Juventus F.C.
Juventus Football Club S.p.A. (BIT: JUVE) (dari bahasa Latin:[6] iuventus: masa muda [juˈvɛntus]), biasa disebut sebagai Juventus dan populer dengan nama Juve (pengucapan [ˈjuːve]),[7] adalah klub sepak bola profesional asal Italia yang berbasis di kota Turin, Piemonte. Klub ini didirikan pada tahun 1897 dengan nama Sport Club Juventus oleh sekelompok pelajar muda di kota Turin yang dipimpin oleh Eugenio Canfari dan saudaranya Enrico.[3][8][9]
Nama lengkap | Juventus Football Club S.p.A. | |||
---|---|---|---|---|
Julukan | ||||
Berdiri | 1 November 1897[2][3] | (sebagai Sport Club Juventus)|||
Stadion | Stadion Allianz[4] (Kapasitas: 41.507[5]) | |||
Pemilik |
| |||
Presiden | Andrea Agnelli | |||
Manajer | Ole Gunnar Solskjær | |||
Liga | Serie A | |||
2020–21 | ke-4, Serie A | |||
Situs web | Situs web resmi klub | |||
| ||||
Musim ini |
Sejak bulan September 2011, mereka berkandang di Juventus Stadium yang berkapasitas 41.507 tempat duduk.[10] Stadion tersebut dibangun di lokasi yang sama dengan stadion yang mereka gunakan sebelumnya, yaitu Stadion Delle Alpi, yang harus dirobohkan demi membangun Juventus Stadium.[11]
Juventus adalah klub tertua kedua di Italia,[12] setelah Genoa yang didirikan pada tahun 1893. Mereka tampil untuk pertama kalinya di liga divisi teratas Italia pada tahun 1900, setelah berganti nama menjadi Football Club Juventus. Mereka terus berada di kompetisi tertinggi tersebut (yang menggunakan nama Serie A sejak tahun 1929), kecuali pada musim 2006–2007.[13]
Pada tanggal 24 Juli 1923, direksi Juventus menunjuk Edoardo Agnelli, anak dari pendiri FIAT, untuk menjadi presiden klub yang baru.[3] Sejak saat itu, Juventus mulai dikelola oleh keluarga Agnelli. Hubungan antara klub sepak bola dan dinasti bisnis tersebut merupakan yang tertua dan terpanjang dalam sejarah olahraga di Italia. Hal tersebut menjadikan Juventus sebagai klub olahraga profesional pertama di negara tersebut.[14][15] Mereka pun menjadi kekuatan besar di Italia sejak era 1930-an, dan juga di Eropa sejak pertengahan 1970-an.[16] Sejak pertengahan tahun 1990-an, Juventus menjadi salah satu dari 10 klub sepak bola terkaya di dunia dari sisi nilai aset, pendapatan, dan keuntungan.[17] Mereka pun telah masuk bursa saham Borsa Italiana sejak tahun 2001.[18]
Seiring berjalannya waktu, Juventus pun menjadi simbol dari budaya Italia.[19][20][21] Klub tersebut memberikan kontribusi besar untuk tim nasional Italia sejak tahun 1920-an, turut berperan dalam kemenangan Italia pada Piala Dunia 1934, 1982, dan 2006.[22]
Dijuluki Vecchia Signora (“Nyonya Tua”), Juventus adalah klub tersukses di Italia, dan salah satu yang paling sukses di dunia.[23][24][25] Mereka telah memenangkan 36 gelar juara liga, 13 gelar Coppa Italia, dan delapan gelar Supercoppa Italiana. Selain itu, mereka juga telah berhasil meraih dua gelar Piala Interkontinental, dua gelar Liga Champions, satu gelar Piala Winners, tiga gelar Piala UEFA, satu gelar Piala Intertoto, dan dua gelar Piala Super Eropa.[26]
Karena prestasi tersebut, Juventus pun memimpin rangking FIGC dalam hal jumlah trofi di tingkat nasional, menempati posisi ke-5 di Eropa, dan ke-11 di dunia.[27]
Juventus merupakan klub dengan jumlah penggemar terbanyak di Italia, dan salah satu yang terbesar di dunia. Berbeda dengan banyak pendukung klub Eropa lainnya yang biasanya terkonsentrasi di sekitar kota asal klub tersebut, penggemar Juventus tersebar di seantero negeri dan di antara para imigran asal Italia yang tinggal di luar negeri.[28][29][30][31] Mereka pun merupakan salah satu pencetus ide untuk membuat European Club Association, yang dulu dikenal dengan nama G-14, yang berisi klub-klub kaya di Eropa.[32]
Di bawah kepemimpinan pelatih Giovanni Trapattoni, sejak tahun 1976 hingga 1986, Juventus berhasil memenangkan 13 gelar, termasuk enam gelar juara liga dan lima gelar internasional. Mereka pun menjadi klub pertama sepanjang sejarah sepak bola Eropa yang menjuarai tiga kompetisi di bawah naungan UEFA: yaitu Liga Champions 1984–1985, Piala Winners 1983–1984 (sekarang telah ditiadakan), dan Piala UEFA 1976–1977.[33][34][35][36][37][35]
Berkat keberhasilan mereka menjuarai Piala Super Eropa tahun 1984 dan Piala Interkontinental tahun 1985, Juventus pun menjadi klub pertama yang berhasil memenangkan seluruh gelar juara kompetisi resmi UEFA dan gelar juara dunia.[38][39][40] Prestasi ini diperkuat setelah mereka juga berhasil menjuarai Piala Intertoto tahun 1999, di era keemasan berikutnya di bawah arahan Marcello Lippi, membuat mereka menjadi satu-satunya klub profesional Italia yang berhasil meraih seluruh gelar juara yang mungkin mereka raih, baik di tingkat nasional maupun internasional.[41]
Pada bulan Desember 2000, Juventus menempati posisi ke-7 dalam rangking klub terbaik di dunia versi FIFA. Sembilan tahun kemudian, mereka menempati peringkat ke-2 dalam rangking klub terbaik di Eropa sepanjang abad ke-20 menurut penelitian statistik dari International Federation of Football History & Statistics (IFFHS). Di kedua rangking tersebut, Juventus menempati posisi yang lebih tinggi dibanding klub asal Italia lainnya.[25]
