Krisis Selat Sunda

Revisi sejak 17 November 2021 07.54 oleh Handarii (bicara | kontrib) (Krisis: Perbaikan terjemahan)

Krisis Selat Sunda adalah konfrontasi yang berlangsung selama 2 pekan pada bulan Agustus dan September 1964. Inggris Raya dan Indonesia melakukan konfrontasi atas jalur yang diambil oleh kapal induk Inggris HMS Victorious saat melewati Selat Sunda, selat yang memisahkan Pulau Jawa dan PulauSumatra. Kejadian ini merupakan bagian dari Konfrontasi Indonesia-Malaysia, yakni konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia (yang didukung oleh militer Inggris) selama pembentukan Malaysia sebagai negara merdeka.

Pada tanggal 27 Agustus 1964, HMS Victorious dan dua kapal penghancur yang berperan sebagai pengawal berlayar melintasi Selat Sunda, perairan internasional yang diklaim oleh Indonesia, menuju Australia. Pihak Inggris memberikan pemberitahuan ringan mendadak tentang lewatnya kapal-kapal tersebut hanya dengan panggilan telepon dua hari sebelum jadwal, mereka juga tidak menyebutkan adanya kapal induk dalam rombongan tersebut. Pihak Indonesia tidak menerima perlakuan tersebut dan khawatir akan kemungkinan bahwa Inggris sedang berusaha untuk memprovokasi Indonesia agar memberikan respons keras. Pada dua hari kemudian, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia memutuskan untuk melarang kapal-kapal perang tersebut kembali ke Singapura pada pertengahan September.

Relawan Indonesia di Malaysia barat daya sebelumnya baru saja melakukan pendaratan di Pontian dan Labis. Larangan yang diberikan untuk HMS Victorious dianggap sebagai penghinaan berulang terhadap martabat Inggris. Anggota Kabinet Inggris, khususnya Peter Thorneycroft dan Louis Mountbatten, berkeras mengirim kapal induk tersebut kembali melalui Selat Sunda, mengabaikan larangan Indonesia. Komandan angkatan laut Inggris di Timur Jauh merasa khawatir bahwa HMS Victorious tidak akan dapat melakukan pertahanan bila melalui rute tersebut tetapi, jika kapal tersebut tidak melewati Selat Sunda kembali, Inggris akan mengalami kekalahan besar politik baik pada skala domestik maupun internasional dan kehilangan hak-hak di jalur perairan yang penting. Situasi semakin menegang karena baik Inggris maupun Indonesia menolak untuk mengalah dan, ketika jadwal kapal induk tersebut untuk berlayar semakin mendekat, perang tampak semakin mungkin terjadi.

Pada 10 September, Indonesia memberi tawaran jalan keluar: rute alternatif melalui Selat Lombok. Inggris mengambil tawaran ini, melegakan kedua belah pihak, dan HMS Victorious kembali melalui wilayah Indonesia dengan damai. Perang tidak terjadi dan puncak ketegangan Konfrontasi berlalu. Ancaman perang habis-habisan tidak pernah muncul kembali meskipun masih terdapat beberapa pertempuran darat besar di Borneo utara pada musim semi berikutnya. Konfrontasi menyurut pada akhir musim gugur tahun 1965. Konfrontasi tidak sempat mengalami eskalasi menjadi konflik besar dan penandatanganan kesepakatan damai dilakukan pada tahun berikutnya.

Latar belakang

Pada tanggal 31 Agustus 1957, Malaya menerima kemerdekaan karena Inggris melakukan penarikan koloni dari Timur Jauh. Hal ini terjadi setelah Inggris dan Persemakmuran melakukan perang penumpasan pemberontakan yang berliku-liku terhadap pemberontak Kedaruratan Malaya selama hampir satu dekade.[1] Inggris berencana agar negara bagian baru ini kemudian tergabung dengan koloni Sarawak, Sabah, dan Brunei di Borneo utara. Malaya akan membantu melindungi kepentingan militer dan ekonomi Inggris di daerah-daerah ini. Brunei tidak jadi bergabung sementara Sarawak, Sabah, dan Singapura sepakat untuk bergabung dengan federasi ini pada tahun 1963.[2]

Proyek pembentukan federasi ini diberi nama "Grand Design" oleh Ramsay MacDonald dan merupakan pondasi pemikiran strategi Inggris menyangkut Asia Tenggara selama pertengahan 1950-an. Federasi awal terbentuk dari berbagai negara bagian Malaya. Singapura dan negara-negara bagian di Borneo bergabung kemudian. Rencana ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Malaysia yang berharap untuk mencegah klaim Indonesia atas Pulau Borneo.[3]

Awal Konfrontasi Indonesia-Malaysia

 
Presiden Soekarno dari Indonesia adalah kekuatan pendorong di balik Konfrontasi.

