Prof. DR. H. Mahmud Yunus (ejaan lama: Mahmoed Joenoes, 10 Februari 1899 – 16 Januari 1982) adalah seorang ulama Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai pendidik dan pengajar. Ia dikenal pula melalui karya-karyanya meliputi sedikitnya 75 judul buku, termasuk menyusun Tafsir Qur'an Karim dan kamus Arab-Indonesia. Melalui jabatannya di Departemen Agama, ia menginisiasi dan memperjuangkan masuknya mata pelajaran pendidikan agama dalam kurikulum nasional. Buku-bukunya masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan pesantren Indonesia. Yunus menerima gelar doktor kehormatan di bidang tarbiyah dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan namanya disematkan untuk jalan menuju kampus IAIN Imam Bonjol, Padang

Mahmud Yunus
Lahir(1899-02-10)10 Februari 1899
Nagari Sungayang, Tanah Datar, Minangkabau
Meninggal16 Januari 1982
Jakarta, Indonesia
Kewarganegaraan Indonesia
Dikenal atasAhli pendidikan Islam, ahli tafsir al-Qur'an
Orang tuaYunus (ayah)
Hafsyah (ibu)

Yunus memulai pengalaman mengajar sejak remaja di surau dan Madras School, tempat dulunya ia mengikuti pendidikan. Ia bergabung dengan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang kelak membidani beberapa sekolah Islam dan perguruan tinggi Islam terawal di Indonesia. Pada 1923, ia mengambil kuliah di Kairo, Mesir dan kembali ke kampung halamannya pada 1931. Melalui Madras School, ia memperkenalkan perjenjangan madrasah yang dipakai Indonesia saat ini. Pada 1932, ia mencurahkan waktu mengajar di Padang, membuka Normal Islam School, dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.

Sejak pendudukan Jepang, Yunus bekerja dalam pemerintahan membidangi masalah pendidikan Islam. Setelah pendidikan Islam masuk dalam kurikulum di Minangkabau, seiring kemerdekaan Yunus meneruskan usulannya memasukkan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah pemerintah untuk diberlakukan di Sumatra hingga disetujui pada 1947. Berikutnya, mata pelajaran agama diadopsi dalam kurikulum nasional sejak 20 Juanuari 1951 lewat usulannya sebagai pegawai Departemen Agama. Pada 1 Juni 1957, Yunus menjabat sebagai rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta yang diteruskan menjadi UIN Syarif Hidayatullah. Jabatan terakhirnya selama menjadi pegawai Departemen Agama adalah rektor pertama IAIN Imam Bonjol sejak 1967 sampai 1970. Ia meninggal dalam usia 82 tahun pada 16 Januari 1982.

Kehidupan awal

 
Potret surau di Minangkabau. Selain bermalam dan berinteraksi, anak-anak dan remaja laki-laki menghabiskan waktu mereka di surau untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman seperti fiqih, tafsir, dan bahasa Arab.[a]

Mahmud Yunus adalah anak sulung dari tujuh bersaudara dalam keluarga petani Yunus dan Hafsyah. Ia lahir pada 10 Februari 1899 [Kalender Hijriyah: 30 Ramadhan 1316] di Nagari Sungayang, berjarak 7 km dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar sekarang.[1] Besar di tengah keluarga ibunya, Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil. Orangtuanya bercerai ketia ia berumur tiga tahun, sementara ibunya menikah lagi dan memberi Yunus seorang adik perempuan.[2] Ia belajar Al-Qur'an di Surau Talang kepada kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun.[3] Setelah itu, ia menggantikan kakeknya mengajar di surau.[4] Pada tahun 1908, ia masuk ke sebuah Sekolah Desa di Sungayang. Karena jemu dengan pelajaran yang sering diulang di kelas, pada tahun keempat ia pindah ke Madras School pimpinan Muhammad Thaib Umar di Surau Tanjung Pauh.[5] Ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Namun, ia menarik diri dari mengajar di surau ketika berumur 12 tahun, dan pada umur 14 tahun ia dipercaya menjadi mudir (guru bantu) di Madras School.

