Egosentrisme
Egosentrisme adalah kualitas atau keadaan seseorang menjadi egosentris, yakni perhatian yang berlebihan pada diri sendiri dan berfokus untuk kesejahteraan atau keuntungan sendiri dengan mengorbankan atau mengabaikan orang lain.[1] Egosentrisme juga bisa diartikan sebagai ketidakmauan seseorang untuk melihat dari perspektif orang lain, yang meliputi gagalnya seseorang untuk menarik kesimpulan dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilihat orang lain.[2]
Egosentrisme, konsep yang berasal dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget, mengacu kepada kurangnya pembedaan antara beberapa aspek diri sendiri dengan orang lain. Ihwal paradigma merupakan kegagalan pengambilan perspektif yang menggambarkan anak kecil yang tidak mampu menyimpulkan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat orang lain. Tidak dapat menyimpulkan secara akurat perspektif orang lain, anak egosentris menghubungkan mereka dengan perspektifnya sendiri. Ketidakmampuan untuk mengurangi dari perspektif sendiri menghasilkan kebingungan egosentris dari perspektif sosial.[3]
Sejarah
Piaget memperkenalkan konsep egosentrisme dalam tulisan awalnya pada tahun 1920-an untuk menggambarkan karakteristik umum anak prasekolah. Akar konsep egosentrisme dapat ditelusuri kembali kepada pengaruh Freud terhadap Piaget. Saat berada di Zurich (1918―1919) dan Paris (1919―1921), Piaget mempelajari berbagai aliran psikoanalisis. Berdasarkan konsep Freud tentang proses primer yaitu cara berfungsi dalam melayani pemuasan kebutuhan segera dan proses sekunder yaitu pengaturan dan pengendalian kebutuhan untuk memenuhi tuntutan realitas, Piaget (1920) awalnya membedakan antara autis dan logis, pemikiran ilmiah, dan pada tahun 1922 dia memperkenalkan konsep egosentrisme sebagai tingkat perantara antara mode pemikiran ini. Di sinilah konseptualisasi egosentrisme Piaget mengalami perubahan signifikan. Sejak pertengahan 1930-an, alih-alih merupakan tahap peralihan antara pemikiran autis dan logis, egosentrisme menjadi sebuah fenomena yang terulang beberapa kali, di mana tahap awal adalah tahap sensorimotor, kemudian berkembang lagi pada tahap praoperasional dan terakhir adalah tahap formal-operasional. Pada setiap tahap perkembangan tersebut, terjadi pula perkembangan kognitif dan afektif pada anak.[4]
Perbedaan egosentrisme dan narsisme
Terdapat garis tipis perbedaan antara egonsentrisme dan narsisme. Dalam egosentrisme, seseorang tidak dapat melihat sudut pandang orang lain; tetapi dalam narsisme, dia mungkin mengetahui sudut pandang itu tetapi tidak memedulikannya. Bahkan selangkah lebih maju, orang-orang yang memiliki narsisme tinggi menjadi kesal atau bahkan marah ketika orang lain gagal melihat sesuatu dengan cara mereka. Secara ekstrem, narsisme membuat orang menjadi eksploitatif, terutama di kalangan subkelompok yang dikenal sebagai narsisis yang berhak.[5]
Ketika egosentrisme berkembang menjadi narsisme, harga diri seseorang akan sangat bergantung pada sorotan. Mereka menjadi haus akan perhatian orang lain dan selalu mengelilingi diri dengan para pengagum mereka untuk melindungi kepercayaan diri yang semakin tidak stabil. Individu yang narsistik akan bersikeras untuk menerima perlakuan khusus, mengeluh ketika tidak mendapatkannya dan menolak orang-orang yang dianggap menghalangi mereka. Mereka akan merasa kosong dan tidak berarti ketika tidak mendapat perhatian dan pengakuan seperti yang diinginkan.[5]
Selain perbedaan, egosentrisme dan narsisme juga memiliki beberapa persamaan, seperti sama-sama berfokus pada persepsi dan opini sendiri, kurang memiliki empati, tidak mampu memahami kebutuhan orang lain, berpikir berlebihan tentang penilaian orang tentang mereka dan pengambilan keputusan yang hanya didasarkan atas kebutuhan atau kepentingannya sendiri.[6]