Sementara itu, Indonesia, dan terutama presidennya yang lama menjabat: Soekarno, dengan keras menentang pembentukan Federasi. Soekarno menentang menetapnya kehadiran Inggris yang "imperialis" di Asia Tenggara, ia bercita-cita menjadi kekuatan tertinggi di wilayah tersebut. Penggabungan koloni-koloni Borneo ke federasi baru tersebut juga ia tentang karena ia bermaksud untuk mendapatkan kontrol seluruh pulau. Dengan kepemilikan atas Kalimantan, Indonesia sudah menguasai sebagian besar Pulau Borneo. Untuk meningkatkan posisi Indonesia di meja perundingan sebelum Federasi diciptakan, Soekarno memulai periode konfrontasi dengan Malaysia. Awalnya Konfrontasi terdiri atas serangan yang sering dilakukan oleh 'relawan' Indonesia ke wilayah Malaysia. Konflik ini masih tidak dianggap sebagai perang oleh kedua pihak, terutama oleh Indonesia. Ketika ditanya tentang apa sebenarnya konfrontasi itu, Menteri Luar Negeri Soebandrio dari Indonesia menjawab, "Konfrontasi tidak mencakup perang, karena dapat dilakukan tanpa perang."

Untuk Soekarno, operasi semacam ini memiliki sejumlah manfaat. Memulai operasi militer melawan 'imperialis' akan membantu mengikat bersama kekuatan yang saling bertentangan, yaitu pasukan angkatan darat dan Partai Komunis (PKI), dalam dukungan terhadap Soekarno. Operasi ini tidak menciptakan kerusakan yang meningkat sangat besar sehingga mencegah Inggris beserta sekutu Persemakmuran-nya yang secara militer lebih kuat menggunakan kekuatan penuh mereka. Indonesia juga telah mengadakan operasi sukses dengan teknik yang sama dalam Operasi Irian Barat melawan Belanda satu dekade sebelumnya. Operasi penyerbuan ke Papua Barat berakhir dengan Belanda menyerahkan wilayah itu untuk mencegah Indonesia 'jatuh' ke tangan Komunisme.[4]

Perkembangan Konfrontasi Indonesia-Malaysia

 
Pasukan Indonesia yang ditangkap setelah serangan di Sungai Kesang.

Bagian utama Konfrontasi umumnya terbagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama, Indonesia mendukung pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris-Malaysia di Borneo Utara. Konflik yang terjadi dan menjadi perhatian yaitu Pemberontakan Brunei pada bulan Desember 1962. Di tahap kedua, serangan-serangan gerilya mulai diadakan dengan sungguh-sungguh mulai dari bulan April 1963. Aktivitas gerilyawan ini menjadi ciri khas Konfrontasi. Meskipun menyebabkan sejumlah kerusakan dan korban jiwa, pertempuran di tahap ini termasuk berskala relatif kecil dan biasanya hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang tidak lebih besar dari ukuran peleton dalam melintasi perbatasan Kalimantan ke Sarawak dan Sabah. Operasi ini merupakan inti dari strategi awal untuk meningkatkan posisi negosiasi Indonesia. Strategi yang sama masih terus dipakai selama berjalannya negosiasi sepanjang musim panas tahun 1963. Namun, pada tanggal 16 September, negosiasi berakhir dengan pembentukan Federasi Malaysia yang meliputi Malaya, Singapura, dan, yang paling penting, dua negara bagian Borneo (Sarawak dan Sabah). Menanggapi hal ini, serangan semakin intensif menjadi kelompok-kelompok lebih besar yang bekerja dengan atau terdiri dari pasukan regular Indonesia. Ini awal dari eskalasi konflik menuju fase ketiga yang paling berbahaya.[5]

