Egosentrisme

ketidakmampuan untuk membedakan antara diri sendiri dan orang lain, atau untuk mengambil perspektif orang lain

Egosentrisme adalah kualitas atau keadaan seseorang menjadi egosentris, yakni perhatian yang berlebihan pada diri sendiri dan berfokus untuk kesejahteraan atau keuntungan sendiri dengan mengorbankan atau mengabaikan orang lain.[1] Egosentrisme juga bisa diartikan sebagai ketidakmauan seseorang untuk melihat dari perspektif orang lain, yang meliputi gagalnya seseorang untuk menarik kesimpulan dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilihat orang lain.[2]

Egosentrisme

Egosentrisme, konsep yang berasal dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget, mengacu kepada kurangnya pembedaan antara beberapa aspek diri sendiri dengan orang lain. Ihwal paradigma merupakan kegagalan pengambilan perspektif yang menggambarkan anak kecil yang tidak mampu menyimpulkan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat orang lain. Tidak dapat menyimpulkan secara akurat perspektif orang lain, anak egosentris menghubungkan mereka dengan perspektifnya sendiri. Ketidakmampuan untuk mengurangi dari perspektif sendiri menghasilkan kebingungan egosentris dari perspektif sosial.[3]

Terdapat garis tipis perbedaan antara egonsentrisme dan narsisme. Dalam egosentrisme, seseorang tidak dapat melihat sudut pandang orang lain; tetapi dalam narsisme, dia mungkin mengetahui sudut pandang itu tetapi tidak memedulikannya. Bahkan selangkah lebih maju, orang-orang yang memiliki narsisme tinggi menjadi kesal atau bahkan marah ketika orang lain gagal melihat sesuatu dengan cara mereka. Secara ekstrem, narsisme membuat orang menjadi eksploitatif, terutama di kalangan subkelompok yang dikenal sebagai narsisis yang berhak.[4]

Sejarah

 
Jean Piaget (dua dari kanan) di pintu masuk Institut Jean-Jacques Rousseau di Universitas Jenewa, 1925.

Piaget memperkenalkan konsep egosentrisme dalam tulisan awalnya pada tahun 1920-an untuk menggambarkan karakteristik umum anak prasekolah. Akar konsep egosentrisme dapat ditelusuri kembali kepada pengaruh Freud terhadap Piaget. Saat berada di Zurich (1918-1919) dan Paris (1919-1921), Piaget mempelajari berbagai aliran psikoanalisis. Berdasarkan konsep Freud tentang proses primer yaitu cara berfungsi dalam melayani pemuasan kebutuhan segera dan proses sekunder yaitu pengaturan dan pengendalian kebutuhan untuk memenuhi tuntutan realitas, Piaget (1920) awalnya membedakan antara autis dan logis, pemikiran ilmiah, dan pada tahun 1922 dia memperkenalkan konsep egosentrisme sebagai tingkat perantara antara mode pemikiran ini. Namun, Piaget segera menjauhkan diri dari konsep proses primer Freud, dan studi yang cermat terhadap konsepnya sendiri yang baru lahir itu menyebabkan revisi menyeluruh terhadap konsep egosentrisme. Sejak pertengahan 1930-an, egosentrisme dikonsepka sebagai fenomena yang muncul kembali pada awal tahap perkembangan yang berbeda.[5]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Egocentrism". Merriam-Webster. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  2. ^ Rahmiwati Marsinun, Fauzi Nur Ilahi (28 November 2020). Bimbingan dan Konseling Sosial. Pustaka Aksara. hlm. 85. ISBN 9786239546472. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  3. ^ Eric M. Anderman dan Lynley H. Anderman, ed. (2009). "Egocentrism". Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia. Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia. 1. Macmillan Reference USA. hlm. 355. Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  4. ^ Susan Krauss Whitbourne Ph.D. (7 April 2012). "It's a Fine Line Between Narcissism and Egocentrism". Psychology Today. Diakses tanggal 6 Desember 2021. 
  5. ^ Thomas Kesselring, Ulrich Müller (Desember 2011). "The concept of egocentrism in the context of Piaget's theory" (PDF). New Ideas in Psychology. Elsevier. 29 (3): 327―328. doi:10.1016/j.newideapsych.2010.03.008. Diakses tanggal 6 Desember 2021. 

Pranala luar