Sejarah
Awal mula
Juventus didirikan pada akhir tahun 1897 dengan nama Sport Club Juventus oleh siswa-siswa dari sekolah Massimo D'Azeglio Lyceum yang berlokasi di daerah Liceo D’Azeglio, Turin.[42] Dua di antaranya adalah kakak beradik Eugenio dan Enrico Canfari.[43]
Mereka pun mengadakan pertemuan untuk menentukan nama klub, hingga akhirnya ada tiga nama yang muncul, yaitu "Societa Via Port", "Societa sportive Massimo D’Azeglio", dan "Sport Club Juventus".[43] Nama terakhir akhirnya dipilih tanpa banyak keberatan, dan resmi menjadi nama klub mereka. Namun, dua tahun kemudian, mereka berganti nama menjadi Football Club Juventus.[2]
Klub tersebut lantas bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Pada tahun 1904, seorang pebisnis yang bernama Ajmone-Marsan mengambil alih aspek keuangan Juventus, dan membuat mereka bisa berpindah tempat latihan dari Piazza d’Armi ke Velodrome Umberto I yang kondisinya lebih layak.[43] Di periode tersebut, mereka menggunakan kostum pink-hitam. Juventus berhasil menjuarai kompetisi liga untuk pertama kalinya pada tahun 1905. Saat itu, mereka telah menggunakan kostum hitam-putih, terinspirasi dari klub asal Inggris Notts County.[44]
Pada tahun 1906, karena berbagai keluhan dan perdebatan di ruang ganti, Presiden Alfred Dick memutuskan untuk meninggalkan klub. Ia kemudian mendirikan klub baru bernama Torino dan membawa serta pemain-pemain asing terbaik di Juventus.[3] Perseteruan antara Juventus dan Torino terus berlanjut hingga saat ini, dan pertandingan antara keduanya dikenal dengan nama Derby della Mole.[45] Di periode tersebut, Juventus berjuang untuk kembali membangun tim setelah perpecahan, dan berusaha tetap bertahan di tengah kekacauan Perang Dunia I.[44]
Dominasi liga
Pemilik FIAT, Edoardo Agnelli, mengambil alih kendali atas tim Juventus pada tahun 1923, dan langsung membangun stadion baru.[2] Hal ini pun membantu Juventus untuk meraih scudetto (gelar juara liga) yang kedua pada musim 1925–1926, setelah mengalahkan Alba Roma dengan skor agregat 12–1.[46] Pada era 1930-an, Juventus telah berhasil menjadi kekuatan utama di sepak bola Italia dengan menjadi klub profesional pertama di negara tersebut dan klub dengan basis penggemar pertama yang tersebar di berbagai kota. Hal ini mendukung mereka untuk mendapatkan gelar juara liga selama lima kali berturut-turut sejak tahun 1930 hingga 1935 (empat gelar pertama diraih di bawah asuhan pelatih Carlo Carcano).[44] Selain itu, Juventus pun berkontribusi dalam skuad tim nasional Italia yang dilatih oleh Vittorio Pozzo, yang berhasil menjadi juara dunia pada tahun 1934.[47] Beberapa pemain bintang Juventus yang turut membela Italia saat itu antara lain Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Giovanni Ferrari dan Luis Monti.[48]
Juventus kemudian memindahkan kandang mereka ke Stadio Comunale, tetapi gagal merajai sepak bola Italia pada akhir 1930-an dan awal 1940-an. Mereka bahkan harus mengakui keunggulan tim sekota, Torino. Secercah harapan muncul saat mereka berhasil menjuarai Piala Italia untuk pertama kalinya pada musim 1937–1938 dengan mengalahkan Torino.[49] Mereka sempat mengakhiri musim 1940–1941 di posisi ke-6, namun berhasil meraih Piala Italia kedua di musim berikutnya.[50] Pada periode ini, Italia tengah mengikuti Perang Dunia II, sehingga menghambat jalannya liga. Pada tahun 1944, Juventus mengikuti sebuah turnamen lokal yang akhirnya urung diselesaikan. Pada tanggal 14 Oktober 1945, liga kembali bergulir dengan pertandingan derby antara Juventus dan Torino. Juventus berhasil mengalahkan rival sekotanya dengan skor 2–1,[51] tetapi Torino yang saat itu dikenal sebagai “Grande Torino” berhasil mengakhiri musim sebagai juara.[52]
Setelah Perang Dunia II, para tanggal 22 Juli 1945, Gianni Agnelli terpilih sebagai presiden kehormatan klub. Selama masa kepemimpinannya, Agnelli mendatangkan beberapa pemain baru seperti Giampiero Boniperti, Muccinelli, dan pemain asal Denmark John Hansen. Mereka berhasil menjuarai liga di musim 1949–1950 dan 1951–1952. Gelar pada tahun 1950 mereka raih lewat kepemimpinan pelatih asal Inggris, Jesse Carver.[53]
Pada tanggal 18 September 1954, Gianni Agnelli meninggalkan Juventus. Pada tahun tersebut, Juventus hanya berhasil mengakhiri musim di posisi ke-7. Pada musim berikutnya, barisan pemain muda di bawah kepemimpinan pelatih Puppo berusaha untuk bangkit. Semangat mereka pun bertambah setelah masuknya Umberto Agnelli sebagai komisioner klub pada tahun 1955.[54]
Pada musim 1957–1958, Juventus merekrut dua penyerang baru, yaitu John Charles yang berasal dari Wales, dan Omar Sivori yang berasal dari Argentina.[55] Mereka pun berhasil kembali menjadi juara, dan berhak mengenakan tanda bintang kehormatan karena telah menjuarai 10 gelar juara liga. Mereka pun menjadi klub Italia pertama yang mendapat penghargaan tersebut.[56] Di musim tersebut, Sívori menjadi pemain pertama Juventus yang berhasil mendapatkan gelar Pemain Terbaik Eropa.[57] Pada musim berikutnya, mereka mengalahkan Fiorentina di final Coppa Italia,[58] dan untuk pertama kalinya berhasil mendapatkan gelar ganda (Serie A dan Coppa Italia). Boniperti memutuskan untuk pensiun pada tahun 1961, dengan status sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa bagi Juventus dengan 182 gol di semua kompetisi. Rekor tersebut bertahan selama 45 tahun.[59]