Pada tahun 1917, ketika Muhammad Thaib Umar jatuh sakit, Yunus ditunjuk memimpin Madras School. Ketika berlangsung rapat besar ulama Minangkabau pada tahun 1919 di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, ia hadir mewakili Muhammad Thaib Umar.[6] Rapat ini meresmikan berdirinya Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), perkumpulan ulama yang bergerak di bidang pendidikan.[b] Yunus menjadi salah seorang anggota terawal PGAI sejak didirikan.[8] Pada akhir tahun 1919, Yunus bersama-sama guru Madras School mendirikan cabang perkumpulan pelajar Islam Sumatra Thawalib di Sungayang.[9] Ia menggerakkan kegiatan di bidang pendidikan melalui majalah Islam Al-Basyir.[10] Majalah ini terbit perdana pada Februari 1920 di bawah asuhan Yunus.[11][12]

Sejak ia mengenal pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha lewat majalah Al-Manar, muncul keinginan Yunus untuk belajar ke Mesir.[13] Meski sempat terjegal karena tidak memperoleh visa dari Inggris pada tahun 1920, ia akhirnya dapat berangkan lewat Penang, Malaysia pada Maret 1923.[14] Ia mengurus visa bersama mamaknya, Datuk Sinaro Sati di Padang dan biaya yang diperlukan selama perjalanan ditanggung oleh mamaknya.[15]

Memimpin sekolah-sekolah Islam

Sebelum ke Mesir, ia terlebih dahulu menunaikan ibadah haji di Mekkah. Usai melaksanakan haji, Yunus menuju Kairo dan mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar. Ia menghabiskan satu tahun untuk memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah (setara dengan magister).[11] Ia tercatat sebagai orang Indonesia kedua yang lulus di Al-Azhar setelah Janan Thaib. Mengikuti saran gurunya di Al-Azhar, ia melanjutkan kuliah ke Darul Ulum (kini berada dalam Universitas Kairo). Ia diterima sebagai sebagai mahasiswa di kelas bagian malam; seluruh mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali ia sendiri. Selama di Darul Ulum, ia mendapatkan pengecualian membayar uang kuliah atas amaran Menteri Pendidikan Mesir. Ia lulus setelah empat tahun di Darul Ulum dan memperoleh diploma guru di bidang ilmu kependidikan pada Mei 1930.[16] Yunus adalah mahasiswa asing pertama yang tamat dari Darul Ulum.[17] Pada bulan Oktober 1930, ia bersiap kembali ke Indonesia.

Berkas:Masjid Baiturrahman Sungayang.JPG
Masjid Baiturrahman Sungayang setelah selesai dibangun kembali pada 2011. Sekembali dari Mesir, Yunus sering mengadakan sejumlah kegiatan keagamaan di masjid ini.

Tiba di kampung halamannya pada awal tahun 1931, Yunus mulai memusatkan perhatian pada peningkatan mutu sekolah-sekolah agama.[18] Tahun-tahun pertama, ia memperbarui Madras School di Sungayang dengan menerapkan sistem klasikal sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah pemerintah. Lewat Madras School, ia mengenalkan pembagian jenjang madrasah yang dikenal di Indonesia saat ini: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.[19][20] Namun, sekolah ini terpaksa ditutup pada tahun 1933, setahun setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembatasan sekolah Islam atau dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar.

Pada tahun 1932, Yunus meninggalkan Sungayang dan disibukkan dengan aktivitas mengajar. Ia memimpin sekolah Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah di Padang yang didirikan PGAI pada 1 April 1931.[21] Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan tingkat atas yang dimaksudkan untuk mendidik calon guru; murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah minimal tujuh tahun. Yunus mengajarkan bahasa Arab, masukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum, dan menambahkan beberapa cabang pengetahuan umum seperti ilmu alam, tata buku, dan kesehatan. Sebagian buku yang dipakai untuk keperluan pengajaran adalah tulisannya sendiri yang ia susun sewaktu belajar di Mesir.[22] NIS memiliki laboratorium fisika dan kimia satu-satunya di Sumatra Barat.[23] Ia memimpin NIS sampai tahun 1938 dan kelak kembali memimpin pada tahun 1942 sampai 1946.[24] Keberhasilannya menerapkan metode-metode baru dalam pendidikan madrasah mendorongnya untuk membuka Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang.