Fase terakhir baru akan terjadi pada satu tahun yang akan datang. Setelah menghabiskan sebagian besar tahun 1964 bergerak di Borneo utara dan terus berhadapan dengan oposisi Inggris terhadap rencana Indonesia, Soekarno menyampaikan sebuah pidato di Jakarta pada tanggal 17 Agustus dalam peringatan Hari Kemerdekaan. Di dalamnya, ia mencerca Barat, terutama Inggris dan Amerika. Soekarno tidak setuju dengan kebijakan mereka terhadap Vietnam dan Malaysia. Ia menyatakan bahwa tahun berikutnya akan menjadi "tahun hidup berbahaya"[6] untuk Indonesia. Pidato ini disampaikan seminggu setelah Soekarno mengakui kenegaraan Vietnam Utara. Soekarno menyerukan niatnya dan benar-benar bermaksud merealisasikan perkataannya. Pada malam itu juga, sebuah kontingen kecil tentara Indonesia mendarat di Pontian, Negara Bagian Johor, ujung selatan Semenanjung Melayu. Meskipun para penyerbu dengan cepat ditangkap oleh pasukan keamanan elit Malaysia, Senoi Praaq, pesan sudah jelas: Konfrontasi berkembang dengan cepat. Malaysia merasa terancam, menyatakan keadaan darurat, dan menekan Inggris untuk membela Malaysia.[7]

Krisis

Pelayaran Victorious dari Singapura

 
HMS Victorious berjalan di Pasifik pada tahun 1964.

Pada tanggal 26 Agustus, kapal induk HMS Victorious berlayar dari Singapura. Dua kapal perusak, HMS Caesar dan HMS Cavendish, mengawal kapal induk tersebut menuju Perth, Australia Barat. Tujuan sebenarnya perjalanan ini masih diperdebatkan. Namun, ada kemungkinan bahwa rombongan kapal tersebut lewat sebagai unjuk kekuatan kepada Indonesia setelah peristiwa pendaratan relawan Indonesia di Pontian. Perjalanan ini juga merupakan bagian "kunjungan berniat baik" yang rutin dilakukan kepada negara sekutu Inggris.[8][9] Satuan tugas tersebut ternyata mendapat respons yang sangat kecil dari Indonesia. Kapal induk melaporkan hanya ada satu Tupolev Tu-16 yang melakukan flyover ketika kapal-kapal perang ini melalui Selat Sunda pada hari berikutnya.[10] Kepemilikan selat itu sendiri bersifat rumit. Indonesia mengklaim memiliki selat tersebut sementara Inggris menegaskan bahwa selat itu adalah perairan internasional. Berdasarkan sudut pandang Inggris, kapal perang mereka bisa lewat setiap waktu. Mengikuti standar prosedur Inggris dalam situasi seperti ini, Atase Militer Inggris di Jakarta menelepon Direktur Intelijen Angkatan Laut Indonesia dan menyampaikan bahwa skuadron mereka akan melewati wilayah Indonesia tanpa persetujuan. Sebelumnya, Inggris melalui selat tersebut dengan cara serupa pada bulan Oktober 1963.[11] Kebijakan yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Inggris memiliki tujuan ganda. Mereka memberi peringatan terhadap Indonesia tentang aksi yang dinilai provokatif tanpa kesadaran mengenai klaim berlebihan atas perairan internasional. Tanggal kembali ke Singapura belum diatur dengan pasti pada saat ini, pelayaran kembali diperkirakan dilakukan pada sekitar pertengahan bulan September.[12]

Respons awal Indonesia

 
Menteri Luar Negeri Soebandrio pada tahun 1964.