Pada era 1960-an, Juventus hanya berhasil satu kali menjuarai liga, yaitu pada musim 1966–67. Namun, pada awal tahun 1970-an, Juventus kembali memperkuat posisi mereka di sepak bola Italia di bawah asuhan mantan pemain mereka Čestmír Vycpálek.[60] Pada musim 1970–1971, Juventus berhasil mencapai final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA), namun harus kalah dari Leeds United.[61]
Pada musim 1972–1973, mereka kedatangan beberapa pemain baru, seperti Dino Zoff dan Jose Altafini dari Napoli.[62] Saat itu, mereka dihadapkan pada jadwal yang padat di Serie A dan kompetisi Eropa. Juventus berhasil merebut gelar scudetto ke-15 setelah menyalip AC Milan di detik-detik terakhir, setelah tim asal kota Milan tersebut secara mengejutkan kalah di pertandingan terakhir mereka. Juventus pun berhasil masuk final Liga Champions, namun harus kalah dari Ajax Amsterdam yang diperkuat oleh Johan Crujff.[63]
Di musim-musim berikutnya, Juventus berhasil menambah tiga gelar juara liga pada musim 1974–1975, 1976–1977, dan 1977–1978. Prestasi ini mereka raih berkat penampilan gemilang bek Gaetano Scirea dan kepemimpinan pelatih Giovanni Trapattoni,[64] yang membawa Juventus meraih gelar pertama di kancah Eropa, tepatnya gelar Piala UEFA tahun 1977. Selama era Trapattoni, banyak pemain Juventus yang kemudian menjadi tulang punggung tim nasional Italia yang sukses di bawah arahan pelatih Enzo Bearzot, yang berhasil tampil baik di Piala Dunia 1978, Euro 1980, dan menjuarai Piala Dunia 1982.[65][66]
Pentas Eropa
Di masa kepelatihan Trapattoni pada tahun 1980-an,[44] Juventus meraih kesuksesan besar dengan menenangkan gelar Serie A sebanyak empat kali. Pada tahun 1984, mereka meraih gelar juara liga ke-20, sehingga berhak mengenakan bintang tambahan di seragam mereka, menjadi satu-satunya klub Italia yang berhasil meraih prestasi tersebut.[67] Enam pemain Juventus turut bergabung dengan tim nasional Italia yang menjadi juara Piala Dunia 1982.[68] Paolo Rossi merupakan pemain Juventus yang paling mencuri perhatian, hingga berhasil meraih penghargaan sebagai Player of the Tournament dan menjadi Pemain Terbaik Eropa pada tahun 1982.[69]
Juventus kembali menjadi favorit di Serie A musim 1982–1983 setelah kedatangan bintang Perancis, Michel Platini.[70] Sayangnya, jadwal mereka yang padat dengan kompetisi Eropa membuat mereka tidak konsisten di liga domestik. Sempat hanya berselisih 3 poin dengan Roma yang menempati posisi puncak, Juventus gagal mengejar dan harus merelakan klub asal ibukota tersebut menjadi juara. Di Eropa, Juventus berhasil lolos ke babak final Liga Champions, namun harus kalah dari Hamburg.[71]
Pada musim panas 1983, Juventus harus kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di usia 41 tahun,[72] sedangkan Bettega hijrah ke Kanada untuk mengakhiri karier di sana.[73] Mereka lantas merekrut kiper baru dari Avellino, yaitu Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola.[74] Sedangkan Nico Penzo menjadi pendamping Rossi di lini depan. Pada saat itu, mereka harus berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, yaitu liga domestik dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juventus berhasil memastikan gelar juara liga satu pekan sebelum kompetisi usai.[75] Prestasi ini pun ditambah keberhasilan mereka menjuarai Piala Winner dengan mengalahkan Porto 2–1 di Basel pada tanggal 16 Mei 1984.[76]
Pada musim berikutnya, Juventus gagal meraih gelar juara Serie A yang jatuh ke tangan Hellas Verona. Namun mereka berhasil menjuarai Liga Champions pada tahun 1985 lewat gol semata wayang Platini di partai final.[77] Sayangnya, pertandingan penutup melawan Liverpool FC yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia harus diwarnai dengan kematian 39 suporter Juventus akibat bentrokan dengan para hooligans pendukung Liverpool. Sebagai hukuman dari tragedi tersebut, semua tim asal Inggris dilarang untuk mengikuti kejuaraan Eropa selama lima tahun.[78]
Keberhasilan menjuarai Liga Champions tersebut membuat Juventus menjadi satu-satunya tim yang berhasil menjuarai tiga kompetisi utama UEFA. Ditambah keberhasilan mereka menjuarai Intercontinental Cup, Juventus pun menjadi satu-satunya klub hingga saat ini yang berhasil memenangkan seluruh gelar juara kompetisi resmi UEFA dan gelar juara dunia. Prestasi tersebut semakin diperkuat dengan kesuksesan menjuarai Piala Intertoto pada tahun 1999.[41][79]
