penelitian tentang penyakit dan wabah mulai dilakukan, ilmuwan atau peneliti saat itu mulai memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menganggap kalau mayat yang tidak dikubur dan saluran air yang rusak tidak baik bagi kesehatan, ada juga yang mengatakan bahwa semua jenis wabah merupakan dampak dari perang atau fenomena alam yang umum.[14]

Pada abad ke-5 SM, Thucydides (460 SM395 SM), yang merupakan sejarawan Yunani mengatakan bahwa seseorang yang sering berinteraksi dengan orang yang sakit akan berpotensi tertular penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu penyakit yang diderita seseorang orang bisa menular jika terjadi interaksi atau kontak dengan orang lain. Beliau menuliskan pandangannya dalam catatannya tentang wabah Athena dan beliau adalah orang pertama yang menuliskan pandangan itu.[6] [14]

Hippokrates (460 SM - 370 SM) mengungkapkan bahwa kondisi udara atau atmosfer merupakan penyebab penyakit. Beliau melakukan pengamatan terhadap pengaruh iklim pada kesehatan dan meneliti tentang faktor-faktor iklim yang permanen dan sementara.[14]

Terdapat juga teori lain, yaitu Teori dari Lucretius atau nama lengkapnya adalah Titus Lucretius Carus, ia adalah seorang filsuf Latin yang lahir sekitar tahun 99 sampai BC di Romawi. Ia menciptakan puisi yang berjudul De rerum Natura menyampaikan 4 argumen utama yang dibagi dalam 6 buku. Buku I dan II membahas tentang prinsip alam semesta, buku III mendemonstrasikan terkait struktur atom, buku IV menjelaskan mekanisme persepsi dari indera dan pikiran. Buku V menggambarkan penciptaan dunia dan cara kerja benda-benda langit, dan yang terakhir Buku VI menjelaskan fenomena yang ada di langit.[15] Dalam bukunya ia juga menulis bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat memberikan manfaat dan penyakit. Benih yang bermanfaat dapat memberikan kita makanan untuk keberlangsungan kehidupan, sedangkan yang buruk akan membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[16] Salah satu contoh penyakitnya adalah “Leprosy” atau disebut juga dengan Kusta.[17] Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium leprae Penyakit ini dahulu muncul di Sungai Nil, mesir. Gejala dari penyakit ini adalah kepala terasa panas, mata memerah, saluran suara tersumbat, dan lain-lain. Penyakit Leprosy ditularkan melalui tetesan dari hidung dan mulut.[18]

Marcus Terentius Varro, seorang Negarawan Romawi. Bukunya yang berjudul Rerum rusticarum libri III, yaitu buku mengenai agrikultur, yang dipublikasikan tahun 36 SM. Pada Chapter XII : The Site of The Farm House, Marcus Terentius Varro menuliskan tentang cara penempatan rumah petani agar proses dalam pertanian dapat berjalan dengan baik. Di dalam bukunya ia menuliskan bahwa rumah petani yang baik adalah rumah yang memiliki sumber air sendiri atau dibangun di dekat sumber mata air, air ini nantinya akan digunakan untuk keperluan pribadi dan hewan ternak. Adapun yang berhubungan dengan kuman dan penyakit, yaitu dalam membangun rumah di tanah berawa, anda harus memperhatikan hewan-hewan kecil. Hewan kecil tersebut tidak kasatmata dan dapat menyebabkan penyakit yang sulit untuk disembuhkan jika terhirup melalui mulut dan hidung.[19] Hal ini juga pernah diteliti oleh ilmuwan Belanda, yaitu Antonio Van Leeuwenhoek, dalam penelitiannya ia menemukan mikroorganisme dalam sekresi manusia, ia melihat hal ini melalui mikroskop buatannya. Salah satu cara jika terkena penyakit ini adalah dengan melakukan isolasi, hal ini akan mencegah penularan penyakit yang lebih luas.[20]

Galen/Galenus (129 M - 199 M) mengatakan bahwa terdapat tiga penyebab penyakit bisa terjadi. Tiga penyebab itu antara lain:

  1. Penyebab bawaan. Penyebab bawaan merupakan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Contohnya seperti ada seseorang yang mudah terkena flu dan ada seseorang yang tidak mudah terkena flu meskipun tinggal di lingkungan yang sama.
  2. Penyebab awal. Penyebab awal adalah suatu penyebab penyakit yang berasal dari luar tubuh seperti cuaca dingin, panas, atau benturan yang membahayakan tubuh.
  3. Penyebab kohesif. Penyebab kohesif adalah penyebab gabungan dari dua penyebab yang sudah disebutkan di atas, baik penyebab-penyebab tersebut saling bekerja sama maupun bekerja sendiri-sendiri.[21]

Galen berspekulasi bahwa penyebab seseorang bisa menderita penyakit demam adalah karena seseorang memiliki bibit atau benih demam di dalam tubuhnya. Atau dengan kata lain, bibit demam merupakan penyebab bawaan seseorang yang rentan terhadap demam. Beliau juga memiliki spekulasi lain bibit penyakit bisa saja berasal dari luar tubuh, seperti udara. Namun, bibit tersebut dapat teraktivasi atau dapat menyebabkan penyakit pada seseorang hanya jika masuk ke dalam tubuh. Menurut Galen, setelah seseorang sembuh dari demam sebaiknya tetap mengikuti proses atau prosedur pengobatan yang dianjurkan oleh dokter. Karena jika tidak, maka masih terdapat kemungkinan bahwa demam akan kambuh karena benih penyakit demam tersebut masih bersembunyi di dalam tubuh pasien.[21]

Wabah Pes pertama atau yang disebut juga dengan “The justinianc Plague’s” adalah wabah yang terjadi di Roman pada tahun 542 - 544. Wabah ini disebabkan oleh bakteri Yersinia Pestis yang berasal dari sisa era neolitik akhir 5000 sampai 6000 tahun lalu.[22] Bakteri ini dapat menular melalui kutu tikus (Xenopsylla cheopis). Wabah ini tersebar pertama kali di kota-kota Mediterania tenggara dan Eropa, dan menyebar cepat ke negara Konstantinopel (ibukota kekaisaran Romawi). Setelah itu wabah ini terus menyebar ke negara-negara mediterania selama 250 tahun, dan wabah ini menghilang pada tahun 750.[23][24]

