Sisingamangaraja XII

pahlawan nasional Indonesia
Revisi sejak 13 November 2021 18.28 oleh 114.79.56.179 (bicara) (Asal usul: Penambahan Konten)


Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatra Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1]

Sisingamangaraja XII
Maharaja Toba
Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000
Berkuasa1876–1907 M
PendahuluSisingamangaraja XI
Penerus-
Pemakaman
Soposurung, Balige
Pasangan1.Boru Simanjuntak
2.Boru Sagala
3.Nantika Boru Nadeak
4.Boru Situmorang
5 Boru Siregar
KeturunanPatuan Nagari Sinambela
Patuan Anggi Sinambela
Lopian br. Sinambela
Raja Karel Buntal Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Raja Barita Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Pangarandang Sinambela
Raja Pangkilim Sinambela
Rinsan br. Sinambela
Purnama Rea br. Sinambela
Sunting Mariam br. Sinambela
Saulina br. Sinambela
Tambok br. Sinambela
Mangindang br. Sinambela
Sahudat br. Sinambela
Nagok br. Sinambela
Nama lengkap
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu
WangsaSisingamangaraja
WangsaSinambela
AyahRaja Sohahuhaon Sinambela (Sisingamangaraja XI)
IbuBoru Situmorang

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar Sinambela, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Raja Sohahuaon Sinambela, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Asal usul

Seperti setiap dinasti kuno dari seluruh dunia tak terlepas dari namanya mitologi dan legenda bangsa tersebut. Begitu jugalah dengan dinasti sisingamangaraja di tanah batak.

Jika raja-raja Nordik keberadaannya tak tak terpisahkan dari mitologi dan legenda Nordik begitu jugalah dengan dinasti sisingamangaraja di tanah Batak ini.

Dinasti Sisingamangaraja sendiri bermula tak lepas dari kosmologi Batak kuno dan Mitologi Mulajadi Nabolon serta terhubung terhadap legenda Si Raja Batak.

Raja Batak sebagaimana raja-raja lain di seluruh dunia memiliki leluhur yang terhubung dengan Mitologi. Jika raja Inca kuno berasal dari dewa matahari maka raja Batak berasal dari awatara/manifestasi Batara guru putra mulajadi nabolon.

Raja Batak menurut cerita masyarakat Batak dipercaya memiliki seorang istri dari siam. Dari pernikahan-nya terlahir dua orang anak yaitu guru Tatea bulan dan Raja isumbaon.

Raja isumbaon kemudian menikahi anak pamannya (tulangnya) dari Siam dan memiliki 3 orang anak yaitu tuan Sorimangaraja, Raja asi-asi dan sangkar somalidang.

Namun raja asi-asi dan sangkar somalidang pergi dan sampai sekarang tidak diketahui dimana keberadaan keturunannya.

Tuan Sorimangaraja memiliki 3 orang anak dari masing-masing 3 orang istrinya. Salah satu istrinya, sanggul Haomasan melahirkan 8 orang anak yaitu Raja Sibagotni Pohan, Raja Sipaettua, Raja Silahisabungan, Raja Oloan, Raja Hutalima, Raja Sobu, Raja Sumba dan anak terakhir yaitu Raja Naipospos.

Keturunan Raja Oloan inilah yang nantinya akan melahirkan dinasti Sisingamangaraja yg termasyhur di kalangan raja-raja Batak.

Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Raja Naibaho,Raja Sihotang, Raja Bakara, Raja Sinambela, Raja Sihite, dan Raja Simanullang.

Putra keempatnya,Toga Sinambela memiliki tiga orang putra yaitu raja pareme,tuan nabolas dan raja bona ni onan.

Putra bungsu Toga Sinambela, yakni Raja Bona ni onan gelar Raja Mangkutal adalah ayah kandung dari Sisingamangaraja I, leluhur awal Dinasti Sisingamangaraja.

Jauh sebelum masa lahirnya Raja Sisingamangaraja, umumnya di seantero dunia khususnya di daerah tanah Batak pada waktu itu sebahagian besar penduduknya sudah banyak yang mendurhaka kepada Tuhan Mulajadi Nabolon, antara lain kepincangan-kepincangan dalam dalam menjalankan hukum (paradaton), hukum yang tidak adil (sungsang paruhuman) sehingga manusia banyak menempuh jalan kesesatan.