Michel Platini, bintang Juventus pada saat itu, juga berhasil menjadi pemain terbaik Eropa untuk yang ketiga kalinya secara berturut-turut.[57] Bila ditambah gelar serupa yang diraih Paolo Rossi pada tahun 1982, maka Juventus telah meraih gelar tersebut selama empat kali berturut-turut. Juventus sempat meraih gelar scudetto pada musim 1985–1986, yang juga merupakan tahun terakhir Trapattoni di Juventus.[80]
Pada tahun 1990, Juventus pindah ke kandang baru mereka, yaitu Stadio Delle Alpi, yang sebelumnya mengalami proses renovasi menjelang Piala Dunia 1990.[81]
Kesuksesan era Lippi
Marcello Lippi mengambil alih posisi pelatih Juventus pada awal musim 1994–1995.[2] Ia langsung mengantarkan Juventus menjuarai Serie A untuk pertama kalinya sejak pertengahan tahun 1980-an di musim tersebut, lengkap dengan gelar juara Coppa Italia.[82] Pemain bintang mereka saat itu adalah Ciro Ferrara, Roberto Baggio, Gianluca Vialli dan pemain muda berbakat bernama Alessandro Del Piero. Lippi kemudian memimpin Juventus untuk menjuarai Liga Champions Eropa pada musim berikutnya, dengan mengalahkan Ajax Amsterdam melalui drama adu penalti, setelah skor imbang 1–1 pada babak normal. Fabrizio Ravanelli menyumbangkan satu gol untuk Juve di pertandingan tersebut.[83]
Setelah berhasil bangkit dan menjuarai Liga Champions, Juventus tidak lantas tinggal diam. Mereka kembali merekrut pemain-pemain bintang, seperti Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi dan Edgar Davids. Mereka pun berhasil menjuarai Serie A di musim 1996–1997 dan 1997–1998, Piala Super UEFA 1996,[84] dan Piala Interkontinental 1996.[85] Juventus juga berhasil mencapai final Liga Champions pada tahun 1997 dan 1998, tetapi harus takluk oleh Borussia Dortmund (Jerman) dan Real Madrid (Spanyol).[86][87]
Lippi sempat digantikan oleh Carlo Ancelotti selama dua setengah musim.[88] Ia kembali pada tahun 2001, menyusul pemecatan terhadap Ancelotti, dan langsung merekrut nama-nama besar, seperti Gianluigi Buffon, David Trezeguet, Pavel Nedvěd, dan Lilian Thuram. Mereka sukses menjuarai Serie A pada musim 2001–2002 dan 2002–2003.[44] Pada tahun 2003, terjadi All Italian Final di Liga Champions, namun Juventus harus kalah dari Milan lewat adu penalti setelah pertandingan di waktu normal berakhir tanpa gol.[89] Di akhir musim berikutnya, Lippi ditunjuk untuk menjadi pelatih tim nasional Italia, membuat ia harus mengakhiri salah satu periode kepelatihan paling sukses sepanjang sejarah Juventus.[80]
Skandal "Calciopoli"
Fabio Capello menjadi pelatih Juventus pada tahun 2004, dan membawa klub tersebut meraih dua gelar Serie A secara berturut-turut.[90]
Namun, pada bulan Mei 2006, Juventus merupakan salah satu dari lima klub Serie A yang dihubungkan dengan skandal pengaturan skor. Karena kasus tersebut, mereka pun ditempatkan di posisi terbawah untuk musim tersebut, dan harus terdegradasi ke Serie B untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Gelar juara yang mereka raih pada musim 2004–2005 dicopot, dan posisi teratas untuk musim 2005–2006 diserahkan kepada Inter Milan.[13]
Setelah kasus tersebut, banyak pemain kunci mereka yang meninggalkan klub karena tidak mau bermain di Serie B, seperti Lilian Thuram, striker Zlatan Ibrahimović, dan bek tengah Fabio Cannavaro. Namun, nama-nama besar seperti Gianluigi Buffon, Alessandro Del Piero, David Trezeguet, dan Pavel Nedvěd, tetap bertahan untuk membantu Juventus kembali ke Serie A. Para pemain tim Primavera (junior) seperti Sebastian Giovinco dan Claudio Marchisio pun langsung dimainkan di tim utama. Juventus meraih gelar juara Serie B pada musim 2006–2007, dan berhak untuk kembali berlaga di Serie A.[91]
Pada tahun 2010, Juventus mempertimbangkan untuk mengajukan banding terhadap pencopotan gelar juara mereka di musim 2004–2005 dan 2005–2006, setelah melihat hasil persidangan yang berkaitan dengan skandal tersebut.[92] Tuduhan terhadap mantan General Manager Juventus Luciano Moggi, yang dianggap melakukan tindakan kriminal, ditolak sebagian oleh Mahkamah Agung Italia pada tanggal 23 Maret 2015.[93] Juventus pun menggugat FIGC untuk membayar ganti rugi sebesar €443 juta atas kerugian yang mereka terima akibat degradasi ke Serie B pada tahun 2006. Presiden FIGC Carlo Tavecchio menawarkan diskusi untuk mengembalikan gelar juara Juventus, asalkan Juventus mau menarik gugatan tersebut.[94] Pada tanggal 9 September 2015, Mahkamah Agung Italia mengeluarkan dokumen setebal 150 halaman yang menjelaskan keputusan akhir terkait kasus itu. Meski sebagian tuduhan terhadap Moggi dibatalkan (tanpa persidangan baru), pengadilan tetap menyatakan bahwa Moggi secara aktif terkait dengan kasus kecurangan yang menguntungkan Juventus dan dirinya sendiri.[95] Pada tahun 2016, pengadilan TAR menolak permintaan kompensasi dari Juventus.[96]
Kembali ke Serie A
Saat kembali ke Serie A pada musim 2007–2008, Juventus menunjuk mantan manajer Chelsea Claudio Ranieri sebagai pelatih.[97] Mereka berhasil meraih posisi ketiga di akhir musim, dan berhak untuk berlaga di Liga Champions musim 2008–2009 lewat babak kualifikasi ketiga. Juventus berhasil mencapai fase grup, dan mengalahkan Real Madrid baik di pertandingan kandang maupun tandang.[98] Sayangnya, mereka harus takluk dari Chelsea pada babak gugur. Karena serangkaian hasil buruk, Ranieri akhirnya dipecat dan digantikan oleh Ciro Ferrara sebagai pelatih sementara di dua pertandingan terakhir Serie A musim 2008–2009.[99] Ferrara kemudian terpilih sebagai pelatih tetap untuk musim berikutnya.[100]