Gejala dari wabah pes pertama “The justinianc Plague’s” menyebabkan bubo, yaitu pembengkakan kelenjar getah bening. Jumlah kematian dari wabah ini tidak dapat diprediksi karena kurangnya data demografis. Tetapi, dari semua bukti yang ditemukan, menunjukkan bahwa “The justinianc Plague’s” adalah wabah yang paling mematikan selama zaman kuno.[25]

Wabah pes pertama “The justinianc Plague’s” juga menyebabkan efek makro pada negara-negara. Negara yang terkena dampak dari wabah pes ini mengalami kelaparan dan inflasi. Kelaparan ini disebabkan oleh kurangnya pekerja pada sektor pertanian akibat kematian dari wabah pes “The justinianc Plague’s” dan pemulihan dari gejala wabah pes yang berkepanjangan. Wabah juga diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Roman atau yang biasa disebut “Fall of The Roman Empire. [26] Hal ini dibuktikan oleh McCormick dengan ditemukannya DNA Y Pestis, yaitu DNA dari penular wabah Justinianc pada tulang bekas mayat dari kerajaan Roman yang dikubur di pemakaman Aschheim, yaitu tempat pemakaman penduduk kota kecil pada saat itu.[27][28]

Wabah Pes juga terjadi dua kali setelah wabah “The justinianc Plague’s”. Pertama dengan nama “Black Death. Wabah ini terjadi di Eropa pada abad pertengahan, Asia barat daya, Afrika Utara, dan wilayah lainnya. Kedua dengan nama Wabah Yersinia Pestis, wabah ini tersebar di Asia selatan dan Asia timur. Wabah Yersinia Pestis telah membunuh jutaan orang pada pergantian abad ke 20. [29][8]

Abad Pertengahan

Di abad ke-5, kitab Talmud Yerusalem sudah menyebut secara eksplisit sebuah aturan yang melarang memasukkan uang ke dalam mulut demi menjaga kesehatan manusia.[30] Nissim dari Gerona, seorang ilmuwan Talmudik abad ke-14, menyatakan bahwa aturan ini diadakan "karena uang banyak berpindah tangan, dan beberapa orang yang menyentuh uang itu dalam keadaan sakit. 'Kotoran' [זוהמא] mereka kemudian menempel pada uang dan 'kotoran' tersebut berbahaya bagi orang yang meletakkan uang itu di dalam mulut."[31] Kemudian, bentuk dasar teori penularan muncul dalam ilmu kedokteran Islam abad pertengahan. Seorang tabib Persia bernama Ibnu Sina menulis bentuk dasar ini dalam bukunya, Kanon Kedokteran (1025), yang kemudian menjadi buku kedokteran dengan reputasi paling tinggi di Eropa hingga abad ke-16. Dalam volume IV buku tersebut, Ibnu Sina membahas tentang wabah, memberikan penjelasan singkat tentang teori miasma klasik, serta mencoba untuk menggabungkan teori tersebut dengan teori penularannya sendiri. Ia menyatakan bahwa orang-orang dapat menularkan penyakit kepada orang lain melalui napas, mencatat potensi penularan tuberkulosis, dan membahas penularan penyakit melalui air dan tanah.[32] Konsep penularan tidak kasatmata kemudian dibahas oleh beberapa ilmuwan Islam di Kesultanan Ayyubid. Para ilmuwan ini memberi nama najasat ("zat tidak bersih") untuk zat menular tersebut. Dalam pembahasannya mengenai makanan halal dan kebersihan, seorang ulama fikih, Ibnu al-Haj al-Abdari (sekitar 1250–1336), memberikan peringatan bahwa zat najas dapat mengontaminasi air, makanan, pakaian, serta dapat menyebar melalui suplai air. Ia juga mengatakan bahwa penyebaran penyakit dapat terjadi melalui partikel-partikel yang tidak kasatmata.[33] Saat pes bubo Maut Hitam tiba di Andalusia di abad ke-14, dua dokter Arab bernama Ibnu Khatima dan Ibnu al-Khatib berhipotesa bahwa penyakit menular disebabkan oleh "tubuh-tubuh kecil" dan menggambarkan cara tubuh-tubuh tersebut menyebar melalui pakaian, alat makan dan anting.[34]

Pada awal Abad Pertengahan, Isidorus dari Sevilla (sekitar 560–636 M) menyebut tentang "benih pembawa wabah" (pestifera semina) dalam bukunya, Tentang Sifat Berbagai Hal (sekitar 613 M).[35] Kemudian, pada tahun 1345, Tommaso del Garbo (sekitar 1305–1370) dari Bologna, Italia, menyebut "benih penyakit" Galenus dalam bukunya Commentaria non-parum utilia in libros Galeni ("komentar penting mengenai buku Galen").[36]

Cendekiawan dan tabib Italia, Girolamo Fracastoro, dalam bukunya De Contagione et Contagiosis Morbis yang terbit tahun 1546, menyatakan bahwa wabah penyakit disebabkan oleh entitas berbentuk benih (seminaria morbi) yang dapat berpindah, memindahkan infeksi melalui kontak langsung maupun tidak langsung, atau bahkan tanpa melalui kontak dalam jarak yang jauh. Ia mengategorikan penyakit berdasarkan cara penyebarannya dan berapa lama penyakit itu bisa bertahan dorman.

Periode Modern Awal

Tabib Italia, Francesco Redi, memberikan bukti awal yang menolak generasi spontan. Pada tahun 1668, ia menciptakan sebuah eksperimen dengan menggunakan tiga buah toples. Ia menempatkan sepotong daging dan telur di masing-masing toples. Satu toples dibiarkan terbuka, satu toples ditutup dan disegel, dan toples terakhir ditutup dengan kain. Setelah beberapa hari, ia menemukan bahwa daging di dalam toples terbuka penuh dengan belatung dan toples yang ditutup kain penuh belatung di permukaan kain. Di sisi lain, toples yang disegel tidak berbelatung sama sekali. Ia juga menemukan bahwa belatung tersebut hanya ditemukan di permukaan yang dapat dimasuki lalat. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa generasi spontan bukanlah teori yang masuk akal.