Hal ini di sebabkan karena banyaknya orang-orang luar masuk ke tanah Batak yang merusak peraturan-peraturan (manaburhon patik naso hasea), yang sebelumnya seluruh peraturan-peraturan (patik) sangat di taati oleh penduduk disana.


Sehinggga akibat dari pelanggaran patik-patik tersebut, maka Tuhan Mulajadi Nabolon mendatangkan bala (balasan) atas kedurhakaan umat tersebut, dimana banyaklah terasa bagi penduduk kesulitan dan gangguan-gangguan di tambah dengan makanan yang serba tidak ada (masa hamaleon/kelaparan)

Tapi rupanya ditengah-tengah banyaknya ummat yang durhaka itu, ada seorang yang masih bersih jiwanya, taat kepada Tuhan Mulajadi Nabolon, dia adalah seorang dari turunan (pomparan) ni Raja Oloan yang bernama : RAJA BONA NIONAN.

Di suatu ketika Raja Bona Nionan di datangi oleh seorang pesuruh Tuhan Mulajadi Nabolon (Gading Habonaran) seraya dia berkata: “Hai Bona Nionan! Leluhurmu turun ke tanah Batak ini, dulunya adalah karena suruhan Mulajadi Nabolon.

Sekarang Tuhan Mulajadi Nabolon mendatangkan/menyuruh seorang puteri cantik (boru namauli bulung) turun ke tanah Batak ini dan berada sekarang di puncak gunung sakti (Dolok Pusuk Buhit). Oleh karena itu berangkatlah engkau kesana untuk mendapatkan puteri cantik itu.

Raja Bona Nionan pun memohon terimakasih kepada pesuruh Tuhan tersebut, dan langsunglah dia berangkat ke arah Dolok Pusuk Buhit tempat puteri cantik itu berada. Hari keberangkatannya itu di catat dalam buku Pustaha Tumbaga Holing pada tanggal 20 (singkora duapuluh), dan sampailah dia di puncak dolok pusuk buhit pada tanggal 21 (samirasa maraturun).

Ternyata apa yang di katakan malaikat itu benar-benar terjadi, setelah ia sampai di puncak Dolok Pusuk Buhit, dia melihat seorang puteri cantik yang sudah berada di sana, dan kemudian puteri itu berkata kepada Raja Bona Nionan: “Saya datang kemari adalah atas utusan Tuhan Mulajadi Nabolon untuk melaksanakan perintahnya agar engkau mempersunting saya sebagai isterimu, maka oleh sebab itu saya berharap engkau menerima dan tidak menyianyiakan saya.


Mendengar uraian dari puteri cantik itu, maka Bona Nionan pun menjawab: “Saya ini adalah seorang manusia yang hina dan juga buruk rupa, tapi Tuhan Mulajadi Nabolon mengutus seorang puteri cantik untuk saya persunting, apakah saya ini pantas untuk mempersunting engkau yang begitu cantik dan mulia?

Lantas sang puteri menjawab :” Engkau di hunjuk oleh Tuhan Mulajadi Nabolon menjadi suamiku bukan karena rupa dan segala apa yang engakau miliki, tetapi karena kelurusan itikad dan ketaatanmu kepada Tuhan Mulajadi Nabolon maka untuk engkau tidak usah berpikir panjang lagi dan saya kita sekarang berangkat.

Mendengar jawaban demikian maka Raja Bona Nionan pun tidak dapat berkata apa-apa lagi, selain menuruti ajakan dari puteri tersebut.

Tetapi di saat sebelum berangkat, puteri cantik itu bertanya satu hal lagi kepada Raja Bona Nionan :”wahai calon suamiku, saya tahu di daerah tanah Batak ini sungguh kurang baik orang yang tak mempunyai marga, maka seandainya di tengah perjalanan nanti ada yang menanyakan kita mengenai marga saya, maka marga apa yang akan kita sebutkan?

Baiklah, kata Raja Bona Nionan jika ada yang bertanya demikian maka kita jawab saja bahwa engkau adalah boru dari marga sagala (boru sagala dari sianjurmula-mula) dan kita tetapkan itulah untuk seterusnya. Lantas mereka pun berangkat menuju ke tempat orang tua Raja Bona Nionan yaitu kampung Bakkara.