Kiprah Ferrara tidak diwarnai dengan kesuksesan. Juventus harus tersingkir dari Liga Champions dan Coppa Italia, serta hanya berhasil menempati posisi ke-6 di klasemen Serie A, pada akhir bulan Januari 2010. Hasil buruk tersebut membuat Ferrara akhirnya dipecat dan digantikan oleh Alberto Zaccheroni sebagai pelatih sementara.[101]
Pada musim 2010–2011, posisi Jean-Claude Blanc sebagai Presiden klub digantikan oleh Andrea Agnelli. Langkah pertama yang dilakukan Agnelli setelah menjadi Presiden adalah mengganti Zaccheroni dengan pelatih Sampdoria Luigi Del Neri, dan mengganti Direktur Olahraga mereka Alessio Secco dengan Giuseppe Marotta.[102] Sayangnya, Del Neri juga gagal mengubah peruntungan Juventus dan dipecat. Mantan pemain Juventus yang baru saja membawa Siena promosi ke Serie A, Antonio Conte, ditunjuk untuk mengisi posisi Del Neri. Pada bulan September 2011, Juventus memindahkan kandang mereka ke Juventus Stadium.[103]
Bersama Conte sebagai pelatih, Juventus meraih hasil yang diharapkan. Mereka tak terkalahkan sepanjang musim 2011–2012 di Serie A. Di paruh kedua musim, mereka praktis hanya bersaing dengan Milan untuk memperebutkan posisi pertama. Juventus memenangkan gelar tersebut di pekan ke-37 setelah mengalahkan Cagliari 2–0, dan Milan kalah dari Internazionale dengan skor 4–2. Setelah kemenangan 3–1 atas Atalanta di pekan terakhir, Juventus pun resmi menjadi tim pertama yang mengakhiri Serie A tanpa terkalahkan (dalam kompetisi yang menggunakan format 38 pertandingan).[104] Beberapa prestasi lain yang juga mereka raih saat itu adalah kemenangan tandang terbesar saat mengalahkan Fiorentina dengan skor 5–0, rekor pertahanan terbaik di Serie A (hanya kebobolan 20 kali, paling sedikit dalam format liga yang digunakan saat ini), yang juga merupakan rekor pertahanan terbaik kedua di antara liga-liga besar Eropa.[105]
Pada musim 2013–2014, Juventus meraih scudetto ketiga secara berturut-turut bersama Antonio Conte. Di musim tersebut, mereka bahkan berhasil mengumpulkan rekor poin terbanyak (102) dengan 33 kemenangan. Itu adalah gelar ke-30 sepanjang sejarah Juventus. Mereka pun berhasil mencapai babak semi final di Europa League, tetapi harus tereliminasi oleh Benfica yang pada pertandingan kedua bermain dengan 10 orang dan menerapkan pertahanan catenaccio. Mereka pun gagal melaju ke babak final yang berlangsung di kandang mereka sendiri, Juventus Stadium.[106][107]
Di akhir musim, Antonio Conte memutuskan untuk mundur dan digantikan oleh Massimiliano Allegri.[108]
Era Allegri
Di bawah kepemimpin mantan pelatih Milan tersebut, Juventus berhasil meraih gelar juara Serie A sebanyak lima kali berturut-turut. Bila ditambah dengan gelar juara yang diraih bersama Conte, maka mereka telah menjadi scudetto selama delapan kali berturut-turut. Bersama Allegri, Juventus berhasil masuk ke babak final Liga Champions sebanyak dua kali, meski selalu gagal di dua kesempatan tersebut.[109]
Pada musim pertama Allegri, 2014–2015, Juventus berhasil meraih gelar Serie ke-31 dan gelar juara Coppa Italia ke-10.[110] Mereka pun mengalahkan Real Madrid di babak semi final Liga Champions dengan agregat 3–2, dan berhak untuk menghadapi Barcelona dalam babak final yang berlangsung di Berlin. Ini adalah pertama kalinya Juventus berhasil masuk ke babak final Liga Champions sejak musim 2002–2003.[111] Sayangnya, Juventus harus takluk 1–3 lewat gol cepat Ivan Rakitić, yang diikuti oleh gol balasan Alvaro Morata di menit ke-55. Barcelona kembali unggul berkat gol Luis Suárez di menit ke-70, diikuti dengan gol Neymar di menit akhir lewat skema serangan balik.[112]
Pada tanggal 25 April 2016, Juventus mendapatkan gelar ke-32 mereka dan yang kelima secara berturut-turut. Terakhir kali mereka menjuarai Serie A sebanyak lima kali berturut-turut adalah di musim 1930–1931 hingga 1934–1935. Mereka berhasil memastikan titel juara setelah Napoli takluk dari Roma, membuat Juventus tak lagi bisa terkejar secara matematis, meski liga masih menyisakan tiga pertandingan lagi. Pada tanggal 21 Mei, Juventus kembali meraih Coppa Italia yang ke-11 dan dua kali secara berturut-turut. Hal ini membuat Juventus menjadi tim pertama di Italia yang berhasil mengawinkan gelar Serie A dan Coppa Italia selama dua musim berturut-turut.[113][114][115]
Pada tanggal 17 Mei 2017, Juventus menjuarai Coppa Italia ke-12 setelah menang 2–0 atas Lazio di babak final. Mereka pun menjadi tim pertama di Italia yang berhasil menjuarai Coppa Italia selama tiga kali berturut-turut.[116] Empat hari kemudian, Juventus memastikan diri sebagai tim pertama di Italia yang berhasil menjuarai liga selama enam kali berturut-turut.[117] Pada tanggal 3 Juni 2017, Juventus kembali lolos ke babak final Liga Champions kedua mereka selama tiga tahun terakhir. Sayangnya, mereka kembali gagal setelah kalah 1–4 dari juara bertahan Real Madrid. 10 menit sebelum peluit akhir dibunyikan, terjadi insiden kerusuhan di Turin yang menyebabkan dua orang meninggal dan ribuan orang lainnya cedera. Hal ini disebabkan aksi perampokan dengan semprotan merica yang disalahartikan sebagai serangan bom, sehingga kepanikan pun terjadi.[118][119]