Anton van Leeuwenhoek secara universal diakui sebagai bapak mikrobiologi. Dia merupakan seorang penajajak dalam ilmu seorang penjajak dalam ilmu mikrobiologi, pada tahun 1670-an. Dia berhasil menemukan protista dan bakteri.[37] Bisa dibilang dia menjadi orang yang pertama kali melihat dunia ‘mahluk hidup’ yang tak terbayangkan, dia juga yang pertamakali berpikir untuk bisa melihat hal tersebut menggunakan mikroskop berlensa tunggal sederhana. Dengan mikroskop tersebut, dia tidak hanya mengamati, tetapi juga melakukan eksperimen yang cerdik, menjelajahi dan memanipulasi alam semesta mikroskopisnya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Van Leeuwenhoek dikatakan sebagai orang pertama yang melihat dan menggambarkan bakteri, tanaman khamir/ragi, kehidupan yang mengambang di dalam setetes air, serta sirkulasi sel darah di dalam pembuluh kapiler. Kata "bakteri" pada waktu itu belum ada dan ia menamakan organisme mikroskopik itu sebagai "animalcule", yang berarti "binatang kecil". Ia mengisolasi berbagai animalcule itu dari berbagai sumber, seperti air hujan, air sumur dan kolam, serta mulut dan usus manusia.  Meski sempat mendapatkan ketidakpercayaan dan cemoohan dari banyak ilmuwan karena latar background keilmuan dia yang tidak bersekolah, serta melalui metodenya yang tidak dapat dipercaya, karena hal membuka dunia yang tidak bisa dipahami orang lain. Dia melaporkan penemuannya dalam lebih dari 100 surat kepada Royal Sociey of England dan Akademi Prancis. Laporan pertama Leewuwenhoek kepada Royal Society pada tahun 1673 menggambarkan bagian mulut lebah, kutu, dan jamur. Ia mempelajari struktur sel tumbuhan dan kristal, serta struktur sel manusia seperti darah, otot, kulit, gigi, dan rambut. Ia bahkan mengikis plak dari sela-sela giginya untuk mengamati bakteri di sana, yang ditemukan Leewenhoek, mati setelah meminum kopi. Sejak berhasil diverifikasi oleh natural philosophers dari Royal Society membawa ke aturan dasar baru yang masih menggambarkan sains saat ini. Penemuan Leeuwenhoek, ditransmisikan secara langsung selama berabad-abad kepada para ahli biologi saat ini. Ahli mikrobiologi dan filogenetik terus berdebat tentang sifat hewan kecil Leeuwenhoek, jika dalam istilah yang lebih rumit.  Baru akhirnya sekarang kita mulai menemukan jawaban atas pertanyaan yang mendorong Leeuwenhoek: dari mana asal ‘mahluk’ kecil ini, mengapa ukuran dan perilakunya begitu beragam; bagaimana membedakan dan mengklasifikasikannya?[38]

Ada pula kemungkinan bahwa seorang pendeta dan cendekiawan Yesuit dari Jerman, Athanasius Kircher, sudah melihat mikroorganisme sebelum van Leeuwenhoek. Salah satu buku yang ia tulis tahun 1646 dalam bahasa Latin mengandung satu bab yang kalau diterjemahkan menjadi: "Mengenai struktur benda-benda dalam alam, diinvestigasi melalui Mikroskop". Di bab tersebut ia menulis: "siapa yang akan percaya bahwa cuka dan susu ternyata berisi banyak sekali cacing." Kircher mendefinisikan organisme tidak tampak yang ia temukan dari tubuh membusuk, daging, susu, dan sekresi itu sebagai "cacing". Berdasarkan penelitian yang ia lakukan dengan mikroskop ini, ia kemudian menyimpulkan bahwa penyakit dan pembusukan disebabkan oleh tubuh makhluk hidup yang tidak kasatmata. Terdapat kemungkinan bahwa ia adalah orang pertama yang membuat kesimpulan ini. Pada tahun 1646, Kircher menulis bahwa "sejumlah hal mungkin dapat ditemukan di dalam darah pasien demam". Saat Roma terkena wabah pes bubo pada tahun 1656, Kircher menghabiskan beberapa hari berturut-turut untuk merawat orang sakit. Ia menginvestigasi darah para korban wabah di bawah mikroskop, demi mencari obat. Ia mencatat keberadaan "cacing kecil" atau "animalcule" di dalam darah dan menyimpulkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh mikroorganisme. Ia adalah orang pertama yang menghubungkan antara penyakit dengan patogen mikroskopik; secara efektif, ia menciptakan teori kuman penyakit, yang digambarkannya di dalam Scruitinium pestis physico-medicum (dipublikasikan di Roma tahun 1658).[39] Kesimpulan Kircher bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme memang benar, akan tetapi besar kemungkinan bahwa makhluk kecil yang ia pandang di bawah mikroskop adalah sel darah merah atau putih, dan bukan sel penyakit itu sendiri. Kircher juga kemudian menggambarkan beberapa peraturan kebersihan untuk menghindari penyebaran wabah, seperti isolasi, karantina, pembakaran penyakit yang digunakan oleh orang sakit, serta penggunaan masker untuk menghindari kuman yang masuk melalui hidung. Kircher adalah orang pertama yang mengatakan bahwa makhluk hidup dapat masuk dan hadir di dalam darah.