Pada 1 November 1940, ia dipercaya memimpin STI di Padang. Didirikan oleh PGAI, STI tercatat sebagai perguruan tinggi Islam paling awal di Indonesia.[25][26] Pada 9 Desember 1940, STI membuka dua fakultas: Fakultas Syariat dan Fakultas Pendidikan & Bahasa Arab. Namun, STI hanya berjalan kurang dua tahun. Setelah Padang diduduki tentara pendudukan Jepang pada 1 Maret 1942, perguruan tinggi ini dilarang dan ditutup oleh pemerintah pendudukan.

Pendudukan Jepang dan Sekutu

Berkas:Mahmud Yunus muda.jpeg
Mahmud Yunus, saat berusia 30 tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, Yunus terlibat dalam pendirian Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau. Ketika Jepang mendirikan PETA di Jawa untuk membantu tentara Jepang menghadapi serangan balasan tentara Sekutu, Residen Yano Kenzo yang berkedudukan di Padang mengambil inisiatif membentuk satuan tentara Gyugun.[27] Pembentukan Gyugun segera mendapat dukungan dari para ulama Minangkabau. Mereka mendorong para pemuda untuk mendapat pelahitan militer dari Jepang. Bersama-sama Chatib Sulaiman dan Ahmad Datuk Simarajo, Yunus ditunjuk untuk merekrut keanggotaan Gyugun.[28] Para pemuda Gyugun kelak terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjadi laskar-laskar rakyat bentukan partai-partai dan organisasi di Minangkabau.[29]

Pada tahun 1943, Yunus ditunjuk mewakili Majelis Islam Tinggi Minangkabau sebagai penasihat residen (shuchokan) di Padang.[30] Melalui kedekatannya dengan Jepang, ia berupaya agar pendidikan agama Islam diajarkan di sekolah-sekolah negeri. Ia mengusulkan kepada Kepala Jawatan Pengajaran Jepang untuk memasukkan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah di Minangkabau.[31] Usulan ini diterima oleh pemerintah dan diterapkan sampai berakhirnya pendudukan Jepang atas Indonesia disusul proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Seiring dengan kedatangan Sekutu melalui Pelabuhan Teluk Bayur pada penghujung tahun 1945, Normal Islam School terpaksa ditutup karena sebagian besar guru dan muridnya mengungsi ke luar daerah. Pada September 1946, Yunus menginisiasi berdirinya Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi. Semua alat-alat pembelajaran yang digunakan seperti kursi, meja, peta, dan alat-alat praktikum diangkut dari Padang. SMI kelak dijadikan sekolah negeri di bawah Jawatan Agama Sumatra Barat dan berubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) pada 1951.[c]

Memperkenalkan mata pelajaran agama

Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah kembali diperjuangkan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Usul ini diterima oleh Jawatan Pengajaran Sumatra Barat, yang pada waktu itu dikepalai oleh Saaduddin Jambek, dan mulai diterapkan 1 April 1946 di seluruh Sumatra Barat.[32] Oleh Jawatan Pengajaran Sumatra Barat, ia dipercaya menyusun kurikulum dan menentukan buku-buku pegangan untuk keperluan pengajaran.

Pada November 1946, ia dipindahtugaskan ke Pematangsiantar dan diangkat sebagai Kepala Bagian Agama Islam Jawatan Agama Provinsi Sumatra. Pada Januari 1947, Yunus kembali mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Sumatra. Usul ini mendapat persetujuan pada Maret 1947 dan sejak saat itu, pendidikan Islam masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah di seluruh Sumatra.[33][34] Seiring dengan itu, pemerintah provinsi mengadakan kursus untuk guru-guru agama di Pematangsiantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan dari seluruh daerah di Sumatra dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan kepada Mahmud Yunus.[33]

Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Yunus membuka sekolah-sekolah darurat. Ia sempat mengemukakan rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyah untuk seluruh Sumatra. Rencana ini mendapat persetujuan dari Menteri Agama PDRI Teuku Muhammad Hasan. Setelah pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia, Madrasah Tsanawiyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) dibuka di Sumatra Barat.[35] Madrasah ini diselenggarakan secara swasta meskipun Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sebagai sekolah negeri.[36]

Pada tahun 1950, Yunus mengusulkan kepada pemerintah untuk mengompromikan kurikulum yang diterapkan di Sumatra dengan kurikulum nasional. Usul ini dibahas bersama dalam panitia yang dipimpin Mr. Hadi dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Yunus sendiri dari Departemen Agama.[37] Pada 20 Juanuari 1951, pendidikan agama mulai diajarkan untuk setiap jenjang pendidikan sekolah-sekolah negeri dan swsata—mulai dari sekolah rendah, sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, hingga sekolah kejuruan—dengan lama dua jam dalam seminggu.[38][d] Ini masih diterapkan sampai sekarang di Indonesia sebelum berlakunya kurikulum 2013, yang menambah lama pelajaran agama menjadi empat jam.

Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama

 
Mahmud Yunus, ketika menjadi Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta.

Pada 8 Juli 1945, Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan di Jakarta. Pada 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta mengikuti kepindahan ibu kota negara. STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Setelah Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 dikeluarkan, Fakultas Agama UII ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).[39] Dengan berdirinya PTAIN, Yunus langsung diusulkan sebagai pengelola dan pengajarnya, tetapi Yunus menolak usulan tersebut. Yunus justru mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan PTAIN yang sama di Jakarta.[40]

Pada 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Yunus diangkat sebagai rektor pertama ADIA dan sebagai wakil rektor ditunjuk Bustami Abdul Gani.[41] Semasa Yunus menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA di Jakarta terintegrasi dengan PTAIN di Yogyakarta. Setelah mendapatkan persetujuan Mentri Agama Wahib Wahab, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. IAIN secara ilmiah memberikan pendidikan serta pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan Islam.[40]

IAIN pertama dibuka dengan empat fakultas, dua fakultas di antaranya terletak di Jakarta. Berikutnya, berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 49 Tahun 1963 tertanggal 25 Februari 1963 dimekarkan IAIN kedua yang berkedudukan di Jakarta. Kelak, IAIN di Yogyakarta bersalin nama menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sedangkan IAIN di Jakarta diteruskan menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Meninggal

Selama menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah di IAIN pada tahun 1960, Yunus kerap diundang mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. Perlawatan pertama adalah merupakan tugas dari Departemen Agama ke sembilan negara Islam: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia, dan Marokko pada tahun 1961. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut. Pada tahun 1962, Yunus menghadiri sidang Majelis A'la Istisyari Al-Jami'ah Al-Islamiyah di Madinah pada April 1962 atas undangan Raja Saud dari Arab Saudi melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Pada Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar yang berlangsung di Mesir, ia berturut-turut hadir pada tahun 1964, 1965, 1966, dan 1967. Dalam muktamar ini, Mahmud Yunus mengemukakan makalah berjudul "Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits" yang mendapat tanggapan serius dari peserta. Pada tahun 1969, Mahmud Yunus kembali diundang untuk menghadiri Majelis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Madinah.[42]

Pulang dari kunjungan kerjanya ke negara-negara Islam, Yunus kembali ke Indonesia dalam kesehatan yang kurang baik. Pada awal tahun 1970, kesehatan Yunus mulai menurun dan beberapa kali masuk rumah sakit. Menjadi rektor pertama IAIN Imam Bonjol adalah jabatan terakhir yang diemban Mahmud Yunus selama menjadi pegawai Departemen Agama. Ia mengemban jabatan ini dari tahun 1967 sampai 1970. Pada 15 Oktober 1977, ia memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas perjuangannya dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Pada 16 Januari 1982, ia meninggal dalam usia 82 tahun.

Karya

Sepanjang hidupnya, Yunus menulis lebih dari 75 judul buku. 49 judul buku ditulis dalam bahasa Indonesia dan 26 judul buku ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian besar buku-bukunya saat ini masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan perguruan tinggi. Kamus Arab-Indonesia yang disusunnya masih mudah didapatkan saat ini. Beberapa judul bukunya yang dijadikan buku pegangan pendidikan agama di antaranya tiga jilid al-Fiqh al-Wadhih dan tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta'lim. Karyanya yang berpengaruh adalah Tafsir Qur'an Karim yang diterbitkan pada tahun 1938. Tafsir ini tercatat sebagai pionir karya tafsir berbahasa Indonesia sejak dijadikan bahasa persatuan. Dua cetakan pertama terjual dalam beberapa bulan saja. Tafsir ini telah dicetak sebanyak 200.000 eksemplar hingga tahun 1983 dan telah mengalami cetak ulang sebanya 23 kali. Dalam otobiografinya yang terbit setelah ia meninggal, Yunus mengatakan bahwa ia mulai menulis tafsir ini sejak tahun 1921.[43]