Pada musim 2017–2018, Juventus kembali meraih gelar Coppa Italia yang keempat secara berturut-turut setelah mengalahkan Milan dengan skor 4–0 di babak final.[120] Mereka pun berhasil meraih gelar juara ketujuh secara berturut-turut.[121]
Pada awal musim 2018–2019, Juventus memecahkan rekor transfer termahal untuk pemain di atas 30 tahun, dan rekor transfer termahal oleh klub asal Italia, ketika mereka merekrut pemain berusia 33 tahun Cristiano Ronaldo. Mereka menggaet Ronaldo dari Real Madrid dengan biaya €112 juta.[122] Ronaldo pun menjadi pemain kunci yang membawa Juventus kembali meraih gelar juara di Serie A, kedelapan secara berturut-turut.[123] Di akhir musim, Juventus memberhentikan Allegri, dan merekrut mantan pelatih Napoli Maurizio Sarri yang baru saja berhasil membawa Chelsea menjuarai Europa League.[124]
Pada tanggal 8 Agustus 2020, Juventus memecat Sarri usai kegagalan di Liga Champions. Sehari kemudian, mereka menunjuk Andrea Pirlo sebagai penggantinya.[125]
Warna, logo, dan julukan
Juventus bermain dengan kostum berwarna putih dan dasi hitam sejak tahun 1897. Mereka kemudian menggunakan kostum berwarna pink dengan dasi hitam, yang dibuat oleh ayah dari salah satu pemain mereka pada saat itu. Namun setelah dicuci berkali-kali, warna kostum tersebut pun memudar, sehingga pada tahun 1903 klub memutuskan untuk mengganti kostum.[126] Mereka bertanya kepada John Savage, salah seorang pemain mereka yang berasal dari Inggris, apakah ia mempunyai kenalan di Inggris yang bisa menyuplai kostum untuk klub. Savage pun menghubungi temannya yang tinggal di Nottingham, yang merupakan fans dari klub Notts County. Teman Savage tersebut akhirnya mengirimkan kostum hitam putih, seperti kostum yang digunakan Notts County.[44] Kostum tersebut pun terus digunakan Juventus hingga saat ini.[127]
Logo resmi Juventus telah beberapa kali mengalami perubahan dan modifikasi kecil sejak tahun 1920-an. Sebelum tahun 1980-an, logo Juventus berbentuk perisai oval dengan garis hitam putih. Tulisan Juventus di bagian atas perisai berbentuk cekung dengan latar belakang biru yang merupakan simbol kota Turin. Di bagian bawah perisai terdapat gambar zebra dan mahkota emas yang berukuran cukup besar. Pada tahun 1980-an, Juventus sempat menggunakan siluet seekor zebra sebagai logo, sebelum kembali lagi ke bentuk perisai oval khas tim-tim Italia pada tahun 1990.[128]
Pada tahun 2004, Juventus kembali mengubah logo. Mereka tetap menggunakan bentuk perisai oval dengan lima garis hitam putih, namun tulisan Juventus di bagian atas dibuat berbentuk cembung dengan sebuah garis lengkung berwarna emas (yang melambangkan kehormatan) di bawahnya. Di bagian bawah, gambar zebra diganti menjadi siluet seekor banteng yang juga merupakan simbol kota Turin. Di atas siluet tersebut, terdapat sebuah mahkota hitam dengan ukuran lebih kecil yang melambangkan Augusta Tourinorum, sebuah kota tua di era Romawi yang merupakan cikal bakal kota Turin saat ini.[128]
Juventus adalah tim pertama dalam sejarah sepak bola dunia yang menggunakan simbol bintang sebagai tanda bahwa mereka telah menjuarai liga domestik sebanyak sepuluh kali. Mereka mulai memasang simbol bintang di atas logo mereka pada tahun 1958, yang kemudian juga diikuti oleh klub-klub lain.[129]
Juventus meraih gelar ke-30 setelah menjuarai Serie A pada musim 2011–2012. Namun karena gelar juara mereka di musim 2004–2005 dan 2005–2006 dicabut karena dugaan keterlibatan dalam skandal pengaturan skor pada tahun 2006, FIGC menganggap bahwa total gelar juara mereka secara resmi masih berjumlah 28. Juventus pun memutuskan untuk tidak menggunakan simbol bintang sama sekali di musim selanjutnya.[130] Juventus meraih gelar resmi ke-30 mereka pada musim 2013–2014 dan berhak mengenakan tiga bintang, namun presiden Andrea Agnelli mengatakan bahwa pihaknya akan berhenti menggunakan simbol tersebut hingga ada tim Italia lain yang menjuarai Serie A sebanyak 20 kali dan berhak mengenakan dua bintang, untuk menunjukkan superioritas Juventus.[131] Namun, pada musim 2015–2016, Juventus kembali menggunakan simbol bintang dan menambahkan bintang ketiga di kostum mereka.[132][133]
Pada bulan Januari 2017, presiden Andrea Agnelli mengumumkan perubahan terbaru untuk logo Juventus. Logo baru tersebut mempunyai tulisan “Juventus” di bagian atas, dengan dua huruf J kapital dengan jenis font yang berbeda dan dipasang bersama, sehingga celah di antara keduanya juga menunjukkan huruf J. Agnelli mengatakan bahwa logo tersebut melambangkan “gaya hidup Juventus”.[134]