Pada tahun 1700, seorang tabib bernama Nicolas Andry merilis Buku pertamanya, De la génération des vers dans les corps de l'homme, yang diterbitkan pada tahun 1700, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1701 as An Account of the Breeding of Worms in Human Bodies.[40] Buku tersebut merupakan catatan eksperimen Andry menggunakan mikroskop, yang dibangun berdasarkan karya Antonie van Leeuwenhoek sebelumnya, yang sering dikutip oleh Andry. Tidak seperti Leeuwenhoek, tujuan andi memang secara khusus adalah dunia medis, dan eksperimennya dengan mikroskop membuatnya percaya bahwa mikroorganisme yang dia sebut “cacing” bertanggung jawab atas penyakit cacar dan penyakit lainnya.[41] Selain untuk tujuan medis, buku ini sepertinya ditujukan juga untuk umum. Seperti yang diamati oleh sejarawan medis Clara Pinto Correia, salah satu tujuan utama Andry adalah untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang ilmu baru yang muncul dari dunia yang hanya bisa diamati oleh mikroskop. Dia menulis “kita harus mengakui bahwa ada binatang yang seribu kali lebih kecil daripada sebutir debu, yang hampir tidak dapat kita lihat dan kita. Imajinasi kita tenggelam dalam pemikiran ini, takjub pada hal kecil yang aneh; tetapi untuk tujuan apa harus menyangkalnya? Akal meyakinkan kita tentang keberadaan sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan”.[42]

Pada tahun 1720, Richard Bradley berteori bahwa penyakit dan 'segala permasalahan wabah' lainnya disebabkan oleh 'serangga-serangga beracun', makhluk hidup yang hanya tampak ketika dilihat dengan mikroskop.[43]

Pada tahun 1762, tabib Austria, Marcus Antonius von Plenciz (1705–1786) menerbitkan buku berjudul Opera medico-physica. Buku ini menggambarkan teori penyebaran penyakit. Di dalamnya dikatakan bahwa animalcule tertentu di tanah dan udara merupakan penyebab penyakit tertentu. Von Plenciz membuat pembedaan antara penyakit yang dapat menular dan mewabah (seperti campak dan disenteri), serta penyakit yang menular tetapi tidak mewabah (seperti rabies dan kusta).[44] Buku tersebut menyebut Anton van Leeuwenhoek sebagai sumber, untuk menggambarkan betapa banyaknya animalcule. Selain itu, buku von Plenciz juga buku pertama yang menggambarkan keberadaan kuman di luka yang bertukak. Pada akhirnya, teori yang dikedepankan von Plenciz tidak diterima oleh masyarakat ilmiah.

Agostino Bassi

Orang Italia bernama Agostino Bassi adalah orang pertama yang membuktikan bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme. Ia mengadakan beberapa eksperimen pada tahun 1808 hingga 1813. Seri eksperimen tersebut menggambarkan bahwa "parasit tidak bergerak" menyebabkan penyakit di ulat sutra, yang dikenal sebagai calcinaccio. Pada waktu itu, penyakit ini sedang menghancurkan industri sutra Prancis. "Parasit tidak bergerak" ini kini dikenal sebagai sejenis fungi yang patogenik pada serangga bernama Beauveria bassiana (dinamakan dari Bassi).

Ignaz Semmelweis

Ignaz Semmelweis lahir pada tanggal 1 Juli 1818 di Taban, Hungaria. Ignaz Semmelweis dikenal sebagai “Bapak Pengendalian Infeksi”.[45] Ia adalah seorang dokter kandungan dari Hongaria yang bekerja di Rumah Sakit Umum Wina (Allgemeines Krankenhaus) pada tahun 1847. Rumah Sakit Umum Wina (Allgemeines Krankenhaus), memiliki dua klinik kebidanan. Di klinik pertama terdapat ahli bedah, dokter, dan mahasiswa kedokteran dan Ignaz bekerja di klinik pertama sebagai ahli bedah, dokter, dan instruktur mahasiswa. Sedangkan, di klinik dua yang bekerja adalah para bidan. Selama bekerja di Rumah Sakit Wina, Ignaz mengamati bahwa di klinik kedua terdapat 10 kali lebih sedikit kematian akibat demam puerperal dibandingkan dengan klinik pertama.[46] Karena reputasi mengenai klinik pertama yang kurang baik, para pasien memohon dan meminta untuk dimasukkan ke klinik kedua. Ignaz lalu mencatat bahwa terdapat angka kematian ibu yang sangat besar akibat demam puerperal, terutama di klinik pertama.

Demam puerperal adalah infeksi bakteri yang menyerang saluran reproduksi perempuan setelah terjadinya kelahiran atau keguguran.[47] Demam ini biasanya terjadi setelah 24 jam dan dalam rentang waktu sepuluh hari setelah kelahiran.[48] Angka kematian ibu sangat besar akibat demam puerperal saat proses kelahiran dibantu oleh dokter dan mahasiswa. Sedangkan, saat dibantu oleh bidan, proses kelahiran tampaknya relatif aman. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, Ignaz menyadari bahwa terdapat hubungan antar demam puerperal dan kelahiran yang dibantu dokter. Ia kemudian menyadari bahwa dokter ini biasanya baru saja selesai melakukan otopsi. Setelah diamati, Ignaz mengambil kesimpulan bahwa sehabis melakukan otopsi, dokter-dokter langsung melakukan pertolongan persalinan kepada pasien dan jarang mencuci tangan, sehingga kuman menular ke pasien yang ditolongnya pada saat persalinan.[49]

Dengan menyatakan bahwa demam puerperal adalah penyakit menular dan zat dari otopsi dapat bercampur dengan tubuh ibu. Lalu, Ignaz meminta para dokter mencuci tangan dengan air lime yang diklorinasi sebelum membantu ibu hamil. Ia kemudian mencatat bahwa terdapat penurunan drastis dan tiba-tiba pada angka kematian ibu,  dari 18% menjadi 2,2%, dalam jangka waktu satu tahun. Meskipun memiliki bukti ini, ia dan teorinya ditolak oleh ilmu kedokteran pada waktu itu. Atasannya, yaitu Professor Klein menolak hipotesisnya, Klein berpikir bahwa menurunnya angka kematian dikarenakan adanya sistem ventilasi baru di rumah sakit.[45]

Hipotesis Ignaz ini akhirnya diabaikan dan ditolak. Faktor-faktor lain yang menyebabkan hipotesisnya ditolak adalah beberapa dokter merasa tersinggung dengan saran bahwa mereka harus cuci tangan, mereka merasa memiliki status sosial yang tinggi, dan seakan-akan dengan perintah untuk mencuci tangan ini, tangan mereka dianggap bisa tidak bersih. [50] Ignaz lalu dipecat dari rumah sakit dan dipaksa untuk pindah ke Budapest. Konflik ini juga menyebabkan Ignaz menjadi kecewa dan tertekan.