Teori perkembangan kognitif Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog perkembangan asal Swiss yang mempelajari tentang perkembangan anak-anak pada awal abad ke-20. Teorinya tentang intelektual atau perkembangan kognitif dipublikasikan pada tahun 1936 dan masih digunakan hingga sekarang di berbagai cabang ilmu pendidikan dan psikologi.Teori ini berfokus pada perkembangan anak-anak, mulai dari bayi hingga remaja, dan mencirikan berbagai tahap perkembangan, termasuk bahasa, moral, memori dan penalaran.[7]
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa intelegensi akan berubah seiring dengan perkembangan usia anak. Perkembangan kognitif anak-anak tidak hanya tentang memperoleh pengetahuan tetapi juga pengembangan dan pembentukan mental. Ada empat tahapan perkembangan kognitif menurut teori ini, yaitu tahap sensorimotor (dari bayi lahir sampai 18-24 bulan), tahap pra operasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun) dan tahap operasional formal (usia 12 tahun ke atas).[8]
Tahap sensorimotor (usia 18-24 bulan)
Pada tahap pertama ini perkembangan intelektual anak merupakan respon refleks dan kemampuan skemata. Bayi mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui kemampuan sensorik (melihat, mendengar) dan motorik (menyentuh, menggapai). Melalui kemampuan sensor motoriknya, bayi belajar bahwa sesuatu terus ada meskipun tidak dapat dilihat (keabadian objek). Perkembangan kognitif pada periode sensorimotor berlangsung dalam waktu yang relatif singkat tetapi melibatkan banyak pertumbuhan, termasuk belajar banyak tentang bahasa.[9]
Tahap pra operasional (usia 2-7 tahun)
Salah satu tanda yang paling menonjol dari tahap pra operasional adalah kemunculan bahasa yang merupakan pengembangan dari fondasi berbahasa yang dibentuk pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini, anak sudah mampu berpikir pada tingkat simbolik dengan mennggunakan kata-kata dan gambar untuk mewakili objek. Namun ia belum bisa menggunakan logika, mengubah, menggabungkan dan memisahkan ide atau pikiran. Anak-anak juga cenderung bersifat egosentris pada tahap ini, yang berarti ia melihat dunia dengan kehendaknya sendiri dan belum mampu berpikir menggunakan perspektif lain.[9][10]
Namun egosentrisme pada tahap pra operasional tidak selamanya buruk karena merupakan proses pendewasaan bagi anak usia dini. Sifat egosentris anak pada tahap ini ditandai dengan beberapa hal, seperti berpikir imajinatif (berbicara dengan boneka atau robot seperti berbicara dengan teman-temannya, menjadikan benda di sekitarnya sebagai mainan), berbahasa egosentris (berhenti berteman atau bermain saat sesuatu tidak sesuai keinginan, harus mendapatkan apa yang diinginkan), memiliki sifat ke-akuan yang tinggi (menangis atau marah jika kalah dalam permainan, selalu ingin didengarkan), memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (banyak bertanya tentang segala hal yang ditemui, ingin melihat sesuatu secara langsung apa yang ia dengar) dan perkembangan bahasa mulai pesat (mencoret-coret atau menggambar di kertas, bercerita tentang coretan atau gambar yang dibuat).[11]
Egosentrisme pada anak kecil bukan berarti bersikap egois sebagaimana pada orang dewasa. Egosentrisme bisa saja turut berperan dalam munculnya perilaku negatif pada anak, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab.[12]
Tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun)
Tahap operasional konkret merupakan titik balik utama dalam perkembangan kognitif anak sekaligus menandai awal pemikiran yang lebih terorganisir dan rasional meski baru bisa menerapkan logika pada objek fisik. Meskipun anak sudah bisa mengidentifikasi dan menghubungkan beberapa dimensi dalam satu waktu, ia belum mampu menarik kesimpulan secara konkret. Anak juga belum mampu berpikir secara abstrak atau hipotesis.[9]
