Siti Walidah
Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah (3 Januari 1872 – 31 Mei 1946) adalah tokoh emansipasi perempuan, istri dari pendiri organisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan dan juga seorang pahlawan nasional Indonesia.
Nyai Ahmad Dahlan | |
---|---|
Lahir | Siti Walidah 3 Januari 1872 Kauman, Yogyakarta, Hindia Belanda |
Meninggal | 31 Mei 1946 Kauman, Yogyakarta, Indonesia | (umur 74)
Makam | Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Pekerja sosial |
Tahun aktif | 1914–1946 |
Suami/istri | Ahmad Dahlan |
Anak | 6 |
Penghargaan | Pahlawan Nasional Indonesia |
Biografi
Masa muda
Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta;[1] yang menjadi daerah bertempat tinggal dari para tokoh agama dari keraton.[2] Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Al-Qur'an. Dia membaca Al-Qur'an dalam naskah Jawi.[3]
Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan.[1] Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu, Nyai mengikuti suaminya dalam perjalanannya.[3] Namun, karena beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana.[3]
Sopo Tresno dan Aisyiyah
Pada tahun 1914 ia mendirikan Sopo Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Al-Qur'an dan mendiskusikan maknanya.[1] Segera ia mulai berfokus pada ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas isu-isu perempuan.[1] Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno, pasangan ini memperlambat kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori oleh pemerintah Hindia Belanda.[4]
Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan.[1] Menolak proposal pertama, Fatimah, mereka memutuskan mengganti nama menjadi Aisyiyah, berasal dari nama istri Nabi Muhammad, yakni Aisyah.[4] Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala.[1] Lima tahun kemudian organisasi ini menjadi bagian dari Muhammadiyah.[1]
Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan.[1] Dia juga berkhotbah menentang kawin paksa.[5] Dia juga mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa.[1] Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka.[5] Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.[6]
Kepemimpinan dan kehidupan selanjutnya
Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah.[7] Pada tahun 1926, dia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Kota Surabaya. Dia adalah wanita pertama yang memimpin konferensi seperti itu.[1] Sebagai hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Soerabaia dan Sin Tit Po, banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah, sementara cabang-cabang lainnya dibuka di pulau-pulau lain di Nusantara.[1]
Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934.[8] Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943, dia kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang untuk menjaga siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.[9] Selama masa Revolusi Nasional Indonesia, dia memasak sup dari rumahnya bagi para tentara[8][10] dan mempromosikan dinas militer di antara mantan murid-muridnya.[11] Dia juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.[10]
Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada pukul 01:00 siang pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta empat jam kemudian.[1][12] Sekretaris Negara, Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi mewakili pemerintah pada saat pemakamannya.[1][12]
Warisan
Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Suharto sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971;[13] Ahmad Dahlan telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sepuluh tahun sebelumnya.[14] Penghargaan tersebut diterima oleh cucunya, M Wardan.[1] Dia telah dibandingkan dengan pembela hak perempuan, Kartini dan gerilyawan, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.[15]
Dalam film Sang Pencerah yang dirilis pada tahun 2010 dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Nyai Ahmad Dahlan diperankan oleh Zaskia Adya Mecca sementara Ahmad Dahlan diperankan oleh Lukman Sardi.[16]
Kemudian pada tahun 2017, kisah hidup Nyai Ahamd Dahlan diangkat ke film Nyai Ahmad Dahlan. Dalam film yang disutradarai oleh Olla Atta Adonara tersebut, Nyai Ahmad Dahlan diperankan oleh Tika Bravani sementara Ahmad Dahlan diperankan oleh David Chalik .
Kehidupan pribadi
Nyai Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak dengan Ahmad Dahlan.[7]
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Repubika 2008, Nyai Ahmad Dahlan.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 42.
- ^ a b c Sudarmanto 1996, hlm. 189.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 50.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 47.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 53.
- ^ a b Komandoko 2006, hlm. 244.
- ^ a b Sudarmanto 1996, hlm. 191.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 59.
- ^ a b Ajisaka & Damayanti 2010, hlm. 134.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 60.
- ^ a b Wahyudi 2002, hlm. 46.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 61.
- ^ Komandoko 2006, hlm. 37.
- ^ Wahyudi 2002, hlm. 39.
- ^ Kurniasari 2010, Zaskia Adya Mecca.
Daftar pustaka
Buku
- Ajisaka, Arya (2004). Mengenal Pahlawan Indonesia: Penuntun Belajar. Jakarta: Kawan Pustaka.
- Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.
- Arifin, MT (1990). Muhammadiyah Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonésia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
- Benda, Harry J. (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonésia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Burhanuddin, Jajat (2002). Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi (2017). Mengenal Karya-Karya Ilmu Falak Nusantara: Transmisi, Anotasi, Biografi. Yogyakarta: LKIS.
- Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.
- Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2015). Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Hidayat, Irin, dkk (2013). Belajar dari Abah: Mengenang Seorang Bapak, Guru, Dai, dan Sejarawan Muslim Ahmad Adaby Darban. Yogyakarta: Pro-U Media.
- Ismail, Ibnu Qoyim (1997). Kiai Penghulu Jawa; Peranannya pada Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press.
- Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Sléman: Pustaka Widyatama.
- Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah (2010). 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial-Keagamaan. Jakarta: Penerbit Kompas.
- Mulkhan, Abdul Munir (1990). Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Yogyakarta: Percetakan Persatuan.
- Nakamura, Mitsuo (1983). Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonésia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
- Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonésia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
- Ramdhon, Akhmad (2011). Pudarnya Kauman: Studi Perubahan Sosial Masyarakat Islam-Tradisional. Yogyakarta: Elmatera.
- Ricklefs, Merle Calvin (2006). Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (Signature Books Series). Cambridge: Norwalk East Bridge Books.
- Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Soeratno, Siti Chamamah, dkk (2009). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Sudarmanto, J.B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
- Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka.
- Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi.
- Widyastuti (2010). Sisi Lain Seorang Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Yayasan K.H. Ahmad Dahlan.
Jurnal
- Albiladiyah, Samrotul Ilmi (2006). "Sekilas tentang Pathok Nagara". Jurnal Jantra. 1 (1). ISSN 1907-9605.
- Darban, Ahmad Adaby (2004). "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah". Jurnal Humaniora. 16 (1). ISSN 2302-9269.
- Depari, Catharina Dwi Astuti (2012). "Transformasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta Sebagai Produk Sinkretisme Budaya". Jurnal Arsitektur Komposisi. 10 (1). ISSN 1411-6618.
- Rohman, Fandy Aprianto (2019). "K.H. Sangidu, Penghulu Penemu Nama Muhammadiyah". Jurnal Patra Widya. 20 (2). ISSN 2598-4209. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-13. Diakses tanggal 2021-01-11.
- Seniwati; Lestari, Tuti Dwi (2019). "Sikap Hidup Wanita Muslim Kauman: Kajian Peranan Aisyiyah dalam Kebangkitan Wanita di Yogyakarta Tahun 1914–1928". Jurnal Walasuji. 10 (2). ISSN 2502-2229.
Lainnya
- Basral, Akmal Nasery (2010). Sang Pencerah: Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah. Bandung: Mizan Pustaka. ISBN 978-797-4335-96-3.