Mulai tahun 1861, Ignaz menderita berbagai keluhan gugup dan depresi. Ia mulai mengalihkan setiap percakapan ke topik childbed fever. Pada saat itu, orang-orang, termasuk istrinya, percaya bahwa ia telah kehilangan akal sehatnya, dan pada tahun 1856 ia masuk ke Landesirrenanstalt Döbling (rumah sakit jiwa). 14 hari kemudian, Ia meninggal di sana karena syok septik, mungkin sebagai akibat dari dipukuli oleh penjaga. Hipotesis ignaz mendapatkan penerimaan luas hanya beberapa tahun setelah kematiannya, ketika Louis Pasteur lebih lanjut mengembangkan teori kuman penyakit dan menawarkan penjelasan teoritis untuk temuan Ignaz. Ignaz Semmelweis dianggap sebagai pelopor prosedur antiseptik.

Gideon Mantell

Gideon Mantell, seorang dokter dari Sussex yang lebih dikenal untuk penemuan fosil dinosaurus, juga meneliti binatang di bawah mikroskop. Dalam bukunya, Thoughts on Animalcules (1850), ia berspekulasi bahwa "banyak dari penyakit paling serius yang memengaruhi kemanusiaan terjadi akibat sifat-sifat makhluk hidup animalcule tak kasatmata yang aneh."[51]

John Snow

 
Peta asli dari John Snow yang menunjukkan klaster kasus kolera di wabah yang terjadi di London pada tahun 1854

John Snow adalah seorang ilmuwan yang skeptis terhadap teori miasma yang populer pada masa hidupnya. Meskipun pada waktu itu teori kuman penyakit yang dijejaki oleh Girolamo Fracastoro belum berkembang secara penuh dan belum dipegang banyak orang, Snow sudah menunjukkan pemahaman yang baik terhadap teori tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam tulisan-tulisannya. Ia pertama kali menerbitkan teorinya dalam sebuah esai tahun 1849 berjudul Mengenai Mode Penyebaran Kolera. Di dalam esai tersebut, ia mengatakan dengan benar bahwa rute penyebaran kolera adalah melalui transmisi fekal-oral dan bahwa penyakit itu berkembang di usus besar. Dalam bukunya edisi tahun 1855, ia menambahkan bahwa struktur kolera berbentuk seperti sel.

Pada tahun 1849, John Snow menyarankan bahwa air harus "difilter dan direbus terlebih dahulu sebelum digunakan". Saran ini adalah saran pertama dari teori kuman penyakit dalam bidang kesehatan masyarakat dan mengawali perkembangan saran merebus air di masa kini.

Pada tahun 1855, ia menerbitkan edisi kedua artikelnya. Dalam artikel tersebut ia menggambarkan penelitian lebih lanjut mengenai efek suplai air di Soho pada masa wabah di London tahun 1854.

Dari penelitian yang ia lakukan dengan cara berbicara dengan warga setempat itu, ia menemukan bahwa sumber wabah kolera adalah sebuah pompa umum yang digunakan di Jalan Broad (kini Jalan Broadwick). Meskipun penelitian melalui zat kimia dan mikroskop yang ia lakukan pada sampel air dari pompa itu tidak mampu menyimpulkan bahaya, penelitiannya mengenai pola penyakit mampu meyakinkan otoritas setempat untuk menutup pompa itu dengan cara melepas pegangannya. Aksi ini kini dianggap sebagai tindakan yang mengakhiri wabah, tetapi John berpendapat bahwa wabah itu sendiri memang sudah sangat berkurang.[52]

John kemudian menggunakan peta distribusi titik untuk menggambarkan klaster kasus kolera di sekitar pompa. Ia juga menggunakan statistika untuk menggambarkan hubungan antara kualitas sumber air dengan kasus kolera. Ia menunjukkan bahwa Perusahaan Air Southwark and Vauxhall mengambil air dari bagian Sungai Thames yang kotor dan disalurkan ke rumah-rumah; hal ini memperbesar jumlah penderita kolera. Penelitian John ini menjadi titik penting dalam sejarah kesehatan masyarakat dan geografi. Secara luas, penelitian ini dianggap sebagai salah satu titik pendirian ilmu epidemiologi.

Setelah wabah kolera mereda, pemerintah mengganti pegangan di pompa Jalan Broad itu. Mereka hanya mau memberikan respons bagi ancaman kesehatan yang ada dari pompa itu dan setelah itu mereka menolak teori yang dibawakan John Snow. Menurut mereka, penerimaan atas proposal itu berarti juga menerima kebenaran metode transmisi fekal-oral yang mereka tolak.

Louis Pasteur

Penelitian yang lebih formal mengenai hubungan antara kuman dan penyakit dilaksanakan oleh Louis Pasteur di antara tahun 1860 dan 1864. Ia menemukan patologi demam puerperal dan vibrio piogenik di dalam darah.[53] Ia kemudian menyarankan penggunaan asam borik untuk membunuh mikroorganisme ini sebelum dan setelah isolasi.

Lebih lanjut, Pasteur menunjukkan di antara tahun 1860 dan 1864 bahwa fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme di media tanam tidak terjadi melalui generasi spontan. Ia membuka sebotol kaldu steril di dalam sebuah penampung yang dilengkapi filter yang dapat menghentikan partikel agar tidak masuk dan mencapai kaldu itu. Ia juga melakukan eksperimen lain yang tidak menggunakan filter, melainkan menggunakan tuba yang panjang dan berputar-putar yang dapat menghentikan partikel debu. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan bahwa tidak ada organisme yang tumbuh di dalam kaldu. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa organisme yang hidup di dalam kaldu datang dari luar, sebagaimana spora yang bertahan di debu dan tidak muncul dengan tiba-tiba oleh kaldu itu sendiri.