Keesokan harinya (28 Agustus), Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Suwito memanggil Charge d'Affaires Inggris. Ia mengeluhkan bahwa pemberitahuan Inggris terlalu santai. Tanpa meminta Inggris untuk memohon izin kepada Indonesia untuk hal itu, ia meminta Inggris untuk memberikan pengumuman yang lebih formal, sebaiknya tertulis, di waktu berikutnya. Jika tidak, Suwito memperingatkan, "ketegangan sekarang dapat mengakibatkan insiden yang tidak disengaja, tidak diinginkan tetapi serius,". Pernyataan tersebut segera diteruskan ke pemerintah Inggris.[13] Charge d'Affairs menjawab bahwa setiap pemberitahuan lebih lanjut akan dilakukan secara tertulis agar tidak menimbulkan masalah apapun. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 2 September, sehari setelah pendaratan di Labis, Subandrio mengambil sikap yang lebih keras dengan memberitahu Duta Besar Australia di Jakarta bahwa Victorious akan ditolak jika kembali melalui Selat Sunda. Penyebab larangan tersebut tidak jelas karena dokumen-dokumen resmi dari waktu itu tidak tersedia. Namun, pengumuman Subandrio ini sejalan dengan kebijakan pemerintah soal pelayaran melalui perairan Indonesia yang bermaksud melakukan penindakan terhadap kegiatan-kegiatan ilegal setelah kelompok kapal induk Amerika lewat berlayar pada awal bulan.[14] Pembuat kebijakan Indonesia juga kemungkinan mengkhawatirkan ancaman kekuatan udara Inggris terhadap Jakarta serta kemungkinan Inggris sedang berusaha untuk memprovokasi respons Indonesia, mirip dengan tindakan Vietnam terhadap Amerika pada insiden Teluk Tonkin di awal tahun itu. Alasan terakhir tampaknya sangat mungkin, menilik kemarahan Sukarno yang sangat tampak dalam menanggapi insiden itu. Sudah wajar jika tanggapan terhadap tindakan Inggris ini sama kuat. Bagaimanapun juga, pimpinan Indonesia memahami insiden ini sebagai pembalasan langsung atas pendaratan Pontian, unjuk tekad Inggris. Meskipun mengkhawatirkan, pelanggaran Inggris atas klaim bahari Indonesia tidak kalah penting.[15]

Putusan dan Rencana Inggris Memaksakan Selat Sunda

Departemen Luar Negeri Inggris tidak memiliki niat mundur dalam menghadapi perbuatan yang dipandang sebagai penghinaan terhadap martabat Inggris. Thorneycroft berargumen bahwa jika Victorious tidak melewati Selat Sunda dalam perjalanan pulang, Inggris "harus menderita kekalahan politik substansial dengan efek yang tak terduga terhadap posisi militer di Timur Jauh,". Pandangan tersebut didukung oleh Laksamana Mountbatten dan David Luce, Kepala Staf Angkatan Laut.[16] Mountbatten bahkan melangkah lebih jauh, memperingatkan Thorneycroft bahwa kegagalan dalam memenuhi tantangan ini akan memiliki "dampak serius" untuk "perawakan seluruh militer - tidak hanya di Timur Jauh, tetapi di seluruh dunia." Luce dan Mountbatten juga menganggap ini sebagai kesempatan sempurna untuk menekan Jakarta untuk pertama kalinya. Luce menyatakan bahwa pelayaran kembali "bisa saja memberikan inisiatif untuk kita". Mountbatten memandangnya sebagai saat yang tepat untuk mengalihkan Soekarno dari penyerangan terhadap Malaysia. Setidaknya, pelayaran melalui Selat Sunda harus dipertahankan.

Pandangan pemerintah Inggris tidak disetujui oleh para komandan angkatan laut, terutama Sir Varyl Begg, Panglima tentara Inggris di wilayah itu. Ia meyakini bahwa kapal induk terlalu lemah jika harus mempertahankan diri atau menyerang balik Indonesia. Begg merasa bahwa sempitnya Selat Sunda dan kondisi geografis lokal membatasi gerakan kapal dan menghilangkan fungsi radar. Aturan pelayaran sendiri membuat kapal tidak bisa membawa pesawat di atas dek atau menerbangkan pesawat. Ia menyarankan agar kapal-kapal perusak saja yang melewati selat tersebut. Kapal-kapal tersebut tidak sama berharganya dengan kapal induk. Pandangannya didukung oleh Lord Antony Head yang berpendapat bahwa jika kapal induk tidak berada dalam posisi bahaya, Indonesia hanya sedikit diuntungkan dan Inggris pun sedikit dirugikan. Namun, Luce tetap bersikukuh bahwa Victorious harus berlayar melewati Selat Sunda. Menghadapi kekhwatiran Begg, Luce memberi tahu bahwa kapal induk yang lebih modern, HMS Centaur, akan siap memberikan perlindungan udara untuk satuan tugas tersebut. Bala bantuan juga disiapkan di Singapura untuk menghadang provokasi Indonesia. Thorneycroft memerintahkan Begg untuk mulai merencanakan pelayaran melalui Selat Sunda, sebagaimana para petugas tentukan pada 3 - 4 September: kapal induk itu tidak boleh dialihkan.