Juventus mengumumkan peluncuran sebuah proyek baru khusus untuk penggemar anak-anak yang bernama JKids, pada bulan September 2015. Di waktu yang sama, Juventus juga memperkenalkan sebuah maskot baru untuk para fans yang bernama J. J adalah seekor zebra berbentuk kartun, dengan garis hitam putih berlapis emas di tubuhnya, mata berwarna emas, dan tiga simbol bintang di bagian depan lehernya.[135] J tampil untuk pertama kalinya di Juventus Stadium pada tanggal 12 September 2015.[136]
Sepanjang sejarah, Juventus telah mempunyai beberapa nama julukan. La Vecchia Signora (The Old Lady dalam Bahasa Inggris atau Si Nyonya Tua dalam Bahasa Indonesia) merupakan contoh julukan yang paling terkenal. Kata “tua” dalam julukan tersebut merupakan sebuah permainan kata, karena kata Juventus sendiri justru berarti “muda” dalam Bahasa Latin. Nama Juventus digunakan karena para pemain bintang klub tersebut hingga pertengahan tahun 1930-an relatif berusia muda. Kata “nyonya” dalam julukan tersebut merupakan sebutan yang digunakan para fans ketika menyebut Juventus sebelum era 1930-an.[137]
Juventus juga mendapat julukan La Fidanzata d’Italia (The Girlfriend of Italy dalam Bahasa Inggris atau Sang Kekasih Italia dalam Bahasa Indonesia), karena selama bertahun-tahun mereka mendapat dukungan besar dari para imigran pekerja asal Italia Selatan (khususnya kota Napoli dan Palermo), yang bekerja untuk FIAT di kota Turin sejak tahun 1930-an.[42]
I Gobbi (Si Bungkuk) adalah julukan yang digunakan untuk para suporter Juventus, namun sering digunakan juga untuk para pemain. Asal mula julukan tersebut adalah ketika para pemain Juventus masih menggunakan kostum berukuran besar dengan tali pengait yang terbuka di bagian dada, pada tahun 1950-an. Saat pemain berlari di lapangan, kostum mereka pun mengembang di bagian punggung seperti parasut, sehingga mereka terlihat mirip dengan orang bungkuk.[138]
Himne resmi Juventus berjudul Juve (Storia di un Grande Amore) atau Juve (Kisah Cinta yang Agung) dalam Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Alessandra Torre dan Claudio Guidetti, dinyanyikan oleh Paolo Belli pada tahun 2007.[139] Pada tahun 2016, sebuah film dokumenter tentang Juventus yang berjudul Black and White Stripes: The Juventus Story diproduksi oleh La Villa Brothers.[140] Pada 16 Februari 2018, tiga episode awal dari seri dokumenter berjudul First Team: Juventus dirilis di Netflix. Seri dokumenter tersebut mengikuti kegiatan para pemain baik di dalam maupun di luar lapangan sepanjang musim.[141]
Stadion
Lokasi | Corso Gaetano Scirea, 10151 Turin, Italia |
---|---|
Pemilik | Juventus F.C. |
Operator | Juventus F.C. |
Kapasitas | 41,507 tempat duduk |
Konstruksi | |
Mulai pembangunan | 1 Maret 2009 |
Dibuka | 8 September 2011 |
Biaya | €155,000,000[142] |
Arsitek | Hernando Suarez, Gino Zavanella, Giorgetto Giugiaro |
Setelah bermain di Parco del Valentino dan Parco Cittadella pada dua musim perdana (1897 dan 1898), Juventus memainkan pertandingan kandang mereka di Piazza d’Armi Stadium hingga tahun 1908,[143] kecuali pada tahun 1905 (tahun pertama mereka meraih gelar scudetto) dan 1906 saat partai kandang mereka dimainkan di Corso Re Umberto.[144]
Sejak tahun 1909 hingga 1922, Juventus bermain di Corso Sebastopoli Camp, sebelum pindah pada tahun berikutnya ke Corso Marsiglia Camp dan bertahan di sana hingga tahun 1933.[3] Selama rentang waktu tersebut, mereka berhasil memenangkan empat gelar juara liga. Pada akhir tahun 1933, Juventus mulai bermain di Stadio Mussolini yang baru diresmikan menjelang Piala Dunia 1934. Setelah Perang Dunia II, stadion tersebut berganti nama menjadi Stadio Comunale Vittorio Pozzo. Juventus menggunakan stadion tersebut untuk menggelar partai kandang selama 57 tahun, dan memainkan total 890 pertandingan liga.[145]
Sejak tahun 1990 hingga musim 2005–2006, tim asal kota Turin tersebut memainkan partai kandang mereka di Stadion Delle Alpi, yang dibangun untuk Piala Dunia 1990. Sesekali, mereka juga menggunakan stadion lain seperti Renzo Barbera di Palermo, Dino Manuzzi di Cesena, dan San Siro di Milan.[146]
Pada bulan Agustus 2006, Juventus kembali bermain di Stadio Comunale, yang sekarang dikenal sebagai Stadion Olimpico, setelah stadion tersebut direnovasi menjelang Olimpiade Musim Dingin 2006.[147]
Pada bulan November 2008, Juventus mengumumkan bahwa mereka akan menginvestasikan dana sekitar €120 juta untuk membangun stadion baru yang bernama Juventus Stadium, di bekas lokasi Stadio Delle Alpi.[11] Berbeda dengan stadion sebelumnya, Juventus Stadium tidak memiliki lintasan lari, dan jarak antara bangku penonton dan tepi lapangan hanya 7,5 meter. Stadion berkapasitas 41.507 penonton tersebut mulai dibangun pada musim semi tahun 2009, dan dibuka secara resmi pada tanggal 8 September 2011, menjelang musim 2011–2012. Sejak tanggal 1 Juli 2017, Juventus Stadium dikenal secara komersial sebagai Allianz Stadium selama enam musim hingga 30 Juni 2023.[148]
Pendukung