Pasteur menemukan sebuah penyakit lain yang menjangkiti ular sutra. Penyakit yang bernama pebrin ini disebabkan oleh organisme mikroskopik yang kini dikenal sebagai Nosema bombycis (1870). Pasteur menyelamatkan industri sutra Prancis dengan penciptaan sebuah metode untuk memfilter telur ulat sutra yang terinfeksi. Metode ini masih digunakan sampai saat ini untuk mengendalikan penyakit pébrine dan penyakit ulat sutra lainnya.

Robert Koch

Robert Koch dikenal sebagai pemrakarsa empat kriteria dasar (yang dikenal sebagai Postulat Koch) untuk menentukan bahwa penyakit disebabkan oleh organisme tertentu. Postulat-postulat ini muncul dari karya seminalnya mengenai antraks menggunakan kultur murni patogen tersebut yang diisolasi dari binatang.

Postulat Koch dikembangkan di abad ke-19 dan berlaku sebagai garis besar pengidentifikasian patogen yang dapat diisolasi dengan teknik yang tersedia pada masanya.[54] Bahkan pada zaman Koch, orang sudah umum mengetahui bahwa beberapa agen infeksius memang menjadi penyebab penyakit, meskipun agen tersebut tidak memenuhi seluruh kriteria yang disebutkan postulat Koch.[55][56] Di akhir abad ke-19, ada percobaan untuk menggunakan postulat Koch secara kaku untuk mendiagnosa penyakit viral. Pada masa itu, virus belum dapat terlihat atau diisolasi di dalam kultur. Percobaan ini diperkirakan menjadi penyebab mundurnya perkembangan bidang virologi.[57][58] Di zaman sekarang, beberapa agen infeksius tetap dinyatakan sebagai penyebab penyakit meskipun tidak memenuhi seluruh postulat Koch.[59] Meskipun postulat Koch memiliki kepentingan sejarah dan sampai sekarang tetap digunakan untuk pendekatan diagnosis mikrobiologis, kini pemenuhan keempat kriteria dalam postulat tersebut tidak dibutuhkan untuk menggambarkan sebab-akibat.

Postulat Koch juga memengaruhi ilmuwan yang hendak meneliti patogenesis mikrobial dari sudut pandang molekuler. Pada tahun 1980-an, berkembang sebuah versi molekuler postulat Koch yang digunakan untuk mengidentifikasi gen mikrobial yang mengenkod faktor virulen.[60]

Postulat Koch:

  1. Mikroorganisme harus banyak ditemukan di seluruh organisme yang mengalami penyakit, tetapi tidak ditemukan di organisme sehat.
  2. Mikroorganisme harus diisolasi dari organisme berpenyakit dan ditumbuhkan di kultur murni.
  3. Mikroorganisme di kultur murni seharusnya menyebabkan penyakit ketika dimasukkan ke organisme sehat.
  4. Mikroorganisme harus diisolasi ulang dari inang eksperimental yang sudah diberikan vaksin dan penyakit dan teridentifikasi sebagai agen penyebab yang sama dengan yang digunakan di awal.

Dalam perkembangannya, Koch meninggalkan kriteria universalis pertama ketika ia menemukan pembawa penyakit kolera dan demam tifus yang tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik).[55] Pembawa penyakit asimtomatik atau subklinis kini muncul sebagai karakteristik banyak penyakit infeksius, terutama virus, seperti polio, herpes simplex, HIV dan hepatitis C. Sebagai contoh, semua dokter dan ahli virus sepakat bahwa virus polio hanya menyebabkan paralisis di beberapa subyek terinfeksi dan kesuksesan vaksin polio mencegah penyakit menunjukkan bahwa virus polio adalah penyebab penyakit.

Postulat ketiga menyebutkan "seharusnya" dan bukan "harus" karena Koch sendiri berhasil membuktikan (dalam kasus tuberkulosis dan kolera) bahwa tidak semua organisme yang terpapar agen infeksius akan terinfeksi. Noninfeksi bisa terjadi karena faktor-faktor seperti kesehatan secara garis besar dan kemampuan sistem imun yang baik; imunitas yang didapat melalui paparan sebelumnya atau vaksinasi; atau imunitas genetis, sebagaimana kekebalan terhadap malaria yang bisa didapat dengan memiliki setidaknya satu alel sel sabit.

Postulat kedua juga mungkin tidak digunakan untuk organisme atau entitas tertentu yang saat ini tidak dapat ditumbuhkan di kultur murni, seperti misalnya prion yang menyebabkan penyakit Creutzfeldt-Jakob.[61]

Joseph Lister

Pada tahun 1870-an, Joseph Lister adalah pemrakarsa penggunaan praktis teori kuman penyakit dalam hal sanitasi di lingkungan kedokteran, serta teknik operasi aseptik.