Dalam hasil rapat kabinet perihal operasi angkatan laut pada 7 September, Thorneycroft dan Mountbatten mengajukan pemaksaan pelayaran melalui Selat Sunda dengan satuan tugas meskipun mereka mengakui bahwa kapal induk akan berisiko mengalami kerusakan atau kerugian. Hal ini mereka anggap mencegah Soekarno mencapai kemenangan brinkmanship, bernilai sepadan dengan kerugian yang akan diderita. Walau Menteri Luar Negeri R. A. Butler dengan sangat kuat mendukung argumen Begg bahwa Victorious merupakan aset yang terlalu berharga untuk dikorbankan, argumen Thorneycroft menang. Kabinet setuju bahwa kapal tidak akan dialihkan sebab penghalangan kapal induk itu akan meningkatkan martabat Soekarno tanpa batas. Mereka menyetujui persiapan Operasi Althorpe, rencana untuk melenyapkan angkatan udara Indonesia sebagai balasan terhadap serangan yang mungkin terjadi.[17] . Meskipun tidak ada keputusan tergesa-gesa yang dibuat, Kabinet setuju untuk memeriksa masalah ini lebih lanjut.[18]

Alternatif dan Resolusi Indonesia untuk Krisis Ini

Pada 9 September, Suwito memberitahu seorang diplomat Inggris bahwa Selat Sunda akan ditutup untuk latihan angkatan laut dan bahwa keputusan kapal perang Inggris untuk menjauhi daerah itu untuk sementara akan dihargai. Untuk Inggris, ini tampak sebagai eskalasi krisis; jika satuan tugas berlayar melaluinya, mungkin mereka harus melawan Angkatan Laut Indonesia secara langsung - meskipun pada kenyataannya Indonesia sedang mengurangi tekad untuk menghadang pelayaran satuan tugas Inggris melalui Selat Sunda, dan berharap menjauhkan Inggris dari percobaan memaksakan diri melalui metode yang tidak langsung.[19] Bagaimanapun, Inggris tidak menafsirkan demikian; pengumuman itu memicu babak baru perdebatan mengenai pemaksaan pelayaran ini. Thorneycroft meninjau kembali rencana dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kantor Relasi Persemakmuran; kebanyakan dari mereka memberitahunya untuk mempertimbangkan pendapat para komandan di tempat. Setelah mengingat dukungan Lord Head yang berpengaruh terhadap pandangan Begg, Thorneycroft goyah dan memutuskan bahwa dua kapal perusak harus lanjut melalui Selat Sunda tanpa Victorious, dengan pesawat dari kapal itu dan Centaur sebagai bantuan.[20] Meskipun khawatir tentang efek psikologis dari tidak lewatnya kapal induk, ia diingatkan bahwa Inggris tidak memberitahu Jakarta bahwa kapal itu akan kembali lewat jalan itu sebelumnya.

Dalam rapat Kabinet keesokan paginya, Butler mengangkat isu ini sekali lagi, menginformasikan Kabinet bahwa Indonesia berusaha untuk menghalangi Victorious melewati Selat Sunda dengan dalih latihan angkatan laut. Thorneycroft kemudian berbicara, menyatakan bahwa Soekarno akan "mendapatkan prestise" jika ia menghentikan kapal-kapal agar tidak lewat, dan bahwa ia mungkin akan menutup jalur air lainya untuk Angkatan Laut Inggris jika berhasil. Thorneycroft mengaku bahwa ia awalnya berencana untuk mengirim kapal induk itu untuk melalui Selat Sunda, tetapi setelah diskusi dengan Head dan Begg memutuskan untuk mengirim kapal perusak lewat selat itu, dan mengirim Victorious ke utara mengelilingi Sumatra. Kapal-kapal penghancur masih akan mampu menegakkan hak atas pelayarannya, sementara memaksa Soekarno untuk menyerang atau membiarkan mereka lewat. Jika Indonesia menyerang kapal-kapal tersebut, "itu akan jadi sebuah tindakan perang... dan kita [Inggris] akan harus membalas dengan kekuatan besar." Meskipun Kabinet mencatat bahwa kapal perusak bisa saja hancur jika diserang, tidak membungkuk kepada Soekarno dianggap perlu. Inggris dan Indonesia berada di jurang perang habis-habisan.

