Maulana Hasanuddin dari Banten

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 3 Desember 2021 12.58 oleh Budak Plaju (bicara | kontrib) (Pindah ke Palembang)

Sulthanul-Auliya' Wal Arifin Asy-Syaikh Sultan Syarif Maulana Hasanuddin Al-Azhamatkhan Al-Husaini Al-Bantani. Beliau merupakan seorang pendiri Kesultanan Banten. Ia juga bergelar Pangeran Sabakingking dan berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1552 - 1570. Beliau merupakan putra dari salah satu walisongo, yaitu Asy-Syaikh Maulana Sultan Syarif Hidayatullah Al-Azhamatkhan Al-Husaini Al-Cirbuni Shahib Jabal Jati (Sunan Gunung Jati Cirebon Walisongo).

Sultan Syarif Maulana Hasanuddin Al-Azhamatkhan
Al-Husaini Al-Bantani
Sultan Banten Pertama
Sultan Banten
Berkuasa1552–1570
PendahuluSultan Maulana Hasanuddin Azmatkhan (Sultan Kedua Di Kesultanan Cirebon)
PenerusSyarif Maulana Yusuf Azmatkhan
Informasi pribadi
Kelahiran1478
Kematian1570
Surasowan, Kesultanan Banten
Pemakaman
WangsaAzmatkhan
WangsaKesultanan : Kesultanan Banten
Nama lengkap
Sulthanul-Auliya' Wal Arifin Asy-Syaikh Maulana Sultan Syarif Hasanudddin Al-Azhamatkhan Al-Husaini Al-Bantani Bin Maulana Sultan Syarif Hidayatullah Al-Azhamatkhan Al-Husaini Al-Cirbuni Shahib Jabal Jati (Sunan Gunung Jati Walisongo).
AyahSyarif Hidayatullah Azmatkhan
IbuNyi Kawunganten
AnakMaulana Yusuf dari Banten
Pangeran Sunyararas
AgamaSunni Islam
Makam Maulana Hasanuddin, tahun 1950-an

Biografi

Berdasarkan Sajarah Banten, Sultan Syarif Maulana Hasanuddin Azhamatkhan merupakan salah seorang putra dari Sunan Gunung Jati.[1] Bersama Kesultanan Demak, Ia turut serta dalam penaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527 yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.

Kemudian melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan dan kemudian menjadi pusat pemerintahan, setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.

Namanya diabadikan sebagai nama Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, di Kota Serang Banten yang terletak di Ciceri, Kota Serang dan Palima, Kota Serang.

Pindah ke Palembang

Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang. Sekitar tahun 1622 sampai 1643, ketika Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan berkuasa, hiduplah seorang panglima perang yang bernama Ki Bodrowongso atau Ki Agus Badaruddin Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah atau juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis, beliau di Banten dikenal dengan nama Sultan Maulana Hasanuddin, beliau hijrah ke Kesultanan Palembang Darussalam setelah beliau kalah perang dengan Portugis di Banten. Selain Ki Bodrowongso, seorang panglima perang lain bernama Jaladeri cukup terkenal di masa itu. Buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib menyebutkan bahwa Jaladeri memiliki seorang istri dan dua anak. Sang istri, Nyi Marta, suatu hari meminta Jaladeri beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri. Akhirnya Jaladeri menikahi seorang gadis cantik sebagai istri kedua. Pesta perkawinan dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya dijadikan tempat beroperasi pabrik Pupuk Sriwijaya. Usai pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas kecantikan dan keelokan sang mempelai wanita. Mereka ingin melihat dan bercengkrama lebih lama dengannya. Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya. Nyi Marta menuturkan kecurigaannya pada sang suami. Hati Jaladeri terbakar. Tanpa pikir panjang, dia mengamuk di istana. Sebagian besar penghuni istana meninggal dunia, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya, Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri bahkan sempat membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil. Di antara mereka yang selamat kemudian ada yang melapor kepada Ki Bodrowongso. Tindakan tegas segera diambil. Jaladeri pun tewas di tangan Bodrowongso. Meski demikian, Bodrowongso tak mau jadi raja. Dia menyerahkan kerajaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenaya. Dia tak ingin keturunannya terlibat konflik kekuasaan. Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun. Bodrowongso memiliki seorang istri dan lima anak. Dari kelima anaknya, tiga menurunkan gelar untuk masing-masing keturunannya.

  • Ki Panggung mewariskan gelar Kemas,
  • Ki Mantuk menurunkan Masagus, dan
  • Kiagus Abdul Gani menurunkan Kiagus.

Khalifah Gemuk dan Ki Bodrowongso Mudo sama sekali tak mewariskan gelar untuk keturunan mereka. Kedua keturunan Bodrowongso ini bahkan tak muncul dalam buku sejarah Palembang yang ditulis Belanda, mungkin karena mereka tak punya gelar priyayi.[2]

Rujukan

  1. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5
  2. ^ Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam di Indephedia

Rujukan

Gelar kebangsawanan
Resimen baru Penguasa Banten
1552–1570
Diteruskan oleh:
Maulana Yusuf

Kategori: Kesultanan Banten Wangsa: Azmatkhan