Lihat pula

Catatan kaki

Referensi

  1. ^ "germ – definition of germ in English from the Oxford dictionary". oxforddictionaries.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2016. Diakses tanggal 5 April 2016. 
  2. ^ a b John M. Last, ed. (2007), "miasma theory", A Dictionary of Public Health , Westminster College, Pennsylvania: Oxford University Press, ISBN 9780195160901 
  3. ^ a b c Karamanou, Marianna; Panayiotakopoulos, George; Tsoucalas, Gregory; Kousoulis, Antonis; Androutsos, George (2012-03-01). "From miasmas to germs: A historical approach to theories of infectious disease transmission". Le infezioni in medicina : rivista periodica di eziologia, epidemiologia, diagnostica, clinica e terapia delle patologie infettive. 20: 58–62. 
  4. ^ a b Irwan, Irwan (1 Maret 2017). Epidemologi Penyakit Menular. Yogyakarta: CV. ABSOLUTE MEDIA. hlm. 117. ISBN 978-602-1083-64-2. 
  5. ^ a b Gaynes, Robert P. (2011-01-01). Germ Theory: Medical Pioneers in Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). American Society of Microbiology. doi:10.1128/9781555817220. ISBN 978-1-55581-529-5. 
  6. ^ a b Thucydides with Richard Crawley, trans., History of the Peloponnesian War (London, England: J.M. Dent & Sons, Ltd., 1910), Book III, § 51, pp. 131–32. From pp. 131–32: " … there was the awful spectacle of men dying like sheep, through having caught the infection in nursing each other. This caused the greatest mortality. On the one hand, if they were afraid to visit each other, they perished from neglect; indeed many houses were emptied of their inmates for want of a nurse: on the other, if they ventured to do so, death was the consequence."
  7. ^ Singer, Charles and Dorothea (1917) "The scientific position of Girolamo Fracastoro [1478?–1553] with especial reference to the source, character and influence of his theory of infection," Annals of Medical History, 1 : 1–34; see p. 14.
  8. ^ Nutton, Vivian (1983) "The seeds of disease: an explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance," Medical History, 27 (1) : 1–34; see p. 10. Available at: U.S. National Library of Medicine, National Institutes of Health
  9. ^ Lucretius with Rev. John S. Watson, trans., On the Nature of Things (London, England: Henry G. Bohn, 1851), Book VI, lines 1093–1130, pp. 291–92; see especially p. 292. From p. 292: "This new malady and pest, therefore, either suddenly falls into the water, or penetrates into the very corn, or into other food of men and cattle. Or even, as may be the case, the infection remains suspended in the air itself; and when, as we breathe, we inhale the air mingled with it, we must necessarily absorb those seeds of disease into our body."
  10. ^ Varro, Marcus Terentius with Lloyd Storr-Best, trans., Varro on Farming (London, England: G. Bell and Sons, Ltd., 1912), Book 1, Ch. XII, p. 39.
  11. ^ Nutton (1983), p. 4
  12. ^ Nutton (1983), p. 6
  13. ^ Nutton (1983), p. 7
  14. ^ a b c "Annals of medical history". 1917: 24 v. ISSN 0743-3131. 
  15. ^ "On the Nature of Things | work by Lucretius". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18. 
  16. ^ Nutton, V (1983-01). "The seeds of disease: an explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance". Medical History. 27 (1): 1–34. doi:10.1017/s0025727300042241. ISSN 0025-7273. PMC 1139262 . PMID 6339840. 
  17. ^ "Leprosy (Hansen's disease)". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18. 
  18. ^ Titus Lucretius Carus (1851). On the Nature of Things: De Rerum Natura (dalam bahasa English). Harvard University. H.G. Bohn. 
  19. ^ Varro, Marcus Terentius; Storr-Best, Lloyd (1912). On farming : M. Terenti Varronis Rerum rusticarum libri tres. Robarts - University of Toronto. London G. Bell. 
  20. ^ Elisabetg, Presterl (2019). Basic Microbiology and Infection Control for Midwives (PDF). Cham, Switzerland: Springer Nature Switzerland AG 2019. hlm. xi – xii. 
  21. ^ a b Nutton, Vivian (1983-01). "The seeds of disease: An explanation of contagion and infection from the Greeks to the Renaissance". Medical History (dalam bahasa Inggris). 27 (1): 1–34. doi:10.1017/S0025727300042241. ISSN 2048-8343. 
  22. ^ Rascovan, Nicolás; Sjögren, Karl-Göran; Kristiansen, Kristian; Nielsen, Rasmus; Willerslev, Eske; Desnues, Christelle; Rasmussen, Simon (2019-01-10). "Emergence and Spread of Basal Lineages of Yersinia pestis during the Neolithic Decline". Cell (dalam bahasa English). 176 (1): 295–305.e10. doi:10.1016/j.cell.2018.11.005. ISSN 0092-8674. PMID 30528431. 
  23. ^ Sarris, Peter (2002-08). "The Justinianic plague: origins and effects". Continuity and Change (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 169–182. doi:10.1017/S0268416002004137. ISSN 1469-218X. 
  24. ^ Sabbatani, Sergio; Manfredi, Roberto; Fiorino, Sirio (2012-06). "[The Justinian plague (part one)]". Le Infezioni in Medicina. 20 (2): 125–139. ISSN 1124-9390. PMID 22767313. 
  25. ^ Constantin, Georgiana Bianca; Căluian, Ionuţ; Emilio, Manuel; Pino, Milla (2021-02-25). "The Justinianic Plague's Origins and Consequences". Asian Journal of Medicine and Health. 19: 45–47. doi:10.9734/ajmah/2021/v19i130296. 
  26. ^ Wazer, Caroline (2016-03-16). "The Plagues That Might Have Brought Down the Roman Empire". The Atlantic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-10-18. 
  27. ^ Sabbatani, Sergio; Manfredi, Roberto; Fiorino, Sirio (2012-06). "[The Justinian plague (part one)]". Le Infezioni in Medicina. 20 (2): 125–139. ISSN 1124-9390. PMID 22767313. 
  28. ^ Little, Lester K., ed. (2006). Plague and the End of Antiquity: The Pandemic of 541–750. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84639-4. 
  29. ^ Green, Monica H. (2015-01-01). TAKING “PANDEMIC” SERIOUSLY: MAKING THE BLACK DEATH GLOBAL (dalam bahasa Inggris). ARC, Amsterdam University Press. doi:10.1515/9781942401018-005/html. ISBN 978-1-942401-01-8. 