Namun, Kabinet belum tahu bahwa Indonesia sudah menyiapkan alternatif dari kemungkinan perang tersebut. Pada hari itu juga, tanggal 10 September, Suwito meminta Inggris untuk menghindari "kesalahpahaman" yang mengerikan dan secara diam-diam menawarkan mereka untuk melewati Selat Lombok. Di samping lebih jauh dari Jakarta, wilayah itu masih diklaim Indonesia, dan mungkin membantu Inggris menyelamatkan wajahnya sementara tidak memasukkan diri dalam perang yang mereka tidak inginkan. Dengan dukungan Departemen Luar Negeri, Thorneycroft dan Perdana Menteri Alec Douglas-Home meyetujui kompromi tersebut, dan memberitahu Suwito bahwa kapal-kapal itu akan mengambil jalur Selat Lombok. Suwito tampak, menurut para saksi mata, "teramat lega" setelah menghindari konflik penuh.[21] Victorious, setelah bertemu dengan kapal perusak HMS Hampshire dan frigat HMS Dido dan HMS Berwick, berlayar dengan aman melalui Selat Lombok pada 12 September.

Dampak

Krisis Selat Sunda adalah titik puncak di mana konfrontasi Indonesia-Malaysia hampir memasuki perang penuh, dan pada akhirnya pergerakan itu memang terhindari, tetapi bayangan konflik belum sepenuhnya berlalu. Indonesia belum berhenti melakukan pendaratan di Malaysia, dan Inggris telah berniat melakukan pembalasan jika terpojok karena tekanan Malaysia baik melalui badan pemerintahan maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa.[22] Namun, krisis ini dengan cepat mereda setelah pelayaran Victorious melalui Selat Lombok. Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman melaporkan tawaran damai rahasia dari Soekarno pada 16 September; walaupun Inggris meragukan ketulusan tawaran ini, sulit diragukan bahwa insiden ini telah menguncang kepercayaan diri Jakarta. Dukungan Indonesia dari Afrika dan Asia di PBB mulai melemah; bertahan dari pengutukan sebab perbuatan mereka terhadap Malaysia hanya karena veto Uni Soviet. Hasilnya Tunku memberitahu Inggris pada 18 September bahwa ia tidak akan membalas secara langsung dan akan berusaha membawa kasus ini ke PBB, melegakan Inggris, yang menyambut "let-off" ini.[23] Inggris membatalkan rencana pelayaran kapal-kapal perang besar mereka yang provokatif, dan mulai saat itu menjadi jelas bahwa tidak ada pihak yang menginginkan perang.[24]

Hasil yang Diperdebatkan

Perdebatan mengenai siapa yang lebih diuntungkan dengan hasil krisis ini, Inggris atau Indonesia, berlanjut hingga kini; meskipun banyak sejarawan menggambarkan Inggris untung (diakui, mereka berkebangsaan Inggris dan Amerika) ada kondisi kredibel yang menunjukkan keberhasilan kedua belah pihak.[25]