Sesampainya mereka disana, orang tua Bona Nionan yaitu TOGA SINAMBELA melihat perempuan yang dibawa oleh Raja Bona Nionan. Orang tuanya tersebut terkejut bercampur heran karena anaknya telah membawa seorang puteri.

Lantas ia menanyakan anaknya Raja Bona Nionan: Siapakah puteri kawan ananda yang datang ini? Raja Bona Nionan menjawab itu adalah isteri saya dan menantu dari ayahanda. Toga sinambela pun berkata: Baiklah kalau memang demikian, saya berharap kalian tinggal dan menetaplah di kampung kita ini.

Namun berbeda dengan apa yang di harapkan dan diniatkan oleh Toga Sinambela kepada anak itu, hanya sebulan dia hidup bersama dengan sang isteri di kampung bakkara (kampung orang tuanya), pada tanggal 21 (samsara mara turun) Raja Bona Nionan kembali pergi merantau meninggalkan sang isteri.

Dia melintasi kampung demi kampung hingga pada suatu waktu di sampai di sebuaah perkampungan yang bernama NARUMONDA (sebuah desa di kecamatan porsea). Setelah beberapa tahun di Narumonda, dia menikah dengan seorang putri Raja Marpaung (yang menjadi isteri keduanya).

Raja marpaung menikahkannya dengan putrinya atas jasanya mendatangkan hujan. Sebelum raja Bona Nionan datang ke Narumonda, rakyat selalu mengeluh, menderita terhadap musim kemarau panjang, yang menyebabkan sawah kering kerontang dan menimbulkan masa paceklik (Haleon potir) yang berkepanjangan di kampung itu.


Sementara itu keadaan sang isteri yang ditinggal di bakkara tetap tenang, isterinya begitu sabar menunggu kembalinya raja Bona Nionan yang telah bertahun-tahun tak pulang.

Sang isteri yang di tinggal itu pun pada suatu malam bermimpi: Dia berjalan ditengah-tengah lautan luas, sambil menjungjung sebuah cawan putih yang berisikan air limau (Uras), limah putih (anggir putih) air bersih (mual na hona saring), di mana semua benda yang ada di dalam cawan tersebut nampak bercahaya (marsinondang), sambil terlihat di pinggir cawan tersebut sebuah tulisan dalam bahasa batak “BORAS NI ROHA”. Laut yang dijalaninya itu terlihat dengan 5 (lima) warna yaitu : kuning (na hunik), merah (narara), putih (nabontar), hitam (nabirong), cemerlang (na tio), dia berjalan di atas laut seperti berjalan di atas tanah yang keras.

Masih dalam keadaan bermimpi sang puteri mendengar lagi sebuah suara yang datang dari sebuah puncak gunung yang sangat tinggi: “ Datanglah engkau wahai sang puteri kesanyangan keatas puncak gunung ini dari tengah-tengah lautan itu agar engkau mengerti apa makna lautan yang engakau jalani ini”, maka sang puteri pun dalam mimpinya menaiki bukit tersebut sampai ke puncaknya.

Setelah tiba diatas dia mendengar suara lagi :”akulah dulu yang menyuruh engkau naik ke puncak Gunung Sakti Pusuk Buhit, supaya engkau bisa bertemu dengan Raja Bona Nionan” mendengar suara itu puteri pun langsung berlutut dan menyembah kepada yang berbicara tersebut.

Lantas suara itu berkata kembali : “adapun arti dari 5 warna laut yang engkau jalani itu adalah: Tempat manusia dibumi ini adalah 5 huta atau 5 tempat (benua) Marga yang ada terdiri dari lima marga besar (persukuan) Dan lima pembagian waktu dalam satu hari sampai terbenam matahari tidak boleh ditambahi, yaitu sogot, pangului, hos, guling, dan bot

Nanti suatu ketika, engkau pasti berada di kampung itu, dan kau akan melihat sekalipun di suatu tempat tidak pernah tumbuh mata air, tapi disaat itu tanahnya akan pecah dan akan muncul mata air (mual na tio).

Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berkata lagi dalam mimpi puteri itu: “Besok persis di saat waktu tengah hari engkau harus datang ke satu tempat yaitu rimba (harangan sulu-sulu).