Anak-anak yang berada pada tahap operasional konkret umumnya telah masuk usia sekolah dasar. Mereka belum memiliki kematangan berpikir sehingga belum dapat memilah dan memilih sesuatu yang positif atau negatif serta belum memahami dampak dari suatu tindakan. Pemahaman tentang perkembangan kognitif merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan untuk dijadikan acuan dalam rangka mendidik dan mengajar, terutama dalam penyusunan materi ajar agar tingkat kesulitan materi sesuai dengan kemampuan kognitif anak. Selain untuk penyusunan materi ajar, pemahaman kognitif anak juga menjadi pedoman dalam menentukan strategi, model, metode dan teknik evaluasi dalam pembelajaran. Misalnya, ketika mengajarkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), guru tidak bisa hanya menggunakan metode ceramah. Metode pengajaran harus dibarengi dengan eksperimen atau menunjukkan langsung contoh objek yang dipelajari karena anak usia sekolah dasar umumnya berada pada tahap operasional konkret sehingga kemampuan berpikirnya berada pada level berpikir konkret, bukan abstrak. [13]
Tahap operasional formal (usia 12 tahun ke atas)
Tahap terakhir dari teori perkembangan kognitif dimulai sejak usia 12 tahun ke atas dan berlangsung hingga dewasa. Pada tahap operasional formal, anak-anak mampu mengembangkan penalaran abstrak dengan memanipulasi ide tanpa ketergantungan pada manipulasi konkret. Mereka dapat melakukan perhitungan matematis, berpikir kreatif, menggunakan penalaran abstrak dan teoretis untuk berpikir tentang masalah moral, filosofis, etika, sosial dan politik serta membayangkan akibat atau konsekuensi dari tindakan tertentu. Dengan kompetensi operasional yang berkembang menjadi semakin kompleks, mereka yang berada di tahap ini telah mampu membentuk argumennya sendiri.[10][9]
Sifat-sifat umum egosentrisme
Egosentrisme dalam hubungan dan interaksi sosial
Dampak
Lihat pula
Referensi
- ^ "Egocentrism". Merriam-Webster. Diakses tanggal 1 Desember 2021.
- ^ Rahmiwati Marsinun, Fauzi Nur Ilahi (28 November 2020). Bimbingan dan Konseling Sosial. Pustaka Aksara. hlm. 85. ISBN 9786239546472. Diakses tanggal 1 Desember 2021.
- ^ Eric M. Anderman dan Lynley H. Anderman, ed. (2009). "Egocentrism". Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia. Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia. 1. Macmillan Reference USA. hlm. 355. Diakses tanggal 1 Desember 2021.
- ^ Thomas Kesselring, Ulrich Müller (Desember 2011). "The concept of egocentrism in the context of Piaget's theory" (PDF). New Ideas in Psychology. Elsevier. 29 (3): 327―328. doi:10.1016/j.newideapsych.2010.03.008. Diakses tanggal 6 Desember 2021.
- ^ a b Susan Krauss Whitbourne Ph.D. (7 April 2012). "It's a Fine Line Between Narcissism and Egocentrism". Psychology Today. Diakses tanggal 6 Desember 2021.
- ^ Clarke, Jodi (2021-04-06). "Do You Have an Egocentric Person in Your Life? Look for These Signs". Verywell Mind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-13.
- ^ "Piaget Stages of Development: What Are They and How Are They Used?". Healthline (dalam bahasa Inggris). 2018-03-27. Diakses tanggal 2021-12-13.
- ^ McLeod, Saul (2020-12-07). "Jean Piaget's Theory and Stages of Cognitive Development | Simply Psychology". www.simplypsychology.org. Diakses tanggal 2021-12-13.
- ^ a b c d Pramesti, Salsabella Adista Trisnu. "Apa Saja Tahap Perkembangan Kognitif Anak Menurut Teori Piaget?". tirto.id. Diakses tanggal 2021-12-15.
- ^ a b Fimela.com (2021-08-02). "4 Tahapan Perkembangan Kognitif Anak Sesuai Usia Menurut Teori Piaget". fimela.com. Diakses tanggal 2021-12-15.
- ^ Novitasari, Yesi; Prastyo, Danang (April 2020). "Egosentrisme Anak Pada Perkembangan Kognitif Tahap Praoperasional". Jurnal PG-PAUD Trunojoyo. 7 (1): 17–22. ISSN 2528-3553.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-02-27). "Hati-Hati, Batita Juga Bisa Berperilaku Negatif Karena Hal-Hal Ini". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-12-15.
- ^ Bujuri, Dian Andesta (2018). "Analisis Perkembangan Kognitif Anak Usia Dasar dan Implikasinya dalam Kegiatan Belajar Mengajar". Jurnal LITERASI. IX (1): 37–50. ISSN 2503-1864.