Rujukan

Keterangan
  1. ^ Sistem pendidikan yang dipakai surau-surau yaitu terbuka, duduk bersila mengitari guru, tanpa kelas, diselenggarakan pagi sampai siang, siang sampai sore, atau malam setelah Maghrib sampai waktu tidur tiba.
  2. ^ PGAI didirikan pada tahun 1918 dan mendapat pengesahan dari otoritas Hindia Belanda pada 7 Juli 1920.[7]
  3. ^ Ketika SGHA secara berangsur dihapuskan, SGHA Bukittinggi berubah menjadi PGAN pada 1957. Saat pergolakan PRRI, PGAN tidak bisa diteruskan. Pada 1965, bekas PGAN ditingkatkan menjadi PGAN Putri 6 tahun sampai tahun 1961. PGAN Putri 6 tahun waktu itu menempati sebuah gedung sewa di Jirek, Bukittinggi mengalami peledakan murid, sehingga dicarilah tanah dan didapatkan sebidang tanah di Jalan Panorama Baru hingga sekarang. Pada tahun 1992, keluar Surat Keputusan oleh Departmen Agama yang mendandai berubahnya PGAN menjadi MA Negeri 2 Bukittinggi.
  4. ^ Pendidikan agama Islam telah diatur secara resmi oleh pemerintah pada Desember 1946. Namun, Menteri Agama bersama Menteri Pengajaran dan Pendidikan menetapkan pendidikan agama Islam baru dapat diberikan untuk kelas IV sampai kelas VI tingkat sekolah rendah.
Catatan kaki
  1. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 5.
  2. ^ Ibrahim 2008, hlm. 9.
  3. ^ Hashim 2010, hlm. 169.
  4. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 14.
  5. ^ Hashim 2010, hlm. 170.
  6. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 19.
  7. ^ Yunus 1960, hlm. 82.
  8. ^ Daya 1990, hlm. 84.
  9. ^ Nata 1990, hlm. 58.
  10. ^ Daya 1990, hlm. 137.
  11. ^ a b Abdullah 2009, hlm. 161.
  12. ^ Saydam 2009, hlm. 161.
  13. ^ Daya 1990, hlm. 28.
  14. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 21.
  15. ^ Ibrahim 2008, hlm. 8.
  16. ^ Nata 1995, hlm. 58.
  17. ^ Abdullah 2009, hlm. 173.
  18. ^ Kahin 2005, hlm. 122.
  19. ^ Hashim 2010, hlm. 181.
  20. ^ Abdullah 2009, hlm. 171.
  21. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 46.
  22. ^ Abdullah 2009, hlm. 172.
  23. ^ Saydam 2009, hlm. 162.
  24. ^ Rina & tt, hlm. 176.
  25. ^ Hashim 2010, hlm. 283.
  26. ^ Latif 2005, hlm. 243.
  27. ^ Kahin 2005, hlm. 143.
  28. ^ Kahin 2005, hlm. 146.
  29. ^ Kahin 2005, hlm. 154.
  30. ^ Hashim 2010, hlm. 175.
  31. ^ Asy 2004, hlm. 179.
  32. ^ Yunus 1960, hlm. 112.
  33. ^ a b Deliar Noer 1983, hlm. 56.
  34. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 51.
  35. ^ Yunus 1960, hlm. 119.
  36. ^ Syarif, dkk 1998, hlm. 132.
  37. ^ Asy 2004, hlm. 187.
  38. ^ Yunus, 1979, hlm. 358-359.
  39. ^ Yunus 1960, hlm. 341.
  40. ^ a b Saydam 2009, hlm. 163.
  41. ^ Jabali 2002, hlm. 13.
  42. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 45.
  43. ^ Riwayat Hidup... & tt, hlm. 22.
Daftar pustaka

Pranala luar

Didahului oleh:
Jabatan baru
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 Juni 19571960
Diteruskan oleh:
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo
Didahului oleh:
Jabatan baru
Rektor IAIN Imam Bonjol Padang
19671970
Diteruskan oleh:
H. Mansur Datuk Nagari Basa