Di situ ada satu buah batu yang bernama “Batu Sindar Mataniari ” di sebuah mata air yaitu Mual mani huruk di harangan sulu-sulu, engkau harus sampai ketempat tersebut, agar aku dapat menyampaikan tugas untukmu dan juga kesaktian.

Dan secara tiba-tiba putri tersentak dan terbagun dari mimpinya tersebut. Saat dia bermimpi tepatnya pada tanggal 20 (sikkora dua pulu) dan besoknya tanggal 21 (samisara moraturun) di bulan tujuh (sipaha pitu)

Keesokan harinya persis tengah hari putri ini berkata pada edanya NAI HAPATIAN, katanya “Hai Nai Hapatian aku sangat ingin kita pergi ke rimba (harangan sulu-sulu) untuk maranggir-anggir (bertimau) aku mohon enkau mau menemaniku kesana.

Mereka pun berangkat menuju rimba. Sesampainya mereka disana Turunlah Tuhan Debata Mulajadi Nabolon ke rimba itu bersama 7 orang suru-suruannya. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berdiri diatas Batu Sindar Mataniari yang ada di sekitar rimba tersebut.

Kemunculan Debata Mulajadi Nabolon seperti matahari yang terbit di ufuk timur (habinsaran), sedangkan tujuh orang suru-suruannya membakar kemenyan (dupa) sambil berlutut dan menyembah kepada Debata Mulajadi Nabolon.

Lalu Debata Mulajadi Nabolon memanggil putri itu mendekat untuk diberikan berkat dan kesaktian. Sementara itu Nai Pahitan hanya memandang dari kejauhan. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berkata kepada puteri itu “Gabe-gabean maho sian naso pamotoan ni halak”, artinya engkau akan di karunia dengan mengandung seseorang anak tampa di ketahui oleh orang lain.

Bersamaan dengan itu Debata Mulajadi Nabolon memberikan sebuah benda yang nampak bercahaya, dalam bahasa batak disebut dengan "Bintang Badia Tinggi" . Sesudah itu Debata Mulajadi Nabolon menyuruh mereka pulang ke rumahnya.

Menurut cerita tempat ini masih terdapat di sebuah lembah di Bakkara, dimana tempat ini dulunya menjadi tempat persemedian Raja Sisingamangaraja. Dan juga menurut kepercayaan para orang tua setiap tanggal 21 (Samisara Mora Turun) selalu kelihatan bayangan orang yang berpakaian putih sedang bersemedi sambil membakar dupa)

Setelah beberapa lama dari kejadian pertemuan antara sang puteri (isteri raja Bona Nionan) maka terjadilah musim kemarau yang panjang, semua sungai kering, tumbuh-tumbuhan layu dan mati. Maka seorang tokoh adat pun mengumpulkan semua orang dan mereka sepakat memanggil seorang datu untuk menanyakan kepada Debata Mulajadi Nabolon apa penyebab kejadian tersebut.

Sementara itu keadaan itu keadaan sang putri sudah hamil Tua dan akhirnya di ketahui oleh semua orang . Melihat keadaan isteri Bona Nionan seluruh isi kampung menjadi heboh, dan ada diantara menuduh bahwa dia penyebab semua kejadia alam tersebut karena telah berbuat serong.

Lantas para tetua mulai sepakat untuk membicarakan keadaan isteri Bona Nionan, dan sebagai kesimpulan hasil musyawarah. Mereka sepakat menanyakan kepada seorang DATU.

Namun Datu itu pun berkata tidak baik menuduh isteri Bona Nionan berbuat hal yang bertentangan dengan hukum, dia menegaskan bahwa bahwa isteri Bona Nionan mengandung adalah karena kehendak Debata Mulajadi Nabolon.

Ia juga menyampaikan akan lahir seorang anak dari isteri Raja Bona Nionan yang nantinya akan menjadi orang besar di kampung Bakkara. Seorang penegak keadilan, kebenaran serta akan menjadi Raja, tuan dari seluruh tuan yang akan memberikan hukum dan peraturan bagi kehidupan manusia.

Dan apabila kita mematuhi dan merobah pikiran kita maka masa paceklik di Tanah kita akan berlalu. Sebagai bukti kepatuhan maka sang Datu meminta kepada semua penghuni Bakkara dan semua tetua membuat “ Hambing Somba Pardomuan”, agar semua kejadian alam hilang, ternak berkembang dan hujan pun turun, bumi menjadi segar. Dan semua menurutinya, maka terjadilah seperti apa yang di katakan ole Datu tersebut.