  30. ^ "Jerusalem Talmud Terumot". Wikitext. Wikisource. 
  31. ^ תלמוד בבלי. עבודה זרה. hlm. י: בדפי הרי"ף. 
  32. ^ Byrne, Joseph Patrick (2012). Encyclopedia of the Black Death. ABC-CLIO. hlm. 29. ISBN 9781598842531. 
  33. ^ Reid, Megan H. (2013). Law and Piety in Medieval Islam. Cambridge University Press. hlm. 106, 114, 189–190. ISBN 9781107067110. 
  34. ^ Majeed, Azeem (22 December 2005). "How Islam changed medicine". BMJ. 331 (7531): 1486–1487. doi:10.1136/bmj.331.7531.1486. ISSN 0959-8138. PMC 1322233 . PMID 16373721. 
  35. ^ Nutton (1983), p. 20
  36. ^ Nutton (1983), p. 21
  37. ^ Leewenhoeck, Anton Van (1667). "Observation, communicated to the publisher". Phil. Trans. 12: 821– 831. doi:10.1098/rstl.1677.0003. 
  38. ^ Lane, Nick (April 19, 2015). ""The Unseen World: Reflections on Leeuwenhoek (1677) 'Concerning Litlle Animals."". Philosopical Transactions of the Royal Society of London Series B. BIological Sciences 370 (1666). doi:20140344 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  39. ^ "The Life and Work of Athanaseus Kircher, S.J." mjt.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 April 2016. Diakses tanggal 18 April 2016. 
  40. ^ Andry, Nicolas (1701). "An account of the breeding of worms in human bodies; their nature, and several sorts; their effects, symptoms, and prognostics. With the true means to avoid them, and med'cines to cure them, / by Nicholas Andry ... with letters to the author on this subject from M. Nicholas Hartsoeker at Amsterdam, and M. George Baglivi at Rome". London: Printed for H. Rhodes and A. Bell. 
  41. ^ "The History of the Germ Theory". The British Medical Journal. 1 (1415): 312. 1888. 
  42. ^ Correia, Clara Pinto (1997). "The Ovary of Eve: Egg and Sperm and Preformation". Chicago: University of Chicago Press. pp. 74-76 (ISBN 978-0-226-66952-6.). 
  43. ^ Melvin Santer, "Richard Bradley: A Unified, Living Agent Theory of the Cause of Infectious Diseases of Plants, Animals, and Humans in the First Decades of the 18th Century", in Perspectives in Biology and Medicine, Volume 52, Number 4, Autumn, 2009, pp. 566–78
  44. ^ Winslow, Charles-Edward Amory (1967). Conquest of Epidemic Disease: A Chapter in the History of Ideas. Hafner Publishing Co Ltd. ISBN 978-0028548807.
  45. ^ a b Best, M (2004-06-01). "Ignaz Semmelweis and the birth of infection control". Quality and Safety in Health Care (dalam bahasa Inggris). 13 (3): 233–234. doi:10.1136/qshc.2004.010918. ISSN 1475-3898. PMC 1743827 . PMID 15175497. 
  46. ^ E., & D, Dastur Adi & Tank, P (2008). "Ignaz Philipp Semmelweis and Puerperal Fever". https://jogi.co.in/may_jun_2008/02_milestone_ignaz_philipp.pdf.  Hapus pranala luar di parameter |journal= (bantuan)
  47. ^ Williams obstetrics. F. Gary Cunningham (edisi ke-24th edition). New York. 2014. ISBN 978-0-07-179893-8. OCLC 871619675. 
  48. ^ Dutta, D. C. (2014). DC Dutta's textbook of obstetrics : including perinatology and contraception. Hiralal Konar (edisi ke-Enlarged & revised reprint of seventh edition). New Delhi. ISBN 978-93-5152-067-2. OCLC 872736100. 
  49. ^ Rajab, Wahyudi (2009). Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. 
  50. ^ Carter & Carter, R. Codell & Barbara R. (1994). Childbed Fever A Scientifc Biography of Ignaz Semmelweis. New York: Greenwood Press. hlm. 9. ISBN 1-4128-0467-1.  line feed character di |title= pada posisi 15 (bantuan)
  51. ^ From p. 90 of "The invisible world revealed by the microscope or, thoughts on animalcules.", second edition, 1850 (May have appeared in first edition, too. (Revise date in article to 1846, if so.))
  52. ^ John Snow (1849). On the Mode of Communication of Cholera. London: J. Churchill. There is no doubt that the mortality was much diminished, as I said before, by the flight of the population, which commenced soon after the outbreak; but the attacks had so far diminished before the use of the water was stopped, that it is impossible to decide whether the well still contained the cholera poison in an active state, or whether, from some cause, the water had become free from it 
  53. ^ Pasteur, Louis (1880) [May 1880]. "(translated from French)" [On the extension of the germ theory to the etiology of certain common diseases]. Comptes Rendus de l'Académie des Sciences. XC. Ernst, H.C. (trans). hlm. 1033–44. 
  54. ^ Walker L, Levine H, Jucker M (2006). "Koch's postulates and infectious proteins". Acta Neuropathologica. 112 (1): 1–4. doi:10.1007/s00401-006-0072-x. PMID 16703338. 
  55. ^ a b Koch Robert (1893). "Über den augenblicklichen Stand der bakteriologischen Choleradiagnose". Zeitschrift für Hygiene und Infektionskrankheiten (dalam bahasa German). 14: 319–33. doi:10.1007/BF02284324. 
  56. ^ Koch Robert (1884). "Die Aetiologie der Tuberkulose". Mittheilungen aus dem Kaiserlichen Gesundheitsamte. 2. hlm. 1–88. 
  57. ^ Evans AS (May 1976). "Causation and disease: the Henle-Koch postulates revisited". Yale Journal of Biology and Medicine. 49 (2): 175–95. PMC 2595276 . PMID 782050. 
  58. ^ Brock TD (1999). Robert Koch: a life in medicine and bacteriology. Washington DC: American Society of Microbiology Press. ISBN 1-55581-143-4. 
  59. ^ Jacomo V, Kelly P, Raoult D (2002). "Natural history of Bartonella infections (an exception to Koch's postulate)". Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. 9 (1): 8–18. doi:10.1128/CDLI.9.1.8-18.2002. PMC 119901 . PMID 11777823. 
  60. ^ Falkow S (1988). "Molecular Koch's postulates applied to microbial pathogenicity". Reviews of Infectious Diseases. 10 (Suppl 2): S274–76. doi:10.1093/cid/10.Supplement_2.S274. PMID 3055197. 
  61. ^ Inglis TJ (November 2007). "Principia aetiologica: taking causality beyond Koch's postulates". Journal of Medical Microbiology. 56 (Pt 11): 1419–22. doi:10.1099/jmm.0.47179-0 . PMID 17965339. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 March 2010. Diakses tanggal 3 December 2012. 

Pranala luar