Juventus merupakan salah satu klub sepak bola dengan jumlah pendukung terbesar di Italia, dengan jumlah pendukung hampir dua belas juta orang[149] (32.5% dari total tifosi bola di Italia), merujuk pada penelitian yang dilakukan pada Agustus 2008 oleh harian La Repubblica.[30] Selain itu, Juventus juga merupakan salah satu klub dengan jumlah pendukung terbesar di dunia, dengan jumlah fans hampir mencapai 170 juta orang[149] (43 juta orang di Eropa),[149] selebihnya ada di Mediterrania, yang kebanyakkan diisi oleh imigran Italia.[150] Tim Turin ini juga mempunyai grup pendukung yang cukup besar di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia yaitu Juventus Club Indonesia.[151]
Tiket-tiket pertandingan kandang Juve memang tidak selalu habis setiap kali Juve bertanding di Seri-A atau Eropa, karena kebanyakan pendukung Juve di Turin justru mendukung tim kesayangan mereka lewat bar-bar atau restoran. Di luar Italia, kekuatan suporter Juventus sangatlah kuat. Juve juga sangat populer di Italia Utara dan Pulau Sisilia, dan menjadi kekuatan besar saat Juve bertanding tandang.[152]
Rivalitas
Juventus mempunyai beberapa rival utama di Italia. Pertama adalah klub sekota, FC Torino, di mana setiap pertandingan derbi melawan Torino selalu dijuluki Derby della Mole (Derby dari Torino) yang berawal sejak tahun 1906.[153] Menariknya, Torino sendiri sebenarnya didirikan oleh mantan-mantan pemain Juventus. Rival Juve yang lain di Italia adalah Internazionale, yang bermarkas di kota Milan, ibukota dari provinsi tetangga Lombardia. Pertandingan Juve vs Inter dijuluki sebagai Derby d'Italia (Derby dari Italia).[154] Sampai akhir musim 2006 ketika Juve terlempar ke Seri B, Inter dan Juve merupakan dua tim yang tidak pernah terdegradasi ke Seri B. Dua klub ini juga menjadi klub dengan fans terbesar di Italia, sejak pertengahan 1990-an.[154]
Bersama Juventus, AC Milan adalah klub Italia dengan jumlah trofi paling banyak. Tidak jarang persaingan keduanya harus berlanjut dengan perseteruan antar suporter dan pergerakan harga di bursa saham Italia.[155] Kedua klub tersebut sering bersaing memperebutkan posisi teratas klasamen, sehingga pertandingan antara keduanya bisa sangat menentukan juara liga di musim tersebut.[156] Juventus juga mempunyai rivalitas dengan klub Italia lain, seperti AS Roma,[157] AC Fiorentina,[158] dan Napoli.[159]
Satu lagi rival utama Juventus di Eropa adalah Liverpool FC. Khusus Liverpool, tifosi Juve tidak akan pernah melupakan tragedi kerusuhan Heysel 1985 (final Liga Champions 1985), di mana sekitar 39 orang pendukung Juventus tewas di stadion yang berada di Belgia tersebut.[78]
Himne Juventus
Setiap kali Juventus bertanding di kandang, Juventus stadium akan memutarkan lagu resmi klub yang berjudul Juve (storia di un grande amore) atau Juve (sebuah kisah cinta yang agung). Lagu ini dibuat oleh Alessandra Torre dan Claudio Guidetti, serta dinyanyikan oleh Paolo Belli pada tahun 2007.[160]
Bahasa Italia | Bahasa Inggris | Bahasa Indonesia |
---|---|---|
Simili a degli eroi Abbiamo il cuore a strisce Juve, storia di un grande amore Portaci dove vuoi Juve, storia di un grande amore Juve, storia di un grande amore Juve, storia di un grande amore |
Similar to heroes We've got a striped heart Juve, story of a great love Take us wherever you want Juve, story of a great love Juve, story of a great love Juve, story of a great love |
Seperti para pahlawan Kami punya hati bergaris Juve, sebuah kisah cinta yang agung Bawa kami ke mana pun kau mau Juve, sebuah kisah cinta yang agung Juve, sebuah kisah cinta yang agung Juve, sebuah kisah cinta yang agung |
Pembinaan pemain muda
Para pemain muda dari Juventus telah dikenal sebagai salah satu barisan pemain muda terbaik di Eropa, terutama di Italia.[161] Meski tidak semua pemain muda Juventus mampu masuk ke tim utama, beberapa di antara mereka justru sukses saat bergabung dengan klub lain. Di bawah asuhan pelatih Vincenzo Chiarenza, skuat Primavera (U-20) menikmati beragam prestasi, di antaranya adalah merajai kompetisi di berbagai tingkat usia dari tahun 2004 sampai 2006.[162]
Seperti klub Eredivisie Belanda, Ajax Amsterdam dan beberapa klub Liga Premier Inggris, Juventus juga mengoperasikan beberapa klub sepak bola satelit dan sekolah sepak bola di beberapa negara di dunia (misal: Amerika Serikat, Kanada, Yunani, Arab Saudi, Australia dan Swiss) serta beberapa kamp sepak bola di beberapa negara lainnya untuk mencari pemain-pemain muda berbakat.[163]
Barisan pemain muda Juventus juga dikenal karena kontribusinya ke tim nasional Italia, baik tim senior maupun junior. Di antara pemain-pemain muda Juventus yang berbakat antara lain: Gianpiero Combi saat Piala Dunia 1934, Pietro Rava saat Olimpiade 1936 dan Piala Dunia 1938, Giampiero Boniperti, Roberto Bettega, bintang Piala Dunia 1982 Paolo Rossi, dan yang terkini adalah Domenico Criscito dan Claudio Marchisio yang menjadi sebagian kecil dari mantan pemain akademi Juventus yang sukses di level internasional.[164]
Pemain
Tim utama
- Per 27 Agustus 2021.
Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional sesuai dengan peraturan FIFA. Pemain dapat memiliki lebih dari satu kewarganegaraan non-FIFA.
|