Saat-saat dalam keadaan hamil tua dia menerima sebuah surat dari suaminya Raja Bona Nionan di perantauan . Dalam suratnya di tuliskan bahwa suaminya akan kembali ke Bakkara dalam waktu yang dekat.

Mendengar kabar tersebut sang isteri sangat cemas, yang di cemaskan adalah pasti suaminya curiga besar padanya atas kehamilannya tersebut.

Karena bagaimana pun pastilah Raja Bona Nionan tidak terima atas kehamilannya yang tiba-tiba, karena telah bertahun-tahun di perantauan.

Dalam suasana kecemasan hatinya tersebut, ia kembali di datangi oleh suara panggilan Debata Mulajadi Nabolon melalui suru-suruannya GADING HABONARAN , untuk menyuruhnya kembali ke rimba (harangan sulu-sulu). Dan setelah perintah itu ia berangkat ke rimba.

Setelah sampai di tempat itu maka suru-suruan berkata kepadanya : “hai putri (nauli bulung) sekarang aku sampaikanlah kepadamu pesan dan anugerah Tuhan Debata Mulajadi Nabolon  : “MARTUMBUR MA BARINGIN, MARTANTAN HARIARA, MARBUNGA MA SARPITPIT, MAR SINONDANG APPAPAGA”,

Bahwa engkau akan melahirkan seorang anak yang mulia keturunan dan sifatnya, kesanyangan dari Debata Mulajadi Nabolon.

Nantinya anak itu akan lahir tepat pada tanggal 3 bulan 1 (Anggara ni poltak di bulan si paha sada), di mana saat kelahirannya nanti akan terjadi petir dan halilintar serta badai yang kencang, maka lahirlah dia seperti bintang yang bercahaya terangn dan nantinya akan menjadi raja diantara semua raja dan penduduk (SISINGAMANGARAJA).

Kepadanya akan aku berikan roh yang suci, dan dia akan menjadi raja yang sakti. Wahai putri janganlah engkau takut dan cemas, sedangkan suamimu pun (Raja Bona Nionan) nantinya juga akan turut cemas di saat kelahiran anakmu nanti, karena di hari itu semua gunung akan berbunyi bertepuk-tepukan, lautan pun akan kelihatan seperti air banjir yang dilanda topan. Jadi apapun yang akan di ucapkan Raja Bona Nionan kepadamu nanti, engkau tidak usah takut atas tuduhan-tuduhannya itu.

Tidak berapa lama sesudah mereka berada di kampung, tiba pulalah suaminya Raja Bona Nionan yang datang dari perantauan (huta Narumonda).

Raja Bona Nionan melihat keadaan isterinya sudah hamil tua.Dengan sekejap mimik mukanya pun berubah dan dengan marahnya karena melihat keadaan isterinya dia berkata : Kenapa engkau berbuat yang tidak layak, mentang-mentang saya di perantauan, kenapa engkau bisa hamil padahal aku bertahu-tahun di perantauan, dulunya engkau mengatakan padaku bahwa engkau seorang wanita jujur, tetapi kenyataanya seperti inilah yang terjadi.

Mendengar semua ucapan dan tuduhan Raja Bona Nionan kepadanya, dia hanya terdiam membisu, tak sepatah kata pun yang di ucapkannya. Sehingga Raja Bonanionan pun berniat hendak membunuh isterinya, namun sebelum melaksanakan niatnya dia terlebih dahulu mencari tahu apa yang terjadi selama ini.

Lalu ia pun menanyakan kepada saudara perempuan Nai Paitan, tentang kejadian pada isterinya (DIBAHEN GABE HAUMA NASO HONA SIMBUR) .

Maka saudara perempuannya menjawab ”Tokka ito dohononmu songoni dompak Inanta i, Guru ni pungga bangun golang-golang, ipion naso tupa, pitu lombang holang-holang. Tung soadong do napak manang ise lahi-lahi donganan ni inantai mangkatai. Sombakku ito tu ho, sotung tubu roham marroha naroa dompak inantai”

Begitulah kata-kata dari saudara perempuannya Nai Pahitan, membujuk abangnya (ibotonya) Raja Bona Nionan, agar tidak bertindak apaun kepada isterinya yang sudah dalam keadaan hamil tua itu.