Inggris

Kebanyakan sejarawan mendukung cerita bahwa meskipun Victorious berlayar melalui Selat Lombok dan bukan Sunda, Inggris dengan gamblang menang dalam unjuk kekuatan selama Krisis Selat Sunda. Banyak laporan, termasuk History of Counterinsurgency oleh Gregory Fremont-Barnes, setuju dengan versi sederhana bahwa Indonesia menutup selat tersebut karena satu alasan atau yang lain dan kedatangan satuan tugas mengintimidasi Soekarno untuk membukanya kembali.[26] Argumen yang umum adalah pelayaran tersebut merupakan unjuk kekuatan yang efektif dan berani, sering kali mengabaikan masalah Selat Sunda sama sekali; sentimen yang ditunjukkan oleh awak Victorious sendiri, yang selama perjalanan melalui Selat Lombok berada di pos aksi saat melihat kapal selam Indonesia dan siap untuk menembak jika ada tanda-tanda permusuhan, percaya bahwa orang Indonesia memilih untuk menahan diri karena takut terhadap kekuatan mereka. Pandangan tersebut dipertahankan oleh laporan resmi Inggris, menggambarkan hasil krisis sebagai kompromi dari masyarakat Indonesia, yang dalam istilah brinksmanship, "berkedip terlebih dahulu" setelah Inggris menolak untuk mundur. Departemen Luar Negeri bahkan habis-habisan mengklaim bahwa Selat Lombok sama saja dengan Selat Sunda, meskipun terdapat jarak yang lebih jauh antara Singapura dan Australia.[27] Setidaknya, kekalahan Indonesia kemudian hari di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kesepakatan Tunku Abdul Rahman untuk menjauhkan diri dari pembalasan adalah hasil yang sangat positif bagi Inggris dari insiden ini.

Indonesia

Sebaliknya, sejarawan Toh Boon Kwan berpendapat panjang lebar mengenai kepentingan orang Indonesia, menegaskan bahwa mereka mendapatkan kemenangan yang sama jika tidak lebih valid daripada Inggris. Ia menyatakan bahwa pembuat kebijakan Inggris, lega karena dapat terhindar dari jalan menuju peperangan, sudah lupa bahwa Selat Lombok secara militer menguntungkan Indonesia, kapal perang Indonesia bisa menghalangi satuan tugas Inggris dengan mudah dari pusat pangkalan angkatan laut yang dekat. Secara simbolis, juga, memaksa kapal-kapal kebanggaan Angkatan Laut Britania Raya untuk mengambil jalan panjang mengitari wilayah mereka dapat dianggap sebagai keberhasilan diplomatik yang besar. Politisi indonesia memperoleh kekuatan dari krisis ini, menjadi percaya bahwa mereka bisa setara dengan 'Imperialis' dan bertahan dari "bersenggolan dengan bahaya." Hal ini, menurut Boon Kwan, berkontras dengan pandangan defaitis tentara yang kesal karena mereka sangat dekat dengan perang, dan juga tidak begitu senang melaksanakan kebijakan-kebijakan Konfrontasi. Para tentara-lah, ia menegaskan, yang mengirim inisiatif perdamaian ke Tunku pada bulan September.[28]

Referensi

  1. ^ "The Malayan Emergency: 1948–1960" Diarsipkan 2011-07-06 di Wayback Machine..
  2. ^ Simpson 2012, p. 161.
  3. ^ Easter 2012, pp. 5–6.
  4. ^ Simpson 2012, pp. 161–2.
  5. ^ Simpson 2012, p. 162.
  6. ^ Tuck 2016, p. 30.
  7. ^ Subritzky 2000, p. 116.
  8. ^ Auerswald 2000, p. 103.
  9. ^ Roberts 2009, p. 52.
  10. ^ McCart 1998, p. 153.
  11. ^ Easter 2012, p. 99.
  12. ^ Boon Kwan 2005, p. 406.
  13. ^ Easter 2012, p. 100.
  14. ^ Boon Kwan 2005, p. 402.
  15. ^ Boon Kwan 2005, p. 407.
  16. ^ Boon Kwan 2005, p. 408.
  17. ^ Easter 2012, p. 102.
  18. ^ Boon Kwan 2005, pp. 408–9.
  19. ^ Easter 2012, p. 101.
  20. ^ Boon Kwan 2005, p. 409.
  21. ^ Easter 2012, pp. 102–3.
  22. ^ Easter 2012, p. 103.
  23. ^ Subritzky 2000, p. 121.
  24. ^ Kraska & Pedrozo 2013, p. 137.
  25. ^ Boon Kwan 2005, p. 410.
  26. ^ Fremont-Barnes 2015, p. 112.
  27. ^ Boon Kwan 2005, p. 411.
  28. ^ Boon Kwan 2005, pp. 411–2.

Daftar pustaka