Lalu Nai Paitan pun menceritakan semua kisah yang pernah dilihatnya di rimba (harangan). Setelah mendengar cerita dari saudara perempuannya barulah Raja Bona Nionan merasa lega dan tenang.

Beberapa saat kemudian saat Raja Bona Nionan sedang berbicara dengan beberapa orang penduduk, tiba-tiba saja dua ekor ayam sakti (Manuk Patiaraja) muncul. Satu berwarna merah dan satu lagi berwarna putih, dan di belakang kedua ayam tersebut mengikuti banyak ayam.

Kemudian ayam itu bersuara dan berkata: Tubuma dihutaon Sada Raja SISINGAMANGARAJA, Namarharoroan sian Debata, Songgot do Partubuna, Marhite-hite Sirlam, Ronggur, Lalo, Haba-haba, Udan, Asa sude hamu marsitungkol jabu muna, pangisi ni laut on.

Artinya : Di kampung ini akan lahir seorang Raja Sisingamangaraja, yang datangnya dari Tuhan, semua penduduk akan terkejut, karena kelahirannya itu nantinya akan didiringi oleh kilat, guruh, gempa, angin kencang, hujan, maka semua penduduk agar menopang rumahnya masing-masing.

Setelah itu terjadilah seperti apa yang telah di katakan oleh Debata Mulajadi Nabolon. lahirlah seorang anak, dialah yang menjadi Raja Sisingamangaraja I.

Sisingamangaraja I inilah yang nantinya akan memulai dinasti Sisingamangaraja yang termasyhur dikalangan raja-raja Batak.

Perang melawan Belanda

Berkas:Toba Expedition 1878.jpg
Peta Ekspedisi Toba 1878

Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.

Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh menolak dan menyatakan perang.

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bakara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.

Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya[butuh rujukan]. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[2]

Kontroversi agama

 
Cap Mohor Sisingamangaraja XII

Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak yaitu Parmalim. Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar desas-desus bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk agama Islam[butuh rujukan]. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah menjadi seorang Muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft)[butuh rujukan]. Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh[butuh rujukan]. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama maka para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Singamangaraja telah menjadi seorang Muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi Tanah Batak[butuh rujukan]. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja XII di Bangkara[butuh rujukan] dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.

Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia Belanda desas-desus bahwa Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang menulis[butuh rujukan] bahwa "Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige tituleris een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren" ("menurut laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, tetapi ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya"). Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan, "Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn" ("Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya").

Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam termasuk:

  1. Singamangaraja XII tidak makan babi;memang dalam agama Parmalim juga babi diharamkan. Maka agak diragukan jika disimpulkan bahwa beliau penganut Islam.
  2. pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
  3. Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).

Namun pemakaian simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang asing bagi agama asli Nusantara. Maka masih menyimpan misteri mengenai agama Sisingamangaraja

Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya (penganut Parmalim). Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu dan Parmalim. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu.[3] Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia sangat terinspirasi lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[4] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara". Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil[butuh rujukan] seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.[butuh rujukan]

Kematian

Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si-Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang.[1] Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka – penembak jitu pasukan Marsose – mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[5] Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

Warisan sejarah

 
Sebilah pedang dari etnik Batak yang diinformasikan diduga sebagai pedang yang digunakan oleh Sisingamangaraja. Foto diambil 1907.

Pasca-gugurnya Sisingamangaraja, pasukan Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Sisingamangaraja. Kini, pedang tersebut telah menjadi koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.

Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
  2. ^ Ajisaka, Arya, (2010), Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta: Kawan Pustaka, ISBN 978-979-757-278-5.
  3. ^ Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since C.1200. h,174. Palgrave Macmillan (2008). "The Bataks were a fierce and violent pagan people whose religious life was a combination of animism, magic and old Hindu (or Hindu-Javanese) influences."
  4. ^ Kozok, Uli, (2009), Surat Batak: sejarah perkembangan tulisan Batak: berikut pedoman menulis aksara Batak dan cap Si Singamangaraja XII, École française d'Extrême-Orient, ISBN 979-9101-53-0.
  5. ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19.